• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kelayakan Bisnis Instalasi Pengolahan Sampah Terpadu (IPST) Kota Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Kelayakan Bisnis Instalasi Pengolahan Sampah Terpadu (IPST) Kota Bogor"

Copied!
143
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KELAYAKAN BISNIS

INSTALASI PENGOLAHAN SAMPAH TERPADU (IPST)

KOTA BOGOR

SKRIPSI

DENI SAPUTRA H34060795

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

RINGKASAN

DENI SAPUTRA. Analisis Kelayakan Bisnis Instalasi Pengolahan Sampah Terpadu (IPST) Kota Bogor. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan YANTI NURAENI MUFLIKH).

Sistem Pengelolaan sampah Kota Bogor yang masih bertumpu pada sistem kumpul, angkut, dan buang (end of pipe solution) dengan metode TPA open dumping (pembuangan terbuka) dinilai sudah tidak tepat karena menimbulkan beberapa permasalahan diantaranya penyempitan lahan TPA seiring dengan meningkatnya volume timbulan sampah di Kota Bogor, dan dampak kerusakan lingkungan disekitar TPA akibat pencemaran sampah yang tak terkendali. Hal tersebut mendorong Pemerintah Kota Bogor untuk melakukan upaya penanganan permasalahan sampah perkotaan dengan lebih tepat. Salah satu alternatif penanganan sampah adalah melalui pendirian instalasi pengolahan sampah terpadu (IPST) dengan penerapan teknologi pengolahan sampah berbasis komunitas. Di samping itu, pengelolaan sampah pada IPST memiliki potensi bisnis jika dikelola secara tepat. Diketahui 1 unit IPST mampu mengolah 4,5 ton sampah perhari menjadi pupuk organik dan plastik bekas yang bernilai ekonomis. Pemerintah Kota Bogor melalui Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) menargetan pembangunan 40 unit IPST yang tersebar di 40 kelurahan yang ada di Kota Bogor.

Kebutuhan biaya investasi yang cukup tinggi dalam pembangunan infrastruktur IPST di 40 kelurahan Kota Bogor yang diperkirakan senilai 24 Miliar Rupiah, dikhawatirkan menjadi beban tambahan bagi pemerintah kota yang juga sedang berfokus terhadap pembangunan kota. Selain itu, untuk menjamin kelancaran dan keefektifan proyek, diharapkan pengelolaan IPST dilakukan oleh pihak yang telah berkompeten dan berpengalaman dalam bidang pengolahan sampah dengan metode IPST. Kondisi terebut menjadi dasar ]pertimbangan pemerintah dalam pengelolaan IPST melalui kerjasama dengan badan usaha swasta. Pilihan bentuk kerjasama yang disarankan dalam penelitian ini adalah kontrak konsesi (kontrak lepas) dengan pilihan mekanisme pembayaran tipping fee atau retribusi. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis secara komprehensif terhadap kelayakan bisnis pengolahan sampah melalui pendirian IPST di Kota Bogor pada dua model kerjasama tersebut dilihat dari aspek non finansial dan aspek finansial. Selain itu penelitian ini juga bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor penentu yang akan mempengaruhi kondisi kelayakan pengusahaan pengelolaan sampah dengan metode IPST. Analisis kelayakan bisnis dibatasi hanya untuk 10 IPST di beberapa kelurahan terpilih di Kota Bogor sesuai dengan target pemerintah untuk pendirian IPST satu tahun pertama.

(3)

itu, output IPST berupa pupuk organik adalah produk pada susbsitem off-farm hulu (penyediaan input) dari sistem agribisnis.

Penelitian ini dilakukan pada demplot IPST Kota Bogor yang terletak di Kantor DKP, dan IPST Mitran yang terletak di Kelurahan Jatiwarna, Kota Bekasi sebagai referensi. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Juli sampai dengan Desember 2010. Jenis data yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari hasil wawancara dengan Kepala Bagian Teknologi Pengelolaan Sampah Kota Bogor sebagai penanggung jawab proyek IPST, pengelola IPST Mitran, dan masyarakat di sekitar IPST Mitran. Data sekunder diperoleh dari beberapa instansi terkait seperti Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bogor, Badan Pusat Statistik, Perpustakaan Kementrian Pekerjaan Umum, dan studi literatur lainnya. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif, analisis kualitatif digunakan untuk menilai kelayakan aspek non finansial yang terdiri dari aspek pasar, teknis, manajemen, hukum, sosial ekonomi, dan lingkungan yang kemudian disajikan dalam bentuk uraian secara deskriptif, sedangkan analisis data secara kuantitatif dilakukan untuk mengalisis kelayakan finansial usaha pengolahan sampah berdasarkan kriteria kelayakan investasi, yaitu Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return

(IRR), Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C), dan Payback Period, serta switching value analysis. Data kuantitatif ini diolah dengan menggunakan Software Microsoft Excel dan disajikan dalam bentuk data tabulasi.

(4)

ANALISIS KELAYAKAN BISNIS

INSTALASI PENGOLAHAN SAMPAH TERPADU (IPST)

KOTA BOGOR

DENI SAPUTRA H34060795

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul Skripsi : Analisis Kelayakan Bisnis Instalasi Pengolahan Sampah Terpadu (IPST) Kota Bogor

Nama : Deni Saputra

NRP : H34060795

Menyetujui, Pembimbing

Yanti Nuraeni Muflikh SP, M. Agribuss

NIP. 19800626 200501 2 004

Mengetahui,

Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS

NIP. 19580908 198403 1 002

(6)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Kelayakan Bisnis Instalasi Pengolahan Sampah Terpadu (IPST) Kota Bogor” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Mei 2011

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Deni Saputra, dilahirkan di Jakarta pada tanggal 14 Februari 1988. Penulis adalah anak ke-3 dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Syariffudin dan Ibunda Herlinawati Mardanus. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN 06 Jakarta pada Tahun 2000 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada Tahun 2003 di SMPN 09 Jakarta. Kemudian pendidikan lanjutan menengah atas di SMAN 14 Jakarta diselesaikan pada Tahun 2006.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada Tahun 2006 melalui tes Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Kemudian pada Tahun 2007 penulis diterima di Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif di beberapa kelembagaan kemahasiswaan, diantaranya sebagai Kepala Divisi Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) Ikatan Keluarga Mahasiswa Muslim Tingkat Persiapan Bersama (IKMT) periode 2006-2007, dan sebagai Kepala Divisi Syiar Forum Mahasiswa Muslim dan Studi Islam (FORMASI) Fakultas Ekonomi dan Manajemen periode 2007-2009. Penulis merupakan salah satu penerima Beasiswa Prestasi Beastudi Etos periode 2006-2009, Beasiswa Bantuan Khusus Mahasiswa (BKM) Tahun 2008, Beasiswa Bank Ekspor Indonesia Tahun 2009, dan Beasiswa Pengembangan Prestasi Akademik (PPA) dari Institut Pertanian Bogor periode 2010.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karnuia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Kelayakan Bisnis Instalasi Pengolahan Sampah Terpadu (IPST) Kota Bogor”.

Penelitian ini bertujuan menganalisis kelayakan Bisnis IPST yang akan dilaksanakan Pemerintah Kota Bogor melalui Dinas Kebersihan dan Pertamanan Tahun 2011 dari aspek finansial maupun non finansial. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Pemerintah Kota Bogor dalam menentukan kebijakan pengelolaan IPST sekaligus diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi investor yang ingin terlibat dalam bisnis pengelolaan IPST Kota Bogor.

Skripsi ini merupakan sebuah karya yang penulis persembahkan sebagai bentuk kontribusi terhadap kemajuan pengelolaan sampah Kota Bogor. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan keterbatasan dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini. Penulis berharap akan ada penelitian selanjutnya sebagai penyempurna penelitian ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang terkait, baik peneliti, Pemerintah Kota Bogor, dan pembaca.

(9)

UCAPAN TERIMAKASIH

Selama penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada:

1. Yanti Nuraeni Muflikh, SP, M. Agribuss selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.

2. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS selaku dosen penguji utama, yang telah meluangkan waktu serta memberikan kritik dan saran selama pembuatan dan perbaikan skripsi ini.

3. Febriantina Dewi SP, MM selaku dosen penguji dari Komisi Pendidikan Departemen Agribinis pada ujian sidang penulis, yang telah meluangkan waktu serta memberikan kritik dan saran dalam perbaikan skripsi ini.

4. Ir. Deni Susanto, Kepala Bidang Teknologi Pengolahan Sampah Kota Bogor, atas bimbingannya pada penelitian di lapangan. Ir. Satia Mulya, Denni Wismanto, SE, MM, Ibu Erna, Bapak Dani, Bapak Heri dan seluruh staff Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang (DCKTR) Kota Bogor, Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Bogor serta UPTD TPA Galuga atas informasi dan masukan selama penelitian.

5. Hidayat, SE, Bapak Bobi, dan seluruh manajemen Mitra Usaha Mandiri (Mitran) Bekasi atas waktu yang diluangkan untuk berbagi informasi dan ilmu mengenai teknis pengolahan sampah dengan metode IPST.

6. Bapak Dimas Purwo Anggoro dan seluruh kru Yayasan Danamon Peduli yang sangat terbuka dalam memberikan informasi dan buku-buku referensi penelitian kepada penulis, serta manajemen Pasar Bunder Sragen, dan Pasar Cisarua yang telah mengajarkan mengenai teknis pengolahan sampah organik menjadi pupuk berkualitas tinggi sebagai masukan dalam penelitian ini.

(10)

8. Ichfani Listiawati, SE dan rekan-rekan Agribisnis telah memberikan masukan yang berarti dalam penelitian dan penulisan skripsi ini.

9. Bimbingan dan Konsultasi Belajar (BKB) Nurul Fikri atas kesempatan dan dukungan yang penuh kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

10.Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang telah banyak memberikan bantuan, motivasi, dan dukungan sehingga terselesaikannya skripsi ini.

(11)

i

2.1.1. Jenis, Sumber, dan Pengelolaan Sampah Perkotaan menurut UU No. 18 Thn 2008 Tentang Pengelolaan Sampah ... 14

2.1.2. Sistem Pengelolaan Sampah Perkotaan Ideal ... 15

2.2. Pengelolaan Sampah dengan Pola 3R ... 19

2.3. Instalasi Pengolahan Sampah Terpadu (IPST) ... 20

2.4. Kajian Empiris ... 22

III KERANGKA PEMIKIRAN ... 30

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ... 30

3.1.1. Pengertian Proyek ... 30

3.1.2. Pengertian dan Tujuan Analisis Kelayakan Proyek ... 32

3.1.3. Aspek-aspek Analisis Kelayakan Proyek ... 33

3.1.3.1. Aspek Pasar ... 33

(12)

ii

4.5.1. Analisis Kelayakan Finansial ... 48

4.5.1.1. Net Present Value (NPV) ... 48

6.2.2. Penentuan Lokasi Instalasi Pengolahan Sampah ... 76

(13)

iii

7.2.3. Beban Angsuran Pinjaman ... 101

7.2.4. Pajak Penghasilan ... 101

7.3. Analisis Laba Rugi ... 102

7.4. Analisis Kelayakan Finansial Proyek IPST ... 102

7.4.1. Analisis Kelayakan Finansial Skenario I ... 102

7.4.2. Analisis Kelayakan Finansial Skenario II ... 104

7.4.3. Analisis Kelayakan Finansial Skenario III ... 105

7.4.4. Analisis Kelayakan Finansial Skenario IV ... 106

7.4.5. Perbandingan Hasil Analisis Kelayakan Finansial Keempat Skenario ... 108

7.5. Analisis Switching Value ... 109

7.5.1. Analisis Switching Value pada IPST Skenario I .... 109

7.5.2. Analisis Switching Value pada IPST Skenario II .. 111

7.5.3. Analisis Switching Value pada IPST Skenario III ... 112

7.5.1. Analisis Switching Value pada IPST Skenario IV ... 113

7.6. Perbandingan Analisis Switching Value dari Keempat Skenario ... 114

VIII KESIMPULAN DAN SARAN ... 116

8.1. Kesimpulan ... 116

8.2. Saran ... 118

DAFTAR PUSTAKA ... 120

(14)

iv

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Perbandingan Peningkatan Jumlah Penduduk dan Jumlah Timbulan

Sampah Kota Bogor Tahun 2005-2009 ... 1

2. Jumlah Timbunan Sampah Kota Bogor Berdasarkan Sumber Penghasil Sampahnya Tahun 2009 ... 2

3. Komposisi Sampah Kota Bogor Tahun 2005-2009 ... 3

4. Kontribusi Retribusi Pelayanan Kebersihan Terhadap Biaya Operasional Penanganan Sampah Kota Bogor Tahun 2005-2009 ... 6

5. Proyeksi Kebutuhan Pupuk pada Sektor Perkebunan Tahun 2010-2015 ... 8

6. Perkembangan Harga Solar Eceran Tahun 2005-2011 ... 56

7. Pola Penggunaan Lahan di Kota Bogor Tahun 2009 ... 63

8. Sejarah Singkat Pengelolaan Bidang Kebersihan ... 64

9. Analisis SWOT Pemanasan Produk Kompos ... 68

10. Matriks Strategi Pemasaran Produk Kompos ... 69

11. ProyeksiPendapatan Kompos IPST Kota Bogor Tahun 2011 ... 89

12. Proyeksi Pendapatan Penjualan Plastik Bekas IPST Kota Bogor Tahun 2011 ... 90

13. Proyeksi Pendapatan Tipping Fee Kota Bogor ... 91

14. Proyeksi Pendapatan Retribusi Sampah pada IPST Kota Bogor Berdasarkan Jumlah Layanan ... 93

15. Nilai Sisa Investasi IPST Kota Bogor Tahun 2011 ... 95

16. Biaya Investasi IPST Kota Bogor ... 97

17. Rincian Biaya Reinvestasi IPST Kota Bogor ... 98

18. Rincian Biaya Tetap Overhead IPST, Kantor, dan Kendaraan IPST Kota Bogor pada Tahun Pertama ... 99

19. Rincian Biaya Tetap untuk Tenaga Kerja IPST Kota Bogor pada Tahun Pertama (2011) ... 100

20. Rincian Biaya Variabel IPST Kota Bogor pada Tahun Pertama (2011) ... 98

21. Perubahan Biaya Operasional IPST Kota Bogor Selama proyek ... 101

22. Kriteria Kelayakan Finansial Proyek IPST Skenario I ... 103

(15)

v

24. Kriteria Kelayakan Finansial Proyek IPST Skenario III ... 105

25. Kriteria Kelayakan Finansial Proyek IPST Skenario IV ... 107

26. Perbandingan Kriteria Investasi Finansial IPST Kota Bogor dalam Empat Skenario Berbeda ... 108

27. Switching Value Proyek IPST Skenario I ... 110

28. Switching Value Proyek IPST Skenario II ... 111

29. Switching Value Proyek IPST Skenario III ... 112

30. Switching Value Proyek IPST Skenario IV ... 114

(16)

vi

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Pengelolaan Sampah Kota Ideal ... 16

2. Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian ... 45

3. Output Biomasa ... 60

4. Jalur Distribusi Pemasaran Kompos PT X ... 71

5. Rencana Lokasi Pendirian 10 IPST di Kota Bogor ... 77

6. Skema Urutan Proses pada IPST yang Dirancang ... 80

7. Struktur Organisasi PT X ... 83

(17)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Kebutuhan dan Deskripsi Tenaga Kerja IPST Kota Bogor ... 124

2. Laporan Laba Rugi Skenario I ... 127

3. Cash Flow Skenario I ... 129

4. Switching Value Skenario I Penurunan Tipping fee 12 % ... 131

5. Switching Value Skenario I Kenaikan Harga Solar 12 % ... 133

6. Switching Value Skenario I Penurunan Penjualan Biomasa 12 % .... 135

7. Laporan Laba Rugi Skenario II ... 137

8. Cash Flow Skenario II ... 139

9. Switching Value Skenario II Penurunan Tipping fee 12 % ... 141

10. Switching Value Skenario II Kenaikan Harga Solar 12 % ... 143

11. Switching Value Skenario II Penurunan Penjualan Biomasa 12 % ... 145

12. Laporan Laba Rugi Skenario III ... 147

13. Cash Flow Skenario III ... 149

14. Switching Value Skenario III Penurunan Tipping fee 12 % ... 151

15. Switching Value Skenario III Kenaikan Harga Solar 12 % ... 153

16. Switching Value Skenario III Penurunan Penjualan Biomasa 12 % .. ... 155

17. Laporan Laba Rugi Skenario IV ... 157

18. Cash Flow Skenario IV ... 159

19. Switching Value Skenario IV Penurunan Tipping fee 12 % ... 161

20. Switching Value Skenario IV Kenaikan Harga Solar 12 % ... 163

(18)

1

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jumlah penduduk Kota Bogor yang semakin meningkat berbanding lurus dengan peningkatan volume produksi (timbulan) sampah yang terus bertambah. Pertambahan timbulan sampah yang tidak terkendali terus membutuhkan lahan yang semakin luas untuk tempat pembuangan akhir (TPA). Namun demikian, luas lahan kosong di wilayah Kota Bogor sangat terbatas karena adanya kompetisi dengan tujuan penggunaan lain yang juga meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, terutama penggunaan lahan untuk permukiman penduduk. Tabel 1 menunjukkan peningkatan jumlah penduduk Kota Bogor yang diikuti dengan peningkatan jumlah timbulan sampah.

Tabel 1. Perbandingan Peningkatan Jumlah Penduduk dan Jumlah Timbulan Sampah Kota Bogor Tahun 2005-2009

Sumber : Laporan Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang dan BPS Kota Bogor (2010), diolah.

Berdasarkan data pada Tabel 1 dapat diketahui bahwa jumlah penduduk Kota Bogor selalu mengalami peningkatan dengan laju pertumbuhan sebesar 2,39 persen per tahun, seiring dengan hal tersebut, jumlah timbulan sampah Kota Bogor juga terus mengalami peningkatan dengan rata-rata kenaikan sebesar 4 persen setiap tahunnya. Hal tersebut menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk Kota Bogor secara tidak langsung menyebabkan semakin banyaknya volume sampah kota yang dihasilkan.

Area permukiman merupakan daerah penghasil sampah terbesar di Kota Bogor. Kontribusi timbulan sampah yang berasal dari permukiman yaitu sebesar 64 persen dari total timbulan sampah Kota Bogor, sedangkan pasar dan pusat

Tahun

Tren Jumlah Penduduk Tren Jumlah Timbulan Sampah

(19)

2 perdagangan merupakan penyumbang sampah terbesar kedua dengan kontribusi timbulan sampah sebesar 20 persen dari total timbulan sampah. Rincian sumber timbulan sampah Kota Bogor pada Tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah Timbulan Sampah Kota Bogor Berdasarkan Sumber Penghasil Sampahnya Tahun 2009

Sumber : Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bogor (2010)

Berdasarkan data pada Tabel 2, dapat diketahui tingkat pelayanan pengangkutan sampah di Kota Bogor belum optimal. Kapasitas sampah yang dapat terangkut hanya sekitar 69 persen dari keseluruhan wilayah Kota Bogor yang memiliki luas 111,73 km2 dengan jumlah timbulan sampah 2.332 m3/hari. Hal tersebut disebabkan oleh keterbatasan sebagian akses jalan yang tidak dapat dilalui oleh kendaraan besar seperti dump truk (truk pengangkut sampah), serta adanya keterbatasan dalam jumlah armada kebersihan untuk menjangkau seluruh wilayah layanan kebersihan tersebut. Jumlah sampah yang terangkut sebanyak 1.543 m3/hari dibuang ke tempat pembuangan akhir yang terletak di Desa Galuga Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor, sedangkan sisa sampah yang tidak terangkut diolah menjadi kompos, didaur ulang, dikubur, dibakar, dibuang ke kali dan sebagian lagi dibuang di area permukiman.

(20)

3 organik dengan sampah anorganik. Komposisi sampah organik yang tinggi menunjukkan bahwa sektor pertanian atau industri agribisnis memberikan kontribusi jumlah timbulan sampah yang lebih tinggi dibanding sektor industri lainnya di Kota Bogor. Hal tersebut disebabkan belum adanya pemilahan sampah dan produk pertanian siap jual di lokasi pertanian (onfarm) sehingga bertumpuknya sampah pertanian di lokasi akhir penjualan yang biasanya terdapat di daerah kota1. Sebagai ilustrasi, sampah kulit Jagung, kol, daun brokoli, dan sampah pertanian lainnya banyak bertumpuk pada pasar yang umumnya terdapat di daerah Kota. Secara lebih rinci jumlah timbulan sampah Kota Bogor berdasarkan komposisinya dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi Sampah Kota Bogor Tahun 2005-2009

Komposisi Sampah 2006 2007 2008 2009 %

Sumber : Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bogor (2010)

Saat ini pengelolaan sampah yang dilakukan oleh Kota Bogor dan sebagian besar daerah di Indonesia masih menggunakan pendekatan yang menitikberatkan pada pengelolaan sampah ketika sampah itu dihasilkan (end of pipe solution), yaitu sampah dikumpulkan, diangkut, dan dibuang ke tempat pemrosesan akhir sampah. Lokasi tempat pembuangan akhir sampah Kota Bogor berada di TPA Galuga yang terletak di Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Jarak TPA ini sekitar 25 Km dari pusat kota. Luas lahan TPA Galuga adalah 13,6 Ha dengan lahan efektif pemusnahan sampah seluas 9,8 ha. Pada lokasi TPA tersedia sebuah unit pengolah sampah organik yang mengolah sampah

1

(21)

4 organik yang berasal dari pasar menjadi kompos. TPA ini bekerja sama dengan Kabupaten Bogor dengan sistem pengelolaannya menggunakan sistem pembuangan terbuka atau lebih dikenal dengan sistem open dumping.

Terdapat dua proses pembuangan akhir menurut Sidik et al. (1985), yaitu

open dumping (penimbunan secara terbuka) dan sanitary landfill (pembuangan secara sehat). Pada sistem open dumping, sampah ditimbun di areal tertentu tanpa membutuhkan tanah penutup. Sedangkan pada cara sanitary landfill, sampah ditimbun secara berselang-seling antara lapisan sampah dan lapisan tanah sebagai penutup.

Pada kenyataanya pengelolaan sampah di TPA Galuga masih banyak menimbulkan gangguan dan permasalahan. Para ahli lingkungan saat ini menilai sistem metode open dumping tidak layak lagi dijalankan, karena dapat memberikan dampak pencemaran lingkungan yang cukup serius serta menyebabkan penurunan kualitas kesehatan masyarakat di sekitar lingkungan TPA. Berdasarkan penelitian Fatimah Tahun 2009 mengenai analisis kelayakan usaha pengolahan sampah menjadi pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSA) di Kota Bogor, beberapa permasalahan metode open dumping yang terdapat di TPA Galuga antara lain: (a) Kebutuhan lahan TPA yang cepat meningkat akibat tidak dilakukannya proses reduksi volume sampah secara efektif. (b) Berbagai permasalahan lingkungan dan kesehatan, mulai dari yang teringan seperti bau yang menyengat, gatal-gatal hingga potensi sebaran penyakit di daerah sekitar TPA seperti infeksi saluran pernafasan, dan lain-lain. (c) Tercemarnya sumber air warga disekitar TPA Galuga sehingga menyebabkan beberapa sawah dan empang warga tercemar air lindi (air hasil fermentasi sampah), serta pencemaran lingkungan lainnya seperti pemasanasan global akibat buangan gas metan yang dihasilkan oleh TPA.

(22)

5 penanganan sampah di seluruh wilayah Indonesia. Metode sanitary landfill

merupakan salah satu metoda pengolahan sampah terkontrol dengan sistem sanitasi yang baik. Sampah yang dibuang ke TPA dipadatkan dengan traktor dan selanjutnya ditutup tanah. Cara ini akan menghilangkan polusi udara. Pada bagian dasar tempat tersebut dilengkapi sistem saluran leachate (limbah cair sampah). Pada metode sanitary landfill tersebut juga dipasang pipa gas untuk mengalirkan gas metan hasil aktivitas penguraian sampah kedalam penampung gas.

Dari uraian di atas, Kota Bogor memiliki masalah penanganan sampah yang cukup serius, bahkan telah berdampak terhadap aspek sosial masyarakat. Seperti kasus yang timbul pada akhir tahun 2010, dimana masyarakat Kecamatan Kayu Manis menolak rancangan pendirian TPA di kawasan tersebut, sementara Pemerintah Bogor tidak memiliki pilihan lahan untuk mendirikan TPA sanitary landfill di Kota Bogor sebagai tempat pembuangan sampah kota yang terus meningkat2. Ketiadaan TPA menjadi permasalahan dalam penanganan sampah Kota Bogor ditengah semakin tingginya jumlah produksi sampah yang dihasilkan oleh masyarakat Kota Bogor. Di sisi lain, biaya pengelolaan sampah Kota Bogor semakin meningkat dan terbatas. Hal tersebut dicerminkan oleh peningkatan biaya pengelolaan per ton sampah yang dihasilkan. Biaya operasional penanganan sampah kota yang sebagian besar masih disubsidi dari APBD Kota Bogor menjadi beban bagi pemerintah kota. Pendapatan retribusi sampah mulai Tahun 2008 mengalami peningkatan, karena ada peraturan bagi pelanggan PDAM, pungutan retribusi sampah Kota Bogor disatukan dengan tagihan air PDAM yang dibayarkan setiap bulan, sedangkan bagi non pelanggan PDAM tetap membayar retribusi melalui sistem penarikan secara langsung. Namun demikian, sampai dengan Tahun 2009 kontribusi retribusi terhadap pelayanan kebersihan hanya sebesar 34 persen dari total biaya operasional yang harus dikeluarkan sebesar 17 miliar rupiah, sehingga subsidi yang harus dikeluarkan dari APBD Kota Bogor sebesar 11 miliar rupiah. Rincian kontribusi retribusi terhadap biaya operasional penanganan sampah Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 4.

(23)

6

Tabel 4. Kontribusi Retribusi Pelayanan Kebersihan Terhadap Biaya Operasional Penanganan Sampah Kota Bogor Tahun 2005-2009

Tahun Biaya Operasional Retribusi Subsidi APBD (%) Retribusi

2005 9.160.158.000 2.242.720.160 6.917.437.840 24,5

2006 15.951.432.800 2.536.788.000 13.414.644.800 16,0 2007 16.341.613.000 2.626.184.550 13.715.428.450 16,0 2008 16.500.000.000 3.260.000.000 13.240.000.000 19,7 2009 17.000.000.000 5.800.000.000 11.200.000.000 34,0

Sumber : Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang (2010)

Menurut Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor 2010, biaya pengelolaan sampah pada TPA sanitary landfill diperkirakan jauh lebih tinggi dibandingkan pengelolaan sampah pada TPA open dumping karena diperlukan proses pengolahan lanjutan. Sehingga diperlukan usaha yang harus dilakukan secara terpadu dengan melakukan pengurangan sampah yang masuk ke TPA mulai dari sumber timbulan sampah. Melalui program kerja Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Tahun 2010, Pemerintah Kota Bogor berencana menerapkan sebuah model baru dalam pengelolaan sampah kota yaitu dengan penerapan instalasi pengolahan sampah terpadu (IPST), di beberapa kelurahan di Kota Bogor. Menurut beberapa referensi pengolahan sampah terpadu yang telah diterapkan di beberapa daerah seperti Bekasi, Bandung, Yogyakarta, dan Solo merupakan alternatif sistem pengelolaan sampah yang sasarannya tidak berorientasi kepada pembuangan dan pemusnahan sampah secara fisik saja, tetapi berorientasi kepada daur ulang dan pemanfaatan timbulan sampah tersebut3. Bagi Pemerintah Kota Bogor, infrastruktur IPST di beberapa kelurahan selain bertujuan untuk meminimalisasi jumlah sampah yang terangkut ke TPA sanitary landfill, juga bertujuan meningkatkan jangkauan wilayah layanan yang tidak terjangkau oleh armada kebersihan, sehingga meningkatkan kondisi kebersihan dan kesehatan di lingkungan sekitar dan mencegah pencemaran lingkungan yang semakin parah. Model IPST merupakan paradigma baru dalam pengelolaan sampah sekaligus dunia usaha khususnya agribisnis. Model ini memiliki konsep daur ulang sampah atau dikenal dengan konsep 3R (reduce reuse recycle), yang

3

(24)

7 merupakan konsep pengolahan sampah yang tidak hanya memandang sampah sebagai barang yang tidak bernilai, tetapi sebaliknya, memandang sampah sebagai potensi yang memiliki nilai dan manfaat. Output yang dihasilkan dalam sebuah IPST yaitu pupuk organik, dan bahan baku plastik bekas yang merupakan produk yang memiliki nilai ekonomis (value added) dalam sektor pertanian dan non pertanian. Dengan demikian IPST memiliki potensi bisnis yang baik terutama pada sektor agribisnis sebagai penyedia input pertanian berupa pupuk organik jika dikelola dengan tepat.

Menurut kajian Departemen Pertanian Indonesia pada Tahun 2008, Kebutuhan pupuk organik untuk memperbaiki kerusakan lahan pertanian di Indonesia saat ini sangat besar. Total kebutuhan pupuk organik nasional Tahun 2010 adalah sekitar 30 juta ton/tahun. Hal tersebut belum diimbangi dengan jumlah industri pupuk organik yang berkembang di Indonesia. Perhitungan tersebut berdasarkan luas panen padi nasional sekitar 12 juta ha/tahun, setiap hektar memerlukan pupuk organik rata-rata 2 ton. Sehingga diperlukan 24 juta ton pupuk organik. Sebanyak 6 juta ton kebutuhan pupuk organik digunakan untuk memenuhi kebutuhan pengembangan SRI (System Of Rice Intensification) organik sekitar 10 persen dari luas tanam padi, yaitu seluas 1,2 juta ha dengan dosis pemupukan organik mencapai 5 ton/ha diawalnya. Untuk memenuhi kebutuhan pupuk organik nasional sebesar 30 juta ton/tahun tersebut diperlukan rumah kompos 30.000 unit dengan kapasitas masing-masing 1000 ton pupuk organik/ tahun. Namun pada saat ini karena keterbatasan anggaran, Kementerian Pertanian baru bisa memenuhi sebagian kecil dari kebutuhan tersebut4. Dari data proyeksi kebutuhan pupuk organik tersebut terdapat kesenjangan yang cukup besar antara kebutuhan dan ketersediaan pupuk organik di Indonesia. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat peluang usaha yang cukup prospektif dalam penyediaan kebutuhan pupuk organik di Indonesia.

Permintaan pupuk organik juga diperkirakan akan meningkat pada sektor perkebunan. Menurut data Direktorat Jendral Perkebunan 2009 proyeksi kebutuhan pupuk Urea, Superphos dan KCl pada subsektor perkebunan dari tahun ke tahun semakin menurun, sebaliknya kebutuhan pupuk organik dan pupuk

4

(25)

8 majemuk NPK semakin meningkat rata-rata 5 persen per tahun. Tabel 5 menunjukkan data proyeksi kebutuhan pupuk pada sektor perkebunan Tahun 2010 sampai dengan Tahun 2015.

Tabel 5. Proyeksi Kebutuhan Beberapa Jenis Pupuk pada Sektor Perkebunan Tahun 2010-2015

Sumber : Direktorat Jendral Perkebunan (2009)

Selain di sektor pertanian, kebutuhan pupuk organik juga tinggi pada sektor non pertanian, yaitu dalam upaya mereklamasi lahan yang rusak akibat tercemar oleh kegiatan tambang. Salah satunya adalah reklamasi lahan pertambangan batu bara. Kebutuhan pupuk organik yang digunakan pada reklamasi lahan tambang bervariasi karena tergantung pada kondisi lahan yang tercemar, yaitu mulai dari 2,5 ton sampai dengan 5 ton per hektar lahan5. Meningkatnya usaha pertambangan batu bara di Indonesia menjadi indikasi meningkatnya kebutuhan pupuk organik dalam kegiatan reklamasi lahan pertambangan, namun belum ada angka pasti kebutuhan pupuk organik pada sektor pertambangan. Namun demikian, hal tersebut merupakan salah satu peluang pasar dalam usaha pupuk organik.

Output potensial lain yang dihasilkan oleh IPST adalah plastik bekas. Berdasarkan data pada Tabel 3, limbah plastik merupakan jenis sampah anorganik yang paling banyak terbuang begitu saja di Kota Bogor, padahal semua pabrik plastik daur ulang (recycling) membutuhkan plastik-plastik bekas (sampah plastik) baik dari kelompok film grade (plastik daun) maupun dari non-film grade (plastik keras). Plastik-plastik tersebut sebagai bahan utama atau campuran untuk diproses

5

(26)

9 daur ulang menjadi biji plastik, sehingga dikenal dengan nama biji plastik daur ulang. Hal ini hanya untuk membedakan dengan biji plastik original atau asli. Saat ini biji plastik asli sebagian besar masih diimpor, sehingga harganya cukup mahal. Selain itu harga biji plastik original juga mengikuti harga dolar dan harga minyak dunia6. Maka biji plastik daur ulang dapat menjadi suatu alternatif karena memiliki harga yang sangat kompetitif sehingga dapat menjadi bisnis yang cukup prospektif.

1.2 Perumusan Masalah

Uraian pada latar belakang tersebut menunjukkan bahwa selain sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan pengelolaan sampah yang terjadi di Kota Bogor, IPST juga memiliki manfaat ekonomis dari output yang dihasilkan. Hal tersebut menunjukkan bahwa IPST memiliki potensi bisnis yang baik. Namun demikian, investasi yang diperlukan cukup besar. Sebagai contoh, untuk membangun sepuluh unit IPST diprediksi sebesar 6 miliar rupiah. Dengan demikian, perkiraan kebutuhan biaya investasi pembangunan infrastruktur IPST di 40 kelurahan Kota Bogor yaitu senilai 24 Miliar Rupiah. Kebutuhan investasi yang besar tersebut dikhawatirkan menjadi beban bagi pemerintah kota yang juga sedang berfokus terhadap pembangunan kota. Upaya yang dinilai tepat untuk mengatasi permodalan adalah dengan bekerjasama dengan investor dari badan swasta yang memiliki pengalaman dalam pengelolaan IPST. Selain itu pertimbangan efektifitas profesionalitas pelaksanaan program menjadi dasar pertimbangan untuk sebaiknya melakukan kerjasama dengan mitra atau badan usaha yang telah berpengalaman dalam hal pengelolaan IPST. Dalam program kerja DKP Kota Bogor Tahun 2010, Pemerintah menargetkan pembangunan 40 unit IPST pada 68 kelurahan Kota Bogor yang akan dilaksanakan secara bertahap sampai dengan Tahun 2014. Pada tahun pertama (Tahun 2011) akan dibangun 10 unit IPST di daerah-daerah strategis penghasil sampah di Kota Bogor diantaranya Kelurahan Tajur, Perumahan Pakuan, Kelurahan Warung Jambu, Kelurahan Semplak, Kelurahan Katulampa, Kelurahan Pasir Mulya, Perumahan Bukit

6

(27)

10 Nirwana Raya, Kelurahan Ciparigi, Kelurahan Genteng, dan Kelurahan Menteng Asri.

Bentuk kerjasama yang disarankan dalam penelitian ini adalahadalah kontrak konsesi, yaitu suatu bentuk kerjasama penyediaan infrastruktur antara pemerintah dan swasta, dimana investasi sepenuhnya berasal dari swasta sehingga seluruh aset adalah milik swasta. Pada kontrak tersebut tanggung jawab pengelolaan IPST sepenuhnya berada pada pihak swasta, sedangkan pemerintah bertindak sebagai pengawas dan regulator. Untuk membantu biaya operasional pengelolaan sampah pada IPST, pihak swasta akan mendapatkan tambahan biaya operasional di luar pendapatan penjualan output. Terdapat dua mekanisme pembayaran antara pemerintah dan swasta yaitu mekanisme pembayaran tipping fee dari pemerintah atas jasa pengolahan sampah oleh swasta yang besarnya sama dengan rata-rata biaya pengelolaan per satu ton sampah oleh pemerintah Kota Bogor, atau mekanisme retribusi, dimana pihak swasta akan menarik biaya retribusi sampah secara langsung kepada masyarakat yang mendapatkan pelayanan pengelolaan sampah oleh IPST tanpa memperoleh tipping fee dari pemerintah. Untuk menilai bentuk kerjasama yang tepat bagi pihak swasta maupun pemerintah Kota Bogor diperlukan informasi yang jelas terhadap kelayakan usaha khususnya aspek finansial dalam proyek IPST dengan bentuk kerjasama tersebut, dan untuk meyakinkan pihak swasta maka pemerintah harus dapat memprediksi bahwa pengelolaan IPST di Kota Bogor apabila dilaksanakan dengan baik akan mendatangkan keuntungan. Oleh karena itu, untuk melihat potensi bisnis yang ada pada IPST, perlu dilakukan analisis kelayakan bisnis mengenai rencana proyek pengelolaan sampah dengan model IPST di Kota Bogor. Sehingga dapat menjadi pertimbangan bagi pihak investor yang ingin terlibat dalam realisasi usaha tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah yang akan dibahas pada penelitian ini adalah:

(28)

11 manajemen, lingkungan, sosial, ekonomi, dan hukum serta finansial layak untuk dijalankan sehingga dapat dilakukan kerjasama dengan swasta?

2) Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi kelayakan, serta seberapa besarkah perubahan elemen penting pada proyek tersebut akan mempengaruhi kondisi kelayakan usaha pengelolaan sampah dengan metode IPST di Kota Bogor?

1.3 Tujuan Penelitian

Dalam rangka mengembangkan kerjasama dengan swasta, maka penelitian ini bertujuan:

1) Melakukan analisis secara komprehensif terhadap kelayakan pendirian Instalasi Pengolahan Sampah Terpadu (IPST) di Kota Bogor pada dua model kerjasama yang dirancang dilihat dari aspek teknis, pasar, manajemen, lingkungan, sosial, ekonomi, dan hukum serta aspek finansial.

2) Mengidentifikasi faktor-faktor penentu yang akan mempengaruhi kondisi kelayakan pengusahaan pengelolaan sampah dengan metode IPST.

1.4 Manfaat Penelitian

1) Sebagai bahan kontribusi yang positif kepada Pemerintah Daerah maupun masyarakat umum dalam hal pengelolaan persampahan di Kota Bogor. 2) Sebagai bahan informasi dan masukan bagi Dinas Kebersihan dan Pertamanan

Kota Bogor dalam membuat kebijakan yang terkait dengan manajemen

pengelolaan sampah di Kota Bogor.

3) Sebagai bahan referensi dalam pengetahuan tentang pengelolaan sampah dan

perwujudan kota berwawasan lingkungan.

4) Sebagai referensi bagi investor yang ingin berinvestasi terkait pengelolaan sampah Kota Bogor.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk menilai kelayakan perencanaan proyek pembangunan Instalasi Pengolahan Sampah Terpadu (IPST) di Kota Bogor sebagai alternatif pengolahan sampah terkait dengan keikutsertaan pihak swasta sebagai mitra yang ditinjau dari aspek finansial dan non finansial, serta analisis

(29)
(30)

13

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengelolaan Sampah

Pengelolaan Sampah adalah kegiatan yang sistematis dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah (Kementrian Lingkungan Hidup 2007). Pemerintah bertanggung jawab dalam pengumpulan ulang dan pembuangan sampah dari permukiman secara memadai. Namun karena terdapat hal lain yang harus diprioritaskan dalam pembangunan di daerah serta kurangnya dana penunjang untuk operasionalisasi pengelolaan persampahan, menjadikan pada beberapa daerah kegiatan pengelolaan sampah ini tidak seperti yang diharapkan.

Hal tersebut semakin diperkuat dengan belum diterapkannya prinsip bahwa yang memproduksi barang harus mengelola sampah dari barang yang diproduksi. Beberapa kondisi umum yang terjadi dalam pelaksanaan pengelolaan sampah perkotaan selama ini, di mana sampah rumah tangga oleh masyarakat dikumpulkan dan dibuang ke sebuah tempat pembuangan atau kontainer yang disediakan oleh pemerintah,kemudiansampah diangkut oleh truk ke landfill yang umumnya kurang terkontrol, karena terdapat para pemulung yang mencari barang-barang yang dapat didaur ulang.

(31)

14 dari sumber hasil aktivitas manusia maupun proses alam yang belum memiliki nilai ekonomis (Suprihatin 1999).

2.1.1 Jenis, Sumber dan Pengelolaan Sampah Perkotaan Menurut UU No.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah

Undang-undang No. 18 Tahun 2008 merupakan sebuah aturan baru dalam usaha pengelolaan sampah di Indonesia. Sebagai salah satu bentuk keseriusan pemerintah terhadap usaha perbaikan pengelolaan sampah di sebagian besar daerah di Indonesia, undang-undang ini mengatur segala hal yang berkaitan dengan pengelolaan sampah, mulai dari mekanisme pengelolaan sampah sampai dengan sanksi-sanksi terhadap pelanggaran aturan pengelolaan tersebut. Secara ringkas mekanisme pengelolaan sampah pada UU No.18 Tahun 2008 mengatur hal-hal sebagai berikut:

1) Pengurangan sampah, yaitu kegiatan untuk mengatasi timbulnya sampah sejak dari produsen sampah (rumah tangga, pasar, dan lainnya), mengguna ulang sampah dari sumbernya dan/atau di tempat pengolahan, dan daur ulang sampah di sumbernya dan atau di tempat pengolahan. Pengurangan sampah diatur dalam peraturan menteri tersendiri, kegiatan yang termasuk dalam pengurangan sampah ini adalah:

a) Menetapkan sasaran pengurangan sampah

b) Mengembangkan teknologi bersih dan label produk

c) Menggunakan bahan produksi yang dapat didaur ulang atau diguna ulang d) Fasilitas kegiatan guna atau daur ulang

e) Mengembangkan kesadaran program guna ulang atau daur ulang

(32)

15 Dalam perencanaan pengelolaan sampah, Undang-Undang Pengelolaan Sampah mengharapkan pemerintah kota atau kabupaten dapat membentuk semacam forum pengelolaan sampah skala kota atau kabupaten atau provinsi. Forum ini beranggotakan masyarakat secara umum, perguruan tinggi, tokoh masyarakat, organisasi lingkungan atau persampahan, pakar, badan usaha dan lainnya. Hal-hal yang dapat difasilitasi forum adalah memberikan usul, pertimbangan dan saran terhadap kinerja pengelolaaan sampah, membantu merumuskan kebijakan pengelolaan sampah, memberikan saran dan dapat dalam penyelesaian sengketa persampahan.

Mengenai sampah spesifik baik B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) maupun sampah medis yang bersifat infektius (menyebabkan infeksi) pengelolaannya telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah B3 dan Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 Tentang Pengolahan Limbah B3. Menilai perlunya penanganan sampah yang tepat dan cepat, diharapkan UU No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah dapat diimplementasikan dengan baik.

2.1.2 Sistem Pengelolaan Sampah Perkotaan Ideal

Pemerintah Daerah diharapkan dapat melakukan kebijakan politik khususnya mengenai pengelolaan sampah dan hendaknya didukung penuh oleh Pemerintah Pusat dengan melibatkan seluruh stakeholder dalam teknis perencanaan, penyelenggaraan dan pengembangannya. Hal ini diperlukan karena sampah pada dasarnya bukan sekedar permasalahan Pemda atau Dinas Kebersihan Kota Bogor saja, namun lebih dari itu merupakan masalah bagi setiap individu, keluarga, organisasi dan akan menjadi masalah negara bila sistem perencanaan dan pelaksanaannya tidak dilakukan dengan terpadu dan berkelanjutan.

(33)

16 Penerapan teknologi

Tempat pembuangan akhir sampah (TPA)

Peran serta masyarakat pengelola sampah

Mekanisme keuntungan dalam pengelolaan sampah Peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah

Pengelolaan Sampah Kota

Ideal

sebagai fasilitator dan konduktor, dan setiap permasalahan persampahan sebaiknya dimunculkan oleh masyarakat atau organisasi sosial selaku produsen sampah. Hal ini diharapkan terciptanya sikap peduli dari masyarakat selaku individu, keluarga dan organisasi yang menunjukkan kepedulian terhadap kebersihan dan kelestarian lingkungan.

Pengelolaan sampah terpadu sebagai salah satu upaya pengelolaan sampah perkotaan adalah konsep rencana pengelolaan sampah yang dibuat dengan tujuan mengembangkan suatu sistem pengelolaaan sampah yang modern, dapat diandalkan dan efisien dengan teknologi yang ramah lingkungan. Sistem tersebut harus dapat melayani seluruh penduduk, meningkatkan standar kesehatan masyarakat dan memberikan peluang bagi masyarakat dan pihak swasta untuk berpartisipasi aktif. Pendekatan yang digunakan dalam konsep rencana pengelolaan sampah ini adalah meningkatkan sistem pengelolaan sampah yang dapat memenuhi tuntutan dalam pengelolaan sampah yang berbasis peran serta masyarakat.

Gambar 1.Pengelolaan Sampah Kota Ideal

Sumber: Aboejoewono (1999)

Aboejoewono (1999) menyatakan bahwa perlunya kebijakan pengelolaan sampah perkotaan yang ditetapkan di kota-kota di Indonesia meliputi 5 (lima) kegiatan, yaitu:

(34)

17 2) Peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah

3) Perlunya mekanisme keuntungan dalam pengelolaan sampah 4) Optimalisasi TPA sampah

5) Sistem kelembagaan pengelolaan sampah yang terintegrasi Penjelasan rinci dari Gambar 1 adalah sebagai berikut: 1) Penerapan teknologi

Teknologi yang digunakan untuk memecahkan permasalahan sampah ini merupakan kombinasi tepat guna yang meliputi teknologi pengomposan, teknologi penanganan plastik, teknologi pembuatan kertas daur ulang, Teknologi Pengolahan Sampah Terpadu menuju “Zero Waste” harus merupakan teknologi yang ramah lingkungan. Teknologi yang digunakan dalam proses lanjutan yang umum digunakan adalah:

a) Teknologi pembakaran (Incenerator)

Dengan cara ini dihasilkan produk samping berupa logam bekas (skrap) dan uap yang dapat dikonversikan menjadi energi listrik. Keuntungan lainnya dari penggunaan alat ini adalah dapat mengurangi volume sampah sekitar 75-80 persen dari sumber sampah tanpa proses pemilahan. Abu atau terak dari sisa pembakaran cukup kering dan bebas dari pembusukan dan bisa langsung dapat dibawa ke tempat penimbunan pada lahan kosong, rawa ataupun daerah rendah sebagai bahan pengurung (timbunan).

b) Teknologi composting yang menghasilkan kompos untuk digunakan sebagai pupuk maupun penguat struktur tanah.

c) Teknologi daur ulang yang dapat menghasilkan sampah potensial, seperti: kertas, plastik,logam dan kaca/gelas.

2) Peran serta masyarakat dalam pengelolaan persampahan

(35)

18 Solusi dalam mengatasi masalah sampah ini dapat dilakukan dengan meningkatkan efisiensi terhadap semua program pengelolaan sampah yang dimulai pada skala yang lebih luas lagi. Misalnya melalui kegiatan pemilahan sampah mulai dari sumbernya yang dapat dilakukan oleh skala rumah tangga atau skala perumahan. Dari sistem ini akan diperoleh keuntungan berupa: biaya pengangkutan dapat ditekan karena dapat memotong mata rantai pengangkutan sampah, tidak memerlukan lahan besar untuk TPA, dapat menghasilkan nilai tambah hasil pemanfaatan sampah menjadi barang yang memiliki nilai ekonomis, dapat lebih menyejahterakan petugas pengelola kebersihan, bersifat lebih ekonomis dan ekologis, dapat lebih memberdayakan masyarakat dalam mengelola kebersihan kota.

3) Tempat Pembuangan Akhir sampah (TPA)

Pada dasarnya pola pembuangan sampah yang dilakukan dengan sistem Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sudah tidak relevan lagi dengan lahan kota yang semakin sempit dan pertambahan penduduk yang pesat, sebab bila hal ini terus dipertahankan akan membuat kota dikepung ”lautan sampah” sebagai akibat tingginya kebutuhan lahan akibat tingginya volume sampah. Pembuangan yang dilakukan dengan pembuangan sampah secara terbuka dan di tempat terbuka juga berakibat meningkatnya intensitas pencemaran. Penanganan model pengelolaan sampah perkotaan secara menyeluruh adalah meliputi penghapusan model TPA pada jangka panjang karena dalam banyak hal pengelolaan TPA masih sangat buruk mulai dari penanganan air sampah (leachet) sampai penanganan bau yang sangat buruk. Cara penyelesaian yang ideal dalam penanganan sampah di

perkotaan adalah dengan cara membuang sampah sekaligus

memanfaatkannya sehingga selain membersihkan lingkungan, juga menghasilkan kegunaan baru. Hal tersebut secara ekonomi akan mengurangi biaya penanganannya.

4) Kelembagaan dalam pengelolaan sampah yang ideal.

(36)

19 berbasis pada masyarakat yang dimulai dari pengelolaan sampah ditingkat rumah tangga. Dalam rencana pengelolaan sampah perlu adanya metode pengolahan sampah yang lebih baik, peningkatan peran serta dari lembaga- lembaga yang terkait dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sampah, meningkatkan pemberdayaan masyarakat, peningkatan aspek ekonomi yang mencakup upaya meningkatkan retribusi sampah dan mengurangi beban pendanaan serta peningkatan aspek legal.

2.2 Pengelolaan Sampah Kota Dengan Pola 3R (Reduce, Reuse, Recycle)

Konsep Reduce, Reuse, dan Recycle (3R) merupakan suatu pendekatan dalam mengelola sampah yang dimulai dari sumbernya dengan memegang konsep minimasi. Pengelolaan sampah dengan prinsip 3R bertujuan mengurangi volume sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir melalui pengembangan upaya memperlakukan sampah dengan cara mengganti, pengurangan, penggunaan kembali dan daur-ulang. Sebenarnya 3R bukan merupakan konsep baru dalam pengelolaan sampah, namun pelaksanaannya mengalami hambatan. Menurut Sudrajat 2009, pelaksanaan 3R pada skala rumah tangga memerlukan pendekatan yang tepat karena rumah tangga merupakan kelompok yang sulit untuk diberi dorongan (insentif), teguran, bahkan ancaman. Namun pada sisi lainnya, pendekatan 3R dalam skala rumah tangga memiliki peluang yang cukup besar guna membentuk pola pikir masyarakat berdasarkan prinsip 3R secara filosofis.

Penerapan sistem 3R atau menjadi salah satu solusi pengelolaan sampah. beberapa manfaat dari pengelolaan sampah dengan metode 3R ini adalah sebagai berikut:

a. Mengurangi arus sampah kota menuju TPA.

b. Menjadikan model pengolahan sampah untuk setiap kawasan. c. Mewujudkan lingkungan yang bersih.

d. Memberikan lapangan kerja bagi masyarakat ekonomi lemah di sekitar lokasi pengolahan daur ulang.

(37)

20 f. Memberikan kontribusi positif pada penyedia pupuk organik sebagai alternatif lain yang kualitasnya lebih baik, harganya lebih murah, dan dapat dibuat sendiri.

g. Secara tidak langsung ikut berperan dalam mewujudkan pertanian organik.

2.3. Instalasi Pengolahan Sampah Terpadu (IPST)

IPST merupakan paradigma baru dalam pengelolaan sampah sekaligus dunia usaha khususnya agribisnis. Model ini memiliki konsep daur ulang sampah atau dikenal dengan konsep 3R (reduce reuse dan recycle), yang merupakan konsep pengolahan sampah yang tidak hanya memandang sampah sebagai barang yang tidak bernilai, tetapi sebaliknya, memandang sampah sebagai potensi yang memiliki nilai dan manfaat. Output yang dihasilkan dalam sebuah IPST yaitu pupuk organik, dan bahan baku plastik bekas yang merupakan produk yang memiliki nilai ekonomis (value added) dalam sektor pertanian dan non pertanian.

Sudrajat (2009) menjelaskan untuk mendirikan IPST, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu lokasi, bangunan, lahan, mesin dan peralatan, tempat, tenaga kerja, dan cara produksinya.

1) Lokasi

Lokasi yang tepat yaitu luasan lahan mencukupi. Untuk kapasitas 4,5 ton/hari diperlukan lahan untuk bangunan sekitar 200 m2. Selain itu lokasi sebaiknya terkena sinar matahari, tempatnya agak tinggi, mudah untuk jalan keluar masuk truk, dan bisa dibuat sistem drainase. Faktor lain yang harus diperhatikan adalah masyarakat mengizinkan didirikannya instalasi pengolahan sampah.

2) Bangunan

Luas bangunan tergantung kepada kapasitas intake dan output. Adapun jenis bangunan terdiri dari:

a) Tempat bahan baku, tempat ini harus terlindung dari air hujan. Luasnya disesuaikan dengan kapasitas intake bahan baku (sampah)

(38)

21 c) Ruang komposting, ruang ini memerlukan penyinaran matahari yang tidak terlalu terik sehingga harus memiliki atap dari fiberglass atau plastik berwarna hijau atau biru. Tempat ini terbuka dan dapat juga berupa hamparan tempat gundukan sampah yang ditutup terpal atau plastik.

d) Ruang pengeringan, ruang pengeringan seluas ruang komposting.

e) Ruang penggilingan kompos, ruang ini digunakan untuk menggiling kompos yang telah kering, penggilingan dilakukan hingga halus.

f) Gudang, luas gudang disesuaikan dengan kapasitas produksi dikalikan tujuh. Tujuannya untuk mengantisipasi kemungkinan produk menumpuk selama satu minggu. Gudang harus memiliki aerasi yang baik, bahkan bila perlu diberi air conditioner.

g) Kantor, luas kantor sekitar 9 (sembilan) m2. ruangan ini diperkirakan cukup untuk memuat 1 (satu) buah lemari, satu buah meja, satu buah kursi dan satu buah bangku.

h) Tempat parkir, luasnya diperkirakan cukup untuk bongkar muat truk. 3) Mesin dan peralatan

Mesin yang diperlukan antara lain mesin pencacah, mesin penggiling dan penyaring atau pengayak, mesin mixing, dan mesin pres plastik. Peralatan yang diperlukan antara lain cangkul, sekop, termometer, timbangan, golok, ember plastik silang air, kran, sepatu karet, masker, sarung tangan, garu, cairan disinfektan, karung ukuran 50 Kg dan kantong plastik kapasitas 100 Kg.

4) Tenaga kerja

Total kebutuhan tenaga kerja untuk 10 IPST yang akan diaplikasikan di Kota Bogor adalah 236 pekerja, dengan tujuh bidang pekerjaan, yaitu : (1) Kepala IPST, (2) Pengangkut sampah, (3) Tenaga teknis dan operator, (4) Teknisi mesin, (5) Pemasaran, (6) Supir, (7) Administrasi Keuangan dan Umum. Dalam kenyataanya, jumlah pekerja bisa dikurangi karena beberapa pekerjaan bisa dirangkap oleh orang yang sama.

(39)

22 Sampah diangkut ke lokasi pengumpulan untuk selanjutnya dipilah antara bahan organik, bahan untuk didaur ulang, serta bahan yang tidak dapat didaur ulang oleh pemulung dan tenaga kerja. Bahan yang bisa di daur ulang seperti kertas, karet, plastik, kulit, kayu, botol plastik, besi, kawat, kaleng, dan kaca diambil oleh pemulung. Sementara bahan yang tidak dapat didaur ulang dibakar atau dikembalikan ke tanah seperti bebatuan, tanah, dan keranjang bambu.

2.4. Kajian Empiris

Kajian empiris pada penelitian ini mengacu kepada penelitian-penelitian sebelumnya yang dinilai relevan sebagai referensi yang terdiri dari penelitian-penelitian tentang pengelolaan sampah dan penelitian-penelitian tentang studi kelayakan usaha. Kajian mengenai pengelolaan sampah di Kota Bogor maupun di kota lainnya sudah banyak dilakukan, sehingga penelitian ini mengacu kepada beberapa penelitian sebelumnya tentang pengolahan sampah, diantaranya penelitian yang telah dilakukan oleh Mujahidawati (2005), dan Qomariyah (2005), serta hasil penelitian Yayasan Danamon Peduli (2008). Adapun kajian mengenai studi kelayakan usaha yang digunakan sebagai referensi pada penelitian ini adalah penelitian yang telah dilakukan oleh Fatimah (2009), Wulandari (2009), dan Zulfah (2010). Intisari penelitian dari para penulis tersebut diuraikan pada sub bagian di bawah ini.

2.4.1 Penelitian Usaha Pengelolaan Sampah

(40)

23 besarnya biaya yang ingin dibayarkan (WTP) masyarakat Kota Bogor terhadap retribusi kebersihan dan nilai yang ingin diterima (WTA) masyarakat Galuga terhadap penerimaan kompensasi dengan pendekatan

Contingent Valuation Method (VCM). Hasil dari penelitian ini menunjukkan besarnya nilai rata-rata WTP masyarakat Kota Bogor untuk membayar retribusi adalah sebesar Rp 4.577,78 per bulan, sedangkan keinginan masyarakat Desa Galuga untuk mendapatkan kompensasi berdasarkan WTA adalah sebesar Rp 3.572.500,00 perbulan. Nilai WTP masyarakat Bogor terhadap retribusi pada penelitian tersebut akan digunakan sebagai referensi dalam penetapan angka retribusi sebagai pemasukan IPST pada penelitian ini yaitu sebesar Rp 10.000 per bulan. Angka tersebut berdasarkan asumsi adanya peningkatan biaya retribusi minimal sebesar Rp 1.000 per tahun sehingga nilai WTP masyarakat untuk membayar retribusi pada Tahun 2005 sebesar Rp 4.577,77 akan meningkat menjadi 10.577,77 pada Tahun 2011. Untuk memudahkan perhitungan, biaya retribusi pada penelitian ini yang dibulatkan menjadi Rp 10.000.

(41)

24 sebagian besar bergantung kepada faktor tingkat pendidikan masyarakat yang memberikan kesadaran akan pentingnya kebersihan. Oleh karena itu sebelum mengaplikasikan IPST di Kota Bogor sebaiknya perlu dilakukan edukasi terhadap masyarakat agar tercipta kesamaan persepsi terhadap pentingnya pengadaan IPST sebagai solusi terhadap penanganan sampah komunitas. Hal tersebut menjadi keterbatasan dalam penelitian ini, karena penelitian ini lebih dalam mengkaji mengenai aspek bisnis pengelolaan IPST .

3) Penelitian ini juga mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Danamon Peduli pada Tahun 2008 mengenai pengolahan sampah terpadu, dengan spesifikasi konversi sampah pasar menjadi kompos berkualitas tinggi. Dalam kajian ini, adanya program pengelolaan sampah pasar menjadi kompos berkualitas tinggi akan menciptakan pasar tradisional yang sehat, nyaman, dan bersih, kondisi ini dinilai mampu merevitalisasi pasar tradisional menjadi pusat perbelanjaan utama bagi masyarakat Indonesia. Melalui penelitian ini Yayasan Danamon Peduli telah mendirikan 30 unit pengolahan kompos pada pasar tradisional yang tersebar diseluruh daerah di Indonesia, diantaranya adalah Pasar Bunder Sragen, Pasar Bantul, dan Pasar Wonosobo. Teknis dalam pengolahan sampah khususnya sampah organik dan teknis pembangunan rumah kompos yang sesuai untuk proses fermentasi kompos yang baik banyak diadaptasi pada aspek teknis studi kelayakan proyek IPST. Hal tersebut bertujuan agar output kompos yang dihasilkan oleh IPST pada penelitian ini memiliki kualitas yang lebih baik dari output kompos IPST lain yang umumnya tidak terlalu memerhatikan kualitas kompos yang dihasilkan.

2.4.2 Penelitian Studi Kelayakan Usaha

(42)
(43)

26 yang digunakan, sedangkan perbedaan penelitian ini adalah pada proyek yang dijalankan dan konsep kontrak kerjasama pemerintah dan pihak swasta yang direncanakan menggunakan kontrak konsesi (keterlibatan swasta secara penuh), sehingga seluruh skenario pada penelitian ini merupakan skenario yang dijalankan pihak swasta tanpa ada keterlibatan APBD pemerintah dalam hal pendanaan investasi proyek.

2) Wulandari (2009), meneliti tentang analisis kelayakan usaha pengolahan sampah organik pada masyarakat di Pekayon Indah, Bekasi, melalui gerakan peduli lingkungan (GPL). Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kesediaan warga di kompleks perumahan PPI untuk melakukan pemilahan sampah, serta menganalisis kelayakan usaha pengolahan sampah yang dilakukan GPL dan mengestimasi nilai ekonomi dari usaha pengolahan sampah organik tersebut. Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan warga di kompleks perumahan PPI untuk memilah sampah didominasi oleh faktor usia, pendidikan, serta status ibu. Masing-masing variabel tersebut memiliki nilai

(44)

27 nilai IRR 9,37 persen berada sedikit diatas discount rate yang digunakan yaitu 7 persen, Net B/C sebesar 1,03 dan Payback periode selama 9 tahun 11 bulan. Penelitian Wulandari (2009) memiliki kesamaan dengan proyek yang dikaji penulis yaitu instalasi pengolahan sampah terpadu (IPST) yang berbasis komunitas masyarakat, juga terdapat kesamaan pada metode analisis yang digunakan, namun demikian penelitian ini berusaha menyempurnakan penelitian tersebut dengan memperluas skenario yang akan digunakan dengan skala usaha yang lebih besar dengan melibatkan pihak swasta sebagai pengelola IPST yang direncanakan dibangun pada setiap kelurahan di Kota Bogor dengan umur proyek 20 tahun, sehingga potensi keuntungan yang akan dihasilkan akan lebih tinggi yang diharapkan dapat menarik pihak investor atau badan swasta yang akan terlibat dalam usaha pengelolaan IPST.

3) Penelitian lain tentang studi kelayakan usaha adalah penelitian yang dilakukan oleh Zulfah (2010) dengan judul Analisis Kelayakan Usaha Pupuk Organik Kelompok Tani Bhineka I, Kabupaten Subang. Permintaan pupuk organik yang meningkat hingga 90 persen tidak mampu diimbangi dengan ketersediaan produk pupuk organik Poktan Bhineka I. Kekurangan stok produksi tersebut disebabkan oleh kapasitas produksi poktan yang sangat terbatas. Oleh karena itu, Poktan Bhineka I berencana meningkatkan kapasitas produksi pupuk organiknya hingga dua kali lipat pada Tahun 2010. Penelitian tersebut bertujuan menganalisis analisis kelayakan usaha pengolahan pupuk organik Poktan Bhineka I yang telah berproduksi sejak Tahun 2008 dari aspek non finansial dan aspek finansial dengan skenario peningkatan kapasitas produksi sebanyak dua kali lipat dari produksi normal. Analisis kelayakan finansial dilakukan dengan mengkaji arus kas menggunakan program

(45)

28 yang lebih tinggi. Perhitungan analisis finansial menggunakan tingkat diskonto (discount rate) sebesar 7 persen. NPV yang dihasilkan usaha ini adalah sebesar Rp 164.690.803,00 dengan total investasi awal sebesar Rp 73.000.000,00. Hal tersebut menunjukkan bahwa usaha tersebut sangat layak untuk dijalankan karena selama umur proyek 10 tahun usaha tersebut mampu menghasilkan keuntungan lebih dari dua kali lipat investasi yang dikeluarkan di awal tahun. Selain itu, pada discount rate yang sama, tingkat pengembalian internal atau internal rate of return (IRR) usaha ini adalah sebesar 68 persen, nilai Net B/C sebesar 4,09, dan payback periode selama 3,18 tahun. Dapat disimpulkan bahwa berdasarkan analisis finansial, dengan peningkatan produksi sebesar dua kali lipat, usaha tersebut layak untuk dijalankan. Penelitian yang dilakukan Zulfah (2010) menjadi pembanding dalam menyimpulkan kelayakan usaha pengelolaan IPST khususnya dalam analisis hal finansial. Meskipun pengelolaan IPST memenuhi kriteria kelayakan usaha, namun jika dibandingkan dengan penelitian Zulfah (2010), pada tingkat diskonto yang sama kriteria kelayakan pada usaha pupuk organik Poktan Bhineka I jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pengelolaan IPST, salah satunya yaitu tingkat pengembalian internal (IRR) IPST yang hanya mencapai angka 22 persen, jauh dibawah pengolahan pupuk organik sebesar 68 persen. Hal tersebut akan menjadi risiko kurang bersaingnya investasi pada usaha IPST dalam hal analisis finansial jika dibandingkan dengan usaha lain, namun demikian usaha pengelolaan IPST tetap memiliki kekuatan tersendiri terutama terhadap dampak kondisi lingkungan yang dinilai akan lebih baik dengan adanya pengolahan sampah pada IPST. Oleh karena itu investor pada usaha IPST lebih tepat jika berasal dari unit bisnis atau bagian perusahaan yang memiliki program kepedulian terhadap lingkungan sosial atau CSR (corporate social resposibility) atau peduli terhadap kondisi lingkungan.

(46)

29 karena merupakan inovasi baru dalam pengelolaan sampah maupun dalam dunia usaha yang belum pernah ada sebelumnya di Kota Bogor. Hal ini merupakan mata rantai akhir dalam pengelolaan sampah dengan memanfaatkan teknologi yang paling baru yang diterapkan di Indonesia. Selain itu, output akhir yang dihasilkan bukan hanya pupuk organik, tetapi juga plastik bekas yang siap didaur ulang. Penelitian ini juga merencanakan adanya hubungan kerjasama antara pemerintah dan swasta dalam bentuk kontrak konsesi dengan pilihan mekanisme pembayaran

(47)

30

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

Pendirian infrastruktur IPST dinilai sebagai salah satu proyek besar Pemerintah Kota Bogor di Tahun 2011. Proyek ini direncanakan akan bekerjasama dengan swasta dengan bentuk kerjasama konsesi dengan pilihan mekanisme pembayaran tipping fee atau retribusi. Untuk menarik minat swasta dalam rangka berinvestasi dalam proyek tersebut diperlukan suatu analisis terhadap kelayakan usaha sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan investor mengenai proyeksi keuntungan dalam proyek pengelolaan IPST. Sebelum dilakukan pembahasan terkait analisis kelayaan proyek IPST, perlu diketahui beberapa pengertian dalam kerangka pemikiran teoritis penelitian ini, diantaranya pengertian proyek, serta aspek-aspek dalam analisis kelayakan proyek yang terdiri dari aspek pasar, teknis, manajemen, sosial ekonomi, hukum, dan finansial.

3.1.1. Pengertian Proyek

Pengertian proyek menurut Gray et.al, (1993) adalah kegiatan-kegiatan yang dapat direncanakan dan dilaksanakan dalam satu bentuk kesatuan dengan mempergunakan sumber-sumber untuk mendapatkan benefit atau manfaat berbentuk tingkat konsumsi yang lebih besar, perbaikan tingkat pendidikan atau kesehatan, dan perbaikan suatu sistem atau struktur. Kegiatan yang dilaksanakan dalam satu bentuk kesatuan berarti bahwa baik sumber-sumber yang dipergunakan dalam satu proyek maupun hasil-hasil proyek tersebut dapat dipisahkan dari sumber-sumber yang dipergunakan dan hasil-hasil dari kegiatan yang lain. Kegiatan yang dapat direncanakan berarti: (1) baik biaya maupun hasil-hasil pokok dari proyek dapat dihitung atau diperkirakan dan (2) kegiatan-kegiatan dapat disusun sedemikian rupa sehingga dengan penggunaan sumber-sumber yang terbatas dapat diperoleh benefit yang sebesar mungkin.

(48)

31 dari penggunaan masa sekarang untuk memperoleh benefit yang lebih besar di masa yang akan datang. Suatu proyek dapat dinyatakan berakhir bila sudah pasti atau diduga tidak memberikan benefit lagi. Kegiatan proyek tersebut adalah dapat berupa pembangunan pabrik atau gedung, perkebunan, proyek irigasi, pembangunan jalan, dan sebagainya.

Kadariah et.al, (1999) mendefinisikan proyek sebagai suatu keseluruhan aktivitas yang menggunakan sumber-sumber untuk mendapatkan kemanfaatan (benefit) atau suatu aktivitas yang mengeluarkan uang dengan harapan untuk mendapatkan hasil (return) di waktu yang akan datang dan yang dapat direncanakan, dibiayai, dan dilaksanakan sebagai satu unit.

Secara khusus, Gittinger (1986) menjelaskan mengenai proyek pertanian, yang didefinisikan sebagai suatu kegiatan investasi di bidang pertanian yang mengubah sumber-sumber finansial menjadi barang-barang kapital yang dapat menghasilkan keuntungan atau manfaat setelah beberapa periode waktu. Dalam penjelasannya, Gittinger menyatakankan bahwa proyek berbeda dengan kegiatan investasi. Biasanya proyek pertanian dianggap sebagai kegiatan investasi yang mengubah sumber-sumber finansial menjadi barang-barang yang dapat menghasilkan keuntungan-keuntungan atau manfaat-manfaat setelah beberapa periode waktu. Akan tetapi pada beberapa proyek, biaya-biaya produksi atau pemeliharaan yang telah dikeluarkan diharapkan dapat memberikan keuntungan atau manfaat secara cepat, dalam jangka waktu satu tahun. Dalam suatu proyek pertanian, batasan antara “pengeluaran investasi” dan “pengeluaran produksi” dalam suatu proyek pertanian tidak semuanya jelas. Perbedaan di antara keduanya adalah hanya pada waktu yang digunakan dalam proses pertumbuhan atau proses produksi dan perolehan manfaat dari kegiatan proyek yang dilakukan.

(49)

32

3.1.2. Pengertian dan Tujuan Analisis Kelayakan Proyek

Gittinger (1986) mendefinisikan studi kelayakan proyek sebagai analisis untuk membandingkan biaya-biaya dengan manfaatnya dan menentukan proyek-proyek yang mempunyai keuntungan yang layak. Sedangkan menurut Umar (2005), studi kelayakan proyek adalah penelitian tentang layak atau tidaknya suatu proyek dibangun untuk jangka waktu tertentu.

Analisis kelayakan proyek juga didefinisikan sebagai penelitian tentang dapat-tidaknya suatu proyek dilaksanakan dengan berhasil (Husnan dan Sarwono 2000). Analisis kelayakan proyek merupakan suatu analisis yang dapat menunjukkan apakah suatu bisnis atau proyek pembangunan yang direncanakan atau sedang berjalan layak untuk dilaksanakan atau layak untuk dipertahankan pelaksanaannya.

Tujuan dari analisis proyek menurut Gittinger (1986) adalah untuk memperbaiki pemilihan investasi. Hal ini dilakukan karena sumber-sumber yang tersedia bagi pembangunan adalah terbatas, sehingga perlu dilakukan pemilihan di antara berbagai macam proyek. Kesalahan dalam pemilihan proyek dapat mengakibatkan pengorbanan terhadap sumber-sumber langka. Untuk sebagian besar kegiatan pembangunan pertanian, persiapan pelaksanaan proyek secara cermat merupakan cara yang terbaik yang dapat dilakukan untuk menjamin terpakainya dana-dana kapital secara ekonomis, efisien, dan untuk memungkinkan pelaksanaan proyek secara tepat menurut waktu atau jadwal.

Selain itu, menurut Gray et.al, (1993), tujuan analisis proyek adalah untuk mengetahui tingkat keuntungan yang dapat dicapai melalui investasi dalam suatu proyek, menghindari pemborosan sumber-sumber daya yang terbatas, yaitu dengan menghindari pelaksanaan proyek yang tidak menguntungkan, mengadakan penilaian terhadap peluang investasi yang ada, sehingga dapat dipilih alternatif proyek yang paling menguntungkan, dan menentukan prioritas investasi. Untuk mengetahui tingkat keuntungan suatu calon proyek, perlu dihitung benefit dan biaya yang diperlukan sepanjang umur proyek.

Gambar

Gambar 1. Pengelolaan Sampah Kota Ideal
Tabel 8. Sejarah Singkat Pengelolaan Bidang Kebersihan
Gambar 4. Jalur Distribusi Pemasaran Kompos PT X
Gambar 5. Rencana Lokasi Pendirian 10 IPST di Kota Bogor
+7

Referensi

Dokumen terkait

LARASATI ALIFFIA SYAIFFHANAYA WIDYAPUTRI. Analisis Ekonomi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah dan Manfaat Reduksi Emisi Karbon di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu

(2014) menjelaskan bahwa pengembangan bank sampah ini juga akan membantu pemerintah lokal dalam pemberdayaan masyarakat untuk mengelola sampah berbasis komunitas secara bijak

Peran pemerintah dalam pengolahan sampah berbasis pemberdayaan masyarakat Desa Ngampelsari adalah pertama penyuluhan dari lurah dengan memberikan motivasi untuk menjaga

Sampah merupakan sisa-sisa bahan yang telah mengalami perlakuan (telah diambil bagian utamanya dan telah mengalami pengolahan) dan sudah tidak bermanfaat, dari segi ekonomi

Proses pengolahan pada TPST Kecamatan Medan Johor mempunyai 6 rangkaian proses yaitu penerimaan sampah, pemilahan sampah, pendaur ulangan sampah organik, pendaur ulangan

Menurut Buku Tata Cara Penyelenggaraan Umum Tempat Pengolahan Sampah (TPS) 3R Berbasis Masyarakat di Kawasan Permukiman (2012:5-6), Tempat Pengolahan Sampah (TPS)

Kesimpulan dari skenario adalah bahwa usaha pengolahan sampah, selain dapat memberikan manfaat dan biaya secara ekonomi juga dapat memberikan manfaat dan biaya

18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah disebutkan bahwa setiap orang dalam pengelolaan sampah rumah tangga wajib mengurangi dan menangani sampah dengan cara yang berwawasan lingkungan