• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRINSIP ISLAM TENTANG JAMINAN EKONOMI RAKYAT

A. PRINSIP BAGI PEMIMPIN UNTUK MEWUJUDKAN JAMINAN SOSIAL

1. Pemimpin bertanggung jawab atas keadaan semua aspek dari rakyatnya

Pemimpin dalam Islam diposisikan lebih sebagai pelayan umat daripada sebagai pejabat yang mempersepsikan jabatan sebagai fasilitas. Ungkapan yang sangat terkenal mengatakan : “Pemimpin sebuah umat adalah pelayan mereka (umat tersebut)”. Struktur sosial dan politik dalam Islam bukanlah bersifat feodal, antara pemimpin dan yang dipimpin tidaklah harus dipisahkan. Sebaliknya, mereka itu harus dekat dan dicintai rakyatnya sehingga keluhan-keluhan rakyat akan bisa didengar dengan mudah, rakyat juga dengan mudah bisa menyampaikan aspirasi mereka dengan mudah. Konsep Islam tentang kepemimpinan adalah konsep melayani dan menyangga tanggung jawab.63 Sebuah hadist yang sangat populer mengekspresikan tanggung jawab pemimpin adalah:

“Ketahuilah bahwa kamu sekalian adalah gembala, dan kamu sekalian akan dimintai pertanggungjawaban mengenai gembalaannya; seorang imam (pemimpin) tertinggi adalah gembala bagi rakyatnya dan dia akan dimintai pertanggungjawaban mengenai rakyatnya.”64

Aspek yang harus diperhatikan oleh pemimpin dalam Islam juga sangat berbeda apabila dibandingkan dengan wilayah jangkauan

63 Konsep ini ternyata sangat mendekati konsep modern tentang pemerintah sebagai

“public servant” atau pelayan masyarakat. Bukti dari itu semua (termasuk anti feodalisme pemerintahan) terlihat pada masa khilafa rasyidah, simbol-simbol feodalisme tidak terdapat, misalnya, istana tidak ada ketika itu, suatu hal yang aneh ketika kerajaan di sekitarnya baik yg bersamaan maupun yang sebelumnya, misalnya Parsi dan Romawi mentradisikannya. Ini bisa dilacak dalam; Chalil, Moenawar, 1977, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad S.A.W [Jakarta: Bulan Bintang] jilid IA-IVB.

64 Hadith riwayat Muttafaq ‘alaih (al-Khin, Mustafa Sa’id, 1991, Nuzhah al-Muttaqin;

Syarh Riyadh al-Shalilih, Jilid 1 [Beirut: Muassasah al-Risalah], hlm. 238).

otoritas pemimpin dalam teori kepemimpinan sekuler. Kalau wilayah kepemimpinan hanya menjangkau “public domain”, maka dalam Islam akan menjangkau “private domain”. Dalam konteks otoritas pemimpin, pemisahan semacam itu tidak populer dalam Islam. Konsep amar makruf nahy munkar mengharuskan setiap pemimpin untuk menjangkau setiap masalah yang dihadapi dan perbuatan yang dilakukan warganya.

Bukan hanya masalah ekonomis-materiil semata yang harus diurus oleh Imam, akan tetapi masalah ruhaniah juga menjadi wilayah perhatian pemimpin, itulah sebabnya sehingga kemudian kesuksesan seorang pemimpin bukan hanya ditentukan dengan parameter yang bersifat material. Kemenyeluruhan cakupan otoritas dan tanggung jawab pemimpin Islam juga terlihat dari pernyataan Umar bin Khattab:” Dan telah berkata Sayyidina Umar bin Khattab r.a: Andaikata seekor anak domba binasa karena tersesat di pantai Furat, aku akan merasa takut bahwa Allah akan menanyakan hal itu kepadaku”.65

Karena sedemikian beratnya amanah dan tanggung jawab pemimpin itulah, maka Nabi saw men- discourage seseorang untuk tidak mencalonkan diri sebagai pemimpin apabila yang bersangkutan tidak mampu memikul tanggung jawabnya. Nabi suatu saat menasehati Abu Dzar sebagai berikut:

“Hai Abu Dzar, engkau adalah seorang yang lemah, dan sesungguhnya jabatan sebagai pemimpin adalah amanat yang berat, dan kelak pada hari kiamat ia akan menjadi penyebab kehinaan dan penyesalan kecuali bagi orang-orang yang telah mengambilnya dengan cara yang benar dan melunasi kewajiban-kewajiban yang harus dipikulnya”.66

Hal itu bisa dipahami, karena memang berdasarkan kriteria yang menjadi persyaratan pemimpin, tugas dan kewajibannya, bisa dipahami bahwa menjadi pemimpin dalam Islam itu sangat berat.

Dalam sebuah literatur dinyatakan bahwa tanggung jawab khalifah,

65 Al-Maududi, Khilafah, hlm. 99.

66 Hadith riwayat Muslim (al-Khin, Nuzhah, hlm. 481)

kewajiban sebagai kepala negara jauh lebih berat jika dibandingkan dengan previlege yang akan didapat.67

2. Pelarangan Penyalahgunaan Kekuasaan (Abuse of Power) Prinsip yang amat penting dan mendasar dalam negara Islam ialah bahwa pemerintah beserta kekuasaannya serta kekayaannya adalah karunia Allah bagi kaum muslimin, yang harus diserahkan penanganannya kepada orang-orang yang memiliki integritas terpilih di antara manusia yang lain, takwa kepada Allah, bersifat adil dan benar-benar beriman. Tidak seorangpun berhak menggunakannnya dengan cara-cara yang diragukan keabsahannya dalam Islam atau demi kepentingan pribadi :

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan menyuruh kamu menetapkan hukum di antara manusia, supaya menetapkan dengan adil; sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.S. 4:58).

Karena itulah, maka bisa dipahami dengan mudah bahwa semua bentuk penggunaan jabatan beserta fasilitas dan kesempatan yang melekat padanya untuk tujuan yang berlawanan dengan kepentingan dan keperluan rakyat, dengan sangat keras ditentang dalam Islam.

Hadist Nabi menyatakan bahwa tidaklah seorang wali atas kaum muslimin meninggal dunia dalam keadaan ia telah menipu mereka, kecuali Allah akan mengharamkan surga baginya.68

Tindakan menipu dari pemimpin terhadap umat bisa terjadi dalam bentuk bermacam-macam, berbagai bentuk manipulasi, korupsi dan semua penyelewengan atas Sumpah Jabatan bisa diklasifikasikan sebagai penipuan terhadap umat/rakyat69. Bukan hanya itu, ketidak

67 Boisard, Humanisme, hlm. 177

68 Al Bukhari, Kitabal-Ahkam, bab 8 : Muslim,Kitab al-Iman, bab 61, Kitab al-Imarah, bab 5 dalam Abul A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan.

69 Dalam teori kontrak sosial, teori yang agaknya cukup dekat dengan konsep Islam,

sungguhan yang mengandung vested interest (kepentingan tersembunyi) juga dikecam oleh hadist. Bersabda Nabi saw :

Tidak seorangpun menjadi wali kaum muslimin, kemudian dia tidak berupaya dengan sungguh-sungguh dan tulus bagi kepentingan mereka, kecuali ia pasti tidak akan masuk surga bersama mereka.70

Dari itulah, semua bentuk penyalahgunaan jabatan dilarang.

Kesejahteraan umat akan sangat tergantung dengan ketulusan pemimpin dan penyelenggara otoritas untuk kepentingan umat.” Serta disabdakan pula bahwa: Khianat yang terbesar adalah tindakan seorang wali (pejabat) yang memperdagangkan milik rakyatnya.71

Islam juga memberikan standardisasi atas fasilitas yang boleh atau bisa dipergunakan oleh pemimpin. Meskipun di satu sisi Islam melarang pemanfaatan kekayaan dan fasilitas negara, namun bukan berarti bahwa pemimpin itu tidak diperhatikan hak-hak ekonominya.

Nabi menyatakan:

“Barangsiapa menduduki suatu jabatan dan ia tidak mempunyai seorang istri, hendaknya ia memperistri seorang wanita, dan apabila dia tidak memiliki seorang pelayan, maka hendaknya ia mengambil seorang pelayan dan barangsiapa tidak memiliki rumah kediaman atau tidak memiliki binatang tunggangan, maka hendaknya dia mengambilnya, dan setelah itu, barangsiapa mengambil lebih dari itu, maka dia adalah seorang koruptor atau seorang pencuri.”72

Meski standar itu belum tentu bisa dan sesuai untuk diterapkan secara litterlijk, namun seberapapun juga bentuk pernyataan Nabi

pernyataan sumpah jabatan (bai’at) adalah sebuah kontrak antara dua belah pihak, menyalahi kontrak tersebut berarti melakukan penipuan terhadap umat.

70 Sahih Muslim, Kitab al-Imarah, bab 5 dalam Abul A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan.

71 HR Muslim, dalam, Ibid, jilid 6, hadis 78, dalam Abul A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan.

72 HR Muslim, dalam, Ibid, jilid 6, hadis 346, dalam Abul A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan.

itu, tetaplah itu merupakan sebuah ide yang sangat penting manfaatnya bagi pengembangan pemikiran dan konsep di seputar standardisasi fasilitas seorang pemimpin.

Diharapkan bahwa seorang pemimpin tidak akan mengakumulasi kekayaan negara hanya untuk kepentingan pribadinya, yang berarti telah melakukan manipulasi terhadap kekayaan negara yang seharusnya disampaikan antara lain orang-orang miskin, serta orang-orang-orang-orang yang karena keadaan mereka sehingga layak mendapat jaminan sosial dari negara.

3. Perlakuan Sama Terhadap Semua Warga Negara (Equal treatment)

Islam tidak pernah memberikan previlege (keistimewaan) kepada siapapun juga untuk memperoleh perlakuan yang berbeda oleh pemerintah/imam.73 Negara/pemimpin bisa saja dengan alasan tertentu memberikan sesuatu kepada seorang warga negara, hal mana tidak diberikan kepada sebagian yang lain. Namun jelas, bahwa pemberian itu merupakan kontra prestasi atas jasa yang telah diberikannya kepada negara. Misalnya mengapa sahabat yang telah berjasa dalam Perang Badar mendapatkan tunjangan lebih dari yang lain, itu karena pentingnya peran yang mereka berikan74.

Hal yang dilarang adalah perlakuan yang berbeda untuk warga negara yang seharusnya diperlakukan sama. Bentuk perlakuan beda ini akan memberikan peluang yang menjurus kepada penzaliman sebagian warga negara atau yang bisa disebut dengan exploitasi, karena memberikan previlege kepada sekelompok orang, berarti akan mengurangi kewajiban mereka, dan di antara kewajiban mereka sebenarnya merupakan hak bagi warga yang lain. Sehingga nepotisme atau favouritisme akan senantiasa disertai dengan eksploitasi

73 Dinyatakan dalam sejarah, bahwa Umar bin Khattab tidak banyak memiliki previlege.

Bagaimana dilukiskan bahwa dia tidak pernah memiliki pengawal, sama halnya tidak memiliki istana sebagai kediaman seorang kepala negara, dalam, Mahmudunnasir, Islamic, hlm. 137.

74 Dalam Bab IV akan nampak adanya perbedaan tunjangan sosial untuk berbagai kelompok masyarakat yang ada ketika itu.

terhadap sekelompok warga negara yang lain. Pemerintah dilarang mengeksploitasi sekelompok pihak oleh pihak lain atau bahkan oleh pemerintah sendiri. Dalam al-Qur’an Surat al- Qashash ; 4 dinyatakan:

“ Sungguh Fir’aun sangat congkak di bumi dan menjadikan penduduk bumi terpecah belah. Sekelompok mereka menindas yang lain, menyembelih anak-anak lelakinya dan membiarkan hidup anak-anak perempuan. Fir’aun termasuk orang yang berbuat kerusakan.”

Nabi dengan sangat tegas juga menyatakan bahwa anggota keluarga Nabipun tidak boleh mendapat previlege: “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangannya, andaikata Fatimah binti Nabi Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya”75. Dalam konteks yang hampir sama berkata Sayyidina Abu Bakar as-Shiddiq r.a :

“Barangsiapa menjadi pemimpin, maka dia adalah orang yang paling panjang perhitungannya di hari kiamat dan paling besar azabnya, dan barangsiapa yang tidak menjadi pemimpin, maka dia adalah orang yang paling ringan perhitungannya dan paling sedikit azabnya, sebab orang-orang yang menjadi pemimpin adalah orang yang paling dekat kemungkinannya untuk bertindak dzalim terhadap kaum mukminin, maka sesungguhnya ia telah melanggar perjanjiannya dengan Allah dan mengkhianatinya”.76

B. PRINSIP-PRINSIP BAGI WARGA NEGARA UNTUK