• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESEJAHTERAAN UMAT DAN KAITANNYA DENGAN PAJAK

3. Zakat Sebagai Pengurang Pajak vs Sebagai Penghasilan Bebas Pajak

Zakat sebagai pengurang pajak, memang lebih ditujukan pada institusi meski perorangan juga sangat dimungkinkan. Hal itu dikarenakan, institusilah yang biasanya memiliki laba bersih relatif besar.

Ketentuan zakat sebagai pengurang pajak pertama kali muncul dalam UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Dalam undang-undang tersebut disebutkan: “Zakat yang telah dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”198 Dalam Penjelasan Undang-Undang tersebut terdapat uraian yang memperjelas bunyi ayat tersebut, yakni: “Pengurangan zakat dari laba/pendapatan sisa kena pajak dimaksudkan agar wajib pajak tidak terkena beban ganda, yakni kewajiban membayar

198 Pasal 14 ayat (3) UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.

zakat dan pajak. Kesadaran membayar zakat dapat memacu kesadaran membayar pajak”.199

Kemudian dengan lahirnya undang-undang yang baru, yakni UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat ternyata tidak memberikan perubahan pada ketentuan dalam undang-undang sebelumnya (UU No. 38 Tahun 1999). Ringkasnya, terkait dengan pengurangan zakat oleh pajak, UU No. 23 Tahun 2011 juga tidak berubah posisi. Dalam Pasal 22 dengan jelas disebutkan: “Zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau LAZ dikurangkan dari penghasilan kena pajak.”200 Penyebutan itu jelas hanya berbeda klausul tetapi tetap memberikan maksud yang sama. Artinya, sampai hari ini status zakat dalam konteks pajak tetap sama tidak mengalami perubahan.

Dari bunyi undang-undang dan penjelasannya tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pembayaran zakat diperhitungkan dengan pendapatan kena pajak. Meskipun dalam penjelasan tersebut menyebutkan bahwa tujuan dari ketentuan yang seperti ini adalah agar “wajib pajak tidak terkena beban ganda”, namun dengan melihat secara jeli bunyi undang-undang tersebut, agaknya tujuan tersebut masih sangat jauh bila hanya diberikan pengaturan semacam itu.

Mengapa demikian? Karena yang dikurangkan adalah jumlah harta yang dibayarkan sebagai zakat. Sedangkan zakat adalah prosentasi keseluruhan dari penghasilan kena pajak. Sehingga, tetap saja sisa penghasilan terkena beban ganda, telah dizakati dan sekaligus masih terkena pajak. Ini berarti bahwa yang tidak terkena beban ganda hanyalah harta yang berupa zakat yang dibayarkan, bukan harta yang dizakati. Untuk lebih jelasnya perlu dicermati juga ketentuan-ketentuan lain yang terkait dengan masalah ini.

Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 juga terdapat beberapa hal yang terkait dengan pengaturan masalah zakat dan pajak. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2000

199 Penjelasan UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.

200 Pasal (22) UU No. 23 Tahun 2011.

tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, pada Pasal 9 ayat (1) huruf g berbunyi:

“Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah”.

Kemudian, dalam penjelasan dari undang-undang tersebut disebutkan:

“Berbeda dengan pengeluaran hibah, pemberian bantuan, sumbangan dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, yang tidak boleh dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak, zakat atas penghasilan boleh dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak. Zakat atas penghasilan yang dapat dikurangkan tersebut harus nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dan sepanjang berkenaan dengan penghasilan yang menjadi Objek Pajak dapat dikurangkan dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak pada tahun zakat tersebut dibayarkan.”

Apa yang terdapat dalam undang-undang dan penjelasannya tersebut semakin memperjelas bahwa: Pertama, ketentuan ini hanya berlaku bagi wajib pajak orang pribadi yang beragama Islam atau wajib pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam. Sedangkan bagi non muslim tidak berlaku. Hal itu antara lain dikarenakan zakat adalah sebuah kewajiban asasi yang mesti dilakukan oleh orang Islam. Kedua, zakat yang diamaksudkan di atas haruslah dibayarkan pada Badan Amil Zakat (BAZ) atau Lembaga

Amil Zakat (LAZ) mendapat ijin resmi dari pemerintah, tentu saja dengan dokumen dan bukti penyaluran zakat yang valid.201

Ketiga, pembayaran zakat harus terjadi pada tahun yang sama dengan pembayaran pajak. Penjelasan lebih rinci juga diberikan oleh Kantor Pajak dengan adanya Surat Kawat dari Direktur Jenderal Pajak No. KWT-165/PJ/2002 kepada Kantor Pelayanan Pajak dan Kepala Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan, ada beberapa persyaratan yang lebih detail, dan yang relatif berbeda dengan ketentuan-ketentuan yang telah ada dalam berbagai perundang-undangan di atas. Setidaknya, ada dua hal; pertama, bahwa penghasilan kena pajak (PKP) tersebut, harus telah dilaporkan dalam SPT tahunan sebagai objek pajak, dan kedua, dan ini sangat penting adalah bahwa dalam bukti pembayaran zakat harus tercantum besarnya pembayaran zakat atas penghasilan secara terpisah, tidak dalam satu jumlah keseluruhan (global) zakat yang dibayar atas harta.202

Dari berbagai ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya, implementasi dari zakat sebagai pengurang pajak adalah cukup sederhana, hal itu bisa dicontohkan sebagai berikut:

Tabel 5

Ragaan Kalkulasi Zakat sebagai Penghasilan Bebas Pajak (Model Tax Deduction)

Item Pengasilan Bruto

Beaya-beaya bebas pajak

Penghasilan netto sebelum pajak (Penghasilan kena pajak/PKP)

Zakat 2.5%

PKP setelah zakat PPh 5%

Seandainya tidak dikurangi zakat: 15.000.000 x 5%

Nominal (Rp)

201 Nurjihad, et.al., Pengelolan Zakat Setelah Berlakunya UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Hasil Penelitian, (Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 2002).

202 Ibid.

Model yang diadopsi di Indonesia ini berarti Tax Deduction (pengurangan penghasilan kena pajak). Hal ini berbeda seandainya dengan model yang dapat dianggap lebih progressif, ialah zakat sebagai pengurang pajak (Model Tax Rebate). Contoh negara yang menerapkan model kedua ini adalah negara Malaysia. Di dalam undang-undang perpajakan di Malaysia, yakni Income Tax Act 1967, Section 6A(3) dinyatakan dengan jelas, “a rebate shall be granted for any zakat, fitrah or any other Islamic religious dues, payment of which is obligatory.”203 Hal ini kemudian menjadikan nominal zakat yang dibayarkan oleh pemeluk agama Islam dapat mengurangi dari jumlah nominal yang dibayarkan sebagai pajak.

Tabel 6

Ragaan Kalkulasi Zakat Pengurang Pajak (Model Tax Rebate)

Item Pengasilan Bruto

Beaya-beaya bebas pajak

Penghasilan netto sebelum pajak (Penghasilan kena pajak) Zakat 2.5%

PPh /Income Tax 5%

PPh/Income Tax yang harus dibayar

Seandainya tidak dikurangi zakat: 15.000.000 x 5%

Nominal (Rp)

Dari ilustrasi penghitungan tersebut nampaklah bahwa hal itu cukup sederhana. Artinya, bahwa sebenarnya ketentuan zakat sebagai pengurang pajak tersebut sebenarnya dapat dilaksanakan dengan mudah.

Akan tetapi, mengapa katentuan ini belum banyak diminati masyarakat muslim, layaklah untuk dianalisis beberapa hal yang terkait. Dengan melihat penghitungan tersebut dapat dilihat bahwa di

203 ‘Tax rebate for those who pay zakat,’ dalam http://thestar.com.my/news/ Akses 24 Mei 2012

antara masalah yang ada, pertama, kecilnya selisih antara pajak setelah dikurangi zakat terbayar dengan apabila pajak tersebut tanpa dikurangi dengan zakat. Dengan perbedaan yang tidak signifikan tersebut, ditambah rumitnya prosedur tentu akan menjadi hambatan bagi daya tarik pelaksanaan ketentuan tersebut. Kedua, sangat dimungkinkan karena masih minimnya sosialisasi dari pelaksanaan (aspek teknis) dari ketentuan zakat sebagai pengurang pajak ini.

Sehingga, muncul kesan secara serta-merta bahwa pelaksanaannya rumit dan melibatkan urusan yang birokratis.204

Suatu hal yang layak direkomendasikan selanjutnya dalam kaitannya dengan hal ini adalah bahwa pemerintah hendaknya lebih mempertimbangkan fungsi zakat yang demikian ideal, bahwa secara langsung dan tidak langsung ternyata zakat telah memberikan andil yang sangat besar bagi pensejahteraan umat, bagi pengentasan kemiskinan dan bagi terciptanya stabilitas sosial karena zakat dapat meredam kecemburuan sosial (miskin-kaya). Untuk selanjutnya, setelah memahami urgensi zakat semacam ini, lahirlah wacana bahwa hendaknya zakat terbayar bukan hanya sebagai pengurang PKP, namun menjadi pengurang prosentase. Sehingga, memang benar-benar bahwa umat Islam tidak akan terkena ‘double burden’ bukannya sekedar ‘lip service’, dalam arti agar nampak memberi perhatian kepada pembayaran zakat walaupun sebenarnya tidak memberikan makna yang signifikan.

204 Dari hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 2002 dengan 2011, di Yogyakarta, menunjukkan bahwa antusiasme muzakki untuk merespon pengurangan ini sangat kecil, untuk tidak dikatakan tidak ada. Adimas Laksanastya, Implementasi Ketentuan Pembayaran Zakat sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak. Skripsi, tidak diterbitkan, (Fakultas Hukum UII, 2012).