• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data

4.5.5. Definisi Operasional

Dalam rangka menghindari kesalahpahaman persepsi, maka terdapat beberapa nama dan istilah pengelolaan sampah yang perlu dijelaskan dalam penelitian ini diantaranya adalah (1) tipping fee, (2) retribusi, (3) scavanger operation, (4) Biomasa, (5) Plastik PE, PE, dan HDPE.

1) Tipping Fee

Tipping fee adalah biaya yang dikeluarkan dari anggaran pemerintah kepada pengelola sampah, berdasarkan jumlah yang dikelola per ton atau satuan volume (m3). Di beberapa negara, biaya tipping fee per ton berkisar antara US$ 50 sampai dengan US$100, sementara di Malaysia, biaya tipping fee pada tahun pertama ditetapkan adalah sebesar US $ 7.89/ton sampah, dan terdapat kenaikan progresif tahunan sebesar 3 persen menjadi sekitar US $ 13,84 di tahun ke-20. Sedangkan di Indonesia belum banyak daerah yang menetapkan tipping fee. DKI Jakarta merupakan salah satu daerah yang diketahui telah menetapkan mekanisme

58

tipping fee karena telah melakukan kerja sama dengan waste management swasta yang berasal dari luar negeri dalam hal pengelolaan sampah. Tahun 2009 sampai dengan Tahun 2011 Pemerintah DKI Jakarta membayar tipping fee ke pengelola sampah di Bantargebang sebesar US$ 10/ton atau setara dengan Rp 103.000/ ton, biaya tersebut mengalami peningkatan sebesar 8 persen berdasarkan kontrak tiap dua tahun, Tahun 2008 Pemerintah DKI Jakarta mengeluarkan biaya tipping fee

kepada pengelola sampah sebesar Rp 98.000/ton sampah7. Sementara itu, daerah yang masih dalam rencana pemberlakuan tipping fee adalah Bandung dan Surabaya. Namun, sampai penelitian ini dilakukan belum ada kepastian harga

tipping fee untuk kedua kota tersebut. Biaya tipping fee hanya sebatas kompensasi atas jasa pengelolaan sampah di lokasi tertentu yang ditetapkan, di luar biaya pengumpulan (collecting), dan pengangkutan yang dilaksanakan pemerintah suatu daerah.

Selain tipping fee merupakan mekanisme baru dalam sistem pengelolaan sampah, informasi mengenai kebijakan pengelolaan sampah tiap daerah yang telah menetapkan mekanisme tipping fee juga sangat sulit didapatkan. Sehingga terbatasnya informasi mengenai kebijakan pengelolaan sampah di daerah menjadi salah satu keterbatasan penelitian ini. Sampai dengan penelitian ini dilakukan, Kota Bogor belum pernah menetapkan tipping fee karena belum pernah adanya kerjasama dalam pengelolaan sampah kota dengan pihak ketiga atau waste management. Dalam analisis arus kas penerimaan proyek IPST skenario I dan III biaya tipping fee tahun pertama diproyeksi sebesar Rp 100.000/ton, dan mengalami peningkatan 6 persen setiap dua tahun. Hal ini didasarkan pada beberapa pertimbangan berikut :

a) Rata-rata biaya operasional pengelolaan sampah Kota Bogor per ton adalah Rp 101.816/ton dihitung dari total biaya operasional tahun 2009 sebesar Rp 17.000.000.000 (Tabel 3) dibagi jumlah timbulan sampah sebanyak 166.968 ton per tahun (Tabel 2).

b) Referensi dari biaya tipping fee DKI Jakarta, sebagai Kota yang terdekat dekat dengan Bogor yang diketahui telah menetapkan tipping fee adalah sebesar Rp 103.000/ton.

7

http://www.poskohijau.com, Tipping Fee, Menumbuhkan Ekonomi Dari Sampah. [diakses 20 Desember 2010)

59 c) Biaya operasional sampah Kota Bogor mengalami peningkatan rata-rata sebesar 3 persen per tahun, maka dalam perhitungan arus kas diasumsikan

tipping fee mengalami peningkatan sebesar 6 persen setiap dua tahun terkait dengan adanya perjanjian atau kontrak kerja.

2) Retribusi

Retribusi merupakan biaya atau pungutan kepada masyarakat atau pihak yang dilayani sebagai pembayaran atas jasa atau pelayanan yang telah diberikan oleh suatu pihak, baik pemerintah maupun swasta. IPST yang akan dijalankan di Kota Bogor membutuhkan biaya operasional yang cukup tinggi di setiap periodenya. Berdasarkan perhitungan arus biaya (cashflow) Biaya operasional pengolahan sampah pada IPST lebih tinggi dibandingkan penerimaan yang didapatkan dari penjualan output kompos maupun sampah plastik. Jika hal tersebut dibiarkan, pengolahan sampah pada IPST hanya akan menjadi beban bagi pihak swasta pengelola IPST. Maka untuk meringankan biaya operasional, pengelola IPST membebankan biaya pengelolaan sampah kepada masyarakat berupa retribusi sampah yang harus dibayarkan setiap bulannya.

Besar biaya retribusi beragam, tergantung kepada golongan rumah tangga yang dilayani. Biaya retribusi sampah di perumahan atau komplek dan rumah mewah adalah sebesar Rp 30.000,- per bulan, sedangkan untuk rumah tangga biasa biaya retribusi sebesar Rp 10.000,-. Dalam analisis arus kas skenario II dan IV, biaya retribusi diasumsikan sama yaitu Rp 10.000,- per KK dengan jumlah optimal KK yang terlayani oleh IPST adalah 1500 KK. Nominal retribusi tersebut akan ditingkatkan sebesar Rp 1.000 per tahunnya menyesuaikan dengan peningkatan biaya operasional asumsi adanya peningkatan taraf hidup masyarakat.

3) Scavanger Operation

Scavanger operation adalah sebuah organisasi kerja dimana badan-badan swasta tertentu atau perorangan diberi ijin untuk mengelola sampah dalam suatu area atau lokasi yang telah ditetapkan8. Biasanya organisasi kerjasama ini

8

Pengembangan Model Peningkatan Kinerja Pengelolaan Sampah, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2003.

60 berbentuk kontrak konsesi, dimana kontrol pemerintah sangat perlu sehingga pengumpulan yang dilakukan sesuai dengan maksud-maksud pengolahannya tanpa melupakan segi pelayanan. Bentuk organisasi ini sangat cocok untuk kota- kota besar dimana banyak perusahaan-perusahaan atau perorangan diberikan kesempatan untuk turut serta tetapi dengan kontrol dan pengawasan yang ketat oleh petugas dinas kota. Hal tersebut sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 tentang kewajiban dan kewenangan pemerintah, ayat g, UU. No 18 Tahun 2008, bahwa pemerintah wajib melakukan koordinasi antarlembaga pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha agar terdapat keterpaduan dalam pengelolaan sampah.

4) Biomasa

Biomasa merupakan bahan bakar alternatif yang biasa digunakan industri untuk menghemat bahan bakar minyak. Pada IPST, Biomasa merupakan output residu yang dihasilkan diluar output utama. Bahan biomasa output IPST sebagian besar merupakan bahan plastik yang tidak layak daur ulang, selain itu juga terdapat bahan kain, karet dan kertas. Biomasa dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Output Biomasa

Sumber: Mitra Usaha Mandiri (Mitran)

5) Plastik PE, PP, dan HDPE

Output plastik bekas yang dihasilkan dari proses pengolahan sampah di IPST umumnya terdiri dari dari plastik PE, PP, dan HDPE. Plastik tersebut dibedakan berdasarkan bentuk fisik yang biasanya digunakan oleh sebagian besar

61 pengumpul plastik di wilayah Bogor dan Bekasi. Plastik PE merupakan jenis plastik paling mahal dari output plastik bekas yang di hasilkan. Plastik ini biasanya tidak berwarna, bersifat lentur, dan tahan terhadap santan. Plastik PE biasanya digunakan sebagai pembungkus minyak, es batu dan lain-lain. Plastik PP merupakan jenis plastik yang tidak berwarna, tidak lentur dan lebih tipis dibanding Plastik PE. Plastik jenis ini banyak digunakan sebagai pembungkus roti. Jenis ke-tiga adalah plastik HDPE yang lebih dikenal sebagai plastik kresek

atau plastik asoy oleh pengumpul plastik. Plastik HDPE digunakan sebagai kantong belanja dengan berbagai ukuran berbeda. Plastik jenis ini paling banyak ditemukan dalam IPST yaitu sekitar 30 persen dari total sampah plastik.

62

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Dokumen terkait