• Tidak ada hasil yang ditemukan

DALAM PEMBANGUNAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DI INDONESIA

Ada semacam cultural shock yang dialami oleh banyak negara berkembang dan terbelakang /Less Developing Countries (LDCs) ketika mereka dihadapkan pada realitas modernitas hasil pembangunan ekonomi negara-negara maju, utamanya adalah negara Barat (western countries). Kemudian, LDCs itu mensikapi hasil pembangunan sekaligus bagaimana proses pembangunan itu ditempuh oleh negara-negara maju sebagai sesuatu yang sempurna dan paling layak untuk diidolakan. Hal ini, kemudian menghadirkan rasa inferioritas negara-negara berkembang untuk menjadikan apa yang terjadi dan telah ditempuh oleh negara-negara maju menjadi satu-satunya jalan untuk meraih kemajuan dalam pembangunan.

Tak pelak, ini berimplikasi pada tidak populernya nilai-nilai religi dan tradisi lokal dari suatu bangsa. Nilai-nilai tersebut dianggap bukan saja tidak berharga, namun bisa diklaim sebagai ‘trouble maker’

dari proses pembangunan yang telah sepenuhnya menggunakan parameter western style. Banyak nilai-nilai agama dan tradisi-tradisi lokal yang secara massif terkubur ‘hidup-hidup’ di tengah hingar-bingar proses pembangunan (hukum) di banyak negara berkembang.

Padahal harus disadari bahwa setiap konsep memiliki dunianya sendiri, masing-masing bangsa memiliki latar belakang budaya dan kondisi-kondisi lain yang saling berbeda, sebagaimana setiap teori dari ilmu pengetahuan hanya akan benar dalam konteks asumsi yang telah dipersyaratkannya. Tidak setiap nilai lokal (indigienous values) dari suatu bangsa atau negara itu jelek dan karenanya menjadi inhibitor bagi akselerasi pembangunan dan sebaliknya, tidak setiap nilai yang berasal dari negara maju di Barat itu baik dan karenanya sering dianggap ‘pasti baik’untuk diaplikasikan di kalangan LDCs.

Untuk itulah, bagian ini mencoba untuk mendiskusikan seputar semakin tidak populernya (de-popularisasi) nilai-nilai religi dan tradisi lokal dalam modernisasi (khususnya yang menganut aliran pembangunan developmentalisme) di kalangan negara berkembang, serta bagaimana upaya-upaya pemberdayaan nilai-nilai tersebut yang mungkin untuk dilakukan dalam proses modernisasi. Diawali dengan membahas kepentingan global dalam pembangunan, tulisan ini kemudian dilanjutkan dengan urgensi nilai religi dan tradisi lokal, dan selanjutnya akan diakhiri dengan kesimpulan, aspek-apek nilai lokal yang bagaimanakah yang bisa diberdayakan.

1. Kepentingan Global dalam Pembangunan

Semenjak pasca 1960 an, sudah bisa dicatat bahwa dunia telah memasuki sebuah era yang bisa disebut sebagai era saling ketergantungan yang kompleks antar negara sekaligus juga era terpecahnya nilai-nilai normatif dan institusi-institusi yang ada.290 Juga semenjak Marshall Mc. Luhan, pakar mass media dari Canada beberapa dekade yang lalu meluncurkan ide bahwa konskuensi manusiawi bagi perubahan drastis dalam teknologi komunikasi telah menjadikan manusia seakan hidup dalam sebuah ‘global village’, sekat-sekat kultural ideologis antar bangsa sudah mulai mencair.291 Meski dengan dua perspektif yang saling berbeda, kedua thesis di atas mengantarkan pada suatu kesimpulan yang sama, ialah bahwa pada akhir millenium kedua telah terjadi sebuah proses massif dari seluruh masyarakat dunia untuk menuju sebuah kehidupan yang serba borderless, sebuah proses yang kemudian lazim disebut dengan istilah globalisasi.

Interdependensi itu kemudian menerobos relung-relung kehidupan berbagai bangsa baik dalam aspek etnis, agama, ideologi maupun

290 ‘Dependence and Disintegration in the Global Village, 1973-87’ dalam Encyclopaedia Britannica, www.britannica.com. Akses 7 Juni 2012

291 ‘Cultural Globalization’ dalam Encyclopaedia Britannica, www.britannica.com. Akses 7 Juni 2012

ekonomi. Ekonomi memang merupakan aspek yang berada di garis terdepan yang harus berurusan dengan globalisasi. Wajar saja, karena ekonomi akan berbicara tentang kebutuhan yang sangat vital (untuk tidak dikatakan paling vital) dalam kehidupan antar masyarakat, setidaknya menurut teori kepentingan yang dicetuskan oleh Abraham Maslow, yang terkenal dengan teori hirerakhi kebutuhan hidup manusia.292 Hubungan antar bangsa akan lebih dulu terjadi karena kontak-kontak kepentingan masalah perdagangan dan industri daripada masalah politik atau pertahanan.

Sebagai akibatnya, lanjut dari interdependensi ekonomi itu, institusi-institusi ekonomi baru dibutuhkan untuk mengkoordinasikan aktivitas produksi dan distribusi. Uni Eropa adalah sebuah contoh yang untuk waktu yang sangat dini telah dibentuk untuk mengantisipasi hal tersebut. Bahkan, perubahan-perubahan baru yang terjadi telah pula memaksa negara-negara penganut ekonomi sosialis (Central and Estaern Europe) untuk menempuh berbagai langkah sebagaimana yang diambil negara Barat sebelumnya.293

Sudah dapat dipastikan, bahwa muara semua proses tersebut adalah pada diperlukannya policy yang baru tentang konsep hubungan antar negara yang tidak terhindarkan lagi mengharuskan dibentuknya sebuah perangkat hukum yang baru. Perangkat hukum yang baru itu harus didesain untuk dapat mengakomodasi kepentingan global, bukan hanya nasional ataupun regional.

Dengan demikian, globalisasi ini memiliki minimal dua pengaruh yang sangat kuat terhadap keberadaan sebuah bangsa dengan segala authority (kewenangan) dan sovereignity (kedaulatan) yang dimilikinya. Pertama, globalisasi yang menembus berbagai aspek kehidupan bangsa akan menggerakkan sebuah proses pertukaran budaya, barang, jasa, serta konsesi-konsesi politik yang sangat dahsyat sifatnya. Artinya, bukan hanya sistem dan tata nilai budaya yang

292 ‘Maslow’s Hierarchy of Needs’, dalam www.abraham-maslow.com diakses 7 Juni2012.

293 Janos Kornai, The Great Transformation of Central Eastern Europe: Success and Disappointment, hlm. 19. dalam, www.economic.harvard.edu. Akses 7 Juni 2012.

diserang namun, tata niaga, konfigurasi politik dan sistem pertahanan keamanan (termasuk hubungan internasional) akan menjadi objek dari proses pertukaran ini. Tidak ada lagi dinding kuat yang mampu mengisolasi sebuah bangsa dari dunia global di luarnya. Kedua, yang akan terjadi kemudian adalah penyesuaian-penyesuaian hukum lokal masing-masing bangsa atau negara degan hukum-hukum yang diciptakan untuk pengaturan regional ataupun internasional, sesuatu yang lazim disebut dengan harmonisasi. Hal ini sangat nampak dalam bidang perdagangan, dengan dibentuknya berbagai organisasi regional ataupun internasional seperti World Trade Organization (WTO), North Atlantic Free Trade Association (NAFTA), Asia Pacific Economic Countries (APEC). Badan-badan itu akan melahirkan berbagai perangkat hukum yang bersifat legally binding bagi negara-negara anggotanya yang mau tidak mau, peraturan tersebut harus diratifikasi.

Meski bidang perdagangan paling nampak, namun bidang yang lain juga mengalami hal sama, meski dengan intensitas yang lebih rendah.

Dalam bidang HAM (Hak Asasi Manusia) misalnya, saat ini bukan hanya telah lahir lebih dari dua belas konvensi tentang HAM setelah Universal Declaration of Human Rights294. Semua konvensi itu bersifat saling melengkapi karenanya, berbagai konvensi dan kovenan itu harus diratifikasi oleh negara-negara di dunia ini jika memang tidak ingin dianggap sebagai ‘negara tanpa HAM’. Artinya, harus ada penyesuaian-penyesuaian konsep lokal/nasional HAM dengan apa yang telah menjadi konvensi-konvensi dalam level internasional.

Bahkan, dalam belahan wilayah yang lain, penyesuaian-penyesuaian perangkat yuridis itu lebih nampak. Dalam wilayah Uni Eropa, harmonisasi itu telah terjadi sedemikian rupa sehingga seakan-akan

294 Konvensi-konvensi yang berkaitan dengan HAM yang telah diratifikasi di Indonesia tidak kurang dari 12 macam sejak masalah HAM secara umum, terkait kaumperempuan, persenjataan biologis, hak anak, hak buruh, anti diskriminasi, hak social, serta hak politik dengan segala aspeknya. Inggrid Galuh Mustikawati, “Perjalanan Menegakkan HAM di Asean dan Peran Indonesia dalam Mendukung Keberlanjutan AICHR” dalam Jurnal Demokrasi dan HAM. Vol. 9, No. 1, 2011. hlm. 26-27. (total artikel 11-34. Dalam www.habibiecenter.or.id akses 7 Juni 2012