• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “ Penampilan Reproduksi Sapi Persilangan F1 dan F2 Simental serta Hubungannya dengan Kadar Hormon Estrogen dan Progesteron pada Dataran Tinggi Sumatera Barat” adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, 13 Agustus 2007

Y a n h e n d r i NIM. B051050021

ABSTRAK

YANHENDRI. Penampilan Reproduksi Sapi Persilangan F1 dan F2 Simental serta Hubungannya dengan Kadar Hormon Estrogen dan Progesteron Pada Dataran Tinggi Sumatera Barat. Dibimbing oleh TUTY LASWARDI YUSUF dan MOHAMAD AGUS SETIADI.

Upaya peningkatan kemampuan produksi sapi lokal PO sebagai sapi Bos indicus telah dilakukan melalui persilangan dengan sapi Bos taurus salah satunya adalah Simental. Hasil persilangan mempunyai performan yang sangat baik dan disukai masyarakat, sehingga kandungan darah Simental terus ditingkatkan melalui metode Back cross. Kemampuan reproduksi ternak selain dipengaruhi faktor genetik juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan terutama temperatur, pakan dan pemeliharaan. Lingkungan juga akan mempengaruhi level hormon estrogen dan progesteron sebagai hormon utama pada saat estrus dan terjadinya kebuntingan. Daya dukung lingkungan tropis akan berkurang terhadap sapi persilangan Simental seiring dengan peningkatan kandungan darah sapi tersebut pada sapi lokal. Sejauh ini sangat sedikit laporan mengenai kemampuan reproduksi sapi persilangan Simental, sehingga penelitian ini ditujukan untuk mengevaluasi efisiensi reproduksi, mengevaluasi intensitas estrus dan tingkat kebuntingan serta mengevaluasi level hormon estrogen dan progeteron sapi persilangan F1 dan F2 Simental.

Sebanyak 40 ekor sapi digunakan untuk mengevaluasi intensitas estrus dan tingkat kebuntingan, masing-masing 13 ekor F1 Simental 17 ekor F2 Simental dan 10 ekor lokal PO sebagai kontrol. Intensitas estrus yang diukur meliputi perubahan tingkah laku, perubahan vulva, cairan serviks dan ereksi uterus. Juga dilakukan pengukuran estrus dengan heat detector, kemudian sapi-sapi ini diinseminasi. Sebanyak 27 ekor sapi bersiklus normal digunakan untuk mengetahui kadar hormon estrogen dan progesteron, masing-masing 9 ekor untuk ketiga bangsa sapi. Pengambilan sampel darah untuk mengetahui kadar estrogen dilakukan sehari sebelum estrus, pada saat estrus dan inseminasi dan sehari setelah estrus, level progesteron pada hari ke 12, 21 dan 24 setelah inseminasi. Selain pengamatan, juga digunakan metode survei untuk mengetahui kemampuan reproduksi pada 268 ekor sapi yang terdiri dari 100 ekor F1 Simental, 100 ekor F2 Simental dan 68 ekor sapi lokal PO sebagai kontrol. Data survei meliputi service perconception (S/C) dara, estrus setelah melahirkan, waktu kawin setelah melahirkan, S/C induk serta calving interval (CI).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar sapi penelitian ( 80% pada PO, 76,9% pada F1 Simental dan 70,2% pada F2 Simental) mempunyai siklus estrus normal antara 18 – 24 hari. Pada umumnya intensitas estrus PO, F1 Simental dan F2 Simental berlangsung dengan jelas, pada seluruh parameter pengamatan terdapat 70% sampai lebih dari 90% dengan intensitas sedang (nilai 2) sampai intensitas tinggi (nilai 3). Terlihat rataan intensitas estrus yang tinggi pada lendir serviks yaitu 2,30±0,67 pada PO, 2,46±0,66 pada F1 dan 2,35±0,61 pada F2 serta pada ereksi uterus yaitu 2,40±0,52 pada PO, 2,54±0,52 pada F1 dan 2,35±0,61 pada F2 dan dapat dijadikan patokan utama terjadinya estrus sekaligus sebagai pedoman dalam mengawinkan sapi. Kadar estrogen saat estrus pada ketiga bangsa sapi cukup rendah yaitu 3,03±0,75 pg/ml pada PO, 2,86±0,090 pg/ml pada F1 Simental dan 2,94±1,25 pg/ml pada F2 Simental. Walaupun

demikian ketiga bangsa sapi mampu memunculkan gejala estrus yang jelas. Dari korelasi kadar estrogen dengan intensitas estrus, terlihat bahwa korelasi yang nyata (P<0,05) pada ketiga bangsa sapi (r=0,91) hanya pada ereksi uterus. Korelasi yang lebih baik juga terlihat pada perubahan vulva dan lendir serviks, namun korelasinya agak rendah pada F2 Simental. Kadar hormon progesteron pada ketiga bangsa sapi cukup baik, kadarnya hari ke 21 dan ke 24 lebih dari 6 ng/ml. Pada penelitian ini terlihat bahwa Sapi PO bunting apabila kadar progesteron ≥ 7,41 ng/ml, F1 Simental ≥ 6,13 ng/ml dan F2 Simental ≥ 3,96 ng/ml. Sapi PO tidak bunting apabila kadar progesteron ≤ 1,02 ng/ml, F1 Simental 2,79 ng/ml dan F2 Simental 0,33 ng/ml. Kadar progesteron pada hari ke 12 tidak mencerminkan keterkaitan dengan kebuntingan. Dari penelitian ini terlihat bahwa untuk menentukan kebuntingan dini dapat digunakan analisa kadar progesteron hari ke 21 dan hari ke 24. Hasil pengukuran heat detector menunjukkan bahwa perkawinan dengan mengacu kepada aturan pelaksanaan perkawinan 8 sampai 10 jam setelah onset estrus, ternyata relatif agak terlambat dan terjadi sebesar 90% pada PO, 77% pada F1 dan 65% pada F2. Tingkat kebuntingan F1 Simental lebih baik (62%) dibandingkan PO (40%) maupun F2 Simental (41%) dan mempunyai korelasi yang nyata (P<0,05) dengan kadar progesteron pada hari ke 21 dan 24 setelah inseminasi. Kemampuan reproduksi sapi F1 Simental cenderung lebih baik terutama dilihat dari nilai service perconception (S/C) induk yaitu 1,93±0,86 dibandingkan F2 Simental 2,52±0,72 dan PO 1,93±0,98, maupun dilihat dari nilai calving interval (CI) yaitu 15,96±2,33 bulan dibandingkan F2 Simental 17,86±3,37 bulan dan PO 16,97±2,34 bulan. Secara umum terlihat bahwa penampilan reproduksi pada F1 Simental lebih baik dari F2 Simental dan PO.

Kata kunci : Persilangan Simental, reproduksi, estrus, bunting, estrogen, progesteron

ABSTRACT

YANHENDRI. Reproductive Performance of F1 and F2 Simmental Cross Cows and Its Relationship with Estrogen and Progesteron Levels at West Sumatera Highland. Under the direction of TUTY LASWARDI YUSUF and MOHAMAD AGUS SETIADI.

The local PO is Bos indicus cattle and widely spread in Indonesia including in West Sumatera. To increase production of local PO, it has been done by crossing with Bos Taurus cattle, such as Simmnental. The result of those crossing is F1 (PO x Simmental) have a good performance and very popular. Furthermore to increase F1 Simmental performance, it has been done by back crossing method with Simmental. However the reproductive performance of offspring (F2) have not been yet studied. It is known that the reproductive ability is also influenced by several factors such as environmental temperature, nutrition and management. The aim of this study was to evaluat the reproductive performance by measuring estrous intensity and pregnancy rate and measuring two main reproductive hormones such as estrogen and progesteron on F1 Simmental, F2 Simmental and PO.

Forty cattle were used to evaluate estrus intensity and pregnancy rate, consisting of 13 F1 Simmental, 17 F2 Simmental and 10 PO respectively. Estrous intensity is measured based on behavior changing, vulva changing, number of cervical mucus and uterine erection by rectal palpation. Heat detector was used to determine a fix time for Airtificial Insemination (AI). Estrogen and progesteron level were measured on 27 cows, consisting of 9 F1 Simmental, 9 F2 Simmental and 9 PO respectively. Blood sample for estrogen analysis were collected one day before and after estrus, and on day of estrus. Whereas progesteron level were collected on day 12, 21 and 24 after AI. Hormonal analysis was done by RIA method. Reproductive ability of 268 cows consisting of 100 F1 Simmental, 100 F2 Simmnetal and 68 PO respectively were obtained by questioner.

The result this study revealed that estrous cycle of three breed cattle last from 18 to 24 day ( 80% in PO, 76,9% in F1 and 70,2% in F2). Estrous intensity are generaly clear (70% - 90% ) in PO, F1 and F2 Simmental, ranged from moderat (score 2) to hight (score 3). The mean high intensity of estrus were observed at servical mucus (2,30±0,67) in PO, (2,46±0,66) in F1 and (2,35±0,61) in F2 simmental, and also in uterine erection (2,40±0,52) in PO, (2,54±0,52) in F1 and (2,35±0,61) in F2 Simmental. It seem those parameter can be used as an indicator to detect estrus for suitable mating time. Although estrogen levels on day of estrous relatively lower (3,03±0,75 pg/ml) in PO, (2,86±0,09 pg/ml) in F1 and (2,94±1,25 pg/ml) in F2 Simmental, but the cattle showed clear estrus intensity. It is proved that statistical analyzed revealed a high correlation with vulva changing, servical mucus and uterine erection. The mean progesteron levels on day 21 and day 24 after AI were more than 6 ng/ml in PO, F1 and F2 Simmental. Based on the data from this study, the progesteron level on pregnant cattle on day 21 after AI will be at ≥ 7,41 ng/ml in PO, ≥ 6,13 ng/ml in F1 Simmental and ≥ 3,96 ng/ml in F2 Simmental respectively. Whereas non pregnant cattle will be ≤ 1,02 ng/ml in PO, ≤ 2,79 ng/ml in F1 Simmental and ≤ 0,33 ng/ml F2 Simmental respectively. According to heat detector measurement showed that AI on 8 – 10 h after onset of estrus was late. Pregnancy rate was higher (62%) in

F1 Simmental compared with F2 Simmental (41%) and PO (40%) and high correlation with progesteron levels on day 21 and 24 after AI. Therefore progesteron level measurement on day 21 and 24 can be used for early pregnancy diagnosis. The reproductive ability of F1 Simmental based on S/C is better (1,93±0,86) than F2 Simmental (2,52±0,72) and PO (1,93±0,90), moreever the CI also better in F1 (15,96±2,33 mth) than F2 Simmental (17,86±3,37 mth) and PO (16,97±2,34 mth). In conclusion, the reproductive performance of F1 Simmental is better than F2 Simmental and PO.

Keywords : Simmental crosses, reproductive, estrus, pregnancy, estrogen, progesteron

@ Hak cipta milik IPB, tahun 2007

Dokumen terkait