• Tidak ada hasil yang ditemukan

Siklus Estrus

Hasil pengamatan terhadap siklus estrus menunjukkan bahwa ketiga bangsa sapi sebagian besar memiliki siklus estrus yang normal antara 18 dan 24 hari. Siklus estrus yang normal menandakan proses reproduksi berlangsung dengan baik, termasuk mekanisme hormonal yang mempengaruhi siklus tersebut. Kendatipun didapatkan sapi dengan estrus yang lebih awal (kurang dari 18 hari) maupun estrus yang terlambat (lebih dari 24 hari), namun jumlahnya relatif sedikit (Tabel 3).

Tabel 3. Persentase lama siklus estrus

Bangsa Sapi Lama siklus estrus (hari) Jumlah < 18 18 – 24 > 24 (%) --- ekor (%)--- PO 1 (10) 8 (80) 1 (10) 10(100) F1 Sim. 3 (23,1) 10 (76,9) 0 ( 0 ) 13(100) F2 Sim. 3 (17,6) 12 (70,2) 2 (12,2) 17(100) Jumlah (%) 7 (17,1) 30 (73,2) 3 (8,7) 40(100)

Data ini juga memberi gambaran bahwa walaupun terjadi peningkatan darah Simental sebesar 75% (pada F2-S) namun sapi-sapi tersebut tetap menunjukkan siklus normal walaupun dipelihara pada lingkungan tropis. Hasil seleksi awal terhadap siklus estrus normal pada setiap sapi penelitian diduga juga mempengaruhi hasil pengamatan ini. Hasil ini tidak berbeda dengan yang dikemukakan Bearden et al (2004) bahwa siklus estrus pada sapi adalah 18 sampai 24 hari dengan rata-rata 21 hari.

Mengetahui siklus normal ini sangat penting dalam suatu usaha peternakan terutama berkaitan dengan program singkronisasi dalam inseminasi buatan. Siklus ini memudahkan dalam penentuan waktu inseminasi buatan, dimana waktu inseminasi ini sangat mempengaruhi keberhasilan perkawinan. Siklus yang tidak normal mengindikasikan terjadi gangguan proses reproduksi termasuk gangguan hormonal yang menyertai proses reproduksi tersebut. Siklus yang tidak normal juga akan menyulitkan program inseminasi, dan mengakibatkan keberhasilan perkawinan yang rendah.

Intensitas Estrus

Intensitas estrus pada penelitian ini diukur berdasarkan pengamatan terhadap; 1) perubahan tingkah laku, 2) perubahan pada vulva, 3) lendir serviks, 4) ketegangan uterus.

Perubahan Tingkah Laku

Pada umumnya ketiga bangsa sapi mampu menunjukkan intensitas perubahan tingkah laku yang jelas selama estrus. Dimana terlihat 69% sampai 80% berada pada intensitas sedang (nilai 2) dan tinggi (nilai 3). Intensitas sedikit rendah terlihat pada F1 Simental dimana 31% pada intensitas kurang (nilai 1), namun secara statistik tidak berbeda dengan kedua bangsa sapi lainnya (Tabel 4).

Tabel 4. Intensitas perubahan tingkah laku pada saat estrus.

Bangsa Rataan Perubahan Intensitas Jumlah Sapi Tingkah Laku 1 2 3 (%) ---ekor (%)---

PO 2,00±0,67a 2(20) 6(60) 2(20) 10(100) F1 Sim. 1,85±0,69a 4(31) 7(54) 2(15) 13(100) F2 Sim. 2,00±0,79a 5(29) 7(42) 5(29) 17(100) Jumlah (%) 11(27,5) 20(50) 9(22,5) 40(100)

Ketr. : Angka yang diikuti huruf superskript berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf uji 5%.

Kendatipun demikian terlihat bahwa sebagian besar sapi (50%) hanya mempunyai intensitas perubahan tingkah laku sedang (nilai 2). Intensitas estrus yang tinggi justru terlihat lebih besar pada sapi persilangan F2 Simental (29%) dibandingkan F1 Simental (15%) dan F2 Simental (20%).

Hal ini berarti pemasukan darah Simental sebesar 50% pada sapi lokal PO sedikit menurunkan intensitas perubahan tingkah laku, namun pemasukan sebesar 75% justru meningkatkan kembali perubahan tingkah laku, walaupun perubahan tersebut tidak nyata secara statistik.Tidak nyatanya perbedaan ini diduga karena sebelum diamati ternak disinkronisasi menggunakan PGF2α, untuk mengetahui siklus estrus normal pada masing-masing sapi, dengan diketahuinya siklus normal tersebut maka pengamatan terhadap gejala estrus dapat dilakukan dengan lebih

baik. Menurut Smith (1987) sinkronisasi dapat mempermudah deteksi estrus dan mengeliminasi kesalahan deteksi estrus.

Perubahan tingkah laku sering digunakan sebagai patokan awal oleh peternak terhadap datangnya estrus. Kebanyakan mereka mempedomani penurunan nafsu makan dan kecenderungan sapi untuk bersuara. Karena perubahan tingkah laku ini merupakan gejala awal estrus, maka dalam menentukan waktu inseminasi sebaiknya disertai pengamatan terhadap parameter estrus lainnya, karena perubahan tingkah laku bukanlah saat puncak terjadinya estrus. Seringkali perubahan tingkah laku yang sama ditunjukkan sapi karena sebab lain, seperti terganggunya kesehatan, terpisah dari anak, maupun sebab lainnya.

Pemeliharaan yang sama pada petak kandang yang terpisah serta dengan pemberian pakan yang sama diduga menyebabkan pola perubahan tingkah laku yang sama pula pada ketiga bangsa sapi. Petak kandang yang terpisah menyebabkan tidak terjadi interaksi antar sapi sehingga ekspresi perubahann tingkah laku terutama yang berhubungan dengan tingkah laku seksual sebagai ekspresi interaksi dengan individu lain, seperti memanjat, mencium ataupun diam dinaiki tidak muncul pada sapi penelitian ini. Gejala-gejala tersebut sangat penting dalam keberhasilan perkawinan dan efisiensi reproduksi seekor ternak (Lopez et al. 2004).

Perubahan Vulva

Dari pengamatan terhadap perubahan vulva didapatkan bahwa ketiga bangsa sapi menunjukkan perubahan vulva yang jelas, dimana lebih dari 80% berada pada intensitas sedang (nilai 2) dan intensitas tinggi (nilai 3). Intensitas yang agak rendah (nilai 1) terlihat pada PO dengan jumlah mencapai 20% , namun secara statistik tidak berbeda pada ketiga bangsa sapi (Tabel 5).

Perubahan vulva biasanya muncul menyertai perubahan tingkah laku. Sebagian besar peternak mampu mendeteksi perubahan vulva pada sapinya saat estrus. Pada penelitian ini perubahan vulva diamati setelah pengamatan perubahan tingkah laku. Semua sapi terlihat mengalami perubahan vulva yang jelas, karena

pengamatan yang dilakukan sangat intensif. Perubahan vulva juga menunjukkan aktifitas estrogen yang sedang berlangsung pada saat estrus.

Tabel 5. Intensitas perubahan vulva pada saat estrus

Bangsa Rataan Perubahan Intensitas Jumlah Sapi Vulva 1 2 3 (%) ---ekor(%)--- PO 1,90±0,57a 2(20) 7(70) 1(10) 10(100) F1 Sim 2,23±0,72a 2(15) 6(46) 5(39) 13(100) F2 Sim 2,35±0,61a 1(6) 9(53) 7(41) 17(100) Jumlah (%) 5(12,5) 22(55) 13(32,5) 40(100)

Ketr. : Angka yang diikuti huruf superskript berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf uji 5%. *) nyata pada taraf uji 1%. **) nyata pada taraf uji 5%

Dari tabel diatas terlihat bahwa sebenarnya dengan pemasukan darah Simental sebesar 50% terjadi peningkatan rataan perubahan vulva, pemasukan darah Simental sebesar 75% akan memperjelas lagi perubahan vulva, walaupun perubahan ini tidak nyata secara statistik. Frekuensi penyebaran juga memperlihatkan 41% sapi persilangan F2 Simental berada pada perubahan vulva dengan nilai 3, lebih baik dibandingkan dengan F1 Simental (39%) maupun sapi lokal PO(10%).

Perubahan vulva biasanya muncul menyertai perubahan tingkah laku. Sebagian besar peternak mampu mendeteksi perubahan vulva pada sapinya saat estrus. Pada penelitian ini perubahan vulva diamati setelah pengamatan perubahan tingkah laku. Semua sapi terlihat mengalami perubahan vulva yang jelas, karena pengamatan yang dilakukan sangat intensif. Perubahan vulva juga menunjukkan aktifitas estrogen yang sedang berlangsung pada saat estrus.

Walaupun hasil pengamatan menunjukkan intensitas yang agak rendah pada PO (20% dengan nilai 1), tapi angkanya tidak berbeda banyak dengan kedua bangsa sapi lainnya. Nilai yang agak rendah ini barangkali disebabkan karena vulva pada PO agak lebih kecil dibandingkan F1 dan F2 Simental dan ini juga akan menyebabkan pembuluh darah yang lebih sedikit ataupun kecil pada mucosa. Pemeliharaan secara intensif dikandang memungkinkan untuk membuka labia mayor vulva sehingga pengamatan perubahan mucosa juga dapat dilakukan dengan baik. Selama periode estrus vulva pada ternak akan membangkak sebagai

akibat panahanan pengeluaran air dan garam, sedangkan perubahan warna merah pada mucosa terjadi karena adanya peningkatan sirkulasi darah pada vulva. Mempedomani hasil pengamatan perubahan vulva ini, dapat dikatakan bahwa perubahan vulva ini juga dapat dijadikan sebagai pedoman terjadinya estrus pada ketiga bangsa sapi. Hal ini sesuai dengan pendapat Senger (1999) yang menyatakan bahwa selama estus estradiol akan mempengaruhi organ reproduksi betina, terutama uterus, vulva dan vagina.

Lendir Serviks

Hasil pengamatan terhadap lendir serviks terlihat ketiga bangsa sapi mampu menunjukkan intensitas yang jelas dengan persentase lebih dari 90%. Walaupun terlihat nilai yang agak rendah pada PO (10% dengan nilai 1) namun dari rataan terlihat semuanya berada pada kisaran nilai 2 sampai 3 (Tabel 6).

Tabel 6. Intensitas lendir serviks pada saat estrus

Bangsa Rataan Lendir Intensitas Jumlah Sapi Serviks 1 2 3 (%) ---ekor (%)--- PO 2,30±0,67a 1(10) 5(50) 4(40) 10(100) F1 Sim 2,46±0,66a 1(8) 5(38) 7(54) 13(100) F2 Sim 2,35±0,61a 1(6) 9(53) 7(41) 17(100) Jumlah (%) 3(7,5) 19(47,5) 18(45) 40(100)

Ketr. : Angka yang diikuti huruf superskript berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf uji 5%. *) nyata pada taraf uji 1%. **) nyata pada taraf uji 5%.

Pada sapi, lendir serviks terlihat dengan jelas berwarna putih transparan kental dan biasanya menggantung di vulva atau pangkal ekor (Hafez dan Hafez 2000). Pada semua sapi penelitian terjadi pengeluaran lendir dengan warna yang sama namun dengan intensitas yang berbeda. Sapi pesilangan F1 Simental cenderung mengeluarkan lendir serviks lebih banyak dan jelas dibandingkan kedua bangsa sapi lainnya. Disamping itu juga terlihat bahwa F1 Simental cenderung mempunyai intensitas lendir yang lebih besar ( 54%) pada nilai 3, dibandingkan dengan PO (40%) dan F2 Simental (41%).

Melihat nilai yang relatif sama pada pengeluaran lendir serviks ini, dapat dikatakan bahwa pemasukan darah Simental sampai 75% pada sapi PO tidak mempengaruhi pengeluaran lendir serviks. Sapi-sapi persilangan dengan

kandungan darah Simental sebesar 75% masih mampu beradaptasi dengan baik terhadap pakan dan lingkungan tropis, sehingga mekanisme kerja hormon estrogen tetap berlangsung baik dan mampu mengeluarkan lendir serviks dengan jelas.

Sistim pemeliharaan yang intensif dengan pakan yang relatif sama akan memudahkan pemantauan pengeluaran lendir pada semua bangsa sapi. Menurut Hurnik dan King (1987), pengeluaran lendir serviks merupakan indikator minoritas pada tingkah laku estrus karena biasanya tidak konsisten pada setiap siklus estrus, pada saat estrus penampakan berkisar 62% namun konsistensinya pada siklus berikut hanya 29%. Namun demikian Senger (1999) menyatakan bahwa selama estrus serviks akan memproduksi lendir, pada sapi lendir yang diproduksi terdiri dari dua tipe yaitu sialomucin yang mempunyai kekentalan yang rendah dan sulfomucin dengan kekentalan yang tinggi. Sulfomucin berfungsi untuk membersihkan saluran reproduksi dan seleksi spermatozoa yang mati, sedangkan sialomucin sebagai media untuk berenang bagi spermatozoa.

Ereksi Uterus

Hasil pemeriksaan terhadap ereksi uterus pada saat dilakukan inseminasi buatan memperlihatkan bahwa ketiga bangsa sapi mempunyai ereksi uterus yang baik, dimana lebih dari 90% berada pada intensitas yang sedang (nilai 2) sampai tinggi (nilai 3) (Tabel 7). Dari rataan nilai ereksi uterus juga terlihat nilai yang hampir sama, yaitu 2,40±0,52 pada sapi lokal PO, 2,54±0,52 pada sapi persilangan F1 Simental dan 2,35±0,61 pada sapi persilangan F2 Simental dan secara statistik tidak berbeda (P>0.05) pada ketiga bangsa sapi.

Tabel 7. Intensitas ereksi uterus pada saat estrus

Bangsa Rataan Ereksi Intensitas Jumlah Sapi Uterus 1 2 3 (%) ---ekor (%)--- PO 2,40±0,52a 0(0) 6(60) 4(40) 10(100) F1 Sim 2,54±0,52a 0(0) 6(46) 7(54) 13(100) F2 Sim 2,35±0,61a 1(6) 9(53) 7(41) 17(100) Jumlah (%) 1(2,5) 21(52,5) 18(45) 40(100)

Ketr. : Angka yang diikuti huruf superskript berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf uji 5%. *) nyata pada taraf uji 1%. **) nyata pada taraf uji 5%.

Dari rataan terlihat bahwa sapi persilangan F1 Simental mempunyai rataan ereksi uterus yang lebih tinggi dibandingkan kedua bangsa sapi lainnya walaupun tidak berbeda nyata. Demikian pula dengan persentasenya, dimana 54% sapi persilangan F1 Simental mempunyai ereksi uterus dengan nilai 3, lebih tinggi dibanding kedua bangsa sapi lainnya yang masing-masing 40% untuk sapi lokal PO dan 41% untuk sapi persilangan F2 Simental.

Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa sebenarnya intensitas estrus yang sangat jelas terlihat pada ereksi uterus. Pemeriksaan ereksi uterus hanya dapat dilakukan oleh petugas terlatih seperti insemintor, tidak dapat dilakukan oleh petani ternak, maka indikator terjadinya estrus oleh peternak hanya dapat mempedomani perubahan tingkah laku, perubahan vulva dan lendir serviks. Dari tiga parameter tersebut, parameter yang cukup jelas pada ketiga bangsa sapi adalah lendir serviks. Namun tidak tertutup kemungkinan untuk selanjutnya juga dilakukan pemeriksaan ketegangan uterus sebelum inseminasi oleh inseminator, agar keberhasilan perkawinan lebih baik.

Ereksi uterus yang tinggi akan menyebabkan lebih banyak spermatozoa yang mencapai oviduk, selain daripada itu kehilangan spermatozoa dalam proses perjalanan untuk mencapai fertilisasi dapat dikurangi. Senger (1999) menyatakan bawa estradiol yang tinggi pada fase folikular dimana pada saat itu dilakukan inseminasi, akan menyebabkan kontraksi muskularis khususnya myometrium, kontraksi ini akan mendorong spermatozoa baik dari depan maupun dari belakang.

Pengukuran Heat Detector

Pada penelitian ini umumnya perkawinan yang dilaksanakan sedikit terlambat apabila mengacu kepada standar heat detector dimana perkawinan terbaik harus berlangsung pada kisaran 30 sampai 40 ohm. Hasil pengukuran heat detector memperlihatkan bahwa hanya 10% sapi lokal PO dikawinkan pada saat yang tepat (pengukuran menunjukkan angka 30-40 ohm), sedangkan 90% dikawinkan agak terlambat dimana angka pengukuran berkisar antara lebih dari 40 ohm sampai 45 ohm. Pada sapi persilangan F1 Simental hanya 23% sapi yang dikawinkan pada kisaran 30 ohm sampai 40 ohm, sedangkan 77% dikawinkan terlambat dan berada pada kisaran 40 ohm sampai 45 ohm. Kondisi yang sama

terjadi pada sapi persilangan F2 Simental, dimana hanya 29% sapi dikawinkan pada kisaran 30 ohm sampai 40 ohm, 6% dibawah 30 ohm dan 65% dikawinkan terlambat pada kisaran 40 sampai 45 ohm (Tabel 8).

Tabel 8. Persentase deteksi estrus menggunakan heat detector serta korelasinya dengan tingkat kebuntingan.

Bangsa Sapi Deteksi Estrus (ohm) Korelasi (r) dg. Tk.Kebuntingan < 30 30-40 >40-60 30-40 >40-60 ---ekor (%)--- PO 0(0) 1(10) 9(90) -- -0,82** F1 Sim. 0(0) 3(23) 10(77) -0,27 -0,86** F2 Sim. 1(6) 5(29) 11(65) 0,61 -0,41 Jumlah (%) 1(2,5) 9(22,5) 30(75)

Ketr. : **) nyata pada taraf uji 5%

Terlambatnya perkawinan pada sebagian besar sapi mungkin disebabkan deteksi onset estrus dengan rentang waktu perkawinan kurang akurat. Sebagian besar estrus terdeteksi pada pagi hari dan sapi dikawinkan 8 sampai 10 jam kemudian. Diduga estrus yang terdeteksi pada pagi hari tersebut telah berlangsung mulai dini hari, sehingga patokan waktu 8 sampai 10 jam yang digunakan menyebabkan perkawinan terlambat. Menurut Thatcher dan Collier (1987), kalau aktifitas estrus berlangsung pada malam hari sering kali tidak terdeteksi. Ditambakan Lopez et al.(2004), bahwa rata-rata keberhasilan deteksi estrus yang rendah (<50%) pada sebagian sapi perah di Amerika Serikat sudah diidentifikasi sebagai faktor yang dominan penyebab inefisiensi reproduksi.

Apabila onset estrus terdeteksi pada pagi hari, sebaiknya diikuti pemantauan perubahan vulva dan cairan vagina agar penentuan waktu perkawinan menjadi lebih akurat. Jika tetap memakai patokan pengamatan estrus pada pagi hari sebaiknya sapi dikawinkan lebih cepat.

Karena hasil pengukuran heat detector menunjukkan keterlambatan pelaksanaan perkawinan, maka terlihat korelasi negatifnya dengan tingkat kebuntingan. Korelasi dengan tingkat kebuntingan pada pengukuran antara 30-40 ohm pada PO tidak terjadi karena hanya ada satu sapi yang bunting pada kisaran nilai tersebut, sedangkan pada F1 Simental terjadi korelasi negatif (r = 0,27) korelasi ini mengindikasikan semakin dekat nilai pengukuran kepada 40 ohm

hanya 27% kemungkinan terjadi kebuntingan. Pada F2 terdapat korelasi positif yang cukup besar (r = 0,61), kendatipun tidak nyata hasil ini menunjukkan bahwa F2 Simental 61% kebuntingan dapat terjadi pada pengukuran 30-40 ohm.

Pada pengukuran heat detector dengan kisaran lebih besar dari 40 ohm, terdapat korelasi negatif yang sangat nyata pada PO (r = 0,82) dan F1 Simental (r = 0,86). Hasil ini menjelaskan bahwa kebuntingan dapat terjadi sebesar 82% pada PO dan 86% pada F2, namun dengan nilai pengukuran yang mendekati 40 ohm. Apabila nilai pengukuran semakin jauh dari 40 ohm, peluang ketidak buntingan akan lebih besar. Walaupun pengukuran tidak berada pada nilai optimum sesuai standar perkawinan terbaik (30 ohm -40 ohm), namun pada sapi PO dan F1 Simental keberhasilan perkawinan tetap tinggi pada nilai pengukuran sedikit lebih besar dari 40 ohm. Hasil ini juga menunjukkan cenderung terjadi pergeseran siklus estrus, sebagai akibat lamanya estrus pada sapi persilangan ini.

Kadar Hormon Estrogen dan Progesteron

Kadar hormon estrogen sangat penting pada waktu estrus, dimana estrogen yang berperan adalah estradiol. Peningkatan kadar estrogen mengindikasikan proses pertumbuhan folikel berlangsung dengan baik, dan memungkinkan terjadinya ovulasi. Walaupun pada hakikatnya ovulasi hanya dipengaruhi peningkatan LH, namun dengan kadar estrogen yang tinggi diharapkan juga terjadi peningkatan LH. Sedangkan progesteron penting pada waktu implantasi dan menjaga kebuntingan, penigkatan kadar progesteron pada fase luteal (termasuk hari ke 12 setelah estrus) mengindikasikan CL mampu mengeluarkan progesteron dengan baik dan berpotensi dalam menjaga kebuntingan (Bearden et al. 2004).

Kadar Estrogen

Pengukuran kadar estrogen dalam hal ini estradiol dilakukan sehari sebelum estrus dan inseminasi (H-1), pada saat estrus dan inseminasi (H-0) serta sehari setelah inseminasi (H+1) (Tabel 9). Secara umum kadar estrogen cukup rendah pada ketiga bangsa sapi dan tidak berbeda nyata (P>0,05) untuk semua hari pengukuran.

Tabel 9. Rataan kadar hormon estrogen pada sehari sebelum estrus (H-1), saat estrus (H-0) dan sehari setelah estrus (H+1).

Bangsa Sampel Rataan Kadar Estrogen (pg/ml) . Sapi (n) H-1 H-0 H+1 PO 9 1,98±0,44a 3,03±0,75 a 2,26±0,60a F1 Sim. 9 2,32±0,70a 2,86±0,90a 2,16±0,39a F2 Sim. 9 2,14±0,53a 2,94±1,25a 2,05±0,61a

Ketr. : Angka yang diikuti huruf superskript berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf uji 5%.

Rataan kadar estrogen memperlihatkan bahwa pada ketiga bangsa sapi terjadi peningkatan dari sehari sebelum estrus dibandingkan dengan rataan pada saat estrus, namun peningkatan kadar estrogen ini hanya dalam jumlah sedikit, tidak sampai lebih besar dari 6 pg/ml sebagaimana yang dikemukakan Savio et al (1993). Demikian pula kadarnya sehari setelah estrus mengalami penurunan namun juga dalam jumlah yang sedikit, tidak sampai lebih rendah dari 2 pg/ml sebagaimana yang dikemukakan Suderland et al. (1994). Rataan kadar estrogen saat estrus pada sapi PO adalah 3,03±0,75 pg/ml sedangkan kadar terendah saat estrus adalah 1,82 pg/ml (Lampiran 1). Pada sapi F1 Simental rataan kadar estrogen saat estrus adalah 2,86±0,90 pg/ml dengan kadar terendah, 1,88 pg/ml (Lampiran 1). Sedangkan sapi F2 Simental mempunyai rataan kadar estrogen saat estrus 2,94±1,25 pg/ml dengan kadar terendah 2,04 pg/ml (Lampiran 1) (Gambar 5). Hasil ini mengindikasikan bahwa sapi PO akan estrus apabila kadar estrogennya lebih besar atau sama dengan 1,82 pg/ml, sapi persilangan F1 simental akan estrus apabila kadar estrogennya lebih besar atau sama dengan 1,88 pg/ml dan sapi persilangan F2 Simental akan estrus apabila kadar estrogennya lebih besar atau sama dengan 2,04 pg/ml.

Pemasukan darah Simental kepada sapi lokal PO sebesar 50% mempertinggi kadar estrogen, pemasukan sampai 75% lebih mempertinggi lagi kadar estrogen terutama pada saat estrus. Rataan kadar estrogen yang didapat pada penelitian ini relatif lebih rendah dari yang dikemukakan Savio et al. (1993), dimana konsentrasi estrogen meningkat lebih dari 12 pg/ml pada saat estrus dan menurun kurang dari 2 pg/ml setelah estrus pada sapi Holstein, juga lebih rendah dari yang dikemukakan Sunderland et al. (1994), bahwa kadar estrogen meningkat lebih dari 6 pg/ml saat estrus dan menurun kurang dari 2 pg/ml sehari setelah estrus

serta kemudian berada pada kadar basalnya yaitu kurang atau sama dengan 0,5 pg/ml pada sapi potong Boss taurus.

Rendahnya kadar hormon estrogen pada saat estrus ini mungkin disebabkan faktor genetik, ukuran folikel dominan, cekaman panas, dan kondisi tubuh pada saat estrus. Secara genetik sapi Bos indicus maupun persilangannya diduga mempunyai ukuran folikel yang lebih kecil dari sapi Bos taurus sesuai ukuran tubuhnya yang juga relatif lebih kecil. Ukuran folikel terutama folikel dominan berpengaruh terhadap kadar estrogen. Pendapat ini didukung hasil penelitian Sartori et al. (2004), dimana didapatkan kadar estradiol maksimal pada induk sapi adalah 7,9±0,8 pg/ml dan ditemukan pada ukuran folikel ovulasi yang besar (16,8±0,5 mm), ditambahkan Lopez et al.(2004) bahwa produksi susu lebih berpengaruh dari pada ukuran folikel terhadap kadar estrogen saat estrus pada sapi perah.

Wolfenson et al (1995) menyatakan bahwa cekaman panas yang tinggi akan menurunkan ukuran folikel dominan dan menekan kadar estradiol dalam plasma darah. Pendapat ini didukung Gilad et al. (1993) yang menyatakan bahwa cekaman panas akan menurunkan kadar LH, sebagai akibat menurunnya kadar estradiol dalam darah. Pada penelitian ini skor kondisi tubuh sapi yang digunakan adalah 2 sampai 3 dengan skala 1 sampai 5. Adanya skor 2 diduga turut memperkecil kadar estrogen pada sapi penelitian. Hal ini didukung pendapat Bastos et al.(2004) yang menyatakan bahwa sapi dengan skor kondisi tubuh 2 hanya 20% memperlihatkan ejala estrus pada siklus normal, dibandingkan 50% pada sapi dengan skor kondisi tubuh 3. Sedangkan Rhodes et al. (1995) menyatakan sapi yang kehilangan berat badan cenderung mempunyai ukuran folikel dominan lebih kecil. Penurunan kadar estrogen sehari seteleh estrus juga terjadi dalam jumlah sedikit yaitu antara 1,604 pg/ml sampai 3,154 pg/ml pada sapi lokal PO, 1,445 pg/ml sampai 2,739 pg/ml pada F1 Simental dan 1,411 pg/ml sampai 2,901 pg/ml pada sapi F2 Simental. Hal ini mungkin disebabkan lamanya periode estrus pada sapi persilangan Simental. Menurut Rahmawati (2002) lama estrus pada sapi persilangan simental berkisar antara 6 sampai 36 jam.

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 H-1 H-0 H+1 Hari Estrus E s tr ogen ( p g/m l) PO F1 F2

Gambar 5. Kadar hormon estrogen sehari sebelum estrus, pada saat estrus dan sehari setelah estrus sapi persilangan F1 dan F2 Simental dan PO.

Kadar Progesteron

Pengukuran kadar progesteron dilakukan pada hari ke 12, hari ke 21 dan hari ke 24 setelah inseminasi. Rataan kadar progesteron pada ketiga bangsa sapi terlihat pada (Tabel 10). Secara statistik kadar progesteron tidak berbeda nyata (P>0,05) pada ketiga bangsa sapi untuk semua hari pengukuran.

Tabel 10. Rataan kadar hormon progesteron bunting dan tidak bunting dan korelasinya dengan tingkat kebuntingan.

Bangsa Sta- Sampel Rataan kadar P4 (ng/ml) Korelasi(r)dg.Tk.Btg. Sapi tus (n) H-12 H-21 H-24 H-12 H-21 H-24 PO. B 4 7,89±1,85a 10,26±3,30a 9,55±3,91a 0,73* 0,93** 0,88** TB 5 3,21±2,80a 0,28±0,41a 0,82±1,00a F1 Sim B 6 7,83±1,50a 8,08±1,42a 8,31±1,63a 0,70* 0,93** 0,95** TB 3 2,74±4,62a 0,98±1,56a 0,69±1,06a F2 Sim B 5 4,65±2,90a 6,72±2,26a 7,61±2,38a 0,05 0,91** 0,85** TB 4 4,42±2,52a 0,16±0,12a 1,90±1,22a

Ketr. : Angka yang diikuti huruf superskript berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf uji 5%. B) bunting, TB) tidak bunting. *) nyata pada taraf uji 1%. **) nyata pada taraf uji 5%.

Rataan kadar progesteron sapi bunting pada PO hari ke 12 setelah inseminasi adalah 7,89±1,85 ng/ml, sapi persilangan F1 Simental 7,83±1,50 ng/ml dan F2 Simental 4,65±2,90 ng/ml, kendatipun tidak berbeda pada ketiga bangsa sapi (P>0,05), namun terlihat kecenderungan penurunan kadarnya dengan

1,98 2,14 2,32 2,86 2,94 3,03 2,05 2,16 2,26

peningkatan kandungan darah Simental (Gambar 6). Kadar progesteron pada hari ke 12 ini juga mempunyai korelasi nyata (P<0,01) terhadap tingkat kebuntingan pada PO (r = 0,73) dan pada F1 Simental (r = 0,70) tapi tidak berkorelasi nyata pada F2 Simental (r = 0,05).

Rataan kadar progesteron bunting hari ke 21 setelah inseminasi adalah 10,26±3,30 ng/ml pada PO, 8,08±1,42 ng/ml pada F1 dan 6,72±2,26 ng/ml pada F2 Simental, kendatipun tidak berbeda secara statistik namun terlihat penurunan kadar progesteron terjadi seiring peningkatan kandungan darah Simental. Pada penelitian terlihat sapi PO bunting mempunyai rataan kadar progesteron 10,26±3,30 ng/ml dimana kadar terendah kebuntingan adalah 7,41 ng/ml, dapat dikatakan PO bunting apabila kadar progesteron sama atau lebih besar dari 7,41

Dokumen terkait