• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Manfaat Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST)

Bantargebang pada 2008 telah menjalin bermacam kerjasama dalam teknis operasional. Skema kerjasama dalam beberapa periode tersebut berubah-ubah sesuai kendala yang dihadapi di lapangan. Juliansah (2010) menguraikan hasil studi lapang terhadap pola kerjasama di TPA/TPST Bantargebang pada Tabel 1.

Ketidakmampuan Pemprov DKI Jakarta dalam menangani permasalahan sampah mendorong pengalihan operator TPA Bantargebang untuk swasta mulai tahun 2004. Saat itu PT Patriot Bangkit Bekasi (PBB) bertugas mengelola

pengangkutan sampah dari sumber ke lokasi TPA, melakukan evaluasi terhadap Instalasi Pengolahan Air Sampah (IPAS) setiap 6 bulan, serta mengelola zona pembuangan. Namun, kerjasama tersebut dihentikan karena pengolahan TPA menjadi semakin buruk (banyak sampah yang tak terangkut dan air lindi yang kian mencemari sungai).

Tabel 1 Overview Kerjasama Pengelolaan TPST Bantargebang Tahun Kerjasama Pihak-pihak yang Terkait Operator Lapangan Bentuk Kerjasama 1989-1999 Pemkot Bekasi - Pemprov DKI Jakarta Pemrov DKI Jakarta

Pemprov DKI Jakarta bertanggungjawab atas infastruktur (akses jalan & sarana

kesehatan) serta memberi kompensasi berupa dana tunai ke

Pemkot Bekasi. 2000-2004 Pemkot Bekasi - Pemprov DKI Jakarta Pemrov DKI Jakarta

Karena gejolak politik, bentuk kerjasama pada kurun waktu ini

dikaji ulang namun operasional tetap berjalan. 2004-2006 Pemkot Bekasi - Pemprov DKI Jakarta - Swasta (PT. PBB) Swasta (PT. PBB)

Tipping fee dibayarkan oleh Pemprov DKI Jakarta (80% untuk PT. PBB dan 20% untuk

Pemkot Bekasi). 2007-2008 Pemkot Bekasi - Pemprov DKI Jakarta Pemrov DKI Jakarta

Tipping fee dibayarkan oleh Pemprov DKI Jakarta (80% untuk operasional dan 20% untuk

Pemkot Bekasi). 2008 - Sekarang Pemkot Bekasi - Pemprov DKI Jakarta - Swasta (PT. GTJ joint operation PT NOEI) Swasta (PT. GTJ joint operation PT NOEI)

Tipping fee dibayarkan oleh Pemprov DKI Jakarta (80% untuk Swasta dan 20% untuk

Pemkot Bekasi).

Mulai tahun 2008, operasional TPST Bantargebang dipercayakan kepada PT Godang Tua Jaya (GTJ) dan PT Navigat Organic Energy Indonesia (NOEI). Hingga saat ini TPST menerapkan pengolahan produk kompos dan biji plastik (ranah kerja PT GTJ) dan PLTSa oleh PT NOEI. Aktivitas produksi tersebut Sumber: Juliansah, 2010

memungkinkan manfaat ekonomi yang lebih tinggi terutama pada PLTSa karena menghasilkan energi ramah lingkungan serta mereduksi emisi karbon dari timbulan sampah TPST.

2.4.1 Manfaat Ekonomi Energi Ramah Lingkungan

Environmental Protection Agency (EPA) pada tahun 2010 merilis hasil penelitian mengenai banyaknya manfaat yang didapatkan melalui penerapan energi ramah lingkungan. Beberapa diantaranya yaitu meningkatkan pendapatan, penyerapan tenaga kerja, efisiensi pengeluaran (outflow), serta ekspansi pasar karena sekaligus melakukan program efisiensi energi. Teknologi energi fosil seperti minyak dan batu bara membutuhkan insentif modal dan alat yang cukup banyak sehingga ekstraksi energi sangat bergantung secara teknik. Oleh karena itu, proyek energi fosil merupakan usaha padat modal. Ekstraksi energi dari sampah merupakan proyek padat karya karena industri membutuhkan lebih banyak pekerja jika dibandingkan dengan energi fosil. Hal ini memberi dampak positif bagi negara berkembang yang memiliki proyek PLTSa untuk menyerap tenaga kerja dari populasi penduduk yang padat.

Gambar 3 Positive Benefits dari Suatu Proyek

Konsep eksternalitas positif dari Pindyck dan Rubenfield (2009) pada Gambar 3 dapat dikaitkan dengan proyek energi ramah lingkungan. Ketika suatu kegiatan atau proyek memberikan eksternalitas positif, maka marginal social benefits (MSB) menjadi lebih besar dari permintaan yang ada (D). MSB

merupakan kalkulasi dari manfaat yang didapatkan oleh private dengan manfaat eksternal yang didapatkan masyarakat atau marginal externality benefits (MEB). Perpindahan dari titik A ke titik B diakibatkan oleh terjadinya eksternalitas negatif dari energi tidak terbarukan. Kondisi pada titik A terjadi ketika perusahaan menetukan harga produk sesuai Marginal Cost atau harga yang dapat memberi profit maksimal namun sebenarnya ada biaya yang harus ditanggung perusahaan akibat eksternalitas negatif. Oleh karena itu, perlu dimasukkan biaya sosial dalam produksi yaitu ketika Marginal Social Cost berada pada garis Demand

perusahaan. Biaya sosial dapat berupa insentif perusahaan untuk menggunakan teknologi dalam mengelola energi terbarukan. Tingkat produksi pun akan mencapai titik optimum pada titik B dan harga akan naik dari Po menuju P* dan

kuantitas produksi akan berkurang secara optimal dari Qo menjadi Q*.

Industri energi ramah lingkungan juga memiliki manfaat dalam jangka panjang dapat menstabilkan harga energi di masa depan. Penggunaan energi ramah lingkungan yang beragam dapat menurunkan harga maupun permintaan dari gas bumi dan minyak yang mendominasi persediaan energi. Hal ini dapat melindungi konsumen ketika harga energi fosil melonjak karena faktor kelangkaan (scarcity).

2.4.2 Manfaat Ekonomi Reduksi Emisi Karbon

Isu perdagangan karbon menjadi populer karena adanya Protokol Kyoto pada tahun 1997 yang merupakan kesepakatan dalam pengurangan emisi gas rumah kaca (greenhouse gases). Protokol tersebut yang diratifikasi oleh 187 negara pada awal tahun 2005. Sebanyak 37 negara industri (disebut sebagai Annex I) berkewajiban mengurangi greenhouse gases sampai 5,2% dari tingkat emisi tahun 1990. Saat itu harga karbon internasional sangat tinggi hingga kesepakatan berakhir pada tahun 2012.

Emisi karbon yang dihasilkan oleh suatu proyek perlu dinilai karena memiliki banyak manfaat. Pada perusahaan, penilaian emisi karbon dapat menjadi salah satu bentuk kepedulian terhadap lingkungan. Hal ini dapat membawa insentif untuk mereduksi polusi proyek serta memperbaiki kesehatan masyarakat di area proyek. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dwijayanti (2011)

menunjukkan bahwa penerapan penilaian emisi karbon pada proyek dapat memberi keuntungan bagi perusahaan, masyarakat maupun pemerintah.

Konsep ekonomi lingkungan sepakat bahwa pengukuran ekonomi secara tradisional melalui Gross National Product (GNP) tak memperhitungkan penurunan stok sumberdaya alam dan lingkungan. GNP juga tidak mengikutsertakan penilaian terhadap nilai non-guna (non-market value) dari suatu sumberdaya. Valuasi ekonomi diperlukan untuk mempertimbangkan keberlanjutan sumberdaya agar kesejahteraan dicapai secara optimal.

Proses produksi yang menyerap karbon memberi nilai lebih bagi proyek. Emisi karbon yang hilang akibat penyerapan biogas sebagai penggerak generator listrik termasuk sebagai nilai manfaat dari keberadaan proyek PLTSa. Proyek ramah lingkungan berpotensi mendapatkan keuntungan (profit gain) dari emisi karbon pada proses produksinya. Keuntungan tersebut dianalisis dengan membandingkan penerimaan bersih proyek saat ini atau Net Present Value (NPV) dengan emisi karbon rata-rata yang berhasil diserap oleh proyek.

Penilaian terhadap emisi karbon (carbon accounting) memberi manfaat bagi perusahaan karena dapat meningkatkan penjualan produk, menarik minat investor dan kreditor untuk mendanai proyek, serta melakukan ekspansi pasar. Pemerintah juga diuntungkan sebagai bagian dari program pengurangan polusi di Indonesia dengan langkah yang konkrit. Keberlanjutan sumberdaya pun menjadi lebih terjamin sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang. Keuntungan lain yang mungkin didapatkan oleh masyarakat yaitu berkurangnya potensi bencana alam, mendatangkan peluang lapangan pekerjaan baru, serta kondisi lingkungan areal proyek yang semakin membaik karena audit terhadap emisi karbon tersebut. Oleh karena itu, carbon accounting penting untuk diberlakukan juga pada sektor industri.

Dokumen terkait