• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANTI MONOPOLI BISNIS DALAM ISLAM

9. Defiasi Pasar & Undang-Undang Anti Monopoli

Dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia mulai merasakan sisi-sisi kelemahan dari sistem bisnis sekular.Muncullah apa yang dalam artikel ini disebut dengan defiasi pasar atau bentuk-bentuk penyimpangan dari pasar yang normal, dalam mana bisnis telah menjadi alat untuk akumulasi keuntungan dengan cara-cara yang eksploitatif. Terjadinya monopoli lewat konglomerasi, munculnya gurita-gurita (octopus) dalam dunia perdagangan dan industri, secara langsung maupun tidak telah menimbulkan eksploitasi ekonomi terhadap pihak-pihak masyarakat yang lemah bargaining powernya. Misalnya dengan cara membebankan semua ‘ekonomi biaya tinggi’ kepada konsumen yang mereka tidak punya pilihan lain akibat monopoli usaha.

Mekanisme dari aktivitas bisnis pun sudah tervariasi sedemikian rupa sehingga terjadi benturan-benturan nilai antara nilai bisnis dan nilai-nilai moral-etik. Untuk memperlancar aktivitas bisnis, telah tercipta

258 Hart, Michael, H, Seratus Tokoh... Op. Cit., hlm. 86-90

sudah budaya baru ; kolusi dan nepotisme, tentu saja sangat berkaitan erat dengan korupsi dan suap, pungutan-pungutan tidak resmi yang kesemuanya itu ikut menciptakan ekonomi biaya tinggi.

Sehingga kalau dilihat dengan kacamata bisnis Islami, praktik bisnis sekular sangat berbeda, terutama dalam dua hal: substansi (barang) yang dijual, serta mekanisme bisnisnya. Praktik semacam itu akhirnya menimbulkan akumulasi modal dan keuntungan pada segelintir orang. Kerugian terbanyak akan jatuh kepada negara atau rakyat. Sedang para pejabat akan menikmati keuntungan dari uang korupsi, kolusi dan ‘upeti’. Tidaklah mustahil apabila beban terberat akhirnya akan jatuh ke tangan rakyat, mereka harus membeli dengan harga mahal karena monopoli usaha telah terjadi dan menentukan tarif secara leluasa. Rakyat, atau masyarakat banyak, kemudian secara simultan dan kontinyu akan tereksploitasi. Atas latar belakang seperti itulah, akhirnya lahirlah Undang-Undang Republik Indonesa No. 5 Tahun 1999 tentang Anti Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat.

Dalam undang-undang tersebut, ada beberapa kegiatan bisnis yang dilarang, pada hakikatnya kegiatan tersebut telah menyimpang dari filosofi diciptakannya pasar, ialah :

1. Monopoli, ialah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Di sini, bisa dikatakan monopoli antara lain jika pelaku usaha menguasai lebih dari 50%

pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

2. Monopsoni, yaitu menguasai penerimaan pasokan atau pembeli tunggal atas barang atau jasa dalam pasar yang mengakibatkan terjadinya monopoli atau persaingan tidak sehat.

3. Penguasaan Pasar. Di antara maksud dari ini adalah pelaku usaha melakukan jual-rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

4. Persekongkolan, antara lain dimaksudkan dengan bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan tidak sehat.

5. Posisi dominan, yaitu posisi dominan yang digunakan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk menetapkan syarat-syarat perdagangan untuk mencegah terciptanya persaingan atau mematikan pesaing yang lain.

Dikeluarkannya undang-undang tersebut dimaksudkan untuk menciptakan praktik bisnis yang lebih adil, lebih menguntungkan banyak orang. Lain dari pada itu, akan semakin terkikis budaya-budaya yang cenderung ‘machevellianis’dalam melakukan perdagangan.

Berhubung UU tersebut memang berkonsentrasi pada aspek, yang di awal artikel ini disebut sebagai mekanisme, memang tidak menyinggung tentang substansi barang yang diperdagangkan. Substansi tentang ke halalan barang sangat erat kaitannya dengan Perlindungan Konsumen. Namun demikian, harus disadari bahwa kehalal an produk bukan sesuatu yang diatur dalam bisnis modern. Kalaupun ada pengaturan, hal itu diserahkan sepenuhnya pada pilihan kebijakan produsen dalam hubungannya dengan tuntutan pasar/pembeli.

10.Relevansi Konsep Bisnis Islam dalam Perkembangan Bisnis Modern.

Melihat dari berbagai pemaparan di atas, kita menjumpai bahwa konsep bisnis Islami memiliki beberapa kelebihan :

a. Dibandingkan dengan konsep bisnis kapitalis, bisnis Islami lebih memperhatikan konsumen. Adanya ketentuan bahwa bisnis tidak boleh eksploitatif, tidak boleh berobyek pada barang-barang yang haram, tidak boleh memanfaatkan kebodohan /ketidakmengertian konsumen, adalah sangat menghormati kepentingan konsumen dan masyarakat banyak. Dengan konsep bisnis ini, orang juga tidak akan terjebak pada orientasi keuntungan materiil dengan melupakan kepentingan etis. Orang tidak akan bisa melakukan

‘money loundrying’dengan melewati bisnis Islami, karena orang sudah lebih dahulu dilarang membeli sesuatu yang secara dzatiy maupun maknawiy dilarang.

b. Dalam kaitannya dengan hak untuk melakukan praktik bisnis, Is-lam lebih menempatkan manusia pada posisi yang proporsional.

Tidak dibebaskan untuk melakukan bisnis menyangkut barang apapun juga, serta dengan bagaimanapun juga, namun tidak juga dipotong hak-haknya untuk melakukan aktivitas bisnis sebagaimana dalam konsep bisnis sosialis.Islam mempertimbangkan keinginan bebas dengan pertanggungjawaban.259 Diakui dalam Islam bahwa manusia dilahirkan bebas.Kepemilikian individu sepenuhnya diakui. Dalam Islam kepemilikin itu ada karena hasil dari kerja kreatif seseorang.260 Di sinilah sebenarnya manusia diposisikan sebagai makhluk pengendali (khalifah) yang harus berbuat bukan hanya untuk kepentingan pribadi, dan bukan juga hanya untuk kepentingan masyarakat semata, namun harus mempertimbangkan sekaligus dua kepentingan; pribadi (termasuk etika agamanya) dan kepentingan masyarakat dunia.

c. Dengan mengetahui hal itu, maka wajarlah jika di dalam bisnis Islami tidak akan pernah dijumpai larangan secara spesifik terhadap semua praktik monopoli. Karena memang Islam memiliki

“general principles” dalam praktik bisnis yang relatif lebih komprehensif. Monopoli dalam artian monopoli bisnis, tidaklah dilarang. Namun, tidak perlu monopoli, dengan praktik bisnis biasa saja kalau menimbulkan eksploitasi, spekulasi tinggi, ataupun muslihat (gharr), maka secara otomatis akan batal perjanjian bisnis tersebut. Jadi bukan monopolinya yang dilarang, karena monopoli itu bisa berefek positif dana negatif. Monopoli yang positif, yang mensejahterakan masyarakat, adalah praktik dalam etika bisnis Islami tetap dinilai sebagai tindakan yang terpuji.

259 Naqvi, Syed Nawab Haedar, Etika dan Ilmu Ekonomi, Suatu Sintesis Islami, terjemah Husin Anis (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 111.

260 Bahesti, Muhammad H, Kepemilikan dalam Islam, terjemah, Lukman Hakim & Ahsin M (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992), hlm. 14-15.

d. Adapun praktik persaingan tidak sehat, dalam etika bisnis Islami telah ditetapkan bahwa mekanisme, prosedur ataupun proses yang potensial terhadap terciptanya eksploitasi, pembohongan, dan berbagai hal sejenis, adalah batal demi hukum. Sehingga apa yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1999 itu sebenarnya sudah tercakup dalam nafas dan jiwanya dalam konsep bisnis Islami.

Penutup

Berdasarkan semua uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Islam memiliki konsep atau sistem bisnis yang relatif komprehensif, tidak hanya menentukan nilai etika yang berkaitan dengan barang (materi) yang menjadi obyek bisnis (perdagangan), namun juga menentukan secara detail tentang mekanisme dan prosedur bisnis yang sah menurut Islam, yang dalam bisnis sekular tidak diatur sedetail itu.

2. Jika dibandingkan dengan sistem bisnis sekular, apabila dilihat relevansinya dengan tuntutan manusia modern, bisnis dengan sistem Islam memiliki peluang untuk diakomodasi secara besar oleh era globalisasi. Artinya, konsep-konsep yang ditawarkan oleh Islam dalam hal bisnis sangat resisten terhadap peluang munculnya defiasi-defiasi pasar lebih dari resistensi yang dimiliki sistem bisnis sekular. Sistem yang ditawarkan oleh Islam sangat sesuai dengan isu-isu yang berkembang menyangkut; hak-hak konsumen, kesejahteraan rakyat (ekonomi kerakyatan) dan juga asas iktikad baik dalam dunia bisnis.