• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN

G. Definisi Operasional

Ada beberapa istilah pokok yang digunakan penelitian ini dan perlu diberi penjelasan. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman dalam memahami judul proposal skripsi ini, maka penulis akan memaparkan beberapa istilahsebagai berikut:

1. CAR (Capital Adequacy Ratio) adalah rasio untuk mengukur kecukupan modal yang dimiliki bank untuk menunjang aktiva yang mengandung atau menghasilkan resiko, misalnya kredit yang diberikan.

2. Financing to Deposit Ratio (FDR) merupakan perbandingan antara total pembiayaan dengan total dana pihak ketiga. Semakin tinggi FDR tersebut memberikan indikasi semakin rendah kemampuan likuiditas bank yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena jumlah dana yang diperlukan untuk pembiayaan menjadi semakin besar.

3. BOPO (Biaya Operasional Pendapatan Operasional) adalah perbandingan antara biaya operasional dan pendapatan operasional.

Semakin rendah tingkat rasio BOPO maka semakin baik kinerja manajemen bank karena lebih efisien dalam menggunakan sumber daya.

4. Non Performing Financing (NPF) adalah pembiayaan yang sedang mengalami kemacetan dalam pelunasannya yang terjadi karena faktor yang disengaja atau yang tidak disengaja. Non Performing Financing (NPF) merupakan salah satu permasalahan terbesar bagi perbankan karena Non Performing Financing (NPF) merupakan penyebab utama kegagalan bank (Rizal, 2016: 182)

5. Profitabilitas adalah alat ukur menganalisa atau mengukur tingkat efisien usaha dan profitabilitas (laba) yang dicapai oleh bank yang bersangkutan. Alat ukur yang penulis gunakan untuk mengkur profitabilitas dalam penelitian ini adalah Return On Asset (ROA).

Alasan penulis memilih ROA (Return On Asset) sebagai ukuran kinerja keuangan adalah karena Return On Asset digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh keuntungan secara keseluruhan. ROA (Return On Asset) adalah salah satu alat penilaian profitabilitas terbaik dalam menilai tingkat kesehatan bank yang digunakan oleh Bank Indonesia. Semakin besar persentase yang ditunjukan oleh rasio ROA menandakan kemampuan manajemen bank semakin optimal dalam meningkatkan produktifitas bank atau semakin baik posisi bank tersebut dari segi penggunaan asset.

11 BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan Teori 1. Bank Syariah

a) Pengertian Bank Syariah

Undang-Undang Perbankan Syariah No. 21 Tahun 2008 menyatakan bahwa perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank syariah dan usaha syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS), dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Bank Umum Syariah adalah bank syariah yang berdiri sendiri sesuai dengan akta pendiriannya, bukan merupakan bagian dari bank konvensional. Beberapa contoh Bank Umum Syariah antara lain Bank Syariah Mandiri, Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mega, Bank Syariah Bukopin, Bank BCA Syariah, dan Bank BRI Syariah (Ismail, 2011: 26)

Unit Usaha Syariah merupakan unit usaha syariah yang masih di bawah pengelolaan bank konvensional. Unit Usaha Syariah (UUS) adalah unit kerja dari kantor pusat bank konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prisip syariah, atau unit dikantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari cabang pembantu syariah dan atau unit syariah (Ismail, 2011: 26)

Pada umumya yang dimaksud dengan bank syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah.

Kegiatan dan usaha bank akan selalu terkait dengan komoditas antara lain; pemidahan uang, menerima dan membayarkan kembali uang dalam rekening koran, mendiskontokan surat wesel, surat order maupun surat-surat berharga lainnya, membeli dan menjual surat-surat berharga, membeli dan menjual cek wesel, surat kertas dagang, memberi kredit dan memberi jaminan kredit (Sudarsono, 2003: 27)

Bank syariah juga dapat diartikan sebagai lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan pelayanan yang lain atau peredaran uang yang pelaksanaannya disesuaikan dengan asas Islam. Said Sa’ad Marthan, pemerhati ekonomi islam Timur Tengah, mengungkapkan bahwa bank syariah adalah lembaga investasi yang beroperasi sesuai dengan asas-asas syariah. Sumber dana yang dikelola harus sesuai dengan syar’i dan tujuan alokasi investasi yang dilakukan yaitu membangun ekonomi dan sosial masyarakat serta melakukan pelayanan perbankan yang sesuai dengan nilai-nilai syariah (Elfadhli, 2016: 2-3)

Menurut Undang-Undang No.10 Tahun 1998 yang diperbarui dengan Undang-Undang No.21 Tahun 2008 memberikan definisi bank syariah sebagai bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Bab 1 pasal 1 Undang-Undang No.21 Tahun 2008 memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai Bank Umum Syariah yaitu bank syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran, sedangkan Bank Pembiayaan

13

Rakyat Syariah yaitu bank syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Jadi dapat disimpulkan bahwa bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak hanya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran namun juga memberikan jasa dalam bidang pembiayaan (Nik Amah, 2013: 50)

b) Asas dan Fungsi Bank Syariah

Bab 2 pasal 2 Undang-Undang No 21 Tahun 2008 menjelaskan tentang asas yang melandasi perbankan syariah sebagai berikut, perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah, demokrasi ekonomi, dan prisip kehati-hatian. Asas ini mendasari setiap kegiatan perbankan syariah yang juga menjadikan bank syariah mampu bertahan ditengah krisis. Bank Syariah memiliki tujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat (pasal 3 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008) (Nik Amah, 2013: 50)

Berbicara mengenai fungsi dan tujuan bank syariah di Indonesia tentu saja harus mengacu pada ketentuan Undang-Undang Perbankan yang berlaku di Indonesia. Sebagai bagian dari sistem perbankan nasional, fungsi dan tujuan bank syariah tentu saja tidak bisa dilepaskan dari ketentuan UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU No.7 Tahun 1992 tentang perbankan di Indonesia. Menurut ketentuan pasal 3 dan 4 UU tersebut dinyatakan bahwa fungsi utama perbankan di Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan

ekonomi dan stabilitas nasional kearah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak (Basir, 2009:40)

Fungsi bank syariah menurut menurut Undang-Undang No.

21 Tahun 2008 dalam pasal 4 yang terdiri dari:

1) Menghimpun dana dan menyalurkan dana kepada masyarkat.

2) Menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah atau dana sosial lainnya dan menyalurkan kepada organisasi pengelola zakat.

3) Bank syariah dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif).

4) Pelaksanaan sosial.

Selain itu terdapat juga fungsi bank syariah yang lain diantaranya adalah:

1) Fungsi manager investasi, dimana bank syariah bertindak sebagai manager investasi dari pemilik dana (shahibul maal) kemudian bank syariah menyalurkan dana tersebut kepada usaha-usaha yang produktif sehingga bank dapat menghasilkan keuntungan.

2) Fungsi investor, bank syariah dapat melakukan penanaman atau menginvestasikan dana kepada sektor-sektor yang produktif dengan resiko yang kecil.

3) Fungsi sosial, artinya bank syariah dapat menghimpun dana dalam bentuk Zakat, Infak, Sedekah dan Wakaf (ZISWAF).

4) Fungsi jasa keuangan, fungsi ini merupakan pelayanan yang diberikan oleh bank syariah kepada masyarakat umum. Jasa keuangan merupakan penunjang kelancaran kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana. Semakin lengkap jasa keuangan bank syariah akan semakin baik dalam pelayanan kepada nasabah (Ikit, 2015: 46-47)

15

c) Tujuan dan Peranan Bank Syariah

Bank syariah mempunyai beberapa tujuan diantaranya sebagai berikut:

1) Mengarahkan kegiatan ekonomi untuk ber-muamalah secara islam, khususnya muamalat yang berhubungan dengan perbankan agar terhindar dari praktek-praktek riba atau jenis-jenis usaha/perdagangan lain yang mengandung unsur gharar (tipuan).

2) Untuk menciptakan suatu keadilan di bidang ekonomi dengan jalan meratakan pendapatan melalui kegiatan investasi, agar tidak terjadi kesenjangan yang amat besar antara pemilik modal dengan pihak yang membutuhkan dana.

3) Untuk meningkatkan kualitas hidup umat dengan jalan membuka peluang usaha yang lebih besar terutama kelompok miskin, yang diarahkan kepada kegiatan usaha yang produktif, menuju terciptanya kemandirian usaha.

4) Untuk menanggulangi masalah kemiskinan, yang pada umumnya merupakan program utama dari negara-negara yang sedang berkembang. Upaya bank syariah di dalam mengentaskan kemiskinan ini berupa pembinaan nasabah yang lebih menonjolkan sifat kebersamaan dari siklus usaha yang lengkap seperti program pembinaan pengusaha produsen, pembinaan perdagangan perantara, program pembinaan konsumen, program pengembangan modal kerja dan program pengembangan usaha bersama.

5) Untuk menjaga stabilitas ekonomi dan moneter. Dengan aktifitas bank syariah akan mampu menghindari pemanasan ekonomi di akibatkan adanya inflasi, menghindari persaingan yang tidak sehat antara lembaga keuangan (Sudarsono, 2003:

40)

Adanya bank syariah diharapan dapat memberikan sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat melalui pembiayaan-pembiayaan yang dikeluarkan oleh bank syariah.

Melalui pembiayaan bank syariah dapat manjadi mitra masyarakat, sehingga hubungan bank syariah dengan masyarakat tidak lagi sebagai kreditur dan debitur tetapi menjadi hubungan kemitraan.

Menurut Muhammad dalam buku Ikit (Analisis Penghimpunan Dana Bank Syariah) meyebutkan secara khusus mengenai peran bank syariah secara nyata dapat terwujud dalam aspek-aspek sebagai berikut:

1) Menjadi perakat nasionalisme baru, artinya bank syariah dapat menjadi fasilitator aktif bagi terbentuknya jaringan usaha ekonomi kerakyatan.

2) Memberdayakan ekonomi umat dan beroperasi secara transparan, artinya pengelolaan bank syariah harus didasarkan pada visi ekonomi kerakyatan, dan upaya ini terwujud jika ada mekanisme operasi yang transparan.

3) Memberikan return yang lebih baik, artinya investasi di bank syariah tidak memberikan janji yang pasti mengenai return (keuntungan) yang diberikan kepada investor. Oleh karena itu bank syariah harus mampu memberikan return yang lebih baik di bandingkan dengan bank konvensional.

4) Mendorong penurunan spekulasi di pasar keuangan, artinya bank syariah mendorong terjadinya transaksi produktif dari dana masyarakat. Dengan demikian spekulasi dapat diperkecil.

5) Mendorong pemerataan pendapatan, artinya bank syariah bukan hanya mengumpulkan dana dari pihak ketiga, namun dapat mengumpulkan dana dari pihak ketiga, namun dapat mengumpulkan dana zakat, infak, dan shadaqah (ZIS). Dana ZIS dapat disalurkan melalui pembiayaan Qardul Hasan,

17

sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, pada akhirnya terjadi pemerataan ekonomi.

6) Peningkatan efisiensi mobilisasi dana artinya adanya produk al-Mudharabah al-muqayyadah, berarti terjadi kebebasan bank untuk melakukan investasi atas dana yang diserahkan oleh investor maka bank syariah sebagai financial arranger, bank memperoleh komisi atau bagi hasil dari kesepakatan awal kedua belah pihak.

7) Uswah Hasanah implementasi moral dalam penyelenggaraan usaha bank.

8) Salah satu penyebab terjadinya krisis adalah adanya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) (Ikit, 2015:50-51)

d) Prisip Dasar Operasional Bank Syariah

Dalam menjalankan kegiatan operasionalnya, perbankan syariah memiliki prinsip dasar yang harus dipatuhi. Hal ini dikarenakan bahwa perbankan syariah menjalankan kegiatan syariahnya harus dijalankan oleh beberapa unsur yang diikat dalam prisip dasar. Unsur-unsur tersebut meliputi unsur kesesuaian dengan syariah islam dan unsur legalitas operasi sebagai lembaga keuangan.

Prisip-prinsip telah menjadi landasan yang kuat bagi pengelola perbankan syariah. Adapun prinsip dasar dalam perbankan syariah tersebut antara lain:

1) Larangan terhadap transaksi yang mengandung Barang atau Jasa yang diharamkan.

2) Larangan terhadap transaksi yang diharamkan sistem dan prosedur perolehan keuntungannya (Andrianto & Firmansyah, 2019: 31)

Mengawali pembahasan tentang prinsip operasional Bank Syariah, Sistem keuangan dan perbankan Islam sendiri adalah

merupakan bagian dari konsep yang telah luas tentang ekonomi Islam, yang tujuannnya memperkenalkan sistem nilai dan etika Islam ke dalam lingkungan ekonomi. Karena dasar etika ini maka keuangan dan perbankan Islam bagi kebanyakan muslim adalah bukan sekedar sistem transaksi komersial, tapi juga merupakan wadah masyarakat muslim untuk menerapkan prinsip keislaman disemua aspek kehidupan termasuk dalam kegiatan ekonomi mereka. Prinsip utama yang ada dalam Bank Syariah diantaranya:

1) Prinsip Al Ta’awun, yaitu saling membantu dan saling bekerja sama diantara anggota masyarakat untuk kebaikan.

2) Prinsip meghindari Al Iktinaz, yaitu menahan uang (dana) dan membairkannya menganggur dan tidak berputar dalam transaksi yang bermanfaat bagi masyarakat umum.

3) Larangan riba (bunga) dalam berbagai bentuk transaksi.

4) Menjalankan bisnis dan aktivitas perdagangan yang berbasis pada memperoleh keuntungan yang sah menurut syariah serta memberikan zakat (Elfadhli, 2016:11-12)

e) Ciri-Ciri Bank Syariah

Bank syariah mempunyai ciri-ciri berbeda dengan bank konvensional, adapun ciri-ciri bank syariah adalah:

1) Beban biaya yang disepakati bersama pada waktu akad perjanjian diwujudkan dalam bentuk jumlah nominal, yang besarnya tidak kaku dan dapat dilakukan dengan kebebasan untuk tawar-menawar dalam batas wajar.

2) Penggunaan persentase dalam hal kewajiban untuk melakukan pembayaran selalu dihindari, karena persentase bersifat melekat pada sisa utang meskipun batas waktu perjanjian telah berakhir.

3) Didalam kontrak-kontrak pembiayaan proyek, bank syariah tidak menerapkan perhitungan berdasarkan keuntungan yang

19

pasti yang ditetapkan di muka, karena pada hakikatnya yang mengetahui tentang ruginya suatu proyek yang dibiayai bank hanyalah Allah semata.

4) Pengerahan dana dalam bentuk deposito tabungan oleh penyimpan dianggap sebagai titipan (al-wadiah) sedangkan bagi bank dianggap sebagai titipan yang diamanatkan sebagai penyertaan dana pada proyek-proyek yang dibiayai bank yang beroperasi sesuai dengan prisip syariah sehingga pada penyimpanan tidak dijanjikan imbalan yang pasti.

5) Dewan Pengawas Syariah (DPS) bertugas untuk mengawasi operasionalisasi bank dari sudut syariahnya. Selain itu manager dan pimpinan bank Islam harus menguasai dasar-dasar muamalah Islam.

6) Fungsi kelembagaan bank syariah selain menjembatani antara pihak pemilik modal dengan yang membutuhkan dana, juga mempunyai fungsi khusus yaitu fungsi amanah, artinya berkewajiban menjaga dan bertanggung jawab atas keamanan dana yang di simpan dan siap sewaktu-waktu apabila dana diambil pemiliknya (Sudarsono, 2003:41)

f) Produk-Produk Perbankan Syariah

Produk-produk bank syariah muncul karena didasari oleh operasionalisasi fungsi bank syariah. Dalam menjalankan operasinya bank syariah memiliki empat fungsi sebagai berikut:

1) Sebagai penerima amanah untuk melakukan investasi dana-dana yang dipercayakan oleh pemegang rekening investasi/deposan atas dasar prinsip bagi hasil sesuai dengan kebijakan investasi bank.

2) Sebagai pengelola investasi atas dana yang dimiliki pemilik dana atau shahibul mal sesuai dengan arahan investasi yang dikehendaki oleh pemilik dana.

3) Sebagai penyedia jasa lalu lintas pembayaran dan jasa-jasa lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.

4) Sebagai pengelola fungsi sosial.

Secara garis besar, produk yang ditawarkan oleh perbankan syariah terbagi menjadi tiga bagian besar, yaitu produk penghimpunan dana (funding), produk penyaluran dana (financing), dan produk jasa (service) (M. Nur Rianto Al-Arif, 2007:133), yang dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Produk Penghimpunan Dana (Funding) (a) Tabungan

Menurut Undang-Undang perbankan syariah Nomor 21 Tahun 2008, tabungan adalah simpanan berdasarkan akad wadia’ah atau investasi dana berdasarkan mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah yang penarikannya dapat dilakukan menurut syarat dan ketentuan tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro atau yang disamakan dengan itu (Apriani & Hartanto, 2019:74)

(b) Giro

Giro adalah simpanan pada bank yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat, artinya adalah bahwa uang yang disimpan direkening giro dapat diambil setiap waktu setelah memenuhi berbagai persyaratan yang ditetapkan (Anshori, 2007:81)

Giro menurut undang-undang perbankan syariah nomor 21 tahun 2008 adalah simapanan berdasarkan akad wadi’ah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran

21

lainnya, atau dengan perintah pemindahbukuan (Apriani &

Hartanto, 2019:75) (c) Deposito

Deposito menurut Undang-Undang Perbankan Syariah Nomor 21 Tahun 2008 adalah investasi dana berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah, yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan akad antara nasabah penyimpan dan bank syariah dan/atau Unit Usaha Syariah (UUS). Deposito adalah bentuk simpanan nasabah yang mempunyai jumlah minimal tertentu, jangka waktu tertentu, dan bagi hasilnya lebih tinggi dari pada tabungan (Apriani & Hartanto, 2019:75)

2) Produk Penyaluran Dana/ Pembiayaan (Financing)

Pembiayaan atau financing adalah pendanaan yang diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncana, baik dilakukan sendiri maupun lembaga. Dengan kata lain, pembiayaan adalah pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan.

Secara garis besar, produk pembiayaan kepada nasabah yaitu sebagai berikut:

(a) Pembiayaan dengan prinsip jual beli, seperti bai’

Murabahah, bai’ as salam dan bai’ al istishna.

(b) Pembiayaan dengan prinsip sewa, meliputi ijarah dan ijarah mutahiya bit tamlik.

(c) Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil, meliputi musyarakah, mudharabah, muzara’ah, dan musaqah (Apriani & Hartanto, 2019:77)

3) Produk Jasa Perbankan

Produk-produk jasa perbankan dengan pola lainnya pada umumnya menggunakan akad-akad tabarru’ yang dimaksudkan tidak untuk mencari keuntungan, tetapi dimaksudkan sebagai fasilitas pelayanan kepada nasabah dalam melakukan transaksi perbankan. Oleh karena itu, bank sebagai penyedia jasa hanya membebani biaya administrasi. Jasa perbankan golongan ini yang bukan termasuk akad tabarru’ adalah akad sharf yang merupakan akad pertukaran uang dengan uang dan ujr yang merupakan bagian dari ijarah (sewa) yang dimaksudkan untuk mendapatkan upah (ujroh) atau fee (Ascarya, 2008: 128 )

2. Laporan Keuangan

a. Pengertian Laporan Keuangan

Penyajian laporan akuntansi entitas syariah telah diatur dengan Pedoman Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) dan Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI). Oleh karena itu, laporan keuangan harus mampu memfasilitasi semua pihak yang terkait dengan bank syariah. Kekurangan perhatian PSAK dan PAPSI dalam masalah syariah juga terdapat dalam hal fungsi laporan keuangan memfasilitasi DPS untuk memeriksa dana non-halal yang diterima oleh bank. Dana non-halal berdasarkan PSAK no.59 dan PAPSI digabung dengan dana qardh.

Penggabungan dapat menimbulkan persoalan syariah berupa tercampurnya yang haq dan yang batil. Ketiadaan pemisahan akan menyebabkan kurangnya perhatian untuk mengupayakan pengeliminasian dana non-halal di masa yang akan datang (Muhammad, 2014: 83)

Pengertian laporan keuangan menurut Standart Akuntansi Keuangan (SAK) yaitu merupakan bagian dari proses pelaporan keuangan. Laporan keuangan yang lengkap biasanya meliputi

laba-23

rugi, laporan arus kas, neraca, laporan perubahan posisi keuangan (yang dapat disajikan dalam berbagai seperti sebagai laporan arus kas, atau laporan arus dana), catatan juga termasuk skedul dan informasi tambahan yang berkaitan dengan segmen industri dan geografis serta pengungkapan pengaruh perubahan harga (Pardede, 2012:39)

Dari pengertian diatas laporan keuangan disebut sebagai bagian dari proses pelaporan keuangan yang lengkap, dengan tujuan untuk mempertanggung jawabkan tugas-tugas yang dibebankan kepada manajemen (Pardede, 2012:39)

Laporan keuangan pada dasarnya adalah hasil dan proses akuntansi yang dapat digunakan untuk alat komunikasi antara data keuangan atau aktivitas perusahaan dengan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan dengan data keuangan suatu perusahaan.

Pihak-pihak yang berkepentingan tersebut menurut (Najmudin, 2011: 68) adalah:

1) Pemilik perusahaan

Pihak ini sangat berkepentingan untuk mengetahui suatu laporan keuangan perusahaannya, karena dengan melihat laporan keuangannya maka pemilik dapat menilai apakah dia benar-benar dapat menjalankan tugasnya sebagai seorang pemimpin. Kesuksesan ini biasanya dinilai dari laba yang diperoleh oleh perusahaan.

2) Manager perusahaan

Setelah mengetahui laporan keuangan, maka manager dapat menilai kebijakan-kebijakan yang telah dijalankannya, dan jika ada kekurangan bisa untuk menyususun sistem kebijaksanaan yang lebih baik lagi.

3) Investor

Laporan keuangan berguna dalam hal keperluan mereka untuk menanamkan modal mereka ke suatu perusahaan.

4) Kreditur dan Banker

Berhubungan dengan pemberian kredit bagi suatu perusahaan. Dengan melihat laporan keuangan mereka bisa mengambil keputusan apakah akan menyetujui atau bahkan menolak pemberian kredit kepada perusahaan yang bersangkutan.

5) Pemerintah

Pemerintah memerlukan laporan keuangan untuk menentukan berapa besarnya pajak yang harus dibayarkan oleh pemilik perusahaan (Pardede, 2012:39)

b. Tujuan dan Sifat Laporan Keuangan

Tujuan laporan keuangan adalah menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja serta perubahan posisi keuangan suatu entitas syariah yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi. Laporan keuangan adalah suatu penyajian terstruktur dari posisi keuangan dan kinerja keuangan dari suatu entitas syariah (Ikit, 2015: 144) Adapun tujuan laporan keuangan diantaranya adalah:

1) Untuk memberikan informasi keuangan yang dapat dipercaya mengenai aktiva dan kewajiban serta modal perusahaan.

2) Untuk memberikan informasi yang dapat dipercaya mengenai perubahan dalam aktiva netto suatu perusahaan yang timbul dari kegiatan usaha dalam rangka memperoleh laba.

3) Untuk memberikan informasi keuangan yang membantu para pemakai laporan di dalam menaksir potensi perusahaan dalam menghasilkan laba.

4) Untuk memberikan informasi penting lainnya mengenai perubahan dalam aktiva dan kewajiban suatu perusahaan serta informasi mengenai aktivitas pembiayaan dan investasi.

25

Laporan keuangan yang disusun untuk tujuan ini memenuhi kebutuhan bersama sebagian besar pemakai. Namun demikian, laporan keuangan tidak menyediakan semua informasi yang mungkin dibutuhkan pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi karena secara umum menggambarkan pengaruh keuangan

Laporan keuangan yang disusun untuk tujuan ini memenuhi kebutuhan bersama sebagian besar pemakai. Namun demikian, laporan keuangan tidak menyediakan semua informasi yang mungkin dibutuhkan pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi karena secara umum menggambarkan pengaruh keuangan