• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Ekonomi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah Dan Manfaat Reduksi Emisi Karbon Di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantargebang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Ekonomi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah Dan Manfaat Reduksi Emisi Karbon Di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantargebang"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

LARASATI ALIFFIA SYAIFFHANAYA WIDYAPUTRI

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

ABSTRAK

LARASATI ALIFFIA SYAIFFHANAYA WIDYAPUTRI. Analisis Ekonomi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah dan Manfaat Reduksi Emisi Karbon di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantargebang. Dibimbing oleh YUSMAN SYAUKAT.

Aktivitas perekonomian membutuhkan listrik sebagai penunjang produktivitas. Permintaan yang tinggi terhadap listrik masih belum tersedia oleh Perusahaan Listrik Negara. Hal itu menyebabkan timbul fenomena kelebihan permintaan padahal Indonesia memiliki potensi besar dalam penyediaan energi seperti solar, angin, mikro hidro, serta biomass. Salah satu sumber energi biomass adalah sampah. Mayoritas Tempat Pembuangan Akhir di Indonesia masih beroperasi dengan sistem open landfill tanpa perlakuan lanjutan apapun. TPST Bantargebang dapat menjadi role model yang mengaplikasikan pengolahan sampah berkelanjutan terintegrasi dengan PLTSa.Tujuan penelitian ini yaitu: 1) Mengidentifikasi sistem pengelolaan sampah di TPST Bantargebang; 2) Mengevaluasi manfaat ekonomi yang mungkin dihasilkan melalui reduksi emisi karbon dari kegiatan PLTSa. 3) Mengevaluasi secara ekonomi terhadap proyek PLTSa di TPST Bantargebang.Total manfaat ekonomi dari reduksi emisi CO2 yaitu Rp 39.128.386.541 dari reduksi emisi CO2 sebanyak 115.219,04 ton. Kriteria kelayakan didapatkan nilai NPV Ekonomi sebesar Rp 1.141.704.311.213 dan NPV Finansial Rp 486.089.097.250. Net B/C Ekonomi sebesar 5,51 dan Net B/C Finansial sebesar 2,64. IRR Ekonomi mencapai 22%, sedangkan IRR Finansial hanya mencapai 11%. PP finansial yaitu 5 tahun 3 bulan, sedangkan PP ekonomi membutuhkan 1 tahun 4 bulan masa pengembalian. Nilai-nilai tersebut menunjukkan proyek PLTSa Bantargebang memenuhi kelayakan untuk dilaksanakan baik secara finansial maupun ekonomi.

(4)
(5)

ABSTRACT

LARASATI ALIFFIA SYAIFFHANAYA WIDYAPUTRI. Economic Analysis of Waste-based Power Plant and Carbon Emission Reduction in Bantargebang Landfill. Supervised by YUSMAN SYAUKAT.

Economic activities need electricity as productivity underpinning. High demand trend of Indonesia electricity is unadequately exist by Local Electricity Company. It caused excess demand whereas Indonesia had a large possibility provided alternative energy resources such as wind, hydro power, and biomass. Waste is one of biomass energy contributor. Majority landfill in Indonesia still adopted open landfill system without any kind of treatment. Bantargebang Landfill could be a role model which applied integrated landfill with municipal waste power plant. The aims of this research are: 1) System analysis of waste treatment in Bantargebang Landfill; and 2) Measuring economic benefits of waste-based power plant; and 3) Economic analysis of Bantargebang waste-based power plant. The waste treatment identificated by descriptive analysis about operational process of carrying waste from the site; and how to process landfill waste to compost, recycled plastics and electricity. Total economic benefits of CO2 emission reduction is USD 2,650,740.46 from tighten emission about 93,665.74 tonnes of CO2 by integrated waste treatment. NPV USD 95,964,440.11; Net B/C 5.51; IRR 22% and PP on years 1st year 4 months. Refering to the economic analysis, this waste-based power plant is economically feasible. Research results would be a reference to Indonesia Government about waste management and treatment that enable to apply in the others landfill. Both government and private companies also had financial highlight of sustainable landfill should be.

(6)

ANALISIS EKONOMI PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA SAMPAH DAN MANFAAT REDUKSI EMISI KARBON DI TEMPAT

PENGOLAHAN SAMPAH TERPADU BANTARGEBANG

LARASATI ALIFFIA SYAIFFHANAYA WIDYAPUTRI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(7)
(8)
(9)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Ekonomi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah dan Manfaat Reduksi Emisi Karbon di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantargebang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Larasati Aliffia Syaiffhanaya Widyaputri

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan berkah-Nya sehingga penulis dapat merampungkan penyusunan skripsi sebagai persyaratan memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini mengangkat kajian mengenai pengolahan sampah secara berkelanjutan di DKI Jakarta, berjudul “Analisis Ekonomi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah dan Manfaat Reduksi Emisi Karbon di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantargebang”.

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi rekomendasi mengenai perlunya mereplikasi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah yang terintegrasi dengan Tempat Pembuangan Akhir setempat. Selain memberi nilai ekonomi yang besar bagi pengelola, aktivitas pengolahan sampah berkelanjutan juga memberi dampak positif lainnya seperti mampu menyerap tenaga kerja, mengurangi polusi bau serta tentu saja mengurangi jumlah sampah yang menumpuk.

Terima kasih penulis ucapkan kepada kedua orang tua penulis tercinta, Ir. Kasmita Widodo dan Anita Rosyana, A.Md; adik tersayang Gita Dwilaksmi Ramadhani, Ryandhika Yudhistira, Arjuna Lintang Samudera; Oma Titin, Papi Munadji, almh. Mbah Sarwi, serta seluruh keluarga atas dukungan, do’a, nasihat serta kasih sayang yang telah diberikan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Yusman Syaukat, M. Ec sebagai dosen pembimbing skripsi dan akademik yang telah meluangkan waktu untuk memberi motivasi, bimbingan serta saran dengan penuh kesabaran juga membuka wawasan hingga skripsi ini selesai. Terima kasih kepada dosen penguji utama dan dosen penguji Departemen ESL yang telah memberikan saran, terima kasih kepada dosen pengajar dan staff departemen ESL serta dosen KPM telah banyak membantu proses pembelajaran selama studi.

Terima kasih kepada pihak Dinas Kebersihan DKI Jakarta, pengelola TPST Bantargebang, dan masyarakat Kecamatan Bantargebang yang telah bersedia membantu penulis dalam mengumpulkan data serta informasi terkait penelitian. Terima kasih kepada kawan-kawan 9ers, Forum for Scientific Studies

(Forces) IPB, Pak Nur, keluarga ESL 47, TPB A20, seluruh sahabat, yang senantiasa memberi pemahaman kepada penulis: hidup adalah perjalanan dan pembelajaran tentang kerendahan hati, to infinity and beyond.

Bogor, Agustus 2014

Larasati Aliffia Syaiffhanaya Widyaputri

(13)
(14)

DAFTAR ISI

2.2 Konsep Sumberdaya dan Hak Kepemilikan ... 12

2.3 Model Pengelolaan Sampah Kota ... 14

2.4 Manfaat Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang ... 15

2.4.1 Manfaat Ekonomi Energi Ramah Lingkungan ... 17

2.4.2 Manfaat Ekonomi Reduksi Emisi Karbon ... 18

2.5 Penelitian Terdahulu ... 19

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 22

IV. METODE PENELITIAN ... 26

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 26

4.2 Jenis dan Sumber Data ... 26

4.3 Identifikasi Sistem Pengolahan Sampah di TPST Bantargebang ... 28

4.4 Teknik Analisis Data ... 28

4.4.1 Penilaian Manfaat Ekonomi Reduksi Emisi Karbon 28 4.4.2 Analisis Ekonomi Proyek PLTSa Bantargebang... 32

V. GAMBARAN UMUM ... 36

5.1 Gambaran Umum Provinsi DKI Jakarta... 36

5.2 Gambaran Umum Kecamatan Bantargebang Kota Bekasi... 38

5.3 Gambaran Umum TPST Bantargebang... 39

VI. SISTEM PENGOLAHAN SAMPAH DI TPST BANTARGEBANG 43 6.1 Unit Pengolahan Kompos... 44

(15)

6.3 Power House PLTSa Bantargebang... 52

VII. MANFAAT EKONOMI REDUKSI EMISI KARBON... 55

7.1 Reduksi Timbulan Sampah di TPST Bantargebang... 55

7.2 Manfaat Ekonomi Reduksi Emisi Karbon di TPST Bantargebang 57 VIII. ANALISIS EKONOMI PROYEK PLTSa BANTARGEBANG... 60

8.1 Evaluasi Aspek Kelayakan Usaha PLTSa Bantargebang... 59

8.1.1 Aspek Teknis... 59

8.1.2 Aspek Institusional... 60

8.1.3 Aspek Sosial... 62

8.2 Identifikasi Manfaat Proyek PLTSa... 62

8.2.1 Manfaat Langsung... 62

8.2.2 Manfaat Tidak Langsung... 64

8.3 Identifikasi Biaya Proyek PLTSa... 66

8.3.1 Biaya Investasi... 66

8.3.2 Biaya Operasional... 69

8.4 Analisis Kelayakan Ekonomi... 71

XI. SIMPULAN DAN SARAN... 74

9.1 Simpulan... 74

9.2 Saran... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 76

LAMPIRAN...80

(16)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Overview Kerjasama Pengelolaan TPST Bantargebang... 16

2 Matriks Metode Analisis Data sesuai Tujuan Penelitian... 27

3 Identifikasi Benefit and Cost Proyek PLTSa... 29

4 Proyeksi Social Cost of Carbon 2008-2023... 32

5 Jumlah Penduduk Provinsi DKI Jakarta Menurut Jenis Kelamin Tahun 2008-2012... 36

6 Rekapitulasi Timbulan Sampah DKI Jakarta Tahun 2000-2011... 37

7 Jumlah infrastruktur Kecamatan Bantargebang tahun 2009... 39

8 Kepadatan Penduduk Kelurahan Ciketing Udik, Kelurahan Cikiwul dan Kelurahan Sumur Batu Periode Februari 2014... 40

9 Data Aset Tak Bergerak TPST Bantargebang... 41

10 Luas Zona dan Sub-zona TPST Bantargebang... 42

11 Proyeksi Reduksi Timbulan Sampah di TPST Bantargebang melalui Pengolahan Produk Lanjutan 2009-2023... 55

12 Proyeksi Reduksi Emisi CO2 dari Produk Olahan Sampah di TPST Bantargebang 2009-2023... 57

13 Manfaat Ekonomi Produksi Listrik PLTSa Bantargebang... 62

14 Proyeksi Manfaat Ekonomi dari Tipping Fee bagi PLTSa Bantargebang... 63

15 Proyeksi Manfaat Ekonomi Reduksi Emisi CO2 dari Produksi Listrik di TPST Bantargebang 2009-2023... 64

16 Biaya Investasi Transmisi Listrik PLTSa... 65

17 Biaya Investasi Mesin dan Sistem Operasi PLTSa... 66

18 Biaya Pra-investasi Proyek PLTSa... 67

19 Biaya Re-investasi Proyek PLTSa... 67

20 Biaya Tetap Tenaga Kerja Proyek PLTSa... 68

21 Biaya Variabel Pengolahan Sampah PLTSa... 70

(17)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Sumber Energi Primer PLN tahun 2012 ... 1

2 Jumlah Sroduksi Sampah Provinsi DKI Jakarta 1995-2015... 3

3 Positive Benefits dari Suatu Proyek ... 17

4 Diagram Operasional Penelitian... 25

5 Pola Pengangkutan Sampah di DKI Jakarta... 38

6 Peta Lokasi TPST Bantargebang... 40

7 Mekanisme Pengolahan Sampah di TPST Bantargebang... 43

8 Open Windrow Composting... 45

9 Proses Penimbunan Sampah di Composting Area... 46

10 Proses Pengayakan Kompos Bubuk... 47

11 Pengemasan Kompos Granul... 49

12 Proses Daur Ulang Plastik di TPST Bantargebang... 49

13 Alat Pembersih dan Pemotong... 50

14 Biji Plastik Hasil Daur Ulang dan Kemasan Biji Plastik... 51

15 Proses Produksi Listrik di PLTSa Bantargebang... 52

16 Soil covering dan Pelapisan Geomembran... 53

DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1 Denah TPST Bantargebang... 79

2 Biaya Investasi Konstruksi... 80

3 Biaya Tetap Overhead Pabrik dan Kantor PLTSa... 81

4 Cashflow Finansial... 82

5 Cashflow Ekonomi... 83

(18)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Konsumsi energi di Indonesia terus mengalami peningkatan. Pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu faktor penyebabnya. Gaya hidup masyarakat semakin tergantung terhadap energi seperti sektor industri, rumah tangga, transportasi, komersial dan lain-lain. Penelitian oleh Kuncoro dan Salimy (2011) menunjukkan total permintaan energi nasional pada tahun 2008 mencapai 134,91 GW dari sektor tersebut. Permintaan diprediksi akan mengalami peningkatan pesat pada tahun 2050 mencapai 1.086,97 GW.

Krisis energi terlihat pada pemenuhan kebutuhan listrik nasional. Purwanto (2011) meneliti bahwa pada tahun 2009, ketersediaan listrik sebesar 29.705 MW. Dari pasokan tersebut terdapat 11,68% yang hilang akibat pemakaian listrik ilegal (free rider) maupun rusaknya transmitor listrik sehingga pasokan bersih tersisa 26.235 MW. Permintaan terhadap listrik sebesar 30.943 MW menunjukkan terjadi kelebihan permintaan (excess demand) atau mengalami defisit sebesar 15,22%.

Gambar 1 Sumber energi primer PLN tahun 2012

Secara lebih jelas, proporsi sumber energi dapat dilihat pada Gambar 1. Jika dibandingkan tahun sebelumnya, sumber dari gas alam dan batubara mengalami peningkatan, sedangkan air dan panas bumi relatif konstan. Berdasarkan data yang dirilis oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) tersebut,

(19)

pada tahun 2012 lalu presentase energi listrik produksi sendiri per jenis energi primer yaitu gas alam 39.108,56 GWh (26,12%), batubara 66.920,80 GWh (44,69%), minyak 29.640,59 GWh (19,79%), tenaga air 10.524,61 GWh (7,03%), dan 3.557,54 GWh (2,38%) berasal dari panas bumi.

Gambar 1 juga menunjukkan bahwa minyak bumi, gas bumi serta batu bara menjadi tiga sumber energi terbesar PLN. Jenis energi tersebut merupakan energi fosil yang bersifat tak terbarukan (non-renewable). Hal ini cukup mengkhawatirkan karena sumberdaya tersebut kelak akan berada pada titik kelangkaan (scarcity) sehingga harga jualnya kelak semakin tinggi. Terlebih tanpa adanya penemuan cadangan minyak baru atau pengembangan teknologi energi alternatif, maka diperkirakan akan habis dalam 23 tahun mendatang (Kuncoro dan Salimy, 2011). Keberlanjutan sumber energi di Indonesia menjadi sangat rawan jika terus-menerus bergantung pada energi tak terbarukan. Oleh karena itu, perlu ada komitmen dalam pengelolaan energi alternatif serta keberagaman energi

(energy mix).

Indonesia berpotensi besar untuk menghasilkan energi terbarukan

(renewable energy) yang beragam. Rilis dari Rencana Induk Pengembangan Energi Baru Terbarukan (RIPEBAT)1 oleh Kementerian ESDM menginformasikan potensi energi dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dalam skala besar maupun kecil kurang lebih sebesar 75.670 MW. Potensi tersebut sangat besar namun sampai 2008 baru dimanfaatkan sebanyak 4.200 MW atau 5,6 persen. Indonesia pun memiliki potensi untuk memproduksi energi listrik berbasis tenaga surya karena tingginya instensitas radiasi matahari mencapai 4,8 kWh/m2 seperti yang diteliti oleh Rahardjo dan Fitriana (2006). Dalam penelitian tersebut diperkirakan pada rentang waktu 2010-2030 proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) mencapai kondisi yang mungkin untuk diinvestasikan secara ekonomi (economically feasible).

Sumber energi lain yang melimpah di tanah air yaitu biomassa, energi yang berasal dari material biologis seperti tanaman ataupun hewan. Korhalliler (2010) menjelaskan bahwa biomassa memproduksi panas sehingga dapat

1

(20)

digunakan menjadi bahan bakar transportasi bahkan memiliki feasibility tinggi sebagai substituen energi fosil. Menurut data Kementerian ESDM, secara nasional biomassa berpotensi menghasilkan listrik 49.810 MW, termasuk dari sampah kota. Saat ini, kapasitas terpasang untuk energi biomassa baru sebanyak 445 MW atau 0,89 % dari total potensi tenaga listrik energi ramah lingkungan. Sumber energi biomassa Indonesia mayoritas berasal dari sektor kehutanan (didukung oleh adanya hutan hujan tropis), perkebunan, tanaman pertanian dan limbah pemukiman perkotaan (Japan Institute of Energy, 2012). Kuantitas sampah di Indonesia terus meningkat seiring dengan melonjaknya jumlah penduduk terutama pada daerah perkotaan. Pemenuhan kebutuhan hidup mendorong peningkatan permintaan terhadap produksi dan konsumsi yang menghasilkan hasil buangan berupa sampah.

TPST Bantargebang telah berdiri sejak tahun 1987 dengan daya tampung sebanyak 1.500 – 2.000 ton per hari. Namun, Dinas Kebersihan DKI Jakarta mengungkapkan ada 5.000-6.000 ton sampah per hari yang masuk pada tahun 2013 sehingga sangat diperlukan pengelolaan secara berkelanjutan agar kuantitas tersebut dapat berkurang.

Gambar 2 Jumlah produksi sampah Provinsi DKI Jakarta 1995-2015*

Dinas Kebersihan DKI Jakarta (2009) menunjukkan jumlah sampah yang dihasilkan oleh penduduk DKI Jakarta cenderung fluktuatif, namun jumlahnya terus meningkat setiap tahun seiring dengan peningkatan jumlah penduduk per

Sumber: Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2009

(21)

tahun. Secara jelas proyeksi data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. Potensi sampah perkotaan yang terus bertambah seiring meningkatnya aktivitas pemukiman seringkali tidak diimbangi oleh pengolahan yang baik. Meningkatnya jumlah penduduk serta aktivitas perekonomian di Jakarta mempertegas peningkatan kuantitas sampah tersebut.

Jika masalah peningkatan volume sampah tak segera ditangani dengan baik, maka akan membutuhkan lahan lebih luas untuk menampungnya. Masalah lain juga berpotensi mencuat dalam aspek sosial, ekonomi dan lingkungan. Sampah merupakan kontributor penghasil emisi gas rumah kaca yang berasal dari gas metan (CH4). Sebanyak satu ton sampah padat diperkirakan menghasilkan 50 kg gas metan. Jika dikalkulasikan dengan buangan sampah dari Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2011 sebanyak 5.000-6.000 ton per hari menghasilkan 250.000-300.000 kg gas metan per hari.

Gas metan 20 kali lebih potensial dibandingkan karbon dioksida sebagai penangkap panas di atmosfer sehingga berkontribusi dalam pemanasan global. Meskipun gas metan tak beracun, tapi dapat mematikan jika tercampur dengan kandungan gas lainnya. Gas metan juga sangat berbahaya karena mudah meledak2. Kasus ledakan dan longsor pada beberapa TPA di Indonesia diperkirakan disebabkan oleh tingginya kandungan gas tersebut. Oleh karena itu, penanganan lebih lanjut terhadap gas metan di TPA perlu dilakukan. Komposisi terbanyak dari sampah yang masuk ke TPST Bantargebang adalah sampah organik, yaitu mencapai 55%. Persentase sampah organik yang cukup dominan berpotensi menghasilkan gas metan untuk diolah lebih lanjut menjadi listrik.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mendistribusikan sampah ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi dengan biaya insentif sebesar Rp 123.000/ton (Navigat Organic Energy Indonesia, 2010). Sebanyak 20% dari biaya tersebut dimasukkan ke kas Pemerintah Kota Bekasi sebagai kompensasi atas penggunaan lahan di Bekasi untuk dijadikan tempat pembuangan. Sebesar 80% dari biaya tersebut digunakan untuk biaya operasional TPST seperti akses masuk dari jalan utama ke zona pembuangan, penerangan jalan di areal TPST, serta perlakuan soil cover. Soil cover adalah penumpukan

2

(22)

tanah pada seluruh permukaan sampah yang menggunung. Tindakan ini dilakukan untuk meminimalisir bau yang keluar dari gunung sampah. Sampah kemudian akan melalui berbagai perlakuan (treatment) seperti pemilahan, pengolahan menjadi pupuk organik ataupun menjadi listrik.

PT Godang Tua Jaya (GTJ) dan PT Navigat Organic Energy Indonesia (NOEI) sejak Januari 2009 bekerjasama dalam mengoperasikan proyek TPST Bantargebang. GTJ berperan dalam mengolah sampah menjadi pupuk kompos serta daur ulang plastik menjadi biji plastik. NOEI berfokus pada konversi sampah menjadi energi biogas. Proyek yang dikelola NOEI tersebut berjalan dalam kurun waktu 15 tahun mulai dari tahun 2008 hingga 2023 dengan skema Build Operate Transfer (BOT). Skema ini menjadi pilihan bagi pemerintah untuk melakukan pembangunan proyek dengan dana yang besar sehingga bekerjasama dengan pihak swasta dalam kurun waktu tertentu. Perusahaan akan membangun dan menggunakan fasilitas, sedangkan pemerintah hanyak menyediakan lahan. Setelah jangka waktu habis, maka proyek atau fasilitas akan menjadi milik pemerintah kembali.

Sampai awal tahun 2014, TPST Bantargebang telah memiliki pembangkit listrik dengan kapasitas 14,4 MW. Produksi listrik yang dihasilkan sebesar 98 MW-182 MW per hari. Listrik yang dihasilkan oleh PLTSa Bantargebang dibeli oleh PT PLN dengan harga Rp 860/kwh dan didistribusikan dalam sistem listrik Jawa-Bali. Selain dapat mengurangi kuantitas sampah di TPST Bantargebang, adanya proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) tersebut juga memberikan manfaat seperti menyerap tenaga kerja, mengurangi potensi penyebaran bakteri berbahaya, mengurangi bau tak sedap, memperluas potensi ketahanan energi tanah air, serta mengurangi emisi karbon.

1.2 Perumusan Masalah

(23)

terlepasnya zat beracun ke udara maupun sumber air serta meningkatkan potensi tumbuhnya bakteri yang berbahaya untuk kesehatan (Environmental Protection Agency, 2010a). Amerika Serikat melalui Resource Conservation and Recovery Act (RCRA) bahkan sudah melarang penerapan sistem ini dalam mengolah sampah di negaranya. Ramke (2009) meneliti bahwa sistem open dumping yang pernah diterapkan di Jerman juga berbahaya bagi lingkungan karena dapat merusak sumber air tanah (groundwater) serta air permukaan (surface water), merusak rantai makanan (food chain), dan meningkatkan akumulasi gas rumah kaca (greenhouse gases) di atmosfer.

TPA Bantargebang beroperasi sejak tahun 1989 melalui surat keputusan Gubernur Jawa Barat No.593.82/SK/282.P/AGK/DA/86 tanggal 25 January 1986. Pada surat keputusan tersebut Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mendapatkan kewenangan untuk mengelola dan memanfaatkan TPA Bantargebang dengan sistem open dumping. Sejak beroperasi, cukup banyak pihak yang pro-kontra terhadap keberadaan TPA Bantargebang. Kontra yang terjadi dikarenakan polusi udara yang menyengat bahkan dalam radius 15 kilometer 3, pencemaran air tanah yang digunakan oleh warga sekitar4, dan lain-lain.

Mulai tahun 2008, Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang mengubah sistem menjadi sanitary landfill. Hal itu dilakukan seiring dengan regulasi dari UU No. 18/2008 mengenai Pengelolaan Sampah. Pada UU tersebut tidak ada definisi mengenai TPA, melainkan tentang Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST). Selanjutnya, TPA Bantargebang berganti menjadi TPST Bantargebang yang menjalankan sistem sanitary landfill yaitu sampah akan melalui kegiatan pengumpulan, pemilahan, penggunaan ulang, pendauran ulang, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah. Keputusan perubahan sistem tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan pengolahan sampah yang berkelanjutan, mengingat kuantitas sampah yang terus meningkat.

Kelayakan sebuah usaha perlu dinilai secara finansial maupun ekonomi untuk mengidentifikasi arus pemasukan dan arus pengeluaran perusahaan. Kebermanfaatan proyek secara moneter dapat dinilai dan dianalisis lebih lanjut.

3

http://www.indosiar.com/fokus/tpa-bantar-gebang-yang-menuai-protes_54695.html Akses 8 Desember 2013

4

(24)

Adanya analisis terhadap teknologi dan mekanisme pengolahan sampah tersebut dapat mendorong pihak pemerintah maupun investor yang tertarik untuk menerapkan sistem serupa di TPA/TPST lainnya karena dapat mengetahui keuntungan dan biaya untuk melakukan replikasi.

Karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrogen dioksida (NO2) merupakan beberapa gas berbahaya yang dilepaskan oleh TPA dengan sistem open dumping. Gas-gas tersebut akan mengendap di atmosfer dalam kurun waktu 13 hingga 100 tahun dan menangkap panas matahari. Reaksi tersebut menyebabkan bumi menjadi kian panas karena sinar matahari yang masuk terperangkap dan mengendap di bumi. Fenomena ini dikenal dengan pemanasan global (global warming) yang dampaknya mulai terasa. Pergeseran musim di berbagai belahan dunia, naiknya permukaan air laut, terancamnya habitat flora dan fauna merupakan beberapa efek dari pemanasan global.

Keberadaan proyek PLTSa menjadi salah satu upaya untuk memanfaatkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) tersebut agar tak terlepas ke udara. Penghitungan terhadap potensi emisi GRK (carbon accounting) penting untuk dilakukan oleh proyek karena memiliki banyak manfaat. Keuntungan yang didapatkan melalui carbon accounting bukan hanya mengenai peluang perdagangan karbon. Dwijayanti (2011) meneliti bahwa carbon accounting dapat mendorong respon positif bagi stakeholder perusahaan karena mengindikasikan kepedulian perusahaan terhadap lingkungan. Hal ini menjadi penting karena mulai banyak bank, investor maupun kreditor yang memperhitungkan aspek ramah lingkungan untuk pembiayaan proyek suatu perusahaan.

(25)

lain untuk menerapkan sistem sejenis, ataupun bagi pemerintah untuk menjalankan program pengelolaan sampah yang bermanfaat bagi masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan penelitian mengenai pengelolaan sampah di TPST Bantargebang untuk menjadi salah satu literatur dalam optimalisasi manfaat bagi pihak terkait seperti Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Kota Bekasi, perusahaan swasta serta warga sekitar.

Berdasarkan uraian tersebut, terdapat beberapa permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian yaitu:

1. Bagaimana sistem pengolahan sampah di TPST Bantargebang?

2. Bagaimana manfaat (benefit) ekonomi yang mungkin dihasilkan melalui reduksi emisi karbon dari kegiatan PLTSa?

3. Bagaimana evaluasi ekonomi dari proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di TPST Bantargebang?

1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Mengidentifikasi sistem pengolahan sampah di TPST Bantargebang. 2. Mengevaluasi manfaat (benefit) ekonomi yang mungkin dihasilkan melalui

reduksi emisi karbon dari kegiatan PLTSa.

3. Mengevaluasi secara ekonomi terhadap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di TPST Bantargebang.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi peneliti dan akademisi, penelitian ini dapat menjadi kajian mengenai pemanfaatan dan pengelolaan sampah sebagai sumber energi terbarukan yang potensial.

(26)

3. Bagi perusahaan, penelitian ini dapat menarik investor ataupun kreditor untuk berkecimpung dalam bisnis pemanfaatan sampah menjadi energi karena nilai ekonomi yang didapatkan juga cukup menjanjikan dan berpotensi untuk dikembangkan.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup pada penelitian ini dibatasi untuk berfokus pada pemanfaatan sampah menjadi listrik di TPST Bantargebang. Identifikasi terhadap pengolahan sampah di TPST Bantargebang akan ditinjau melalui skema dan proses treatment

(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Economics of Waste Management

Beberapa regulasi untuk mengatur penanganan sampah secara berkelanjutan telah dikeluarkan dalam bentuk formal oleh pemerintah. UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah salah satunya memuat redefinisi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) menjadi Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST). Redefinisi tersebut secara tidak langsung menegaskan seluruh TPA di Indonesia untuk mengubah sistem pengelolaan sampah sesuai asas tanggung jawab, berkelanjutan, manfaat, keadilan, kesadaran, kebersamaan, keselamatan dan nilai ekonomi. UU tersebut mengemukakan sampah sebagai sumber daya yang berperan untuk ditangani lebih lanjut. Pengelolaan sampah bukan hanya kegiatan untuk mengurangi jumlah sampah di lokasi pembuangan, tapi juga bertujuan meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan.

Bentuk regulasi lain yang mendukung perubahan sistem TPA menjadi TPST di Indonesia yaitu UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah. Pada peraturan ini terdapat penekanan paradigma baru dalam mengelola sampah lingkup daerah yaitu dengan adanya kegiatan yang sistematis, menyeluruh dan berkesinambungan meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Pengolahan sampah pada tingkat daerah dimaksudkan untuk mengurangi jumlah sampah, disamping memanfaatkan nilai yang masih terkandung dalam sampah (bahan daur ulang, produk lain, dan energi). Kajian oleh Dewi (2008) mengungkapkan bahwa biaya operasional pengelolaan menjadi tinggi dan sulitnya menyediakan ruang yang pantas serta cukup untuk pembuangan. Pengelolaan sampah oleh swasta menjadi salah satu problem solver untuk menekan biaya operasional karena swasta cenderung efisien menjalankan proyek.

Konsep ekonomi memiliki salah satu teori yang disebut Pareto Optimal. Teori Pareto dipopulerkan oleh Vilfredo Pareto untuk memunculkan pemahaman “kesejahteraan yang setara” ketika terjadi konflik kepemilikan tanah oleh kaum elit Italia pada tahun 1909. Pareto Optimal terkait dengan kondisi saat suatu aktivitas ekonomi tak mampu lagi memberi peningkatan kesejahteraan (better off)

(28)

off) pelaku ekonomi lainnya. Hal ini juga mengenai kriteria dasar ekonomi yaitu ketika suatu pihak ingin mendapatkan kepuasan (utility) tertinggi, maka harus mencapai kondisi yang memberikan manfaat pada individu atau kelompok tanpa merugikan pihak lain (Azis, 1991). Poernomo (1994) menjelaskan bahwa pada posisi optimal tersebut output produksi memiliki nilai lebih tinggi daripada alternatif output lain yang dapat diproduksi dengan faktor produksi yang tersedia.

Aktivitas perekonomian memiliki pengaruh terhadap kondisi better off dan

worse off tersebut karena menghasilkan eksternalitas. Fauzi (2004) mendefinisikan eksternalitas sebagai dampak (positif atau negatif) atau dapat disebut juga net cost atau benefit dari tindakan yang ditimbulkan satu pihak terhadap pihak lain. Eksternalitas positif berupa manfaat proyek seperti penyerapan tenaga kerja dan output proyek. Eksternalitas negatif terkait dengan pengaruh merugikan seperti limbah yang merusak lingkungan. Studi ekonomi lingkungan menjelaskan bahwa untuk mencapai kondisi Pareto Optimal,

eksternalitas positif proyek seharusnya lebih tinggi dibanding eksternalitas negatif proyek tersebut. Jika dalam suatu proyek menyebabkan eksternalitas negatif menjadi lebih tinggi, maka pelaku proyek tersebut harus memberi kompensasi untuk mengganti nilai kerugian (Dewi, 2008).

(29)

perlu diperhatikan agar dapat memberi manfaat ekonomi bagi seluruh pihak terkait. Kontrol terhadap sampah sebagai sumberdaya menjadi penting untuk mencegah terjadinya market failure. Pemberian hak kepemilikan (property right)

yang jelas menjadi salah satu alat yang efektif dalam mengontrol sumberdaya.

2.2 Konsep Sumberdaya dan Hak Kepemilikan

Barrow (2006) mengemukakan ketersediaan sumberdaya tergantung pada pemahaman subjek (individu atau kelompok) terhadap improvisasi teknologi dan pandangan sosial dalam mengelolanya. Jika diklasifikasikan lebih lanjut, terdapat beberapa jenis sumberdaya yaitu: 1) sumberdaya tak terbarukan (non-renewable resources) yang terbatas atau akan habis jika digunakan; 2) sumberdaya terbarukan (renewable resources) yang kebaruannya dapat terus dimanfaatkan jika dikelola secara bijak; serta 3) inexhaustible resources atau sumberdaya yang bersifat sangat alami sehingga disebut sebagai a trully gift of nature (anugrah alam) karena dapat dimanfaatkan siapapun dalam jangka waktu lama seperti sinar matahari, gaya gravitasi, tenaga angin dan lain-lain.

Prinsip pembangunan berkelanjutan mencuat dengan paradigma bahwa kebutuhan terhadap sumberdaya saat ini dapat terpenuhi tanpa membahayakan pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang (Harris, 2000). Pemanfaatan tak bijak terhadap sumberdaya saat ini bahkan memungkinkan berubahnya sifat

renewable menjadi non-renewable bagi sumberdaya tersebut pada masa mendatang. Hal ini terjadi pada Sungai Pasig di Filipina yang tercemar oleh aktivitas industri dan ekonomi sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) sehingga tak memungkinkan lagi untuk dimanfaatkan. Pemerintah setempat pun perlu mengeluarkan biaya rehabilitasi cukup besar untuk recovery fungsi sungai. Oleh karena itu, kontrol terhadap sumberdaya menjadi penting untuk menjaga keberlanjutan manfaatnya. Hak kepemilikan (property rights) dapat menjadi salah satu alat kontrol sumberdaya.

(30)

sumberdaya tersebut. Bromley dan Cornea (1989) memiliki pandangan bahwa terdapat empat macam property rights terhadap sumberdaya yaitu milik pribadi

(private property), milik negara (state property), milik umum atau bersama

(common property) serta tak bertuan (public goods). Masalah yang biasa mencuat dalam isu property rights yaitu cara penegakan dalam memanfaatkan sumberdaya. Perlu adanya sistem hukum formal dan aturan yang berlaku dalam masyarakat (Taylor, 1990).

Jika alokasi sumberdaya memiliki tujuan efisiensi dengan pengoperasioan melalui sistem pasar (market economy), maka privatisasi sumberdaya dapat menjadi win win solution. Hal tersebut dijelaskan oleh Taylor (1990) dikarenakan

private property memenuhi seluruh sifat berikut:

1) Hak-hak dalam akses sumberdaya dapat didefinisikan secara jelas dan lengkap (completeness);

2) Seluruh manfaat dan biaya yang dikeluarkan dari sumberdaya secara eksklusif menjadi tanggungan pemegang hak (exclusivity);

3) Hak dapat dipindahtangankan (transferable) secara jual-beli maupun parsial (sewa-gadai);

4) Hak-hak tersebut dapat ditegakkan (enforceability) melalui formal procedure maupun norma masyarakat (social customs).

(31)

2.3 Model Pengelolaan Sampah Kota

Hampir pada setiap daerah di Indonesia memiliki model pengelolaan sampah yang tak berbeda. Model yang digunakan secara sederhana dan tak mengeluarkan dana cukup banyak. Secara umum, Sudrajat (2006) menjelaskan bahwa Indonesia menerapkan dua macam model yaitu urugan dan tumpukan. Model urugan (open landfill) adalah cara sangat sederhana karena sampah hanya dibuang pada suatu cekungan atau lembah tanpa memberi perlakuan lebih lanjut. Model ini biasanya diterapkan di kota yang memiliki volume sampah tak terlalu besar.

Model kedua yang biasa diterapkan di Indonesia yaitu model tumpukan

(controlled landfill atau sanitary landfill). Pada model ini perlu ada kelengkapan lain seperti unit saluran air buangan, pembakaran ekses gas metan (flare),

pengolahan air buangan (leachate), dan biasanya terdapat pula perlakuan menutup sampah dengan tanah (soil cover). Jika kelengkapan tersebut sudah tersedia, maka model telah memenuhi prasyarat kesehatan lingkungan. Namun, mayoritas daerah di Indonesia belum menyediakan kelengkapan tersebut karena tergantung pada kondisi keuangan daerah serta kepedulian pihak setempat akan pengelolaan sampah. Adapun aplikasi model pengelolaan sampah kota pada beberapa daerah di Indonesia menurut Sudrajat (2006) yaitu:

a) Surabaya (TPA Sukolilo) menerapkan model urugan. Masyarakat sering melakukan protes akibat polusi bau. Pihak TPA mengatasi masalah tersebut dengan mendatangkan 1 unit pembakar (incinerator) dari Inggris. Namun, kadar air dalam sampah sangat tinggi (>80%) sehingga penggunaan alat tersebut tidak efektif karena menyebabkan biaya pembakaran melonjak serta adanya polusi lain berupa asap dan debu. b) Solo (TPA Mojosongo) mengolah sampah dengan metode cukup menarik

(32)

untuk mencari makan. Pihak WHO sempat meneliti kandungan susu sapi dan hasilnya aman untuk dikonsumsi.

c) Bogor (TPA Galuga) melakukan pengelolaan sampah dengan model tumpukan. Tingginya curah hujan menyebabkan sampah perlu waktu lama untuk membusuk. TPA ini telah memiliki pabrik pupuk organik yang dikelola oleh warga setempat yang bergabung dalam Paguyuban Tumaritis. Pabrik tersebut khusus mengelola sampah dari beberapa lokasi pasar di Kabupaten Bogor.

Mayoritas negara kawasan Asia Tenggara memang masih kesulitan dalam menyediakan dan mengelola TPA. Namun, pemerintah setempat mulai tegas terhadap warga agar peduli akan kebersihan lingkungan. Seluruh pusat perbelanjaan seperti mall di Filipina sudah melarang penggunaan plastik sebagai pembungkus barang belanjaan. Tempat sampah telah disediakan pada tempat yang strategis serta dipisahkan sesuai jenis sampah. Truk sampah bekerja pada malam hari agar polusi bau tidak mengganggu aktivitas.

Pengelolaan sampah di luar negeri telah cukup maju. Umumnya, mayoritas negara di Eropa telah melakukan pengelolaan sampah yang baik mulai dari sektor rumah tangga hingga lokasi pembuangan akhir. Sampah di TPA tersebut dijadikan pupuk organik lalu dijual kepada perusahaan pertanian maupun perkebunan yang telah memiliki kontrak dengan pihak TPA. Sampah anorganik yang masih dapat didaur ulang akan diproses lebih lanjut, contohnya dijadikan botol wine pada lokasi pengolahan sampah di London.

2.4 Manfaat Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang TPA Bantargebang sejak tahun 1989 hingga berganti menjadi TPST Bantargebang pada 2008 telah menjalin bermacam kerjasama dalam teknis operasional. Skema kerjasama dalam beberapa periode tersebut berubah-ubah sesuai kendala yang dihadapi di lapangan. Juliansah (2010) menguraikan hasil studi lapang terhadap pola kerjasama di TPA/TPST Bantargebang pada Tabel 1.

(33)

pengangkutan sampah dari sumber ke lokasi TPA, melakukan evaluasi terhadap Instalasi Pengolahan Air Sampah (IPAS) setiap 6 bulan, serta mengelola zona pembuangan. Namun, kerjasama tersebut dihentikan karena pengolahan TPA menjadi semakin buruk (banyak sampah yang tak terangkut dan air lindi yang kian mencemari sungai).

Tabel 1 Overview Kerjasama Pengelolaan TPST Bantargebang Tahun

(34)

memungkinkan manfaat ekonomi yang lebih tinggi terutama pada PLTSa karena menghasilkan energi ramah lingkungan serta mereduksi emisi karbon dari timbulan sampah TPST.

2.4.1 Manfaat Ekonomi Energi Ramah Lingkungan

Environmental Protection Agency (EPA) pada tahun 2010 merilis hasil penelitian mengenai banyaknya manfaat yang didapatkan melalui penerapan energi ramah lingkungan. Beberapa diantaranya yaitu meningkatkan pendapatan, penyerapan tenaga kerja, efisiensi pengeluaran (outflow), serta ekspansi pasar karena sekaligus melakukan program efisiensi energi. Teknologi energi fosil seperti minyak dan batu bara membutuhkan insentif modal dan alat yang cukup banyak sehingga ekstraksi energi sangat bergantung secara teknik. Oleh karena itu, proyek energi fosil merupakan usaha padat modal. Ekstraksi energi dari sampah merupakan proyek padat karya karena industri membutuhkan lebih banyak pekerja jika dibandingkan dengan energi fosil. Hal ini memberi dampak positif bagi negara berkembang yang memiliki proyek PLTSa untuk menyerap tenaga kerja dari populasi penduduk yang padat.

Gambar 3 Positive Benefits dari Suatu Proyek

Konsep eksternalitas positif dari Pindyck dan Rubenfield (2009) pada Gambar 3 dapat dikaitkan dengan proyek energi ramah lingkungan. Ketika suatu kegiatan atau proyek memberikan eksternalitas positif, maka marginal social benefits (MSB) menjadi lebih besar dari permintaan yang ada (D). MSB

(35)

merupakan kalkulasi dari manfaat yang didapatkan oleh private dengan manfaat eksternal yang didapatkan masyarakat atau marginal externality benefits (MEB). Perpindahan dari titik A ke titik B diakibatkan oleh terjadinya eksternalitas negatif dari energi tidak terbarukan. Kondisi pada titik A terjadi ketika perusahaan menetukan harga produk sesuai Marginal Cost atau harga yang dapat memberi profit maksimal namun sebenarnya ada biaya yang harus ditanggung perusahaan akibat eksternalitas negatif. Oleh karena itu, perlu dimasukkan biaya sosial dalam produksi yaitu ketika Marginal Social Cost berada pada garis Demand

perusahaan. Biaya sosial dapat berupa insentif perusahaan untuk menggunakan teknologi dalam mengelola energi terbarukan. Tingkat produksi pun akan mencapai titik optimum pada titik B dan harga akan naik dari Po menuju P* dan

kuantitas produksi akan berkurang secara optimal dari Qo menjadi Q*.

Industri energi ramah lingkungan juga memiliki manfaat dalam jangka panjang dapat menstabilkan harga energi di masa depan. Penggunaan energi ramah lingkungan yang beragam dapat menurunkan harga maupun permintaan dari gas bumi dan minyak yang mendominasi persediaan energi. Hal ini dapat melindungi konsumen ketika harga energi fosil melonjak karena faktor kelangkaan (scarcity).

2.4.2 Manfaat Ekonomi Reduksi Emisi Karbon

Isu perdagangan karbon menjadi populer karena adanya Protokol Kyoto pada tahun 1997 yang merupakan kesepakatan dalam pengurangan emisi gas rumah kaca (greenhouse gases). Protokol tersebut yang diratifikasi oleh 187 negara pada awal tahun 2005. Sebanyak 37 negara industri (disebut sebagai Annex I) berkewajiban mengurangi greenhouse gases sampai 5,2% dari tingkat emisi tahun 1990. Saat itu harga karbon internasional sangat tinggi hingga kesepakatan berakhir pada tahun 2012.

(36)

menunjukkan bahwa penerapan penilaian emisi karbon pada proyek dapat memberi keuntungan bagi perusahaan, masyarakat maupun pemerintah.

Konsep ekonomi lingkungan sepakat bahwa pengukuran ekonomi secara tradisional melalui Gross National Product (GNP) tak memperhitungkan penurunan stok sumberdaya alam dan lingkungan. GNP juga tidak mengikutsertakan penilaian terhadap nilai non-guna (non-market value) dari suatu sumberdaya. Valuasi ekonomi diperlukan untuk mempertimbangkan keberlanjutan sumberdaya agar kesejahteraan dicapai secara optimal.

Proses produksi yang menyerap karbon memberi nilai lebih bagi proyek. Emisi karbon yang hilang akibat penyerapan biogas sebagai penggerak generator listrik termasuk sebagai nilai manfaat dari keberadaan proyek PLTSa. Proyek ramah lingkungan berpotensi mendapatkan keuntungan (profit gain) dari emisi karbon pada proses produksinya. Keuntungan tersebut dianalisis dengan membandingkan penerimaan bersih proyek saat ini atau Net Present Value (NPV) dengan emisi karbon rata-rata yang berhasil diserap oleh proyek.

Penilaian terhadap emisi karbon (carbon accounting) memberi manfaat bagi perusahaan karena dapat meningkatkan penjualan produk, menarik minat investor dan kreditor untuk mendanai proyek, serta melakukan ekspansi pasar. Pemerintah juga diuntungkan sebagai bagian dari program pengurangan polusi di Indonesia dengan langkah yang konkrit. Keberlanjutan sumberdaya pun menjadi lebih terjamin sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang. Keuntungan lain yang mungkin didapatkan oleh masyarakat yaitu berkurangnya potensi bencana alam, mendatangkan peluang lapangan pekerjaan baru, serta kondisi lingkungan areal proyek yang semakin membaik karena audit terhadap emisi karbon tersebut. Oleh karena itu, carbon accounting penting untuk diberlakukan juga pada sektor industri.

2.5 Penelitian Terdahulu

(37)

dihasilkan UPS jika adanya penanganan lebih lanjut; 2) membandingkan manfaat dan biaya pengelolaan sampah Kota Depok melalui sistem UPS dengan lokasi yang tidak menerapkan sistem UPS; 3) mengevaluasi dampak sosial keberadaan UPS terhadap masyarakat. Adapun metode analisis yang digunakan untuk estimasi nilai ekonomi yaitu konsep total economic value (use value), net benefit,

avoided transportation cost, Benefit Cost Analysis (BCA), uji non-parametrik McNemar serta tabulasi deskriptif persepsi responden.

Fatimah (2009) meneliti dengan topik Analisis Kelayakan Usaha Pengolahan Sampah menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Kota Bogor. Penelitian tersebut mencantumkan skenario pendirian proyek PLTSa di Kota Bogor dengan kondisi berdasarkan hasil studi PLTSa Kota dan Kabupaten Bandung. Tujuan dari penelitian ini yaitu 1) Menganalisis kelayakan proyek PLTSa ditinjau dari aspek teknis, aspek pasar dan aspek manajemen; 2) Menganalisis kelayakan proyek PLTSa ditinjau dari aspek finansial; 3) Menganalisis kepekaan proyek PLTSa yang mempengaruhi kondisi kelayakan. Metode yang digunakan untuk mengkaji tujuan tersebut adalah Analisis Aspek Teknis, Pasar, Manajemen dan Finansial (kriteria berupa NPV, IRR, Net B/C,

Payback Period, Switching Value) serta Analisis Kelayakan Usaha.

(38)

Persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu yaitu berfokus pada analisis kelayakan proyek pengelolaan sampah. Kelayakan proyek akan dievaluasi untuk menjadi acuan ataupun gambaran dalam menerapkan sistem sejenis pada TPST/TPA lainnya. Faktor-faktor yang berbeda dengan penelitian lain yaitu sistem pengelolaan sampah, aspek penelitian serta lokasi penelitian. Sistem pengelolaan sampah di TPST Bantargebang telah menggunakan sanitary landfill

(39)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

Aktivitas perekonomian membutuhkan listrik sebagai penunjang produktivitas. Permintaan (demand) yang tinggi terhadap listrik masih belum tersedia oleh PT PLN secara keseluruhan. Hal itu menyebabkan timbul fenomena kelebihan permintaan (excess demand) padahal Indonesia memiliki potensi besar dalam penyediaan energi seperti solar, angin, mikro hidro, serta biomass. Salah satu sumber energi biomass adalah sampah.

Provinsi DKI Jakarta sebagai ibu kota Indonesia menjadi pusat perekonomian yang menghasilkan residu berupa sampah. Sejak 1986, sampah yang berasal dari DKI Jakarta dibuang ke TPA Bantargebang. Pada tahun 2010 jumlah sampah yang terangkut sebanyak 5.000-6.000 ton/hari. Angka tersebut sudah melebih daya tampung TPA Bantargebang yang hanya mampu menampung 1.500-2.000 ton/hari. Pemerintah memberlakukan UU No. 18 Tahun 2008 mengenai Pengolahan Sampah dan secara tegas mengharuskan adanya perlakuan lebih lanjut terhadap sampah di TPA/TPST seluruh Indonesia. Proyek PLTSa TPST Bantargebang menjadi salah satu win win solution treatment terhadap manajemen sampah kota secara berkelanjutan serta penyediaan energi ramah lingkungan.

(40)

Tahap kedua yang akan diteliti yaitu mengenai output proyek PT NOEI berupa listrik. Listrik mermiliki nilai manfaat nyata (tangible value) yang dapat digunakan oleh manusia dari keberadaan sampah di TPST Bantargebang. Listrik dihasilkan melalui penyerapan gas karbon dan metana sampah. Output berupa listrik memberi nilai ekonomi dari sampah yang selama ini dianggap masalah.

Produk listrik yang dihasilkan PLTSa akan dianalisis menggunakan Analisis Biaya-Manfaat atau Cost-Benefit Analysis (CBA). Gray et al. (1992) menjelaskan bahwa penilaian benefit dan biaya proyek dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu analisis finansial dan analisis ekonomi. Analisis finansial dilakukan pada proyek yang berorientasi pada maksimisasi profit individu atau badan swasta sebagai investor proyek. Jika proyek berkaitan dengan kepentingan pemerintah (tujuan untuk kesejahteraan masyarakat), maka evaluasi proyek menggunakan analisis ekonomi.

Hanley (2000) mengemukakan bahwa CBA adalah alat analisis yang sering digunakan untuk mengevaluasi proyek maupun kebijakan. Keunggulan CBA yaitu dapat menggambarkan secara jelas mengenai dampak proyek dikaitkan dengan isu lingkungan sehingga menjadi rekomendasi bagi pembuat kebijakan. CBA juga fokus terhadap suatu perbandingan dari pengorbanan biaya dan keuntungan (gain and losses) dalam menjalankan proyek sesuai jenisnya. Terdapat beberapa tahap dalam melakukan CBA menurut Hanley and Spash (1993) berikut.

1) Definisi proyek

Pada tahap ini, definisi proyek mencakup beberapa hal: orientasi/alokasi proyek dalam memanfaatkan sumberdaya (untuk kesejahteraan rakyat atau untuk profit gain); serta jenis proyek (proyek fisik atau proyek pembuatan kebijakan). Beberapa aspek yang perlu didefinisikan juga dalam proyek seperti waktu, lokasi, stakeholder terkait, serta hubungan proyek dengan program ataupun kebijakan yang ada.

2) Deskripsi input-output proyek secara kuantitatif

(41)

input-output proyek perlu memperkirakan kejadian yang mungkin terjadi seperti pola pertumbuhan ekonomi di masa depan, perubahan teknologi maupun perubahan preferensi konsumen, dan lain-lain.

3) Estimasi biaya-manfaat dari input-output tersebut

Peneliti perlu mendefinisikan secara jelas mengenai nilai nyata (tangible)

maupun nilai tak nyata (intangible) dari suatu proyek. Hal ini penting karena seluruh biaya dan manfaat harus dikonversi dalam bentuk moneter saat melakukan CBA. Tangible merupakan sumberdaya yang memiliki nilai pasar, dalam proyek ini berupa listrik dan karbon. Sumberdaya

intangible tak memiliki nilai pasar, seperti manfaat kegiatan proyek PLTSa yang secara tidak langsung menghentikan eksternalitas negatif TPST berupa pencemaran air lindi di Sungai Kali Asem.

4) Membandingkan benefit dan cost untuk evaluasi kelayakan proyek

Perbandingan dilakukan untuk menilai kelayakan proyek sesuai kriteria. Dalam penelitian ini kriteria yang digunakan yaitu NPV, Net B/C, IRR, dan Payback Period.

(42)

Keterangan: - - - - = cakupan penelitian

Gambar 4 Diagram Operasional Penelitian PT GTJ

Output proyek berupa pupuk kompos dan biji

plastik Peningkatan aktivitas ekonomi di Provinsi DKI Jakarta sebagai salah

satu kota besar di Indonesia

Excess demand terhadap listrik meningkat untuk menunjang perekonomian

Hasil buangan berupa sampah yang melebihi daya tampung TPA Bantargebang

Proyek TPST Bantargebang:

Analisis Deskriptif terkait Mekanisme Pengolahan Sampah

PT NOEI

- Output proyek berupa listrik: Cost-Benefit Analysis

- Reduksi karbon (jumlah karbon terserap): Landfill Gas Emission (LandGEM)

Rekomendasi pengolahan sampah berkelanjutan Penyediaan sumber energi

alternatif pendukung energy mix

UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengolahan Sampah

(43)

IV. METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada lokasi Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang yang terletak pada 3 kelurahan yaitu Kelurahan Cikiwul, Kelurahan Ciketing Udik dan Kelurahan Sumur Batu. Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive) karena sebagai tempat pembuangan dari salah satu kota penghasil sampah terbanyak di Indonesia yaitu Provinsi DKI Jakarta. Pengambilan data pendukung penelitian ini dilakukan pada kurun waktu Maret-Mei 2014.

4.2 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang didapatkan melalui hasil wawancara langsung dengan responden seperti pihak joint operation TPST Bantargebang-Dinas Kebersihan DKI Jakarta, pihak PT Navigat Organic Energy Indonesia (NOEI), dan pihak PT Godang Tua Jaya (GTJ). Data primer juga diperoleh dari observasi langsung di lokasi penelitian. Data sekunder berupa inflow-outflow

didapatkan melalui laporan keuangan TPST Bantargebang dan PT NOEI. Hasil studi literatur terhadap buku, jurnal penelitian serta artikel terkait penelitian juga menjadi referensi data sekunder dalam penelitian ini.

(44)

Tabel 2 Matriks Metode Analisis Data sesuai Tujuan Penelitian

No. Tujuan Penelitian Data dan Sumber Data Metode Analisis 1. Mengidentifikasi generator listrik dari zona sampah di TPST, data jenis serta komposisi sampah yang diangkut ke TPST.

Sumber data: PT NOEI dan PT GTJ. variabel, data penjualan listrik, data serapan emisi karbon.

Cost-Benefit Analysis

Secara detail, rincian jenis data yang dibutuhkan sebagai berikut. 1. Data teknis pengolahan sampah di TPST Bantargebang

- Jumlah / volume sampah sesuai sumber sampah berasal (industri, pasar, rumah tangga);

- Kuantitas sampah yang dibuang ke TPST Bantargebang;

- Sistem operasi pengolahan sampah di TPST Bantargebang hingga menjadi produk seperti biji plastik, pupuk kompos dan listrik.

2. Cashflow PLTSa Bantargebang

(45)

- Jumlah karbon berjenis metana (CH4) yang terserap untuk kegiatan PLTSa;

- Data komposisi sampah yang masuk ke TPST Bantargebang.

4.3 Identifikasi Sistem Pengolahan Sampah di TPST Bantargebang Metode analisis deskriptif akan digunakan untuk mengidentifikasi pengolahan sampah di TPST Bantargebang melalui wawancara pihak joint operation Dinas Kebersihan DKI Jakarta serta observasi lapang. Sistem yang akan diobservasi terkait proses pengangkutan sampah dari sumber (rumah tangga, pasar, maupun industri), proses pembuangan sampah ke TPST Bantargebang, perlakuan (treatment) terhadap sampah yang menumpuk hingga menjadi produk olahan berupa pupuk kompos, biji plastik serta listrik. Nida (1949) mengemukakan prinsip umum dalam melakukan analisis deskriptif. Penjabaran interpretasi harus tepat sesuai fakta yang terdapat dalam observasi dengan didukung pendapat pihak tertentu. Deskripsi dihasilkan melalui kombinasi fenomena yang terjadi dengan data-data lapangan sesuai tema pertanyaan yang diajukan.

4.4 Teknik Analisis Data

Penelitian menggunakan Landfill Gas Emission untuk menilai manfaat ekonomi reduksi emisi karbon. Cost-Benefit Analysis (CBA) akan digunakan untuk mengevaluasi proyek secara ekonomi. Data kuantitatif yang telah didapatkan kemudian akan diolah melalui alat bantu software Microsoft Excel 2010.

4.4.1 Penilaian Manfaat Ekonomi Reduksi Emisi Karbon

Potensi nilai ekonomi reduksi emisi karbon proyek PLTSa Bantargebang akan diestimasi berdasarkan nilai pasar. Hal tersebut dilakukan karena kini karbon dapat dianggap sebagai manfaat tidak langsung (indirect benefit), meski bersifat

(46)

mengetahui manfaat proyek berdasarkan nilai nyata (tangible value) dan nilai tak nyata (intangible value). Barang tangible merupakan sumberdaya yang dapat dinilai dengan nilai pasar, sedangkan barang intangible adalah barang atau jasa lingkungan yang perlu pendekatan khusus untuk menilainya. Secara lebih jelas konsep tersebut dikaitkan sesuai penelitian tercantum pada Tabel 3.

Tabel 3 Identifikasi Benefit and Cost Proyek PLTSa

Identifikasi Direct Indirect

Cost Direct project costs (upah tenaga kerja, infrastruktur

Sumber: Disadur dari Sydney Technical and Further Education Comission, 1991

Produk utama dari PLTSa adalah listrik. Proyeksi manfaat ekonomi listrik dilakukan dengan menyesuaikan kapasitas produksi listrik PLTSa Bantargebang per tahun dengan harga listrik yang diberlakukan oleh PLN sebagai pembeli. Secara lebih jelas, penilaian manfaat ekonomi produksi listrik (B) tersebut sesuai dengan persamaan (4.1).

(47)

Estimasi terhadap emisi GRK akan dinilai menggunakan Landfill Gas Emission (LandGEM) versi 3.02, yaitu aplikasi yang digunakan oleh EPA untuk memperkirakan kandungan GRK. LandGEM V03.02 dioperasikan dengan mengadopsi sistem Software Microsoft Excel 2010. Keunggulan LandGEM V3.02 ini yaitu mudah untuk digunakan dan dapat memproyeksikan kandungan GRK hingga kurun waktu 60 tahun. Fitur utama yang disediakan oleh LandGEM yaitu

User Inputs, Pollutants, Input Review, Methane dan Results. Tahap-tahap dalam mengoperasikan LandGEM V03.02 sebagai berikut:

User Inputs

Pada sheet ini dibutuhkan data mengenai tahun pembukaan TPST, jumlah sampah yang masuk ke TPST, pemilihan parameter kandungan methane, potensi kapasitas methane, konsentrasi kandungan gas non-methane serta volume methane. dibutuhkan data tonase sampah yang masuk ke Bantargebang. Data kondisi riil pada tahun 1990 hingga 2011 menjadi acuan untuk proyeksi sampah yang akan masuk pada tahun 2012-2023. Karakteristik sampah diasumsikan mengandung 55,6% sampah orgnaik (Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2011). Pollutants

Pada sheet ini telah tersedia model parameter berdasarkan konsentrasi polutan sesuai jenisnya (bilangan baku). Model parameter itu menggunakan konstanta terbaru dari Environmental Protection Agency (EPA) tahun 2014. Penentuan konstanta methane generation rate sebesar 0,05 year-1 berdasarkan pada pembuangan sampah yang masih conventional open landfill, artinya tak ada pemilahan jenis sampah berupa plastik, alumunium, botol kaca, dedanunan dan lain-lain. Penggunaan asumsi conventional open landfill juga menentukan konstanta kapasitas potensi methane yaitu sebesar 170 m3/Mg. Perkiraan konsentrasi gas non-methane ditentukan sebesar 4.000 ppmv karena tak melalui bermacam perlakuan pengolahan sampah di Tempat Penampungan Sementara (TPS) sebelum dibawa ke TPST Bantargebang.

Input Review

(48)

Methane

Pada sheet ini data mengenai jumlah emisi methane yang dihasilkan oleh input sampah telah otomatis dikalkulasikan. Kandungan methane menjadi patokan untuk melakukan penghitungan kandungan zat lainnya. Persamaan untuk melakukan kalkulasi tersebut sebagai berikut.

Keterangan:

QCH4 = jumlah metana yang diproduksi setiap tahun i = tambahan 1 tahun kenaikan

n = jumlah tahun kalkulasi dimulai-tahun awal sampah diterima k = rate produksi metana (0,050 year-1)

L0 = potensi kapasitas produksi metana (170 m3/Mg)

Mi = massa jenis dari sampah yang diterima pada tahun ke-i (Mg)

Results and Social Cost of Carbon

Langkah terakhir dalam LandGEM ini menampilkan jumlah methane dan kandungan zat lainnya sesuai yang user ingin proyeksikan. Jumlah emisi CO2 tersebut kemudian dinilai berdasarkan market value. EPA memiliki kajian yang menarik mengenai market value of carbon pricing. Harga karbon yang dikenakan oleh EPA adalah Social Cost of Carbon (SCC).

Nilai SCC mencakup kepada kerugian yang harus ditanggung masyarakat secara global terkait penurunan produktivitas pertanian, kesehatan, kerusakan akibat meningkatnya intensitas banjir, dan berkurangnya nilai dari jasa lingkungan (EPA, 2010b). SCC telah dikaji oleh EPA untuk memproyeksikan harga karbon hingga tahun 2050. SCC tersebut memperkirakan terjadinya peningkatan harga karbon 0,4-0,5 USD/ton CO2, atau sekitar Rp 4.800 hingga Rp 6.000/ton CO2 seperti yang disajikan pada Tabel 4.

(49)

Tabel 4 Proyeksi Social Cost of Carbon 2008-2023

Tahun Social Cost of Carbon (Rp*/ton CO2)

2008 247.200

2009 252.000

2010 256.800

2011 262.800

2012 268.800

2013 273.600

2014 279.600

2015 285.600

2016 291.600

2017 297.600

2018 303.600

2019 309.600

2020 315.600

2021 324.000

2022 331.200

2023 339.600

Sumber: EPA, 2010b (Diolah), Keterangan: *Kurs Rp 12.000/USD

4.4.2 Analisis Ekonomi Proyek PLTSa Bantargebang

Analisis Biaya dan Manfaat atau Cost-Benefit Analysis (CBA) digunakan untuk mengkaji biaya dan manfaat yang ada selama proyek PLTSa Bantargebang berjalan. Terdapat beberapa komponen untuk menyusun cash flow proyek agar nilai ekonomi dapat diestimasi. Komponen tersebut dapat dikelompokkan menjadi biaya investasi, dan biaya operasional (variabel dan tetap).

Biaya investasi dikeluarkan pada awal proyek didirikan, contohnya biaya yang dikeluarkan untuk pembebasan lahan, sewa ataupun biaya mendirikan bangunan proyek. Biaya operasional merupakan biaya yang dikeluarkan setiap proses produksi dilakukan seperti biaya tenaga kerja. Upah tenaga kerja dalam analisis ekonomi dinilai berbeda jika pekerja tersebut merupakan pekerja terdidik atau tak terdidik. Biaya lain yang termasuk dalam biaya operasional yaitu bahan baku, pajak, dan reinvestasi.

(50)

(4.3) dari biaya tersebut. Setelah cash flow disusun melalui komponen biaya yang tersedia, maka selanjutnya dilakukan kajian terhadap kelayakan investasi proyek.

Beberapa kriteria yang diperlukan untuk menilai kelayakan investasi proyek yaitu Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit Cost (Net B/C) dan Payback Period.

NPV merupakan metode untuk mengetahui kelayakan proyek dengan prinsip bahwa proyek layak untuk dijalankan jika jumlah keseluruhan manfaat yang diterima melebihi atau setidaknya sama dengan biaya investasi yang telah dikeluarkan (NPV ≥ 0). Adapun perhitungan NPV menurut Gittinger (1986) sebagai berikut.

Keterangan:

Bt = Penerimaan yang diperoleh proyek pada tahun ke-t Ct = Biaya yang dikeluarkan proyek pada tahun ke-t n = Umur ekonomis proyek

i = Tingkat suku bunga (%)

t = Tahun investasi proyek (t=0,1,2...n)

Hasil perhitungan NPV kemudian dinilai sesuai kriteria berikut:

1) NPV < 0, menunjukkan bahwa proyek tidak layak untuk dilaksanakan secara finansial karena manfaat (benefit) yang diperoleh kurang dari biaya investasi yang telah dikeluarkan.

2) NPV = 0, menunjukkan bahwa proyek layak untuk dilaksanakan namun mengalami kesulitan karena manfaat yang diperoleh hanya akan cukup untuk mengganti atau menutupi biaya investasi.

3) NPV > 0, menunjukkan bahwa proyek layak untuk dilaksanakan karena benefit yang didapatkan lebih besar dari biaya investasi yang telah dikeluarkan.

(51)

1) Rendemen implisit dalam tiap tahun sama dengan hasil i kali nilai investasi pada akhir tahun sebelumnya, yaitu:

Rt = iFt-1

2) Nilai investasi pada akhir tahun (t) sama dengan nilai pada akhir tahun sebelumnya dikalkulasikan dengan sisa pengurangan benefit netto dari rendemen implisit.

3) Benefit netto ketika akhir umur proyek (tahun n) merupakan jumlah nilai investasi yang masih berlaku pada akhir tahun sebelumnya, ditambah rendemen implisit. Maka, nilai investasi ketika akhir tahun n menjadi nol. Dalam analisis IRR, hal utama yang akan dicari yaitu pada tingkat bunga berapa (discount rate) akan dihasilkan NPV = 0. Persamaan untuk menghitung IRR adalah sebagai berikut.

Keterangan :

Bt dan Ct = Penerimaan dan biaya bruto yang diperoleh proyek pada tahun

ke t;

Bt - Ct = Benefit netto dalam tahun t, nilai negatif merupakan investasi; n = Umur ekonomis proyek;

Ft = Nilai investasi yang belum dikembalikan sampai akhir tahun t,

setelah realisasi benefit /biaya yang terjadi dalam tahun itu;

Rt = Rendemen implisit tahun t, dapat dibayarkan (agar diterima

oleh penyelenggara proyek) atau tidak dibayarkan.

i = IRR

Melalui persamaan tersebut dapat disimpulkan bahwa IRR adalah nilai

discount rate (i) yang membuat NPV proyek sama dengan nol. Contohnya, terdapat suatu proyek dengan IRR yang dihitung 25% dan biaya dana proyek sebesar 15%. Nilai IRR tersebut lebih besar daripada biaya dana proyek sehingga dapat dikatakan menarik secara finansial.

Konsep lain untuk mengetahui kelayakan investasi yaitu Net B/C ratio, yaitu perbandingan antara nilai arus manfaat (inflow) saat ini dibagi dengan nilai

(52)

arus biaya (outflow) saat ini. Gittinger (1986) menjelaskan bahwa Net B/C berfungsi menunjukkan besarnya manfaat yang didapatkan setiap tambahan biaya sebesar satu satuan uang. Proyek layak untuk dilaksanakan jika memiliki nilai Net B/C lebih dari atau setidaknya sama dengan satu (Net B/C ≥ 1). Perhitungan yang digunakan sebagai berikut:

Keterangan :

Bt = Benefit (penerimaan) proyek yang diperoleh tahun ke-t Ct = Cost (biaya) proyek yang dikeluarkan pada tahun ke-t n = Umur ekonomis proyek

i = Tingkat suku bunga (%) t = Tahun investasi (t=0,1,2...n)

Perlu jangka waktu tertentu untuk mengembalikan biaya yang dikeluarkan dalam investasi proyek. Proyek yang baik adalah proyek yang memiliki jangka waktu cepat dalam pengembalian biaya investasi. Untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan suatu proyek menutupi modal tersebut, dapat menggunakan konsep

Payback Period (PP). Persamaan umum PP yaitu:

Keterangan :

P = Jangka waktu yang diperlukan proyek untuk pengembalian investasi I = Biaya investasi

Ab = Manfaat bersih setiap tahun

Net B/C =

(4.5)

(53)

V. GAMBARAN UMUM

5.1 Gambaran Umum Provinsi DKI Jakarta

Provinsi DKI Jakarta memiliki luas wilayah administratif 7.660,03 km2. Luas tersebut mencakup daratan 662,53 km2 dan lautan 6.997,5 km2 dengan pulau sebanyak 110 buah (tersebar di Kepulauan Seribu). Sebagai ibu kota negara Indonesia, aktivitas perekonomian DKI Jakarta menjadi magnet bagi penduduk. BPS pada tahun 2013 merilis jumlah penduduk DKI Jakarta yang terus meningkat selama 5 tahun terakhir. Secara lebih jelas data tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Jumlah Penduduk Provinsi DKI Jakarta Menurut Jenis Kelamin Tahun 2008-2012

Tahun

Jumlah Penduduk Sesuai

Jenis Kelamin (Jiwa) Jumlah Total (Jiwa)

Rasio Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan

2008 3.945.994 3.670.844 7.616.838 107,49 2009 4.651.846 3.871.311 8.523.157 120,16 2010 4.651.073 3.873.079 8.524.152 120,09 2011 5.252.767 4.934.828 10.187.595 106,44 2012 5.026.389 4.735.018 9.761.407 106,15

Sumber: BPS Jakarta, 2013 (diolah)

Berdasarkan Tabel 5, dapat dilihat pertambahan penduduk yang cenderung meningkat. Pada tahun 2008, jumlah total penduduk DKI Jakarta 7.616.838 jiwa. Angka ini sempat mengalami peningkatan pesat menjadi 10.187.595 jiwa pada tahun 2011, meskipun pada tahun 2012 jumlah tersebut menurun menjadi 9.761.407 jiwa. Fluktuasi jumlah penduduk tersebut tentunya mempengaruhi berbagai aktivitas perekonomian. Sektor rumah tangga, industri hingga pusat perbelanjaan pun menghasilkan buangan berupa sampah. Secara parsial, rekapitulasi timbulan sampah dan sampah terangkut di DKI Jakarta disajikan pada Tabel 6.

Gambar

Gambar 1 Sumber energi primer PLN tahun 2012
Gambar 2 Jumlah produksi sampah Provinsi DKI Jakarta 1995-2015*
Tabel 1 Overview Kerjasama Pengelolaan TPST Bantargebang
Gambar 4 Diagram Operasional Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sebab, liturgi, waktu ibadah, pengurus yang pasif, konflik sosial, dan kehadiran kelompok sosial merupakan faktor-faktor penyebab pemuda GBKP Runggun Jalan Katepul tidak

Berdasarkan kerangka pemikiran dan hasil pelaksanaan tindakan kepemimpinan yang dilaksanakan sebanyak dua siklus maka dibuat kesimpulan, tingkat kompetensi yang

koordinasi motorik halus Anak belum mampu Mengkombinasikan warna krayon dalam melukis alat- alat kebersihan sehingga masih membutuhkan arahan guru. 2 Fajar

Struktur sosial yang berperan terhadap pembentukan DPL di Bondalem adalah pihak pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Dinas Kelautan dan Perikanan, LSM (Reef

Masalah, solusi, metode dan desain penelitian, variable dan instrument yang digunakan, tehnik dan pengolahan data, serta kesimpulan yang disajikan sesuai dengan journal utama

Perkembangan merupakan suatu proses pada setiap sesuatu untuk lebih maju atau menjadi yang lebih baik, oleh karena itu manusia sebagai makhluk yang berperan dalam perkembangan

Pada penelitian yang dilakukan oleh Ratna kusumawati (2008) yang berjudul “Analisis pengaruh budaya organisasi dan gaya kepemimpinan terhadap kepuasan kerja untuk

Di dalam Lambang Daerah terdapat Gunung/Pulau, melambangkan Daerah Kepulauan bahwa Kabupaten Halmahera Timur merupakan wilayah Provinsi Maluku Utara dengan jumlah gunung