• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sapi Persilangan Simental

Simental merupakan sapi Bos taurus tipe pekerja dengan tubuh yang besar, kuat dengan tulang yang berat. Struktur seperti ini membantunya merumput didaerah pegunungan dimana dia dapat mengatasi kondisi yang keras. Simental persilangan telah populer pada waktu belakangan dimana dia menyusui anaknya dan akan dihasilkan anak dengan kualitas yang tinggi untuk produksi daging (Philips 2001). Ensminger (1987) menyatakan jantan Simental dewasa pada kondisi yang bagus mempunyai berat 1.135 kg sedangkan betina dewasa mencapai 726 kg. Ukuran dan pertumbuhannya yang cepat dengan performan yang baik menyebabkan dia populer.

Sapi Simental berasal dari lembah Siemen yang terletak di perbatasan Jerman dengan Swiss, namun demikian sapi ini berkembang biak dengan baik hampir pada seluruh negara di Eropa terutama di Perancis dan Swiss. Sapi ini memiliki warna kuning sampai merah dengan tanduk dan kuku biasanya berwarna putih. Karena sapi ini merupakan sapi dwiguna, maka pemanfaatannya sebagai penghasil daging terus mengalami peningkatan terutama di Amerika Serikat (Phillips 2001).

Sebagaimana sapi Bos taurus lainnya, sapi Simental akan mencapai dewasa kelamin pada umur 12 bulan dimana pada saat tersebut terjadi pubertas (Taylor dan Field 2004). Umur saat pubertas tergantung kepada kondisi fisik, photoperiod, umur dan bangsa tetua, ada atau tidak adanya heterosis, temperatur lingkungan, berat badan yang sangat berhubungan dengan pakan dan tingkat pertumbuhan setelah disapih (Hafez dan Hafez 2000; Partodihardjo 1982)

Sementara PO merupakan sapi Bos indicus sebagai hasil persilangan sapi Ongole yang berasal dari India (Grup Zebu) dengan sapi jawa yang merupakan sapi lokal Indonesia, namun telah mengalami pemurnian di Indonesia (Sudardjat dan Pambudy 2000). PO merupakan sapi daerah tropis sebagaimana halnya dengan Brahman. Menurut Taylor dan Field (2004) Brahman merupakan bibit yang lebih tahan panas dan tahan terhadap serangan kutu dibandingkan bibit lain. Sedangkan Sudardjat dan Pambudy (2000) menyatakan bahwa sapi Ongole

mempunyai kerangka tubuh yang lebih besar, rata-rata lebih cepat dewasa kelamin dan jinak.

Sapi PO mempunyai punuk yang cukup besar, gelambir dibawah leher, telinga agak panjang dan menggantung dengan mata besar yang terlihat tenang. Tanduk pendek, kadang hanya terlihat seperti bongkol kecil, namun khusus pada betina tanduknya agak lebih panjang dan mengarah keatas. Bulunya berwarna putih, kadang-kadang putih kehitam-hitaman dengan berat badan pada jantan dewasa sekitar 600 kg dan betinanya sekitar 450 kg (Taylor dan Field 2004).

Sapi PO mencapai pubertas pada umur 12 sampai 18 bulan (Partodihardjo 1987), dengan siklus estrus berkisar antara 29,22 ± 5,79 hari (Sunarjo 1980). Pada beberapa bangsa Zebu (termasuk PO), ukuran dan berat CL lebih rendah dari pada sapi-sapi Bos taurus, akan tetapi kandungan dan konsentrasi hormon progesteron diantara kedua bangsa sapi ini tidak berbeda (Morrow 1986). Apabila induk-induk bangsa sapi Zebu menyusui anak, estrus pertama setelah beranak dapat terhambat dan terjadi empat sampai enam bulan setelah beranak. Estrus pertama ini akan lebih terlambat jika ternak-ternak induk tersebut digembalakan dipadang rumput yang kurang berkualitas, defisiensi fosfor dan mineral essensial lainnya. Pada kasus-kasus demikian ovarium secara ekstrim mengecil dan folikel tersier bahkan CL tidak dapat dideteksi melalui palpasi rektal (Kune 1998).

Bos indicus lebih adaptif didaerah tropis dan lebih tahan cekaman panas dari pada Bos taurus karena biasanya mempunyai ukuran tubuh yang lebih kecil, permukaan kulit yang licin, mempunyai kelenjar keringat yang banyak dan memiliki tingkat kehilangan panasyang rendah ( Turner 1980). Brahman sebagai salah satu sapi Bos indicus asli, lebih resisten pada kondisi tropis dengan temperatur dan kelembaban yang tinggi dibandingkan dengan Holstein dan Angus dari bangsa sapi Bos taurus. Adaptasi ini sangat dipengaruhi oleh sel-sel dan jaringan thermotolerance yang mengatur temperatur tubuh (Lopes et al. 2003). Bos indicus juga produktif didaerah tropis pada kondisi kualitas rumput yang rendah serta lebih tahan terhadap ecto dan endoparasit (Brito et al. 2004).

Peningkatan genetik dari sapi potong bisa dilaksanakan melalui seleksi dan pengaturan perkawinan, peningkatan yang signifikan melalui seleksi hanya akan didapatkan apabila menggunakan tetua yang superior dan kemungkinan terjadinya

heritabilitas yang tinggi (Taylor dan Field 2004). Pada kenyataannya peningkatan genetik lebih ditujukan untuk memilih bangsa sapi yang menguntungkan secara ekonomis dengan berat badan yang tinggi (Fries dan Ruvinsky 2004). Hampir 90% Brahman Cross memperlihatkan gejala estrus pada umur 15 sampai 17 bulan , sedangkan Brahman murni 90% gejala estrus terjadi pada umur 20 bulan (Spitzer 1987).

Persilangan (Cross breeding), didifinisikan sebagai perkawinan hewan yang berbeda bangsanya (Simm 2000). Persilangan bisa mempunyai total efisiensi yang lebih besar sebesar 15 – 25 % dibandingkan dengan tetuanya, yaitu pada tingkat produksi, perkembangan anak, tingkat pertumbuhan dan konversi makanan. Persilangan antara PO dengan Simental disebut juga persilangan dua bangsa berbeda (Ensminger 1987). Persilangan biasanya menggunakan bangsa sapi yang telah diketahui kemampuan produksi dan reproduksinya, adaptif terhadap sumber pakan yang tersedia, sesuai dengan permintaan pasar dan kondisi lingkungan lainnya (Taylor dan Field 2004).

Menurut Simm (2000) persilangan dengan menggunakan bangsa yang berbeda dengan karakteristik yang saling melengkapi, biasanya akan menghasilkan sistim produksi dengan efisiensi dan tingkat keuntungan yang lebih besar. Hal ini kemudian digunakan sebagai dasar untuk menggunakan bangsa yang lebih kecil dengan reproduksi dan sifat keibuan yang baik dan bangsa yang besar dengan pertumbuhan yang baik dan karkas yang baik. Sedangkan Fries dan Ruvinsky (2004) menyatakan bahwa persilangan yang baik ditujukan untuk memanfaatkan betina yang kecil atau sedang ukurannya tetapi juga fertil.

Perkembangan persilangan ini sangat pesat di Amerika Serikat dan Australia, dimana pada awalnya dilakukan antara sesama Bos taurus, baik persilangan sesama sapi tipe potong ataupun tipe potong dengan tipe perah. Namun kemudian berkembang dengan pemanfaatan sapi-sapi Bos indicus terutama Brahman dan sapi-sapi jenis Zebu Lainnya, persilangan seperti ini juga berkembang dengan pesat pada negara-negara berkembang (Phillips 2001). Taylor dan Field (2004) menyatakan lebih banyak produsen daging menggunakan program persilangan untuk mendapatkan keuntungan dari heterosis dalam hubungannya dengan peningkatan genetik. Heterosis merupakan hasil persilangan

dimana keturunan yang dihasilkan mempunyai rata-rata produksi yang lebih baik dibandingkan rata-rata produksi tetuanya (Simm 2000).

Ketika dua bangsa sapi disilangkan, anak yang lahir dinamakan F1 yang mempunyai masing-masing setengah gen dari kedua tetuanya (Simm 2000). F1 mempunyai kandungan darah 50 % berasal dari induk dan 50 % berasal dari jantan (Ensminger 1987). F2 merupakan hasil persilangan dari F1, dapat menggunakan metode Back cross ataupun Criss cross (Simm 2000, Ensminger 1987 dan FAO 2006). F2 akan mempunyai komposisi darah 25% berasal dari bangsa induk awal dan 75% berasal dari bangsa pejantan awal.

Betina (A) Jantan (B) 100% 100%

Anak (F1) Jantan (B) 50%A + 50%B 100%

Anak (F2) 25%A + 75%B

Gambar 1 ; Metoda Back cross untuk menghasilkan persilangan F2 (FAO 2006).

Apabila proporsi darah bangsa sapi eropa sebesar 75% yang didapat melalui metode Back cross, keuntungan genetiknya sudah mendekati sapi-sapi pada populasi awalnya sendiri dan sebenarnya tidak membutuhkan penambahan darah baru lainnya (FAO 2006). Selanjutnya dikatakan bahwa bangsa yang dihasilkan melalui metode crossing akan menghasilkan variasi yang diluar batas, dimana pada kenyataannya peningkatan variasi pada generasi F2 sudah sangat berlebihan, namun demikian hanya variasi genetik yang besar sedangkan karakter, perubahan warna dan morfologi seperti tanduk serta karakter kuntitatif lannya termasuk pertumbuhan hanya sedikit mengalami perubahan terutama antara F1 dan F2.

Pada penelitian di Thailand terhadap persilangan sapi lokal dengan sapi Holstein didapatkan bahwa tidak ada perbedaan tingkat estrus dan keberhasilan inseminasi buatan antara purebreed dengan crossbreed apabila lingkungan diperbaiki dengan menggunakan elektrik fan, water springkling dan pakan dengan kualitas yang lebih baik pada musim panas. Sebaliknya apabila tidak ada perbaikan lingkungan dan pakan maka terjadi penurunan tingkat estrus dan keberhasilan kebuntingan (Pongpiachan et al. 2003).

Pada penelitian di Jepang dengan menggunakan persilangan antara sapi Japanese Black dengan sapi Holstein didapatkan hasil bahwa secara ekonomi keuntungan yang didapat dari persilangan lebih rendah dari pada menggunakan Japanese Black murni, dan persilangan dengan F1 sistem (tanpa backcrossing) lebih menguntungkan daripada metode backcrossing (Kahi dan Hirooka 2006). Sapi-sapi Hereford dari Bos taurus yang disilangkan dengan metode backcrossing pada daerah dengan temperatur dingin dan panas subtropikal mempunyai tingkat reproduksi yang lebih tinggi bila dibandingkan apabila disilangkan secara backcrossing dengan sapi-sapi Bos indicus (Riley et al. 2001).

Pada peternakan rakyat skala kecil di Botswana Afrika ditemukan bahwa tidak ada perbedaan pada selang beranak dan waktu kosong antara sapi lokal (Tswana) dengan persilangan Simental baik pada musim kering maupun selama musim hujan apabila ada perbaikan pakan pada waktu musim kering. Namun demikian calving rate sapi Tswana cenderung lebih tinggi (68,2%) dibandingkan sapi persilangan Simental (62,5%) (Madibela et al. 2001).

Efisiensi Reproduksi

Efisiensi reproduksi merupakan faktor yang sangat penting secara ekonomi dalam suatu usaha peternakan ( James et al. 1992, Wiltbank et al. 2005, Perry 2005a, de-Vries 2006). Efisiensi reproduksi melibatkan banyak aspek diantaranya adalah manajemen pemeliharaan, kualitas pejantan, deteksi birahi yang tepat serta keterampilan petugas apabila dilakukan inseminasi buatan (Bearden et al. 2004). Banyak faktor yang dapat digunakan dalam menentukan efisiensi reproduksi seperti servis per konsepsi, calvinginterval, conception rate dan faktor lain seperti derajat estrus, lama bunting, kemudahan melahirkan (Hafez dan Hafez 2000).

Kegagalan reproduksi dapat diklasifikasikan menjadi tiga hal pokok yaitu, pertama kegagalan karena faktor pengelolaan, termasuk teknis inseminasi, kurang makan, defisiensi mineral dan sebagainya, kedua faktor interen dari ternak itu sendiri seperti kelainan genetik, penyakit reproduksi dan ketiga faktor lain yang bersifat “aksidentil” seperti kecelakaan dan kelainan yang biasanya ditemukan secara sporadis seperti distokia dan torsio uterus (Partodihardjo 1987). Gangguan reproduksi mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam penurunan tingkat populasi.

Salah satu persoalan pada sapi potong di Indonesia adalah ketidak suburan (infertility) yang digambarkan dengan panjangnya calving interval yang disebabkan oleh panjangnya periode anestrus (Pohan dan Talib 2001). Kurang lebih 95% variasi interval kelahiran dan efisiensi reproduksi ditentukan oleh faktor-faktor non genetik yang mempengaruhi organ kelamin betina (Tarmudji et al. 2001). Kegagalan reproduksi sebagian besar ditentukan oleh faktor lingkungan yang terutama meliputi manajemen dan pemberian pakan yang buruk dan kurangnya peranan dokter hewan dalam menanggulangi penyakit reproduksi (Toelihere 1993).

Sapi perah dan sapi potong harus melahirkan anak dengan interval antara 12 sampai 13 bulan untuk mencapai tingkat efisiensi reproduksi secara maksimal dalam hubungannya dengan peningkatan genetik, efektifitas penggunaan inseminasi buatan dan agar diperoleh keuntungan yang lebih besar secara ekonomis (Smith 1987). Rendahnya efisiensi reproduksi biasanya disebabkan oleh dua problem utama yaitu ; 1) Tidak adanya ekspresi estrus atau deteksi estrus yang tidak efisien dan 2) kurangnya tingkat fertilitas betina pada saat terjadinya perkawinan serta kematian embrio, biasanya kejadian ini banyak dijumpai selama periode musim panas (Thatcher dan Collier 1987). Sedangkan Roth et al. (2001) mengatakan bahwa fertilitas sapi selama musim panas lebih rendah sekitar 60% dari pada musim hujan dimana hal ini sangat berhubungan dengan perbedaan temperatur yang tinggi.

Conception rate dihitung berdasarkan perbandingan jumlah sapi yang bunting dibandingkan dengan seluruh sapi yang dikawinkan (Bearden et al. 2004). Sedangkan Hafez dan Hafez (2000) mengatakan bahwa conception rate adalah

jumlah sapi yang bunting dengan satu kali inseminasi dibandingkan dengan jumlah keseluruhan sapi yang diinseminasi.

Conception rate sangat ditentukan jenis ternak serta musim, dimana pada musim hujan conception rate akan lebih tinggi dari pada musim kering (Madibela et al. 2001). Photoperiod, temperatur dan pakan merupakan faktor lingkungan yang sudah diketahui dengan baik berpengaruh terhadap reproduksi (Dunn dan Moss 1992). Jika sapi, domba dan babi dikawinkan selama musim panas, akan menghasilkan angka konsepsi yang rendah. Sapi perah yang disuperovulasi, fertilisasinya lebih rendah pada musim panas dari pada musim hujan (Bearden et al. 2004). Menurut Hafez dan Hafez (2000) untuk sapi, domba dan babi, waktu estrus sangat penting, kenaikan temperatur tubuh bisa menyebabkan terganggunya kapasitasi sperma pada saluran reproduksi betina atau kerusakan embrio tahap cleavage.

Selama musim gugur, ketika temperatur udara sudah menurun dan sapi tidak terpapar pada panas yang lama, CR masih rendah apabila dibandingkan dengan CR pada musim hujan (Roth et al. 2001). Temperatur yang maksimum pada hari berikutnya setelah inseminasi berhubungan negatif dengan CR, namun demikian pada sebagian sapi dara CR dapat mengalami peningkatan (Thatcher dan Collier 1987). Sedangkan pada sapi yang sedang menyusui CR menurun dari sekitar 50% pada musim hujan menjadi kurang dari 20% pada musim panas (Roth et al. 2000).

CR juga berbeda antar bangsa sapi dimana hal ini juga merefliksikan perbedaan respon pengaturan temperatur tubuh selama musim panas. Sapi-sapi dara pada temperatur lingkungan 32,2ºC mempunyai temperatur rektal sekitar 40ºC dimana peningkatan 0,5ºC diatas rata-rata temperatur uterus (38,6 ºC ) pada hari dimana dilakukan inseminasi buatan dan sehari setelah inseminasi (38,3ºC ) akan menurunkan CR sebesar 12,8% dan 6,9% (Thatcher dan Collier 1987).

Stress karena panas sudah diidentifikasi sebagai kasus terbesar pada efisiensi reproduksi yang rendah pada musim panas, kecuali pada sapi Zebu (Bearden et al. 2004). Ensminger (1987) mengatakan pada sapi dan babi terlihat fertilisasi yang minimal pada bulan juni (musim panas) dan fertilisasi maksimal pada bulan november ( musim hujan ). Conception rate menurun dari 52% pada musim hujan menjadi 24% pada musim panas di Israel (Ron et al. 1984). Pada

cekaman panas dengan konsentrasi estradiol yang rendah sekresi gonadotropin lebih rendah dari konsentrasi estradiol yang tinggi (Gilad et al. 1993).

Pemaparan sapi perah pada temperatur yang tinggi selama estrus akan meningkatkan proporsi penundaan perkembangan dan degenerasi embrio pada uterus 7 hari setelah inseminasi (Putney et al. 1989). Hal ini mengindikasikan bahwa sel telur sangat peka terhadap panas ketika dalam persiapan untuk fertilisasi (Lawrence et al. 2004). Mekanisme gangguan pertumbuhan sel telur yang disebabkan oleh panas belum diketahui dengan pasti, namun diduga terjadi penurunan sintesis protein intraselular, perubahan tipe cortical granula dan peningkatan kandungan glutation yang memungkinkan terjadinya perubahan cytoskeleton dan peningkatan produksi radikal bebas (Payton et a.l 2003 ).

Perkembangan folikel juga sangat dipengaruhi stress karena panas , dimana dibutuhkan waktu yang lebih lama yaitu antara 40-50 hari bagi folikel antral kecil untuk berkembang menjadi folikel dominan yang besar (Roth et al. 2001). Untuk mendapatkan selang beranak 12 atau 13 bulan, sapi harus sudah bunting dalam waktu 85 sampai 115 hari setelah melahirkan , dimana waktu kosong yang baik berkisar antara 40 sampai 50 hari (Smith 1987). Secara normal suatu kelompok ternak sapi yang dikelola dengan baik menunjukkan angka konsepsi 65-70% pada perkawinan atau inseminasi pertama dengan jumlah inseminasi perkonsepsi sebanyak 1,3 sampai 1,7 (Tarmudji et al. 2001).

Perbedaan proses fisiologis pada tubuh ternak akan memiliki perbedaan prioritas kebutuhan makanan yang mana prioritas tersebut sangat tergantung kepada umur, status fisiologis yang mana pakan terutama diprioritaskan untuk laktasi, pertumbuhan ataupun penggemukan (Gerloff dan Morrow 1987). Proses reproduksi yang sukses sangat tergantung kepada kandungan nutrisi makro dan mikro pada pakan dan proses reproduksi ini akan terhenti sebelum terlihat gejala defisiensi pada ternak yang bersangkutan (Dunn dan Moss 1992).

Banyak negara berkembang mempunyai sumber yang terbatas untuk meningkatkan kandungan nutrisi pakan guna mengimbangi peningkatan genetik ternak (Bearden et al. 2004). Pada temperatur yang panas produksi dan kualitas rumput yang tinggi sangat sulit didapatkan dan ini merupakan problem didaerah tropis (Ensminger 1987). Hewan ternak dengan potensi genetik yang bagus

apabila kekurangan zat makanan akan kurus dan mempunyai efisiensi reproduksi yang rendah (Bearden et al. 2004). Kendatipun fungsi reproduksi khususnya dalam kondisi yang keras lebih sedikit dipengaruhi oleh faktor makanan, namun demikian kekurangan secara subklinis tetap akan termanifestasikan pada kegagalan reproduksi. (Gerloff dan Morrow 1987). Saat laktasi kebutuhan zat makanan akan meningkat, apabila tidak tercukupi mempunyai kontribusi yang besar terhadap penurunan fertilitas.

Di Australia utara dengan kondisi lingkungan tropis dan subtropis, suplai makanan bervariasi tergantung musim setiap tahun, selama musim kering suplai makanan biasanya akan menurun (Rhodes et al. 1995). Berat badan dan kondisi tubuh akan meningkat selama musim hujan dan menurun selama musim kering (Holroyd et al. 1979). Terdapat hubungan yang nyata antara kondisi tubuh pada saat melahirkan dengan tingkat kebuntingan berikutnya, hanya 72% betina kurus saat melahirkan yang bunting setelah 80 hari pada musim kawin dibandingkan dengan 89 % sampai 92 % pada sapi yang kondisi tubuhnya bagus dan moderat dimana alasan utama rendahnya tingkat kebuntingan tersebut adalah penurunan tingkat estrus kembali setelah melahirkan (Spitzer 1987).

Faktor nutrisi yang dibutuhkan untuk reproduksi yang sukses sama dengan kebutuhan untuk pemeliharaan, bertumbuh dan laktasi yaitu energi, protein, vitamin dan mineral (Bearden et al. 2004). Menurut Ensminger (1987) energi merupakan faktor yang lebih berperan dalam reproduksi dibandingkan dengan protein. Keseimbangan energi negatif akan menurunkan fertilitas sapi, diantaranya terjadi penundaan aktifitas ovarium dan tingkat konsepsi yang rendah (Butler dan Smith 1989).

Penambahan protein pada pakan sapi potong akan meningkatkan daya cerna serta penyerapan zat makanan yang mana akan meningkatkan kemampuan laktasi dan berlangsungnya proses reproduksi dengan baik ( Wheelar et al. 2002). Poros hipotalamus, hipofisis dan ovarium sangat dipengaruhi oleh status nutrisi pakan dan hal ini nantinya juga akan mempengaruhi proses reproduksi pada ternak (Wiltbank et al.2002).

Pemeliharaan yang baik akan meningkatkan produktifitas ternak. Ternak- ternak yang dipelihara secara berkelompok akan meningkatkan efisiensi

reproduksi, dimana estrus akan terjadi lebih cepat, ternak -ternak yang dipelihara dengan adanya pejantan juga menunjukkan gejala yang sama (Senger 1999). Untuk pemeliharaan yang baik juga dibutuhkan kandang yang baik dimana rata- rata setiap ekor sapi memerlukan luas kandang 3.5 – 4 meter belum termasuk bangunan untuk tempat pakan, air minum dan selokan untuk pembuangan (Ginting dan Sitepu 1989). Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa pemeliharaan dengan pengeluaran induk 2 kali sehari keberhasilan deteksi estrus mencapai 70.4%, pengeluaran 1 kali sehari keberhasilannya 69.5% dan 64% bila induk tidak dikeluarkan sama sekali (Anonim 1981 ).

Embrio dan fetus yang sedang berkembang sangat sensitif terhadap terapeutic agents, polusi lingkungan dan bahan beracun yang terdapat dialam termasuk pada tumbuhan. Bahan beracun juga mempengaruhi efisensi reproduksi karena dapat memperpanjang waktu setelah melahirkan sampai kawin kembali (James et al. 1992). Kehilangan berat badan juga berpengaruh terhadap performan reproduksi terutama berhubungan dengan conception rate pada induk dan sapi dara (Doogan et al. 1991 ). Kekurangan makanan atau keracunan bisa menyerang bermacam organ dan akan menghasilkan penurunan penampilan reproduksi, dimana efek utamanya biasanya akan menyerang bagian anterior kelenjar hipofisis atau hipotalamus yang akan mempengaruhi produksi LH atau FSH yang normal (Gerloff dan Morrow 1987).

Tidak ada perbedaan nyata antara kondisi tubuh pada saat kawin dengan kebuntingan. Sapi yang melahirkan anak dengan berat yang tinggi ( rata-rata 40 kg) mempunyai perbedaan yang nyata terhadap lama hari dimana terjadi perkawinan kembali atau calving interval. Bangsa juga mempengaruhi performan reproduksi, dimana sapi Blue-Grey mempunyai persentase melahirkan yang lebih tinggi (90%) dibandingkan dengan dengan sapi Hereford x Friesians (83%). Persentase bunting pada sapi dengan umur 4-7 tahun relatif sama antara Blue- Grey (90%) dibandingkan dengan Hereford x Friesians (89%), tapi sapi-sapi dengan umur lebih dari 7 tahun mengalami penurunan angka kebuntingan yang nyata (Osoro dan Wright 1992). Namun demikian tingkat kebuntingan sapi akan menurun mulai pada beranak ketiga dan seterusnya, selanjutnya dikatakan bahwa

sapi yang pernah beranak keempat masih dapat menghasilkan kebuntingan mendekati 50%, namun setelah itu reproduktivitasnya akan menurun (Dradjat 2000).

Estrus dan Kebuntingan

Ternak-ternak betina pada hampir semua spesies akan memperlihatkan aktifitas fisik apabila dalam keadaan estrus (Senger 1999). Pada beberapa ternak betina keadaan estrus mudah sekali diketahui dari pengamatan luar terhadap kegelisahan, pembengkakan alat kelamin luar dan cairan lendir yang keluar dari vulva (Williamson dan Payne 1980). Sapi-sapi betina hanya mau menerima pejantan dalam periode estrus saja, kendatipun pejantan dapat melakukan aktifitas perkawinan setiap saat (Blakely dan Bade 1991).

Gejala estrus sangat ditentukan oleh perkembangan sel telur, dimana perkembangan ini berbeda pada masing-masing spesies, ada yang hanya mempunyai satu folikel deGraaf ada yang lebih dan juga ditentukan pengeluaran hormon estrogen kedalam darah ( Sartori et al. 2004). Pada saat dewasa kelamin dan kemudian pada interval tertentu dalam siklus estrus, satu atau lebih folikel primer akan berkembang menjadi folikel deGraaf yang kemudian mengalami ovulasi dan terjadi estrus (Williamson dan Payne 1980).

Deteksi estrus yang efektif merupakan kunci agar terjadi efisiensi reproduksi yang maksimal, ketidakakuratan deteksi estrus merupakan kasus terbesar dari rendahnya efisiensi reproduksi (Smith 1987). Peluang keberhasilan inseminasi buatan sangat dipengaruhi penentuan waktu inseminasi, bagaimanapun standing estrus adalah faktor yang dominan dalam menentukan keberhasilan ataupun kegagalan inseminasi dan sekaligus merupakan indikasi terjadinya ovulasi pada sapi ( Perry 2005b). Sekitar 66% estrus potensial tidak terdeteksi setiap tahun, hal ini terutama disebabkan karena sapi enggan menunjukkan aktifitas estrusnya pada musim panas karena sapi sangat membutuhkan naungan (Thatcher dan Collier 1987). Juga dikatakan kalau aktifitas estrus berlangsung pada malam hari sering kali tidak terdeteksi. Rata-rata keberhasilan deteksi estrus yang rendah (<50%) pada sebagian sapi perah di Amerika Serikat sudah diidentifikasi sebagai faktor yang dominan penyebab inefisiensi reproduksi

(Lopez et al. 2004). Guna mengatasi deteksi estrus dan penentuan waktu inseminasi yang tepat biasanya digunakan sinkronisasi estrus, sinkronisasi tidak hanya efektif untuk inseminasi buatan tetapi juga kawin alam, pada beberapa metode, sinkronisasi juga bisa meningkatkan proporsi sapi yang tidak estrus untuk mulai siklus estrus kembali. Hal ini akan menurunkan interval sapi yang tidak estrus setelah melahirkan (Perry 2005b).

Gejala estrus sangat berhubungan dengan konsumsi energi, dimana pada sapi-sapi yang sedang laktasi energi yang didapat terutama digunakan untuk produksi susu dan biasanya pada periode ini sapi akan kehilangan berat badan dan tidak menunjukkan gejala estrus (Gerloff dan Morrow 1987). Pada penelitian dengan menggunakan Syrian Hamster terlihat bahwa pengurangan makanan juga akan menyebabkan terhambatnya siklus ovulasi dan tingkah laku estrus (Panicker

Dokumen terkait