1. Definisi Operasional a. Hadis
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan istilah ‘hadis’ sesuai dengan kecenderungan dan bidang keilmuannya. Ulama us}u>l mengatakan bahwa hadis adalah segala perkataan, perbuatan, taqri>r Nabi saw. yang bersangkut paut dengan hukum atau yang pantas dijadikan hukum syara’.49 Dengan pengertian ini, ulama us}u>l nampaknya melihat hadis Nabi saw. dari segi kedudukannya sebagai salah satu sumber ajaran Islam.50 Sedang ulama hadis mendefinisikannya dengan lebih luas dan menyamakannya dengan pengertian sunnah. Menurut mereka, hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw. baik berupa perkataan, perbuatan, taqri>r, maupun sifat-sifat beliau baik fisik maupun akhlak, dan hal itu berlangsung baik sebelum maupun sesudah kenabian.51
Ulama juga membagi hadis dengan beragam bentuk yakni hadis yang didasarkan pada jumlah periwayat, penyandarannya kepada pengucap terakhir, kualitas dan ketersambungan serta keterputusan sanadnya. Namun dalam kaitan dengan penelitian ini, hanya pembagian hadis berdasarkan jumlah periwayat serta penyandarannya pada pengucap terakhir yang akan diuraikan.
Dari segi jumlah periwayat, hadis terbagi menjadi mutawa>tir dan a>h}a>d.
Mutawa>tir adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang, berdasarkan
pancaindera, yang menurut kebiasaan, mustahil mereka terlebih dahulu untuk 49
‘Ajja>j al-Khat}i>b, al-Sunnah Qabl al-Tadwi>n (Cet. I; Kairo: Maktabah Wahbah, 1963 M/ 1383 H), h. 16.
50
Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi: Refleksi Pemikiran Pembaruan
Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail (Cet. II; Jakarta: MSCC, 2005), h. 17. 51
sepakat berdusta. Keadaan periwayatan ini berlanjut, sejak t}abaqah pertama sampai
t}abaqah yang terakhir.52Sementara a>h}a>d adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang-seorang, atau dua, atau lebih akan tetapi belum cukup syarat untuk dimasukkan sebagai mutawa>tir.53
Perbedaan jumlah periwayat tersebut menyebabkan pada perbedaan sikap ulama dalam menerima hadis. Hadis mutawa>tir diyakini kebenarannya berasal dari Nabi saw. karena banyaknya periwayat yang meriwayatkan hadis tersebut dalam setiap generasinya. Sehingga tidak memerlukan penelitian tentang jalur sanadnya (kritik sanad). Berbeda halnya dengan hadis a>h}a>d, diriwayatkan segelintir periwayat, menyimpan dua kemungkinan yakni maqbu>l dan mardu>d. Hadis maqbu>l, menurut jumhur, wajib diamalkan sedang hadis mardu>d tidak. Hadis a>h}a>d menyimpan tiga kemungkinan, yakni: 1. Yakin akan kebenaran hadisnya karena kebenaran periwayatnya sehingga dapat diamalkan, 2. Yakin akan kebohongan beritanya karena adanya periwayat yang berdusta sehingga wajib ditinggalkan, 3. Apabila ada indikasi pada salah satu dari dua kemungkinan di atas maka dapat ditetapkan kesahihannya sedang bila tidak ada indikasinya maka dinilai mauqu>f dan nilainya sama dengan mardu>d.54 Karenanya, hadis a>h}a>d harus diteliti terlebih dahulu kesahihannya.
Dilihat dari segi sandaran pengucapnya, hadis terbagi menjadi tiga yakni
marfu>‘, mauqu>f dan maqt}u>‘. Marfu>‘ adalah hadis yang disandarkan kepada Nabi
saw., baik bersambung sanadnya ataupun tidak, baik yang menyandarkan itu sahabat
52M. Syuhudi Ismail, op. cit., h. 135.
53
Ibid., h. 141.
54Ibn H{ajar al-‘Asqala>ni>, al-Nukat ‘ala> Nuzhah al-Naz}ar fi> Taud}i>h} Nukhbah al-Fikr (Cet. II; al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Sa‘u>diyyah: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1994 M/1414 H), h. 58-73.
Nabi saw. ataupun bukan.55 Mauqu>f adalah perkataan atau perbuatan yang
disandarkan kepada sahabat baik sanadnya bersambung ataupun tidak.56 Sedang
maqt}u>‘ adalah perkataan atau perbuatan yang disandarkan kepada ta>bi‘i>n baik
sanadnya bersambung ataupun tidak.57 Berdasarkan ketiga pembagian tersebut, maka sesungguhnya apa yang disandarkan kepada sahabat (hadis mauqu>f) dan
ta>bi‘i>n (hadis maqt}u>‘) tidak dapat disebut sebagai hadis.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan istilah hadis dalam penelitian ini menyangkut beberapa hal:
1) Dari segi pengertian, yang perpegangi adalah hadis menurut ulama hadis yakni segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw. baik berupa perkataan, perbuatan, taqri>r, maupun sifat-sifat beliau baik fisik maupun akhlak, dan hal itu berlangsung baik sebelum maupun sesudah kenabian.
2) Dari segi penyandaran pengucapnya maka yang dimaksud hadis di sini adalah hadis marfu>‘ yakni hadis yang disandarkan kepada Nabi saw., baik bersambung sanadnya ataupun tidak, baik yang menyandarkan itu sahabat Nabi saw. ataupun bukan. Dengan demikian, hadis mauqu>f dan maqt}u>‘ tidak menjadi fokus kajian kritik sanad maupun matan. Kecuali apabila periwayatnya menyandarkan riwayatnya kepada Nabi saw.
3) Selain hadis tersebut marfu>‘, kategori hadis yang akan diteliti kualitasnya adalah hadis yang berstatus a>h}a>d yang masih mengandung dua kemungkinan antara
maqbu>l dan mardu>d. Sedang hadis mutawa>tir, bila sudah dapat dipastikan
55
M. Syuhudi Ismail, op. cit., h. 160.
56Ibid., h. 164. 57
kemutawa>tirannya, maka tidak diperlukan kajian sanad. Meski demikian, kajian terhadap matan tetap dilakukan.
b. Hak dan Kewajiban
Dalam hubungan interaksi individu atau kelompok manusia ada norma tertentu yang mesti dipatuhi setiap orang agar dapat terjalin hubungan yang harmonis. Norma tersebut dihubungkan atas nama hak dan kewajiban. Prinsip mendasar dalam norma ini adalah keadilan, kesetaraan dan kebaikan. Keadilan, dalam hal ini berarti terpenuhinya hak bagi yang memiliki secara sah, yang jika dilihat pada sudut pandang orang lain adalah kewajiban. Oleh karenanya, siapa yang lebih banyak melakukan kewajiban atau yang memikul kewajiban lebih besar, dialah yang memiliki hak lebih dibanding yang lain.58 Dengan pengertian ini pula dapat dipahami akan adanya timbal balik antara hak dan kewajiban. Apa yang menjadi kewajiban seseorang pada hakikatnya adalah pemenuhan akan hak orang lain demikian juga hak yang diperoleh seseorang dikarenakan adanya pihak lain yang telah melakukan kewajibannya.59
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘hak’ memiliki banyak pengertian diantaranya: 1. benar; 2. milik; 3. kewenangan; 4. kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh undang-undang, aturan dsb.); 5. kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu; dan 6. derajat atau martabat.60 Hak juga
58Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir Qur’an (Yogyakarta: LKiS, 1999), h. 132.
59Lihat, Burhanuddin Salam, Etika Individual Pola Dasar Filsafat Moral (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h. 192.
60Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi III, Cet. 1; Balai Pustaka: Jakarta, 2001 ), h. 382.
berarti wewenang atau kekuasaan secara etis untuk mengerjakan atau meninggalkan, memiliki dan mempergunakan atau menuntut sesuatu.61
Sedang kewajiban memiliki arti: 1. (sesuatu) yang diwajibkan, sesuatu yang harus dilaksanakan, keharusan; 2. pekerjaan, tugas.62 Kewajiban juga berarti seseorang yang diharapkan atau dituntut untuk melakukan sesuatu sebagai kewajiban moral atau hukum.63
Dalam literatur fikih atau kajian terhadap struktur keluarga muslim, para ulama tidak memisahkan bahasan antara hak dan kewajiban. Kedua kata tersebut disebut dalam satu kata yakni hak atau sering diistilahkan dengan ‘h}uqu>q
al-jauziyyah’ (hak-hak pasangan). Berkenaan dengan al-h}uqu>q al-jauziyyah, Sayyid
Sa>biq, menyebut tiga bentuk hak, yakni: 1. hak isteri yang harus dipenuhi suami, 2. hak suami yang harus dipenuhi isteri, 3. hak kedua belah pihak.64 Landasan hukum
61M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika (Jakarta: Rajawali Press, 2006), h. 294.
62Tim redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, op. cit., h. 1266.
63Salah satu makna kewajiban ‘duty’ dinyatakan: “Duty is that which one is expected or
required to do by moral or legal obligation”. Lihat, Wabster’s Encyclopedic Unabridged Dictionary of
the English Language, (New York: Portland House, 1989), h. 444.
64Al-Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, juz 2 (Kairo: al-Fath} li al-I‘la>m al-‘Arabi>, t.th.), h. 100. Al-Jaza>iri> mengemukakan pembagian yang sama dengan Sayyid Sa>biq mengenai hak-hak suami isteri. Yang berbeda adalah penjelasan dan rincian masing-masing hak tersebut. Menurut al-Jaza>iri>, hak bersama antara suami dan isteri adalah hak saling amanah, cinta dan kasih sayang, saling percaya, memperlakukan pasangan dengan baik. Lihat Abu> Bakar al-Jaza>iri>, Minha>j al-Muslim: Kita>b ‘Aqa>’id
waĀda>b wa Akhla>q wa ‘Iba>da>t wa Mu‘a>mala>t (Beiru>t: Da>r al-Fikr, t.th.), h. 85. Sedang hak isteri
atas suami adalah memperlakukan isteri dengan baik, mengajarkan agama, mendidik isteri dengan nilai-nilai agama, berlaku adil di antara isteri apabila berpoligami, tidak membuka rahasia dan aib isteri. Ibid., h. 86-87. Disamping itu juga, memberi nafkah, menggauli isteri minimal sekali dalam empat bulan, tinggal bersama isteri satu malam dalam empat bulan, tinggal bersama isteri pada hari pernikahan, memberi izin isteri untuk mengunjungi keluarga yang sakit. Ibid., h. 362. Adapun hak suami atas isteri adalah ditaati selama tidak maksiat, menjaga kehormatan dan kemuliaan suami, isteri tinggal di rumah suami dan izin bila meninggalkan rumah. Ibid., h. 88. Disamping itu, bepergian bersama suami jika mungkin, melayani suami bila ia berkehendak, izin suami bila berpuasa sunnah sementara suami di rumah. Ibid., h. 363. Zainab membagi hak suami isteri menjadi dua, yakni: hak materi dan non materi. Hak isteri yang bersifat materi adalah mahar, nafkah dan waris. Sedang hak non materi bagi kedua belah pihak adalah mu‘a>syarah bi al-ma‘ru>f, jima>‘, kesamaan dalam hak dan
yang ia jadikan acuan untuk menentukan hak tersebut adalah Alquran dan hadis. Berikut adalah uraian mengenai hak masing-masing pihak.
Pertama, hak isteri terhadap suami, mencakup: 1. Hak atas harta (material)
berupa mahar (Q.S. Al-Nisa>/4: 4) dan nafkah (Q.S. Al-Baqarah/2: 233, Q.S. al-T{ala>q/65: 6-7); 2. Hak immaterial yakni hak untuk mendapatkan keadilan apabila suami melakukan poligami dan tidak boleh merugikan hak isteri (Q.S. Al-Nisa>’/4: 19),65diperlakukan dengan baik, dan dipelihara kehormatannya.66
Kedua, hak suami atas isteri. Diantara hal tersebut adalah ditaati selama
tidak menyangkut maksiat, dijaga diri dan hartanya, menghindari tuduhan yang dapat menyusahkan suami, menampakkan rasa benci, mengizinkan orang lain yang tidak disukai suami masuk ke rumahnya, berbakti pada suami, isteri tinggal di rumah suami, pindah ke rumah suami dan lainnya.67
Ketiga, hak bersama antara suami dan isteri. Terkait hal ini ada lima macam,
yakni: 1. Hak untuk sama-sama menikmati hubungan seksual. Hak ini mencakup kedua belah pihak dimana suami berhak untuk menikmati hubungan dengan isterinya sebaliknya isterinya pun demikian dan tidak mungkin tanpa keterlibatan kedua belah pihak; 2. Haram pernikahan disebabkan adanya ikatan pernikahan. Isteri haram dinikahi oleh bapak suami dan dari jalur ke atas dan ke bawah, demikian juga suami haram menikahi ibu isteri dari jalur ke atas dan ke bawah; 3. Adanya hak saling mewarisi bagi ke dua belak pihak dengan adanya akad nikah; 4. Adanya
kewajiban. Lihat, Zainab ‘Abd S}ala>h Abu> Fad}l, ‘Ard} Qur’a>ny li> Qad}a>ya> Nika>h} wa
al-Firqah: Dira>sah Tah}li>liyyah Ja>mi‘ah Bayna Tafsi>r al-Āya>ti wa Fiqhih (Kairo: Da>r al-H{adi>s\, 2006), h.
260. Hak suami atas isteri adalah kepemimpinan, ketaatan, poligami dan hak rujuk. Ibid., h. 296.
65
Ibid., h. 101. 66Ibid., h. 120. 67
hubungan nasab antara anak dan suami; 5. Saling berlaku baik terhadap kedua belah pihak (Q.S. Al-Nisa>’/4: 19). Wajib bagi kedua belah pihak memperlakukan pasangannya dengan baik sehingga dapat melahirkan kemesraan dan ketenangan.68
Bila Sayyid Sa>biq tidak menguraikan bentuk hak suami maka Zainab menyebutkannya dengan merujuk pada Alquran sebagai landasan hukum. Diantara hak tersebut adalah hak kepemimpinan dan hak rujuk. Hak kepemimpinan suami atas isteri terdapat dalam Q.S. al-Nisa>’/4: 34 sedang hak rujuk dapat dilihat pada ayat-ayat yang berbicara tentang talak. Karenanya dalam kajian ini, hak suami ada dua yakni hak kepemimpinan dan talak.
Adapun tentang kewajiban suami isteri, Sayyid Sa>biq dan lainnya tidak memberikan bahasan karena memandang bahwa bahasan tersebut telah tercover dalam uraian akan hak-hak suami dan isteri. Namun demikian, penulis memandang perlu untuk tetap mengkaji sisi kewajiban suami isteri di luar pembahasan hak suami isteri. Untuk tujuan tersebut, penulis menggali kandungan ayat yang memuat perintah kepada suami atau isteri dalam kaitannya dengan relasi hubungan pernikahan. Dengan dasar itu, ditetapkan bentuk kewajiban suami berupa wasiat, terkait li’an, dan menghadirkan saksi dalam kasus perzinahan isteri. Sedang kewajiban isteri memuat perintah berdamai saat terjadi nusyu>z yang dilakukan suami dan perihal iddah. Adapun kewajiban bersama mencakup pemeliharaan anak dan penyusuan.
Peniadaan pembahasan akan kewajiban dalam hubungan suami isteri, meski penyebutan hak mencakup pemenuhan akan kewajiban, membawa efek negatif bagi pihak tertentu yang kurang bertanggung jawab akan hak dan kewajiban. Sebab,
68
kedua hal tersebut memiliki efek perbuatan yang berbeda, di mana hak boleh diminta namun boleh juga tidak sementara kewajiban mesti ditunaikan tanpa harus diminta. Peniadaan bahasan kewajiban dapat mengurangi rasa tanggung jawab seseorang untuk memenuhi hak orang lain manakala tidak ada tuntutan dari pihak tersebut. Dengan alasan ini, pada pembahasan berikut antara hak dan kewajiban tetap dijadikan bahasan yang didasarkan pada petunjuk Alquran.
Sehingga, istilah hak dalam penelitian ini adalah segala sesuatu yang mutlak dan seharusnya menjadi milik seseorang dan hak ini diperoleh dari pelaksanaan orang lain akan kewajibannya. Sedang kewajiban adalah sesuatu yang harus ia lakukan menyangkut hak seseorang. Dengan demikian, hadis-hadis yang dijadikan fokus dalam penelitian ini adalah hadis yang terdapat pada ayat-ayat yang berbicara tentang hak suami isteri yang diperoleh dari pelaksanaan pasangan akan kewajibannya sedang kewajiban terkait dengan apa yang mesti ia penuhi menyangkut hak pasangan.
c. Pengertian Relevansi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, relevansi berarti hubungan; kaitan.69 Dengan pengertian tersebut, sesuatu dipandang relevan apabila memiliki hubungan atau kaitan dengan sesuatu lainnya. Sebaliknya, apabila tidak terdapat keterkaitan maka tidak dapat dinilai relevan. Pengertian relevansi yang lebih jelas dapat terlihat dalam Kamus Filsafat yang ditulis tim penulis penerbit Rosda Karya. Dalam buku tersebut, relevansi dipahami dengan adanya hubungan yang eksis antara (a) term-term, ide-ide, konsep-konsep, kata-kata sedemikian sehingga mereka dapat saling dihubungkan untuk membentuk pernyataan yang bermakna seperti ide ide, konsep
69
konsep, kata-kata lain yang bermakna dan atau (b) dalam logika induktif, derajat probabilitas suatu harapan yang masuk akal agar sesuatu akan atau secara empiris atau kausal terkait dengan hal yang lain.70 Dengan demikian, suatu ide atau konsep dipandang relevan apabila kedua objek tersebut memiliki kesamaan konten. Karena penelitian ini mengkaji hadis dalam kaitannya dengan tafsir maka kajian akan kualitas hadis dan apakah hadis tersebut merupakan tafsir Nabi atas ayat perlu dilakukan sebagai langkah awal.
2. Ruang Lingkup Pembahasan
Dalam klasifikasi karya tafsir, tafsir al-T{abari> dikategorikan sebagai tafsi>r bi
al-ma’s\u>r dimana ciri utamanya adalah menafsirkan ayat dengan menggunakan
riwayat yang berasal dari Nabi Muhammad saw, sahabat dan ta>bi‘i>n. Dalam ilmu hadis, apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. berupa perkataan, perbuatan dan taqri>r disebut dengan hadis marfu>‘, sedang perkataan yang disandarkan kepada sahabat dan ta>bi‘i>n disebut dengan mauqu>f dan maqt}u>‘. Hadis
marfu>‘ sendiri kemungkinannya berkualitas maqbu>l dan mardu>d. Hadis yang
termasuk dalam kategori maqbu>l adalah hadis yang berkualitas sahih, hasan dan sebagian menilai daif untuk fad}i>lah al-‘amal. Sedang hadis mardu>d masuk di dalamnya hadis dengan kualitas daif dan maud}u>‘.
Dalam menafsirkan ayat, al-T{abari> tidak hanya menggunakan riwayat yang berstatus marfu>‘ namun juga riwayat yang mauqu>f dan maqt}u>‘ yang sebagiannya ia nilai sendiri kualitas hadisnya namun sebagian lain tidak.71Disamping itu, al-T{abari> juga tidak terlepas dari riwayat-riwayat Isra>iliyya>t dan Nas}ra>niyya>t yang ia peroleh
70Tim penulis Rosda,Kamus Filsafat (Bandung: Rosdakarya, 1995), h. 288. 71
dari pemuka Yahudi dan Nasrani yang telah memeluk Islam. Namun demikian, riwayat yang tidak disandarkan pada Nabi saw. tidak dapat dikatakan sebagai hadis termasuk Israiliyya>t.
Penyandaran hadis kepada Nabi saw., sahabat dan ta>bi‘i>n, sebagaimana yang terdapat dalam tafsir al-T}abari>, menyebabkan beragamnya kualitas hadis yang terdapat dalam tafsir tersebut. Ulama hadis sepakat bahwa hadis yang dapat dijadikan hujah adalah hadis yang disandarkan kepada Nabi saw. dan berkualitas sahih atau hasan. Sedang hadis daif, meski ia disandarkan kepada Nabi saw., para ulama berselisih pendapat mengenai status kehujahannya. Adapun riwayat sahabat dan ta>bi‘i>n secara personal, merupakan ijtihad individu yang memiliki kemungkinan benar atau keliru. Sehingga, penelitian ini hanya memfokuskan hadis-hadis yang disandarkan kepada Nabi saw. untuk diteliti kualitas sanad serta matannya.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, tafsi>r bi ma’s\u>r atau tafsi>r bi
al-riwa>yah merupakan jenis tafsir yang menggunakan periwayatan dalam menafsirkan
ayat baik yang disandarkan pada Nabi saw., sahabat maupun ta>bi‘i>n. Ada banyak riwayat, termasuk hadis, yang ditemukan dalam tafsir tersebut. Namun dalam penelitian ini, riwayat atau hadis yang akan dijadikan fokus kajian adalah hadis-hadis yang menjadi tafsir atas ayat-ayat yang kandungannya memuat hak dan kewajiban suami isteri.