SKEMA KERANGKA PEMIKIRAN
A. Metode Kritik Hadis
2. Metode Kritik Matan
Sebagaimana perumusan kriteria kesahihan sanad, pada mulanya para ulama belum merumuskan secara jelas dan sistematis kriteria kesahihan matan. Untuk mengetahui sahih tidaknya matan, al-Khat}i>b al-Bagda>di> (w. 463), misalnya, menyebutkan sejumlah kriteria bagi matan yang maqbu>l (diterima), yakni: (a) tidak bertentangan dengan akal sehat; (b) tidak bertentangan dengan hukum Alquran yang telah muh}kam; (c) tidak bertentangan dengan hadis mutawa>tir; (d) tidak
42
bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama masa lalu (ulama salaf); (e) tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti; dan (f) tidak bertentangan dengan hadis a>h}a>d yang kualitas kesahihannya lebih kuat.43
Selain itu, kesahihan matan dapat diketahui dengan mengetahui ciri atau sifat dari hadis maud}u‘, yang diantaranya: (a) susunan kalimatnya rancu dan janggal; (b) riwayat tersebut bertentangan dengan akal dan panca indera; (c) riwayatnya mengandung ancaman yang besar untuk hal-hal kecil,44 (d) tidak terdapat dalam kitab-kitab hadis, (e) bertentangan dengan Alquran, hadis mutawa>tir atau ijma’ yang tidak mungkin untuk dikompromikan.45
Apa yang dikemukakan para ulama di atas berkenaan dengan kriteria hadis
maqbu>l dan ciri-ciri hadis maud}u>‘, tidak jauh berbeda dengan kriteria atau tolok
ukur yang digunakan sejumlah ulama hadis belakang dalam mengidentifikasi kesahihan matan. Al-Adlabi>, misalnya, menyebutkan empat tolok ukur penelitian matan, yakni: (a) tidak bertentangan dengan petunjuk Alquran; (b) tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat; (c) tidak bertentangan dengan akal yang sehat, indera, dan sejarah; dan (d) susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.46
Salah satu contoh yang dikemukakan al-Adlabi> berkenaan dengan matan hadis yang bertentangan dengan fakta sejarah adalah hadis riwayat al-Bukha>ri> yang
43Abu> Bakar Ah}mad bin ‘Ali> Sabit al-Khat}i>b al-Bagda>di>, al-Kifa>yah fi> ‘Ilm al-Riwa>yah (Mesir: Mat}ba‘ah al-Sa‘a>dah, 1972), h. 206-207.
44S}ubh}i S}a>lih},‘Ulu>m al-Hadi>s\ wa Mus}t}alah}uh (Cet. XVII; Beiru>t: Da>r al-‘Ilm lil Mala>yi>n,
1959), h. 264-266.
45
Nu>r al-Di>n ‘Itr, op. cit., h. 312-315.
46S}ala>h} al-Di>n ibn Ah}mad al-Adlabi>, Manhaj Naqd al-Matan (Beiru>t: Da>r al-Afaq al-Jadi>dah, 1983 M/1403 H), h. 238.
bercerita tentang penanggalan Isra Mikraj Nabi saw. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Anas ibn Ma>lik dan berbunyi:
…
ِﻪﱠﻠﻟا ِلﻮُﺳَﺮِﺑ َىِﺮْﺳُأ َﺔَﻠْـﻴَﻟ ُلﻮُﻘَـﻳ ٍﻚِﻟﺎَﻣ َﻦْﺑا ُﺖْﻌَِﲰ َلﺎَﻗ ُﻪﱠﻧَأ ِﻪﱠﻠﻟا ِﺪْﺒَﻋ ِﻦْﺑ ِﻚﻳِﺮَﺷ ْﻦَﻋ
ﻢﻠﺳو ﻪﻴﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ
َﻔَـﻧ ُﺔَﺛَﻼَﺛ ُﻩَءﺎَﺟ ُﻪﱠﻧَأ ِﺔَﺒْﻌَﻜْﻟا ِﺪِﺠْﺴَﻣ ْﻦِﻣ
ِماَﺮَْﳊا ِﺪِﺠْﺴَﻤْﻟا ِﰱ ٌﻢِﺋﺎَﻧ َﻮْﻫَو ِﻪْﻴَﻟِإ ﻰَﺣﻮُﻳ ْنَأ َﻞْﺒَـﻗ ٍﺮ
…
Artinya:…Dari Syarik ibn ‘Abdullah bahwa ia berkata, saya mendengar Ibn Malik berkata, “Tatkala Rasulullah diisra’kan dari masjid Ka’bah, beliau didatangi tiga orang-yang ketika itu beliau belum menerima wahyu- ketika beliau tidur di masjid Haram…47
Sebagaimana yang disepakati bahwa isra’ mikraj terjadi setelah Nabi saw. diangkat menjadi rasul sekitar 10 tahun. Hal ini berbeda dengan riwayat al-Bukha>ri> yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut terjadi sebelum kerasulan. Disepakati pula bahwa kewajiban salat diperintahkan pada malam isra’ mikraj. Lantas apakah kewajiban salat diperintahkan sebelum turunnya wahyu dan sebelum kenabian?48
Demikian salah satu contoh yang dikemukakan al-Adlabi> berkenaan dengan matan hadis yang daif karena bertentangan dengan fakta sejarah yang telah disepakati oleh para ulama.
Berbeda dengan semua ketentuan tersebut di atas, dalam kaidah kesahihan hadis yang ditetapkan ulama, terutama setelah Ibn S}ala>h} (w. 643 H/1245 M) hanya memasukkan dua kriteria terkait kesahihan matan yakni terhindarnya matan dari
sya>z\ dan ‘illah. Dengan dua kriteria yang disepakati ulama dalam kesahihan matan
tersebut, Arifuddin Ahmad menyimpulkan bahwa kaidah mayor kesahihan matan adalah terhindar dari sya>z\ dan ‘illah.49 Adapun kaidah minor sya>z\ adalah: (1) sanad
47Abu> ‘Abdulla>h Muh}ammad ibn Isma>‘i>l al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} al-Bukha>ri> (Beiru>t: Da>r Ibn Kas\i>r, 2002/1423), h. 1855.
48Al-Adlabi>, op. cit., h. 295.
49
hadis tidak menyendiri; (2) matan hadis tidak bertentangan dengan matan hadis yang sanadnya lebih kuat; (3) matan hadis tidak bertentangan dengan Alquran; dan (4) matan hadis tidak bertentangan dengan akal dan fakta sejarah.50 Sedang kaidah minor untuk ‘illah matan adalah (1) matan tidak mengandung idra>j (sisipan); (2) matan tidak mengandung ziya>dah; (3) tidak terjadi maqlu>b (pergantian lafal atau kalimat) pada matan; (4) tidak terjadi id}t}ira>b (pertentangan yang tidak dapat dikompromikan); dan (5) tidak terjadi kerancuan lafal dan penyimpangan makna yang jauh dari matan hadis bersangkutan.51
Dengan demikian, tolok ukur kesahihan matan yang dikemukakan al-Adlabi> di atas sesungguhnya merupakan bagian dari kriteria keterhindaran matan dari sya>z\ dan ‘illah.
Dalam hal praktis, Syuhudi memformulasikan langkah-langkah metodologis kegiatan penelitian matan hadis. Langkah-langkah metodologis tersebut, yakni: a. meneliti matan dengan melihat kualitas sanadnya; b. meneliti susunan lafal berbagai matan yang semakna; dan c. meneliti kandungan matan. Berikut adalah penjelasan masing-masing langkah tersebut:
a. Meneliti matan dengan melihat kualitas sanadnya
Mengenai penelitian sanad telah dijelaskan pada bahasan sebelumnya sehingga uraian berikut tidak perlu membahas kembali penelitian sanad.
b. Meneliti susunan lafal berbagai matan yang semakna
Periwayatan hadis tidak hanya dilakukan secara lafz}i namun juga terjadi periwayatan secara maknawi terutama terkait hadis yang bersifat fi‘li dan taqri>ri.
50Ibid., h. 108. 51
Dengan adanya periwayatan secara makna kemungkinan terjadi perbedaan lafal antara satu riwayat hadis dengan riwayat lainnya tidak dapat dihindarkan. Perbedaan tersebut boleh jadi tidak signifikan karena hanya pada aspek bahasa namun kadang juga dapat membawa pada perubahan makna bila kata yang digunakan dipersepsikan lain oleh penerima hadis.
Ulama telah membuat ketentuan mengenai periwayatan secara makna diantaranya:
1) Yang boleh meriwayatkan hadis secara makna hanyalah mereka yang benar-benar memiliki pengetahuan bahasa Arab yang mendalam. Dengan ini, periwayatan matan hadis akan terhindar dari kekeliruan, misalnya, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
2) Periwayatan dengan makna dilakukan karena sangat terpaksa, misalnya, karena lupa susunan secara harfiah.
3) Yang diriwayatkan dengan makna bukanlah sabda Nabi saw. dalam bentuk bacaan yang bersifatnya ta‘abbudi, misalnya zikir, doa, azan, takbir, dan syahadat, serta bukan sabda Nabi saw. yang dalam bentuk jawa>mi‘
al-kalim.
4) Periwayatan yang meriwayatkan secara makna, atau yang mengalami keraguan akan susunan matan hadis yang diriwayatkan, agar menambahkan kata aw kama> qa>la atau aw nah}wu ha>z\a, atau yang semakna dengannya, setelah menyatakan matan hadis yang bersangkutan.
5) Kebolehan periwayatan hadis secara makna hanya terbatas pada masa sebelum dibukukannya hadis-hadis Nabi saw. secara resmi. Sesudah masa
pembukuan hadis dimaksud, periwayatan hadis harus secara lafal.52
Dalam kaitan dengan penelitian matan yang akan dilakukan dalam penelitian ini, ketentuan di atas dapat menjadi petunjuk penting dalam meneliti kualitas matan terutama yang diriwayatkan secara makna. Pertama, bahwa perbedaan makna yang tidak membawa konsekwensi adanya pertentangan antara satu lafal riwayat hadis dengan lafal riwayat lainnya masuk dalam konteks riwayat secara makna yang ditoleransi. Kedua, bahwa perbedaan yang ditoleransi itu ada dalam lingkup non ibadah sedang terkait ibadah terutama bacaan dan amalan maka tidak ditoleransi. Namun perlu juga diingat bahwa pengajaran Nabi saw. terkait ibadah tidak seragam namun kadang beragam. Keragaman sebagian unsur yang ditemukan dalam bentuk ibadah sering disebut dengan tanawwu‘ al-‘iba>dah.53 Sehingga dalam hal ini perlu diteliti benar-benar kesahihan hadis berkenaan dengan hal tersebut.
c. Meneliti kandungan matan
Langkah ini dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya pertentangan hadis yang tengah diteliti dengan dalil-dalil lain yang lebih kuat atau sama kualitasnya. Dalil tersebut dapat berasal dari Alquran atau hadis Nabi saw. yang mengulas tema serupa. Apabila kandungan hadis ternyata tidak bertentangan dengan dalil-dalil lain yang lebih kuat maka penelitian pun berakhir. Namun jika kemudian ditemukan dalil lain yang ternyata bertentangan atau nampak bertentangan dengan bunyi kandungan hadis maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
52
Syuhudi, Kaidah, h. 71. Lihat, Arifuddin Ahmad, op. cit., h. 113. Lihat, Nu>r al-Di>n ‘Itr, op.
cit., h. 228. 53
Berkenaan dengan konsep tanawwu‘ al-‘iba>dah, terutama yang dikemukakan oleh Imam Sya>fi‘i>, dapat dilihat, Edi Safri, Al-Imam al-Syafi’iy: Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif (Padang: IAIN Imam Bonjol Press, 1999), h. 142.
Berkenaan dengan penyelesaian dalil yang nampak bertentangan, Ibn H{ajar mengemukakan empat tahap penyelesaian, yakni (1) al-jam‘u (mengkompromikan antara dua atau beberapa dalil yang nampak bertentangan); (2) na>sikh wa
mansu>kh (dalil yang datang belakangan menghapus dalil yang lebih dulu); (3) al-tarji>h} (mencari dalil yang lebih kuat); (4) al-tauqi>f (menunggu sampai ada petunjuk
atau dalil lain yang dapat menyelesaikannya atau menjernihkannya).54
Demikian sekilas penjelasan mengenai langkah-langkah yang dikemukakan Syuhudi dalam menilai kualitas matan. Penelitian atas sanad dan matan inilah yang digunakan ulama dalam menentukan kualitas hadis. Ada empat kemungkinan yang dihasilkan dari penelitian sanad dan matan. Pertama, sanadnya sahih matannya daif. Kedua matannya daif dan sanad sahih. Ketiga, sanad dan matan sama-sama daif keempat, sanad dan matan sama-sama sahih. Ketiga kategori pertama hadisnya disebut daif sedang kategori keempat dinilai sahih.
Apabila terjadi perbedaan kualitas antara sanad dan matan maka penelitian terhadap sanad dan matan perlu ditinjau kembali, baik dari segi metodologi maupun pendekatan yang digunakan. Pada dasarnya, sanad yang sahih mestinya juga menghasilkan matan yang sahih karena syarat kesahihan matan berupa terbebas dari
sya>z\ dan ‘illah juga merupakan syarat dari kesahihan sanad. Meskipun pada sanad
yang diteliti adalah sya>z \ dan ‘illah pada periwayat sedang sya>z\ dan ‘illah matan pada teks dan kandungan isi hadis. Kontradiksi penilaian tersebut dapat terjadi karena sikap yang longgar dalam menilai seorang periwayat; penelitian terhadap lambang-lambang periwayatan yang kurang cermat; dan matan hadis yang diteliti tampak bertentangan dengan matan hadis atau dalil lain yang lebih kuat dinyatakan
54
sebagai hadis yang daif. Padahal, ada kemungkinan hadis yang bersangkutan berbeda sifat, yang satu bersifat universal dan yang lain bersifat temporal atau lokal. Dengan demikian, perlu adanya ketelitian dan kehati-hatian dalam meniliti sanad dan matan suatu hadis sehingga diperoleh hasil yang diyakini kuat kebenaran kualitas suatu hadis.