• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum Modern)

3. Hak-Hak Publik dalam Masyarakat Madani

Dalam masyarakat madani, masyarakat yang walaupun posisinya sebagai kelompok yang diperintah, namun posisi masyarakat sangat dihormati dan sebaliknya, pemimpin dalam konsep ini tidak lebih dari seorang yang telah ditunjuk untuk menjadi pemandu dalam kehidupan. Dalam masyarakat madani, justru para pejabat memiliki posisi yang tidak terlalu istimewa, posisi mereka adalah sebagai “khadim al-ummah” (pelayan masyarakat) dan bukan pejabat dari masyarakat.

Sebagai gambaran untuk menunjukkan bagaimana kuatnya posisi masyarakat (rakyat) dalam masyarakat madani, maka perlu dibahas tentang bagaimana hak-hak asasi dari para warga masyarakat.

Secara teoritik, hak-hak asasi, sebagaimana yang terdapat dalam The Universal Declaration of Human Rights, dapat dikelompokkan ke dalam tiga bagian282; pertama, hak-hak politik dan hak-hak yuridis.

Kedua, hak-hak atas martabat dan integritas manusia, dan ketiga, menyangkut hak-hak sosial, ekonomi dan hak-hak budaya. Untuk itu, di bawah ini akan mencoba untuk mendeskripsikan bagaimana jaminan terhadap hak asasi dalam masyarakat madani. Untuk itu mutlak diperlukan analisis terhadap Piagam Madinah sebagai satu-satunya traktat yang disepakati ketika itu283. Dengan bahasa yang sederhana, sebenarnya masyarakat Madinah ketika itu sudah mendapatkan jaminan atas hak asasinya, ialah dengan adanya pasal 12 yang menyatakan bahwa hak setiap orang harus dihormati.

282 Paul S. Baut dan Benny Harman K., Kompilasi Deklarasi Hak Asasi Manusia, (Jakarta:

YLBHI, 1988), hlm. 9.

283 N. Shiddiqi, Piagam Madinah, (Yogyakarta: Mentari Masa, 1989)

a. Hak Politis dan Yuridis

Hak politis dan hak yuridis adalah hak mengeluarkan pendapat, hak untuk mendapatkan peradilan yang adil dan tidak memihak, hak untuk mendapatkan bantuan hukum, serta hal lain yang mirip dengan hal-hal itu.

Masyarakat madani dalam pengertian ini, ialah masyarakat Madinah pada masa abad I Hijriyah (abad 7 Masehi), adalah masyarakat yang berdasarkan aturannya pada etika prophetik, etika kenabian yang bersumberkan wahyu (relevasi). Sebagai sebuah bentuk negara yang konstitusional, masyarakat Madinah ketika itu bisa dilihat dengan jelas, bagaimana hak politik dan hak yuridis sangat dijamin.

Dalam Piagam Madinah dikemukakan hak-hak tersebut sebagai berikut :

1. Semua orang mempunyai kedudukan yang sama sebagai anggota masyarakat; wajib saling membantu dan tidak boleh seorang pun diperlakukan secara buruk (Pasal 16), orang yang lemah haruslah dibantu dan dilindungi (Pasal 11);

2. Semua warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap negara (Pasal 24, 36, 37, 38 dan 44) sama halnya juga dalam melaksanakan tugas (Pasal 18)

3. Warga negara mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum (Pasal 34, 40 dan 46);

4. Hukum harus ditegakkan, siapapun tidak boleh melindungi kejahatan, terlebih berpihak pada orang yang melakukan kejahatan (Pasal 13, 22 dan 43).

Butir-butir/pasal-pasal dalam Piagam Madinah tersebut bukan hanya sebagai suatu pernyataan bersama yang miskin komitmen dalam kehidupan nyata. Dalam kaitannya dengan equality before the law misalnya, Nabi pernah menyatakan, “Demi Allah, seandainya Fatimah Binti Muhammad mencuri niscaya aku akan potong tangannya” (HR Ahmad).284

284 Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 18-19.

b. Hak atas Martabat dan Integritas Manusia

Hak-hak yang dapat dimasukkan dalam klasifikasi seperti ini haruslah dihormati, manusia sebagai sebuah individu, persamaan martabat, bagi semua orang walaupun berbeda bangsa, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik kelahiran ataupun kedudukan. Karena semua manusia dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama.

Dalam kaitannya dengan hal-hal tersebut, Piagam Madinah juga menyatakan bahwa semua orang mempunyai kedudukan yang sama sebagai masyarakat (Pasal 16). Bahkan pada bagian awal dari piagam tersebut sudah dinyatakan bahwa masyarakat yang bersepakat di bawah konstitusi tersebut adalah masyarakat yang majemuk, artinya bahwa heterogenei memang dijaga dalam komunitas tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa secara implisit, orang tetap dihargai dan dihormati martabatnya di tengah masyarakat yang serba beda. Bahkan hukum adat dari masing-masing kelompok tetap juga diberikan kebebasan untuk melaksanakannya selama tidak bertentangan dengan keadilan dan kebenaran (Pasal 2-10).

c. Hak Sosial dan Ekonomi

Hak sosial dan ekonomi adalah hak-hak asasi yang berkaitan dengan hak memperoleh pekerjaan dan pengupahan yang sama antar semua orang, berhak istirahat atau libur, berhak atas tingkat/

taraf hidup yang menjamin kesehatan dan keadaan baik untuk diri maupun keluarga, ibu dan anak berhak mendapat perawatan istimewa serta hak untuk memperoleh pengajaran.

Dalam hal-hal semacam itu, Piagam Madinah tidak secara rinci menyebutkan jaminan hak-hak di atas itu. Secara eksplisit, adanya pernyataan bahwa orang yang lemah harus dilindungi dan dibantu (Pasal 11). Namun hal itu bukan berarti bahwa dalam masyarakat Madinah ketika itu tidak mengenal hak sosial dan ekonomi. Dalam praktik kehidupan bernegara pada masa nabi maupun beberapa sahabat, dijumpai sangat banyak bukti bahwa orang miskin berhak

atas bantuan, bahwa orang tua dan para janda, atau anak yatim, berhak atas jaminan dari negara.285

Mengapa hak-hak semacam itu tidak secara eksplisit dinyatakan dalam Piagam Madinah, tentunya juga antara lain karena pada masa itu kehidupan belum se modern seperti sekarang ini, di mana dikenal adanya profesionalisasi dalam berbagai pekerjaan.

Sehingga, cukuplah pernyataan tentang persamaan hukum, perlindungan kepada yang lemah, dan yang sejenisnya merupakan manifestasi bahwa dalam masyarakat Madinah sangat diperhatikan tentang hak sosial dan ekonomi.

Dari apa yang telah dikemukakan di atas, dalam masyarakat Madinah yang bisa dipresentasikan sebagai sebuah masyarakat madani, dapat diketahui bahwa hak-hak publik sangat diperhatikan. Sehingga negara yang ada bukan sebagai suatu kekuasaan yang vis a vis dihadapkan pada rakyat sebagai sebuah obyek. Namun negara adalah sebuah kesatuan yang ditujukan untuk mengakomodasi kebutuhan intern dan antar individu.

Pemimpin negara Muhammad SAW adalah bukanlah tipe seorang pemimpin yang menjadikan rakyatnya takut, namun menjadikan seorang pemimpin yang sangat dicintai.

Walaupun secara selintas agaknya terjadi kemiripan antara hak-hak publik dalam masyarakat Madinah dengan The Universal Declaration of Human Right, namun sebenarnya ada satu perbedaan yang menonjol dan sangat asasi, adalah perbedaan dalam meletakkan hak sebagai sebuah thesis yang harus diperjuangkan dengan tanpa mempedulikan kewajiban, karena kewajiban secara otomatis akan tertunaikan dengan cara masing-masing terpenuhinya haknya, namun Piagam Madinah meletakkan kewajiban sebagai suatu thesis yang harus dilaksanakan oleh setiap

285 Bagi rakyat yang muslim, jelas mereka yang membutuhkan dan kekurangan akan mendapatkan tunjangan / santunan, itu sudah menjadi konsskuensi logis dari kewajiban zakat yang pembagiannya antara lain harus kepada mereka. Dan pada masa pasca Rasulullah, ini sangat tampak, misalnya pada masa Umar bin Khaththab yang sangat terkenal dalam merintis welfare state. Lihat Pulungan, Ibid, hlm. 118 dst.

individu sebagaimana tugas yang diembannya, sehingga hak akan terjadi apabila kewajiban telah ditunaikan.