• Tidak ada hasil yang ditemukan

YANHENDRI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Master Pada

Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

Judul Thesis : Penampilan Reproduksi Sapi Persilangan F1 dan F2 Simental Serta Hubungannya dengan Kadar Hormon Estrogen dan Progesteron Pada Dataran Tinggi Sumatera Barat.

Nama Mahasiswa : Yanhendri

NIM : B.051050021

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. drh. Tuty Laswardi Yusuf, MS. Dr.drh. Mohamad Agus Setiadi Ketua Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Biologi Reproduksi

Dr. drh. Tuty Laswardi Yusuf, MS. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat dan rahmat- Nya jualah penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisans tesis ini dengan baik. Tesis ini memuat hasil penelitian tentang penampilan reproduksi sapi persilangan F1 dan F2 Simental serta hubungannya dengan kadar kormon estrogen dan progesteron pada dataran tinggi Sumatera Barat, untuk selanjutnya diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar master pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penyelesaian tugas ini tidak lepas dari bantuan beberapa pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Ibu Dr. drh. Tuty L.Yusuf, M.S. selaku ketua komisi pembimbing dan Dr.drh. Mohamad Agus Setiadi selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan dukungan secara ikhlas dan penuh perhatian semenjak penulis diterima pada Program Studi Biologi Reproduksi hingga pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini. Kepada seluruh staf Sekolah Pascasarjana, Program Studi Biologi Reproduksi, Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor serta Laboratorium Isotop dan Radio Aktif Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor, penulis menyampaikan banyak terima kasih atas bantuan dan izin penggunaan alat dan bahan selama penulis melakukan penelitian.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Kepala BPTU Sapi Potong Padang Mengatas Bapak Ir. Amrizal Jufri, atas dukungan, saran dan kesempatan mendapatkan beasiswa serta dukungan finansial lainnya selama pendidikan dan penelitian serta penulisan tesis ini. Ucapan yang sama penulis sampaikan kepada seluruh rekan sejawat di BPTU Sapi Potong Padang Mengatas khususnya Sutrisno dan Rahman Siahaan, atas bantuannya yang tak kenal lelah selama penelitian dilapangan. Kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota, Balai Inseminasi Buatan Daerah Tuah Sakato Sumatera Barat dan Balai Penyidikan Penyakit Veteriner Bukittinggi, penulis menyampaikan terima kasih atas izin dan dukungannya selama penelitian di lapangan.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir Rudy Priyanto dan keluarga, Drs. Andriwifa, M.Si dan keluarga atas perhatiannya selama penulis menyelesaikan studi ini. Kepada teman seperjuangan, Ni Luh Gde Sumardhani S.Pt, Rosa Helmita S.Si, drh. Erma Najmiati, drh. Madi Hartono, M.P, Drs. Hurip Pratomo, MSi serta semua rekan-rekan mahasiswa Biologi Reproduksi atas kerjasama yang baik selama kita bersama-sama menempuh pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB.

Kepada Papa, Mama dan mertua serta segenap keluarga di Bukittinggi, Padang dan Jakarta, penulis menyampaikan terima kasih yang tak terhingga atas doa serta bantuan moril dan materil selama penulis menempuh pendidikan di Bogor. Akhirnya kepada istri saya yang tercinta Drg. Mardiah Faisal serta putra- putri saya yang tersayang, Fasya Mahira Thahani dan Javier Zahran, tesis ini papa persembahkan sebagai buah pengorbanan yang telah kalian berikan.

Semoga tulisan ini dapat bermanfaat tidak hanya bagi saya sendiri tetapi juga bagi pihak terkait dan masyarakat luas dalam rangka perbaikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, serta peningkatan kwalitas ternak sapi potong.

Bogor, Agustus 2007

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bukittinggi pada tanggal 15 Maret 1968 dari pasangan bapak Basri dan ibu Syahiyar Latief. Penulis merupakan putra pertama dari enam bersaudara. Tahun 1987 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Bukittinggi dan pada tahun yang sama lulus seleksi penerimaan mahasiswa baru pada Fakultas Peternakan Universitas Andalas Padang dan menyelesaikan pendidikan tahun 1992. Semenjak tahun 1994 penulis bekerja pada Direktorat Jendral Peternakan dan ditempatkan di Balai Pembibitan Ternak Unggul Padang Mengatas, Payakumbuh Sumatera Barat.

Tahun 2001 penulis menikah dengan Drg. Mardiah Faisal dan dikarunia 2 orang putra dan putri, Fasya Mahira Thahani (5 th) dan Javier Zahran (3 th). Saat ini penulis tengah menyelesaikan pendidikan S2 Program Studi Biologi Reproduksi Sekolah Pascasarjana IPB dengan bantuan dana dari DIPA BPTU Sapi Potong Padang Mengatas, Departemen Pertanian.

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ……… ……….. xiii

DAFTAR GAMBAR.……… xiv

DAFTAR LAMPIRAN………. xv PENDAHULUAN Latar Belakang……….. 1 Kerangka Pemikiran………. 3 Tujuan Penelitian……… 5 Manfaat Penelitian………. 5 Hipotesis……… 6 TINJAUAN PUSTAKA

Sapi Persilangan Simental……… 7

Efisiensi Reproduksi………. 11

Estrus dan Kebuntingan……… 17

Gambaran Hormon Siklus Reproduksi

dan Kebuntingan……… 21

MATERI DAN METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian……….. 29

Materi Penelitian……….. 29

Hewan Penelitian……….. 29

Kandang dan Pakan………. 30

Bahan dan Alat………. 30

Rancangan Penelitian……….. 31

Metode Penelitian………. 32

Pengamatan Siklus Estrus……… 32

Intensitas Estrus……… 32

Pengukuran dengan Heat Detector …………. 33

Tingkat Kebuntingan……… 34

Pengukuran Kadar Hormon Estrogen dan

Proesteron dengan Metode RIA……….. 34

Survei Kemampuan Reproduksi………….… 35

Analisis Data……… 36

HASIL DAN PEMBAHASAN

Siklus Estrus……… 37

Intensitas Estrus…..……… 38

Perubahan Tingkah Laku……….. 38

Perubahan Vulva……… 39

Lendir Serviks……… 41

Pengukuran Heat Detector………. ………….. 43 Kadar Hormon Estrogen dan Progesteron……… 45

Kadar Estroen……….. 45

Kadar Progesteron……….. 48

Tingkat Kebuntingan……….. 52

Hubungan Intensitas Estrus dengan Kadar Estrogen… 54

Kemempuan Reproduksi………. 57

Service Perconception (S/C) Dara……… 57

Estrus Setelah Beranak……… 58

Waktu Kawin Setelah Beranak……….. 60

Service Perconception (S/C) Induk……….. 60

Calving Interval (CI)………. 61

PEMBAHASAN UMUM………. 63

SIMPULAN DAN SARAN………. 66

DAFTAR PUSTAKA.………. 67

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Kriteria penilaian intensitas estrus……… 33

2 Kriteria penilaian pengukuran heat detector……… 34

3 Persentase lama siklus estrus….……….…... 37

4 Intensitas perubahan tingkah laku pada saat estrus…..……..… 38

5 Intensitas perubahan vulva pada saat estrus ………. 40

6 Intensitas perubahan lendir serviks pada saat estrus………….. 41

7 Intensitas ereksi uterus pada saat estrus.……….……….. 42

8 Persentase deteksi estrus menggunakan heat detector

serta korelasinya dengan tingkat kebuntingan………. 44

9 Rataan kadar hormon estrogen pada sehari sebelum estrus,

Saat estrus dan sehari setelah estrus……….……… 46

10 Rataan kadar hormon progesteron bunting dan tidak

Bunting dan korelasinya dengan tingkat kebuntingan……..… 48

11 Persentase kebuntingan……….……….…… 53

12 Rataan intensitas estrus dan korelasinya dengan hormon

Estrogen……… 54

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Metode back cross ntuk menghasilkan persilangan F2…….…. 10

2 Perubahan hormon reproduksi selama siklus estrus…….…… 25

3 Gambaran level hormon progesteron pada saat bunting dan

Tidak bunting………... 27

4. Koleksi sampel darah pada analisa hormon estrogen dan

Progesteron……….… 35

5 Kadar hormon estrogen sehari sebelum estrus, pada saat estrus dan sehari setelah estrus sapi persilangan F1

dan F2 Simental dan PO ……….. 48

6 Kadar hormon progesteron bunting pada hari ke 12, hari ke 21dan hari ke 24 setelah inseminasi sapi

persilangan F1 dan F2 Simental………..…… 50

7 Kadar hormon progesteron tidak bunting pada hari ke 12, hari ke 21 dan hari ke 24 setelah inseminasi sapi

persilangan F1 dan F2 ……… 51

8 Persentase kebuntingan sapi persilangan Simental dan

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Data kadar estrogen sehari sebelum estrus, saat estrus

dan sehari setelah estrus………. 76

2 Data kadar progesteron bunting dan tidak bunting hari

ke 12 hari ke 21 dan hari ke 24 setelah inseminasi…..………. 77

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Upaya untuk meningkatkan produksi dan reproduksi sapi lokal Indonesia termasuk PO, salah satunya adalah dengan melakukan persilangan sapi-sapi tersebut dengan sapi-sapi import yang mempunyai bobot badan lebih besar serta pertumbuhan yang cepat. Sapi-sapi import tersebut tidak hanya berasal dari genus yang sama yakni Bos indicus, tetapi juga sapi-sapi daerah sub tropis yang termasuk Bos taurus. Bibit import yang digunakan sebagai sumber genetik tidak terbatas pada individu ternak, tetapi juga berupa semen beku untuk keperluan inseminasi buatan.

Persilangan dapat meningkatkan kemampuan genetik sapi lokal yang dikenal rendah. Salah satu faktor yang menyebabkan persilangan sangat diminati adalah munculnya sifat heterosis pada turunannya, dimana anak yang dilahirkan mempunyai penampilan produksi dan reproduksi yang lebih baik dari rata-rata tetuanya. Di Indonesia program persilangan tidak begitu jelas, cenderung menggunakan metode Back cross dimana genetik sapi import dari genus Bos taurus terus ditingkatkan karena dalam jangka pendek sangat menguntungkan secara ekonomi. Sapi-sapi Bos taurus ini pertumbuhannya akan menurun apabila dikembangkan didaerah tropis (Frisch 1978).

Kapan dimulainya persilangan sapi lokal (PO) dengan Simental di Indonesia tidak diketahui dengan pasti. Pada tahun 1906 telah terjadi persilangan Bos taurus dengan Bos indicus di Jawa, tapi pejantan yang digunakan adalah Hereford dan Shortorn yang didatangkan dari Australia. Pemakaian sapi Bos taurus ini lebih meningkat dengan diperkenalkannya inseminasi buatan (IB) di Indonesia pada tahun 1952 sampai 1956 dan menemukan momentumnya dengan pemanfaatan mani beku pada tahun 1973. Pada waktu itu mani beku didatangkan dari laur negeri, sebagian besar adalah Bos taurus.

Di Sumatera Barat pada awalnya persilangan dilakukan antara sapi lokal (PO) dengan beberapa sapi Bos taurus seperti Simental, Charolais, Limousine, dan Drougmaster. Selain melalui inseminasi buatan juga dilakukan dengan kawin alam, dimana pada tahun 1976 BPTU Sapi Potong Padang Mengatas yang saat itu bernama BPT-HMT mendatangkan sapi-sapi tersebut dari Selandia Baru. Karena

persilangan dilakukan didaerah tropis diharapkan dapat beradaptasi dengan baik terhadap panas, pakan yang terbatas serta kelembaban yang tinggi.

Perkembangan persilangan di Sumatera Barat sangat pesat, dimana kemudian bibit yang digunakan hanya Simental karena adaptasinya lebih baik dibandingkan sapi Bos taurus lainnya. Tidak diketahui data pasti populasi persilangan tersebut, namun diyakini jumlahnya dari tahun ketahun terus meningkat. Hasil persilangan ini sebagian besar adalah F1 dan F2 Simental, sebagian kecil sudah terdapat F3 dan F4 Simental. Masyarakat sangat menyukai persilangan ini karena mampu menghasilkan keuntungan ekonomi dengan cepat melalui penjualan bakalan serta calon bibit, ukuran tubuh yang lebih besar, pertambahan berat-badan yang tinggi serta berat akhir yang jauh lebih besar dibandingkan sapi lokal serta temperamennya yang tenang dan jinak.

Dengan metode Back cross kandungan genetik Simental pada sapi lokal terus mengalami peningkatan, peningkatan ini sudah tentu membutuhkan perbaikan pakan dan kondisi lingkungan yang memadai mengingat genetik dominan pada sapi persilangan ini berasal dari daerah sub tropis. Jenis pakan yang diberikan juga sangat berbeda, dimana Amerika Utara dan Eropa sebagai daerah penyebaran utama sapi Simental adalah kawasan yang mengandalkan bahan pakan yang berasal dari biji-bijian (grain fed) sedangkan Australia dan Amerika latin mengandalkan pada pastura (grass fed) (Riady 2006). Usaha peternakan di Indonesia, khususnya Sumatera Barat merupakan peternakan rakyat skala kecil. Pemberian pakan sampai saat ini oleh peternak cenderung tidak ada perbedaan sama sekali baik untuk PO, F1, F2 dan sapi lainnya dimana pakan utama yang diberikan adalah rumput gajah dicampur dengan rumput alam. Sebagaimana diketahui pakan pada daerah tropis sangat terbatas serta mempunyai kandungan gizi yang rendah , perbaikan lingkungan juga tidak dilakukan sehingga sapi dipelihara pada cekaman panas yang tinggi dimana hal ini akan menurunkan tingkat fertilitas sapi (Dunn dan Moss 1992; Meidan et al. 1993). Banyaknya zat makanan yang digunakan untuk pertumbuhan dan pemeliharaan, mengakibatkan terhambatnya reproduksi (Ensminger 1987).

Secara ekonomis dalam jangka pendek metode persilangan dengan Back cross ini memang sangat menguntungkan, namun belum diketahui dampaknya

untuk jangka panjang terutama dikaitkan dengan tujuan untuk peningkatan reproduksi serta peningkatan populasi sapi potong di Indonesia. Untuk itu dibutuhkan observasi mengenai kemampuan reproduksi serta efisiensinya, agar peningkatan genetik sapi lokal PO dengan pemasukan darah Simental dapat memberikan keuntungan maksimal untuk jangka panjang. Mengingat proses reproduksi sangat berhubungan dengan mekanisme hormonal yang terjadi pada organ reproduksi ternak, maka dibutuhkan suatu analisa mengenai peranan hormon tersebut dalam menyebabkan estrus dan keberhasilan kebuntingan pada sapi persilangan Simental.

Kerangka Pemikiran

Estrus merupakan suatu gejala yang muncul pertama kali saat dewasa kelamin pada ternak dan umumnya dapat diamati dengan jelas. Pada sapi dara estrus mengindikasikan sapi sudah mengalami kematangan organ reproduksi dan siap dikawinkan. Pada sapi induk, estrus biasanya muncul antara 40 sampai 60 hari setelah melahirkan, kemunculan estrus mengindikasikan proses recoveri saluran reproduksi termasuk uterus (involusi) sudah selesai dan saluran reproduksi sudah kembali seperti sebelum melahirkan dan sapi juga siap untuk dikawinkan.

Munculnya gejala estrus, baik pada sapi dara maupun induk sangat erat kaitannya dengan mekanisme hormon estrogen dalam ini adalah estradiol. Estrogen merupakan steroid hormon yang dihasilkan ovarium seiiring perkembangan folikel. Dalam jumlah yang rendah hormon ini tetap diproduksi gonad dan pengeluarannya akan meningkat seiring dengan perkembangan folikel yang dipengaruhi juga GnRH dari hipotalamus dan FSH dari hipofisis. Pada saat folikel primer reseptornya mulai meningkat dan pengeluaran meningkat saat folikel skunder serta mencapai puncaknya saat folikel de Graaf. Peningkatan estrogen inilah yang menyebabkan munculnya gejala estrus dan dijadikan pedoman dalam menentukan waktu yang tepat untuk mengawinkan seekor ternak.

Lingkungan termasuk temperatur, pakan dan pemeliharaan merupakan faktor utama disamping faktor genetik yang mempengaruhi perkembangan folikel, pngeluaran estrogen dan munculnya gejala estrus. Lingkungan pada dataran tinggi Sumatera Barat dengan temperatur berkisar antara 18º sampai 24ºC dengan

kelembaban berkisar 83% sampai 87% diduga tidak baik untuk sapi-sapi Bos taurus maupun persilangannya dengan kandungan darah Bos taurus yang lebih dari 50%. Hal ini akan menyebabkan gangguan pada perkembangan folikel, pengeluaran hormon estrogen dan munculnya gejala estrus.

Gangguan ini dapat mengakibatkan rendahnya pengeluaran estrogen dan rendahnya intensitas estrus sehingga susah ataupun tidak dapat diamati sama sekali. Ketidakakuratan pengamatan gejala estrus akan menyebabkan tidaknya tepatnya waktu perkawinan dan akan menurunkan kemampuan reproduksi sapi. Gejala estrus yang dijadikan pedoman utama dalam menentukan waktu perkawinan adalah Standing heat, namun pada peternakan rakyat skala kecil secara intensif, parameter yang diamati umumnya adalah; perubahan tingkah laku, perubahan vulva dan pengeluaran lendir serviks.

Kemampuan reproduksi tidak hanya dipengaruhi oleh intensitas dan pengeluaran hormon estrogen, tetapi juga tingkat keberhasilan perkawinan sehingga terjadi kebuntingan. Selain kesuburan, kondisi lingkungan saat inseminasi, inseminator dan bibit yang digunakan, keberhasilan kebuntingan juga sangat dipengaruhi pengeluaran hormon progesteron. Sebagaimana halnya dengan estrogen, pengeluaran hormon progesteron juga sangat terkait dengan perkembangan folikel dan ovulasi. Progesteron diproduksi oleh sel luteal dari

corpus luletum (CL), yang terbentuk pada ovarium sebagai akibat

diovulasikannya sel telur.

Tinggi rendahnya pengeluaran progesteron tergantung kepada besarnya CL dan jumlah serta kepadatan sel luteal pembentuknya. Karena CL merupakan bekas tempat folikel dominan, maka tentunya ukuran dan kemampuannya dalam memproduksi progesteron juga tergantung perkembangan dan ukuran folikel dan hal tersebut tidak lepas dari pengaruh lingkungan, pakan dan pemeliharaan. Peningkatan pengeluaran hormon progesteron terjadi pada awal fase luteal, yaitu metestrus dan mencapai puncaknya pada periode diestrus. Pada saat puncak ini dapat diketahui kemampuan optimum setiap sapi dalam memproduksi progesteron dan pengaruhnya terhadap keberhasilan perkawinan.

Progesteron dibutuhkan untuk implantasi dan menjaga kebuntingan sampai sesaat sebelum melahirkan. Kadar yang rendah pada fase luteal akan

menyebabkan kegagalan implantasi dan kadar yang rendah setelah implantasi akan menyebabkan kematian embrio dan menurunkan efisiensi reproduksi pada ternak. Apabila deteksi estrus baik, waktu perkawinan tepat, bibit baik dan inseminator terlatih, maka kegagalan perkawinan hanya akan dipengaruhi oleh produksi hormon progesteron yang terkait dengan faktor genetik, lingkungan, pakan dan pemeliharaan.

Pengukuran kadar progesteron pada hari ke 21 dan 24 erat kaitannya dengan keberhasilan kebuntingan dan keberlangsungan hidup embrio. Kadar yang rendah mengindikasikan tidak terjadi kebuntingan dan hal ini bisa terjadi karena kegagalan perkawinan, kegagalan implantasi ataupun kematian embrio dini. Kadar yang tinggi mengindikasikan perkawinan sukes dan terjadi kebuntingan serta akan mencerminkan kemampuannya dalam menjaga kebuntingan tersebut.

Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini ditujukan untuk melihat penampilan reproduksi sapi persilangan F1 dan F2 Simental sehubungan dengan kemampuan adaptasinya didaerah tropis dengan temperatur yang tinggi dan pakan yang terbatas. Disamping itu juga ditujukan untuk mengetahui pola persilangan yang tepat pada daerah tropis untuk dikembangkan lebih lanjut.

Tujuan khusus dari penelitian adalah: 1) Mengkaji intensitas estrus sapi persilangan F1 dan F2 Simental serta PO. 2) Mengkaji kadar estrogen dan hubungannya dengan intensitas estrus sapi persilangan F1 dan F2 Simental serta PO. 3) Mengkaji tingkat kebuntingan sapi persilangan F1 dan F2 Simmental serta PO. 4) Mangkaji kadar progesteron dan hubungannya dengan tingkat kebuntingan sapi persilangan F1 dan F2 Simental serta PO. 5) Mengkaji kemampuan reproduksi secara umum sapi persilangan F1 dan F2 Simmental serta PO.

Manfaat Penelitian

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat: 1) Sebagai salah satu sumber data dalam membuat program breeding untuk sapi persilangan Simental. 2) Sebagai referensi baik bagi peternak maupun pemerintah untuk meningkatkan efisiensi reproduksi sapi persilangan Simental.

Hipotesis

Berdasarkan kajian pustaka terhadap berbagai faktor yang mungkin berpengaruh terhadap efisiensi reproduksi maupun produksi hormon estrogen dan progesteron, maka dikemukakan hipotesis sebagai berikut :

1. Sapi persilangan F1 Simental mempunyai intensitas estrus dan tingkat keberhasilan kebuntingan yang lebih tinggi dari sapi persilangan F2 Simental maupun sapi lokal PO.

2. Kadar estrogen dan progesteron sapi persilangan F1 Simental lebih baik dari sapi persilangan F2 Simental maaupun sapi lokal PO.

3. Kemampuan reproduksi sapi persilangan F1 Simental lebih baik dari sapi persilangan F2 Simental maupun sapi lokal PO.

TINJAUAN PUSTAKA

Sapi Persilangan Simental

Simental merupakan sapi Bos taurus tipe pekerja dengan tubuh yang besar, kuat dengan tulang yang berat. Struktur seperti ini membantunya merumput didaerah pegunungan dimana dia dapat mengatasi kondisi yang keras. Simental persilangan telah populer pada waktu belakangan dimana dia menyusui anaknya dan akan dihasilkan anak dengan kualitas yang tinggi untuk produksi daging (Philips 2001). Ensminger (1987) menyatakan jantan Simental dewasa pada kondisi yang bagus mempunyai berat 1.135 kg sedangkan betina dewasa mencapai 726 kg. Ukuran dan pertumbuhannya yang cepat dengan performan yang baik menyebabkan dia populer.

Sapi Simental berasal dari lembah Siemen yang terletak di perbatasan Jerman dengan Swiss, namun demikian sapi ini berkembang biak dengan baik hampir pada seluruh negara di Eropa terutama di Perancis dan Swiss. Sapi ini memiliki warna kuning sampai merah dengan tanduk dan kuku biasanya berwarna putih. Karena sapi ini merupakan sapi dwiguna, maka pemanfaatannya sebagai penghasil daging terus mengalami peningkatan terutama di Amerika Serikat (Phillips 2001).

Sebagaimana sapi Bos taurus lainnya, sapi Simental akan mencapai dewasa kelamin pada umur 12 bulan dimana pada saat tersebut terjadi pubertas (Taylor dan Field 2004). Umur saat pubertas tergantung kepada kondisi fisik, photoperiod, umur dan bangsa tetua, ada atau tidak adanya heterosis, temperatur lingkungan, berat badan yang sangat berhubungan dengan pakan dan tingkat pertumbuhan setelah disapih (Hafez dan Hafez 2000; Partodihardjo 1982)

Sementara PO merupakan sapi Bos indicus sebagai hasil persilangan sapi Ongole yang berasal dari India (Grup Zebu) dengan sapi jawa yang merupakan sapi lokal Indonesia, namun telah mengalami pemurnian di Indonesia (Sudardjat dan Pambudy 2000). PO merupakan sapi daerah tropis sebagaimana halnya dengan Brahman. Menurut Taylor dan Field (2004) Brahman merupakan bibit yang lebih tahan panas dan tahan terhadap serangan kutu dibandingkan bibit lain. Sedangkan Sudardjat dan Pambudy (2000) menyatakan bahwa sapi Ongole

mempunyai kerangka tubuh yang lebih besar, rata-rata lebih cepat dewasa kelamin dan jinak.

Sapi PO mempunyai punuk yang cukup besar, gelambir dibawah leher, telinga agak panjang dan menggantung dengan mata besar yang terlihat tenang. Tanduk pendek, kadang hanya terlihat seperti bongkol kecil, namun khusus pada betina tanduknya agak lebih panjang dan mengarah keatas. Bulunya berwarna putih, kadang-kadang putih kehitam-hitaman dengan berat badan pada jantan dewasa sekitar 600 kg dan betinanya sekitar 450 kg (Taylor dan Field 2004).

Sapi PO mencapai pubertas pada umur 12 sampai 18 bulan (Partodihardjo 1987), dengan siklus estrus berkisar antara 29,22 ± 5,79 hari (Sunarjo 1980). Pada beberapa bangsa Zebu (termasuk PO), ukuran dan berat CL lebih rendah dari pada sapi-sapi Bos taurus, akan tetapi kandungan dan konsentrasi hormon progesteron diantara kedua bangsa sapi ini tidak berbeda (Morrow 1986). Apabila induk-induk bangsa sapi Zebu menyusui anak, estrus pertama setelah beranak dapat terhambat dan terjadi empat sampai enam bulan setelah beranak. Estrus pertama ini akan lebih terlambat jika ternak-ternak induk tersebut digembalakan dipadang rumput yang kurang berkualitas, defisiensi fosfor dan mineral essensial lainnya. Pada kasus-kasus demikian ovarium secara ekstrim mengecil dan folikel tersier bahkan CL tidak dapat dideteksi melalui palpasi rektal (Kune 1998).

Bos indicus lebih adaptif didaerah tropis dan lebih tahan cekaman panas dari pada Bos taurus karena biasanya mempunyai ukuran tubuh yang lebih kecil, permukaan kulit yang licin, mempunyai kelenjar keringat yang banyak dan memiliki tingkat kehilangan panasyang rendah ( Turner 1980). Brahman sebagai salah satu sapi Bos indicus asli, lebih resisten pada kondisi tropis dengan

Dokumen terkait