• Tidak ada hasil yang ditemukan

5.2. Kebijakan Pengelolaan Sampah Kota Bogor

6.2.4. Kapasitas Produksi

Kapasitas produksi adalah jumlah produk yang seharusnya diproduksi untuk mencapai keuntungan yang optimal. Keuntungan ini dipengaruhi oleh faktor eksternal, yaitu pangsa pasar yang mungkin diraih. Sedangkan faktor internal yaitu usaha-usaha pemasaran yang dilakukan serta variabel-variabel teknik yang berkaitan langsung dengan proses produksi. Penentuan kapasitas produksi juga dipengaruhi oleh ketersediaan bahan baku dan teknologi proses yang dipilih.

Jumlah sampah Kota Bogor yang terangkut saat ini adalah 69,8 persen atau sekitar 1.543 m3 dari total 2.332 m3 timbulan sampah yang dihasilkan perharinya di seluruh wilayah Kota Bogor. Dengan adanya IPST diharapkan mampu menangani sampah Kota Bogor yang tidak tertangani sebesar 30,2 persen atau sekitar 789 m3 perhari. Satu IPST direncanakan memiliki satu unit alat pencacah sekaligus pemisah sampah organik dan plastik dengan kekuatan 50 pk, dengan kapasitas optimal produksi rata-rata 15 m3 sampah perhari.

80

Gambar 6. Skema Urutan Proses Pada IPST yang Dirancang

Sumber : Mitran (Tahun 2010), diolah.

Penelitian yang dilakukan pada demplot IPST di kantor Bidang Kebersihan Kota Bogor selama bulan Juli sampai dengan Agustus 2010, diperoleh data persentase input pada demplot IPST terdiri dari 30 persen sampah organik siap kompos, 40 persen sampah plastik, dan 20 persen residu tidak terolah yang akan dibakar pada incenerator atau dibuang kembali ke TPA. Setiap lokasi IPST mungkin memiliki perbedaan dalam persentase input sampah, menurut pengalam pengelolaan sampah permukiman Mitran, rata-rata daerah permukiman hanya menghasilkan sampah organik sebesar 30 persen sampai dengan 40 persen,

Sumber sampah Alat Pengangkut IPST

Pencacahan Pemilahan sampah ekonomis Pemilahan Pengayakan kasar Pengayakan halus Plastik 50% Organik 30% Residu 20% Pengemasan Fermentasi 14 Hari Pengeringan Pencucian Incenerator Pencacahan Residu Kompos Pemilahan PP 5% HDPT 30%

Pengepakan Mixing kompos

PE 5%

Biomasa 60%

81 sedangkan sisanya adalah sampah non organik. Maka, dalam penelitian ini, jumlah sampah yang ada pada sepuluh lokasi dilakukan penghitungan rata-rata, yaitu berasarkan data yang ada pada demplot DKP dan pengalaman Mitran dalam melakukan pengelolaan sampah, sehingga diasumsikan dalam satu hari IPST akan mengolah sampah permukiman yang terdiri dari 30 persen sampah organik, 50 persen sampah plastik, dan sisanya residu yang sebagian digunakan untuk biomasa.

Sepuluh IPST pada tahun pertama diharapkan mampu mereduksi jumlah sampah Kota Bogor sebesar 150 m3 perharinya atau sekitar 38 persen dari total sampah yang tidak tertangani dan tidak terangkut ke TPA. Sehingga keberadaan IPST dapat meningkatkan persentase sampah tertangani Kota Bogor dari 1.543 m3 perhari menjadi sebesar 1.843 m3 atau meningkat menjadi 82,5 persen.

6.3 Aspek Manajemen dan Hukum

Pada penelitian mengenai analisis model penanganan sampah kota bogor dengan penerapan IPST ini dikaji pula aspek manajemen atau kelembagaan pengelolaan sampah Kota Bogor terutama yang berkaitan dengan pelaksanaan IPST yang akan didirikan. Aspek ini menjelaskan bagaimana dapat diatur dan oleh siapa dapat dilakukan operasi dari pengelolaan sampah Kota Bogor.

Pada pengelolaan IPST direncanakan akan bekerjasama dengan pihak ketiga atau badan usaha tertentu. Sehingga, jenis kelembagaan yang akan diterapkan pada pengelolaan IPST adalah Scavanger operation, yaitu sebuah organisasi kerja dimana badan-badan swasta tertentu atau perorangan diberi ijin untuk mengelola sampah dalam suatu area/lokasi yang telah ditetapkan. Bentuk organisasi ini sangat cocok untuk kota-kota besar dimana banyak perusahaan- perusahaan atau perorangan diberikan kesempatan untuk turut serta tetapi dengan kontrol dan pengawasan yang ketat oleh petugas dinas kota. Hal tersebut sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 tentang kewajiban dan kewenangan pemerintah, ayat g, UU. No 18 Tahun 2008, bahwa pemerintah wajib melakukan koordinasi antarlembaga pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha agar terdapat keterpaduan dalam pengelolaan sampah.

Dalam pelaksanaannya sangat penting diperhatikan bahwa kontrol sangat perlu sehingga pengumpulan yang dilakukan sesuai dengan maksud-maksud

82 pengolahannya tanpa melupakan segi pelayanan. Jenis kelembagaan ini telah diterapkan Dinas Kebersihan Kota Jakarta, dimana saat ini hampir seluruh sektor pengelolaan kebersihan dilakukan oleh pihak ketiga dengan kontrol yang ketat dari pemerintah, mulai dari pengangkutan sampai kepada pengolahan sampah di TPA Bantar Gebang. Hal serupa juga diterapkan oleh Pemerintah Kota Batam dalam hal pengelolaan sampah Kota dan pengolahan sampah di TPA Kota Batam mulai tahun 2004 sampai dengan penelitian ini dilakukan.

Konsekuensi dari pola organisasi Scavenger operation adalah adanya pemindahan alokasi dana retribusi yang seharusnya masuk kas pemerintah menjadi hak swasta yang melakukan pengelolaan sampah sebagai tambahan operasional, namun hal tersebut masih dalam kontrol pemerintah sebagai regulator untuk menentukan batasan retribusi yang layak tanpa menambah beban masyarakat.

Dalam penelitian ini, diasumsikan terdapat sebuah unit usaha penanganan sampah (waste management) milik swasta yang akan membantu Bidang Kebersihan DKP Kota Bogor dalam hal penanganan sampah kota khususnya pelaksana teknis IPST yaitu PT X. PT X berada di bawah koordinasi DKP Kota Bogor tepatnya di bawah Bidang Kebersihan. Diperlukan seksi khusus pada bidang kebersihan untuk fokus dalam mengelola PT X yang bertanggung jawab langsung kepada Kepala Bidang (Kabid) Kebersihan DKP yaitu bidang kemitraan. Kegiatan operasional IPST membutuhkan SDM sesuai dengan keahlian dalam menjalankan perusahaan. Dengan asumsi sepuluh IPST berjalan optimal, maka kebutuhan tenaga kerja proyek IPST dapat dilihat pada lampiran 1.

Total kebutuhan tenaga kerja untuk 10 IPST yang akan diaplikasikan di Kota Bogor adalah 206 pekerja, dengan sembilan bidang pekerjaan, yaitu : (1) Kepala IPST sebanyak satu orang, (2) Penanggung jawab (PJ) lokasi sebanyak 10 orang, (3) Pengangkut sampah sebanyak 60 orang, (4) Tenaga teknis dan operator sebanyak 120 orang, (5) Teknisi mesin sebanyak 5 orang, (6) Pemasaran sebanyak 2 orang, (7) Supir sebanyak 5 orang, (8) Administrasi Keuangan dan Umum, serta (9) Manajemen SDM sebanyak 1 orang. Struktural organisasi PT X dibuat untuk memudahkan menjalankan operasional IPST dapat dilihat pada Gambar 7.

83

Gambar 7. Struktur Organisasi PT X

Sumber : Mitran dan Hasil Olahan Penulis

Orientasi pengelolaan dengan basis kegiatan di TPS yang dimodifikasi menjadi tempat kegiatan pengelolaan sampah sekaligus tempat usaha setidaknya membutuhkan tenaga kerja yang memiliki motivasi dan dedikasi yang tinggi dalam menciptakan lingkungan yang bersih dan kegiatan usaha yang berkesinambungan serta memberi nilai tambah ekonomi. Oleh karena itu pengalokasian tenaga kerja harus dilakukan secara efisien dan efektif dimana penempatan tenaga kerja yang mempunyai kemampuan harus sesuai dengan beban kerja, sehingga diperlukan motivasi dan dorongan yang tinggi agar dapat memberikan kontribusi positif bagi perusahaan. Kajian kebutuhan tenaga kerja PT X harus sesuai dengan deskripsi tugas pada masing-masing jabatan. Tingkat pendidikan untuk Kepala IPST dan Pemasaran adalah sarjana yang memahami pengelolaan IPST dan ilmu pemasaran. Kualifikasi tenaga Adminstrasi adalah SMA, Sedangkan untuk tenaga teknisi sampai kepada mekanik tidak bergantung kepada tingkat pendidikan, melainkan lebih menekankan kepada keterampilan secara teknis.

Proyek IPST membutuhkan biaya investasi yang tinggi. Selain itu, biaya operasional dalam pengolahan sampah di IPST juga bernilai mahal. jika hanya mengandalkan Income perusahaan melalui penjualan output kompos dan sampah

Kepala DKP SDM Administrasi dan Keuangan Kepala IPST Kabid Kebersihan Pemasaran

Teknisi dan Operator Pengangkut Sampah

PJ Lokasi Supir dan

84 plastik untuk menutupi biaya operasional dapat menyebabkan IPST menjadi beban bagi swasta, hal tersebut karena tidak seimbangnya biaya pemasukan dengan operasional IPST. Oleh karena itu alternatif mekanisme pemasukan tambahan agar IPST Kota Bogor tetap dapat beroperasi adalah melalui pemasukan dari retribusi sampah dengan mekanisme baru, yaitu daerah yang mendapatkan pelayanan IPST diharuskan membayar retribusi yang besarnya disesuaikan untuk membiayai operasional IPST pada daerah masing-masing. Selain dengan mekanisme retribusi, usaha ini juga dapat berjalan dengan adanya pembayaran tipping fee dari pemerintah sebagai biaya public service yang dibayarkan pemerintah kepada pengelola IPST atau PT X untuk meringankan beban biaya operasional pada usaha pengolahan sampah. Pembahasan mengenai retribusi dan tipping fee lebih mendalam dikaji pada arus manfaat bagian analisis finansial.

Dalam aspek hukum, pengadaan IPST merupakan salah satu rekomendasi dalam UU No 18 Tahun 2008, khususnya Pasal 6g tentang kewajiban dan kewenangan pemerintah, bahwa pemerintah wajib melakukan koordinasi antar lembaga pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha agar terdapat keterpaduan dalam pengelolaan sampah. Sehingga hal tersebut merupakan landasan hukum dalam pendirian IPST yang dikelola oleh swasta atau badan usaha. Badan usaha yang akan digunakan pada pengelolaan IPST sebaiknya memiliki kekuatan hukum, sehingga hal tersebut akan memudahkan dalam akses peminjaman dana kepada bank atau pihak lainnya. Selain itu, dasar hukum pada pengelolaan IPST diperlukan dalam hal mempermudah dan memperlancar kegiatan bisnis pada saat menjalin jaringan kerjasama (networking) dengan pihak lain.

Dokumen terkait