• Tidak ada hasil yang ditemukan

DE ARCHITECTURA

Dalam dokumen Integrated Within Complexity (Halaman 82-94)

DE ARCHITECTURA

Proses perancangan merupakan suatu rangkaian kegiatan yang umumnya berbeda dengan proses lainnya, dimana dalam proses perancangan alur kegiatan tersebut tidaklah bergerak lurus saja. Seperti yang dikatakan oleh dosen pembimbing, kegiatan merancang umumnya bergerak maju dan mundur. Maksudnya adalah pada proses perancangan akan dijumpai banyak sekali pertimbangan, masalah, maupun solusi yang kerap berbeda. Oleh karena itu pada tahapan tertentu dalam rangkaian proses merancang akan dipertemukan dengan revisi-revisi yang secara langsung membuat proses tersebut bergerak maju dan mundur. Kegiatan merancang tetap berjalan lurus sesuai dengan proses yang ada, seperti dimulai dari kegiatan survei dilanjutkan pada tahapan pengumpulan data dan fakta, analisa terhadap tapak maupun kawasan tapak, penerapan tema tapak dan bangunan, rancangan konseptual dan ide rancangan, proses rancangan skematik bangunan dan dilanjutkan dengan tahapan desain. Keseluruhan kegiatan tersebut akan tetap berjalan lurus sampai kepada suatu pemecahan desain akan bangunan dan tapak rancangan.

Pada urutan kegiatan diatas, saya telah sampai kepada tahapan rancangan skematik bangunan. Tentunya pencapaian terhadap tahapan ini juga tidak selalu berjalan lurus, tetap berupa pola kegiatan yang bersifat maju dan mundur. Untuk mencapai tahapan rancangan skematik ini salah satu rangkaian kegiatan yang saya lalui yaitu asistensi, yang dalam kegiatan asistensi ini terdapat banyak sekali proses revisi didalamnya. Ketika saya melakukan kegiatan asistensi mengenai suatu kegiatan rancangan yang sedang dilakukan, biasanya dalam proses asistensi tersebut selalu diarahkan kepada peninjauan kembali apakah kegiatan yang dijalankan sesuai atau tidak dengan konteks dari hasil kegiatan rancangan sebelumnya. Apakah rancangan konseptual sesuai dengan yang telah di analisa

pada kegiatan analisa sebelumnya? Apakah telah sesuai dengan tema maupun gaya arsitektur yang telah ditentukan?. Contohnya saya menggnakan konsep tapak dan bangunan sebagai integrasi antara tiga (3) aspek yakni Sungai sebagai Riverfront, Podomoro City sebagai Urban Comercial, dan Kantor Deli Maskapai sebagai Preservation. Konsep tersebut tentunya telah diasistensikan dengan dosen pembimbing, tetapi dapatkah konsep tersebut digunakan? Apakah telah sesuai dengan rangkaian proses analisa rancangan dan tema yang diajukan? Dapatkah pendekatan arsitektur organic menjadi dasar rancangan? Pertanyaan-pertanyaan demikian menyebabkan adanya peninjauan kembali pada tahapan rancangan konseptual tapak dan bangunan. Jika terdapat kekurangan maupun ketidak-cocokan antara rancangan konseptual bangunan dengan analisa dan tema yang telah diajukan maka akan dilakukan revisi, yakni proses memperbaiki ataupun melengkapi bagian dari rancangan agar sesuai dengan konteks sebelumnya. Hal ini dimaksudkan supaya rancangan memiliki suatu konsistensi dan memiliki dasar yang kuat untuk penyelesaiannya. Penggambaran rangkaian jalur proses kegiatan rancangan bolak-balik tersebutlah yang dalam kesempatan ini saya namakan Flow Back Pattern.

Pada kegiatan rancangan skematik sebelumnya saya telah menerapkan konsep integrasi tersebut dalam rancangan tapak, yang penerapannya pada tapak dan sirkulasi pencapian digambarkan dengan pola integrasi antara bangunan dengan aspek disampingnya. Sehingga pada penerapan terdapat entrance hotel yang berada disamping menghadap ke Podomoro City. Akan tetapi terdapat beberapa permasalahan yang ternyata kurang saya tinjau, seperti akses hotel yang dekat dengan akses mall tentunya akan menimbulkan permasalahan. Maka dalam tahapan ini saya melakukan revisi seperti halnya yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam kegiatan rancangan tidaklah berjalan lurus, namun bolak-balik seperti .

Pada penggambaran pola integrasi antara bangunan dengan salah satu aspek, yakni Podomoro City yang dalam hal ini menyangkut entrance hotel. Setelah melakukan asistensi didapatkan bahwa terdapat permasalahan akan segi fungsional dan efisiensi. Pada penggunaan konsep tersebut, entrance hotel dimaksudkan mengintegrasi bangunan Podomoro dengan bangunan tapak,namun karena terletak dibagian depan menyebabkan kurangnya ruang untuk akses pencapaian. Hal ini ditakutkan dapat menjadi sumber kemacetan bagi ruang luar maupun ruang dalam tapak. Ditambah lagi dengan fungsi Ballroom yang senantiasa memiliki intensitas yang sangat tinggi disamping entrance hotel. Disamping itu karena penempatan entrance hotel dan juga Ballroom yang demikian mengakibatkan luasan bangunan menjadi kecil. Hal ini dikarenakan pengejaran akan bentukan dasar segitiga yang cukup kompleks apabila beberapa fungsi bangunan di-mixed. Dapat dilihat pada gambar 5.15, dimana area yang berlingkar merah merupakan massa bangunan ballroom. Sehingga setelah melewati proses asistensi dengan konsultan ahli dan dosen pembimbing, saya mendapat masukan bahwa entrance hotel ada baiknya apabila dipisah sehingga akan menjadi lebih fungsional dan efisien.

Gambar 6.1 Bangunan & Tapak Rancangan

Oleh karena itu, maka saya memisahkan bentukan massa pada lantai ground untuk entrance hotel dan ballroom. Akses tersebut seolah-olah membelah massa bangunan, hal ini dimaksudkan juga untuk memunculkan kesan Complexity yang juga merupakan kesatuan tema saya. Jadi rancangan yang saya hasilkan haruslah mengintegrasi dan kompleks mengingat bangunan juga merupakan bangunan komersial yang berada dipusat kota. Setelah memindahkan entrance hotel tentunya muncul permasalahan lain. Fungsi hotel tetap melekat pada massa bangunan keseluruhan, namun untuk area Ballroom akses terpisah dengan keseluruhan massa bangunan pada lantai ground. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka ruangan Grand Ballroom saya tempatkan pada lantai 1 dan pada lantai 1 tersebut akan terdapat akses koneksi antara bangunan induk dengan area ballroom.

Permasalahan lainnya yakni akses entrance hotel yang menjadi cukup tersembunyi dan jauh dari jalan utama. Oleh karena itu, selain menata lansekap entrance hotel supaya

dari jalan Tembakau Deli yang dalam kasus ini saya membuka akses pencapaiannya melalui akses Kantor Deli Maskapai. Kembali kepada tema saya, maka dalam kesempatan ini saya memanfaatkan aspek Preservation kedalam rancangan saya. Tentunya Kantor Deli Maskapai merupakan suatu situs sejarah yang akan sangat bernilai apabila diolah dengan benar. Kelaknya Kantor tersebut akan saya usulkan menjadi galeri sejarah Kota Medan yang akan menimbulkan keuntungan baik kepada Kantor Deli Maskapai maupun kepada Bangunan mix-used yang saya rancang

Setelah melengkapi dan melakukan revisi demi revisi dalam tahapan rancangan skematik dengan konsultan maupun dosen pembimbing, hasil rancangan sementara kemudian diuji oleh penguji dalam sidang tahap I. Ruang cakup penguji dalam tahap I masih berupa konsep rancangan serta keterkaitan dengan tema proyek. Dalam tahap ini, saya akan diuji oleh tiga (3) penguji yang mana ketiga nya merupakan praktisi arsitek dalam dunia kesehariannya. Dalam sidang tahap I ini saya mendapat masukan akan permasalahan

“A river runs through it” yang tercantum dalam sinopsis skripsi. Masukan tersebut

dimaksudkan untuk memasukkan elemen air itu sendiri kedalam rancangan tapak maupun bangunan. Hal ini dikarenakan dari pengertian sinopsis tersebut yang mengartikan bahwa sungai yang mengalir melaluinya. Masukan lainnya menyangkut perihal kemiripan bangunan yang saya rancang dengan bangunan yang telah ada. Bangunan yang saya rancang dikaitkan dengan kemiripan dengan bangunan Epicentrum dan juga Turning Torso Tower. Hal tersebut dikarenakan prinsip konsep Twist yang saya terapkan juga terdapat pada bangunan tersebut. Oleh karena itu, saya disarankan untuk mengganti desain bangunan saya. Tentunya saya memiliki alasan mendasar dalam menghasilkan bentukan tersebut, oleh karena itu saya hanya menerima masukan para penguji. Masukan lainnya adalah mengenai penguasaan serta kedalaman konsep tema rancangan, haruslah lebih digali lagi secara mendalam. Selain itu, permasalahan akan sistem transportasi vertikal yakni lift

juga harus ditinjau ulang yang dalam hal ini harus diperhatikan waktu tempuh serta kapasitas lift itu sendiri.

Setelah melewati tahapan preview 1, yang mana saya diuji, dikritik, serta diberikan masukan maupun saran oleh konsultan ahli dan dosen penguji, tahapan selanjutnya yaitu tahapan pengembangan rancangan, yakni rancangan skematik yang sebelumnya telah saya rancang kemudian diterjemahkan kedalam bentuk rancangan yang lebih mendalam dan detail. Saran, kritik, maupun masukan yang didapatkan pada preview 1 diterima dan direnungkan, kemudian didiskusikan bersama dosen pembimbing dan konsultan ahli yang dalam hal ini selaku pihak stakeholder. Pada preview 1 sebelumnya, saya mendapat kritikan mengenai bentukan bangunan saya yang menyerupai bangunan yang telah ada saat ini. Dimana pada bagian tower bangunan saya, saya menerapkan konsep twist. Konsep twist ini tentunya banyak dijumpai pada zaman sekarang mengingat kemajuan teknologi bangunan yang semakin pesat, dan karena kemiripan akan konsep twist tersebut, bangunan saya dihakimi mengambil mentah-mentah maupun sama dengan bangunan yang telah ada tersebut.

Pada tahapan asistensi, saya pun membahas perihal permasalahan mengenai kemiripan tersebut. Konsultan ahli menjelaskan bahwa kemiripan tersebut dikarenakan konsep twist itu sendiri. Karena saya menerapkan konsep twist maka banguna saya terkesan mirip dengan bangunan yang telah ada. Saya menawarkan penyelesaikan dengan melakukan perubahan bentukan maupun tampak bangunan, namun konsultan ahli menanggapinya sebagai hal yang tidak diperlukan. Hal tersebut dikarenakan apabila saya mengganti tampak sekalipun tetapi konsep twist tetap saya ambil, maka tetaplah akan terdapat kemiripan. Namun, yang harus di tekankan disini adalah, bangunan yang saya rancang memang mirip dikarenakan konsep tersebut, tetapi tidaklah sama (mirip tetapi

tersebut, karena tentu saja hal tersebut memberikan tantangan serta hal baru bagi saya dalam merancang yang sebelumnya saya belum pernah menggunakan konsep tersebut. Walaupun mirip, bangunan yang saya rancang tentu saja lahir dari aspek disekitarnya. Konteks maupun pendekatannya merupakan pendekatan kontekstual akan lingkungan sekitar. Dukungan dari dosen pembimbing pun didapatkan. Beliau mendukung untuk tetap menggunakan konsep twist tersebut, serta beliau menambahkan bahwa konsep maupun tampak sebuah bangunan merupakan hal yang relatif, hal yang tidak dapat diperdebatkan. Mengingat pendidikan akan arsitektur ini sendiri merupakan suatu pendidikan yang cukup menyangkut akan seni, dan seni itu sendiri merupakan sesuatu yang relatif dan penilaian akan tiap individu akan berbeda pula.

Atas landasan tersebut, maka saya melanjutkan rancangan yang telah kerjakan sebelumnya. Pendalaman akan sistem struktur twist tersebut pun dilakukan. Sistem struktur yang dipakai dinamakan sistem struktur core kantilever, dimana core sebagai struktur utama bangunan dengan kantilever dapat berupa beton maupun baja. Dalam kasus ini, saya memilih menggunakan baja. Hal ini dikarenakan setelah didiskusikan dengan konsultan ahli, penggunaan baja dianggap akan lebih menghemat waktu pengerjaan bangunan kelaknya. Dimana baja dapat difabrikasi dipabrik dengan berbagai ukuran yang kelak telah ditentukan dan pemasangannya pada lokasi proyek akan lebih menghemat waktu. Apabila menggunakan beton, maka pengerjaan bangunan akan memakan waktu yang lebih lama, mengingat sifat beton itu sendiri yang memerlukan waktu/hari untuk mencapai titik kematangan kekuatannya. Tentunya apabila menggunakan baja akan lebih menghemat biaya dan waktu proyek itu sendiri. Ternyata, selain aspek diatas penggunaan baja juga menghasilkan hal baru. Hal tersebut dilandaskan masukan dari dosen pembimbing untuk menampilkan struktur baja tersebut dalam kamar hunian hotel.

Gambar 6.2 Potongan Prinsip Struktur Tower

Mengingatkan kembali bahwa penggunaan struktur ini mengakibatkan manusia untuk tinggal maupun beraktivitas didalam portal struktur, yang mana portal struktur tersebut dibagi berdasarkan ukuran tiap kamar hunian. Oleh karena itu, struktur baja tersebut sendiri dapat di tampilkan / ekspose didalam kamar, tentunya hal ini menjadi keunikan tersendiri bagi kamar hotel yang saya rancang. Struktur/trust baja itu sendiri juga menghasilkan bentukan segitiga (mengacu kembali kepada konsep 3 aspek). Jadi, dari bentukan massa,

desain lansekap, dan interior hotel tetap dijumpai bentukan segitiga yang merupakan konsep awal yang saya ambil.

Gambar 6.3 Suasana Interior Kamar Hotel

Permasalahan lain menyangkut penggunakan sistem struktur ini terdapat dalam bentukan core selaku struktur penopang utama, dimana bentukan core haruslah lingkaran. Mengapa lingkaran? Karena dengan penggunakan bentukan core lingkaran, ukuran fabrikasi baja yang sebagai kantilever akan dapat di tekan jenis dan tipe ukurannya. Apabila core bangunan persegi maupun segitiga, karena perubahan penempatan trust baja tersebut akan menghasilkan banyak sekali ukuran trust baja yang bervariasi, tentunya hal tersebut akan cukup merepotkan dalam tahapan fabrikasinya maupun pemasangannya kelak. Karena portal trust/struktur tersebut langsung melekat pada core (salah satu dinding kamar hunian merupakan core), permasalahan lain juga muncul. Mengingat core adalah struktur utama yang berisi pembesian tentunya lubangan untuk pintu kamar hunian harus benar-benar

terukur dan ditentukan. Hal tersebut kelak akan mempermudah pengerjaan pembesian core tersebut. Selain itu, saluran-saluran mekanikal elektrikal yang mengakomodasi kamar hunian juga haruslah melewati core tersebut.

Gambar 6.4 Sistem Strutur Kantilever Tower

Oleh karena itu, semua saluran utilitas kamar hunian saya lajukan melalui area diatas pintu kamar hunian, jadi akan terdapat lubang untuk saluran utilitas diatas lubang untuk pintu kamar hunian. Hal ini tentu membantu kontraktor ketika melakukan pengerjaan core itu sendiri. Karena saluran-saluran utilitas biasanya ditanam terlebih dahulu didalam struktur, bukan struktur telah selesai baru struktur tersebut dilubangi untuk kebutuhan utilitas. Ada pun untuk bagian podium bangunan menggunakan sistem struktur beton bertulang dengan dilatasi, dan bagian basement menggunakan struktur bearing wall.

Gambar 6.5 Sistem Struktur Bangunan

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah permasalahan akan lift. Mengingat bangunan merupakan mid-rise dengan jumlah lantai 32. Tentunya untuk bangunan dengan ketinggian diatas 100m haruslah mengakomodasi jalur transportasi vertikal pengguna bangunan. Pada kasus ini, saya memilih hotel bisnis dan menempatkan keseluruhan fungsi kamar hunian pada bagian tower bangunan. Waktu tunggu lift untuk fungsi hotel berbeda dengan fungsi lain, misalnya kantor. Tentunya waktu bolak-balik lift untuk kantor akan lebih tinggi karena intensitas penggunanya, sedangkan untuk jenis hotel, intensitas pemakai lift akan lebih rendah. Menurut buku Panduan Sistem Bangunan Tinggi, layaknya setiap 75 kamar hunian terdapat 1 lift penumpang. Adapun perhitungan waktu perjalanan bolak balik lift sebagai berikut :

T = (2h + 4s)(n -1) + s(3m + 4) detik s

Dimana: h adalah jarak lantai ke lantai (m) s adalah kecepatan rata-rata lif (m/detik) n adalah jumlah lantai yang dilayani lif m adalah daya angkut/kapasitas lif (orang)

T = (2. 3,5 + 4. 4) (31 – 1) + 4 (3 x 25 +4 ) 4 = ( 7+16)(30) + 4(79) 4 = 690 + 316 = 251,1 detik 4

Waktu tunggu ideal (WT) untuk fungsi hotel adalah 40-70 detik, maka untuk perhitungan jumlah lif :

WT = T N = T = 251,5 = 3.5 Lif

N WT 70

Dalam dokumen Integrated Within Complexity (Halaman 82-94)

Dokumen terkait