• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

D. Definisi Satuan Polisi Pamong Praja

Polisi Pamong Praja sebelumnya disebut pangreh praja sampai awal kemerdekaan dalam sejarah pemerintahan daerah di Indionesia memeliki peran yang srategis, karena pamong praja tidak saja memainkan peran sebagai abdi negara dan abdi masyarakat yang menyelenggarakan pelayanan masyarakat tapi juga peran strategis dalam menjaga keutuhan Negara Republik Indonesia. Pamong praja berperan dalam mengelolah berbagai keragaman dan mengukuhkan keutuhan negara.

Pangreh praja sebagaimana pengertian secara etimologis masih relevan pada saat jaman kolonial dan awal kemerdekaan di mana pemerintah masih sangat dominan, sistem pemerintahan yang sangat sentralistik serta paradigma pemerintah

dan sentralistik serta desentralistik, kewenangan untuk mengurus juga ada pada rakyat, rakyat lebih mandiri, maka dengan kondisi ini tentunya pengertian pamong praja sebagai mana awal berkembangnya sudah berbeda dengan kondisi saat ini, definisi pamong praja sesuai dengan konteks dan jamannya perlu dinjau ulang.

Apabila dilihat dari sejarahnya, keberadaan pamong praja sudah ada sejak jaman hindia belanda sebagai korp binnenlands bestuur, yakni korp pejabat bumi putera yang bertugas menjaga kepentingan kerajaan Belanda di tanah Nusantara. Pada masa awal kemerdekaan, kemudian diganti menjadi korps pamong praja, karena istilah pangreh mengandung makna memerintah dengan paksaan

Satuan polisi pamong praja, disingkat Satpol PP adalah perangkat pemerintah daerah dalam memelihara ketentraman dan ketertiban umum serta menegakkan peraturan daerah. Organisasi dan tata kerja satuan polisi pamong praja di tetapkan dengan peraturan daerah. Satuan polisi pamong praja dapat berkedudukan di daerah provinsi dan daerah kabupaten atau kota.

Di Daerah Provinsi, satuan polisi pamong praja dipimpin oleh kepala yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada gubernur melalui sekretaris daerah sedangkan di daerah kabupaten atau kota, satuan polisi pamong praja dipimpin oleh kepala yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada bupati atau wali kota melalui sekretaris daerah.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 6 tahun 2010 tentang satuan polisi pamong praja, dalam Bab I (1) tentang ketentuan umum di sebutkan satuan polisi pamong praja, yang selanjutnya di singkat Satpol PP, adalah

bagian perangkat daerah dalam penegakan peraturan daerah (Perda) dan penyelenggaraan ketertiban umum serta ketenteraman masyarakat. Polisi pamong praja adalah anggota Satpol PP sebagai aparat pemerintah daerah dalam penegakan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, di mana ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat adalah suatu keadaan dinamis yang memungkinkan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dapat melakukan kegiatannya dengan tenteram, tertib, dan teratur. Defenisi ini juga disebutkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia nomor 40 tahun 2011 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja.

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010, Satuan polisi pamong praja dibentuk untuk membantu kepala daerah dalam menegakkan perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, di setiap provinsi dan kabupaten atau kota dibentuk satuan polisi pamong praja. Pembentukan organisasi satuan polisi pamong praja berpedoman pada peraturan pemerintah tersebut.

Ndaraha (2005) mengatakan pamong praja adalah mereka yang mengelola kebhinekaan dan mengukuhkan ketunggalikaan. Pamong praja kembali menjadi perbincangan di tengah masyarakat, bahkan petinggi negeri, pengamat pemerintahan termasuk penggiat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mencurahkan perhatian dan pikirannya untuk beberapa saat setelah kejadian “Kota Berdarah” bentrok antara polisi pamong praja dengan warga di makam Mbah Priuk Jakarta tanggal 14 April 2010 dan penertiban Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 26 tahun 2010 tentang

Penggunaan Senjata Bagi Satuan Polisi Pamong Praja. Bagi sebagian besar masyarakat keberadaan pamong praja identik dengan satuan polisi pamong praja, hal ini bisa dipahami karena dalam Undang-Undang yang mengatur tentang pemerintah daerah sebutan “Pamong Praja” di temukan dalam pasal yang mengatur polisi pamong praja (pasal 148 UU32/2004 dibentuk untuk membantu kepala daerah dalam penegakan peraturan daerah dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat). Di lingkungan Kementrian Dalam Negeri sebutan “Pamong Praja”

terkait dengan satuan polisi pamong praja (UU 32/2004 dan PP 6 tahun 2010) dan lembaga pendidikan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) sebagai

“Pendidikan Tinggi Pamong praja” sebagaimana dalam Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2004 tentang Perubahan Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri ke Dalam Institut Ilmu Pemerintahan. Peserta didik atau mahasiswa Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) di sebut “Praja” dan lulusan sebagai “Pamong Praja Muda”

1. Wewenang Satuan Polisi Pamong Praja

Satuan polisi pamong praja memiliki wewenang dalam penegakan hukum peraturan daerah karena satuan polisi pamong praja adalah pejabat pemerintah pusat yang ada di daerah melaksanakan tugas pemerintahan umum. Dengan adanya kedudukan di atas maka dapat disimpulkan bahwa satuan polisi pamong praja berwenang :

a. Melakukan tindakan penertiban non yustial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas peraturan daerah atau peraturan kepala daerah.

b. Menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang mengganggu ketertiban umum dan ketentraman masyarakat.

c. Fasilitas dan pemberdayaan kapasitas penyelenggaraan perlindungan masyarakat.

d. Melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas peraturan daerah dan atau peraturan kepala daerah.

e. Melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas peraturan daerah atau peraturan kepala daerah.

2. Tugas Pokok

Satuan polisi pamong praja mempunyai tugas pokok menegakkan peraturan daerah dan menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta perlindungan masyarakat dan pengamanan asset daerah.

3. Fungsi

Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, satuan polisi pamong praja mempunyai fungsi:

1. Penyusunan program dan pelaksanaan ketentraman dan ketertiban umum, menegakkan Peraturan Daerah, Peraturan Bupati dan Keputusan Bupati sebagai pelaksanaan Peraturan Daerah.

2. Pelaksanaan kebijakan pemeliharaan dan penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum di Daerah.

3. Pelaksanaan kebijakan penegakkan Peraturan Daerah, Keputusan Bupati dan Keputusan Bupati sebagai pelaksanaan Peraturan Daerah.

4. Perlaksanaan kebijakan perlindungan masyarakat dan pengamanan asset Daerah.

5. Pelaksanaan koordinasi Penegakan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat dengan Kepala Kepolisian Negara RI, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah (PPNS) dan/atau aparatur lainnya.

6. Pengawasan terhadap masyarakat agar memenuhi dan mentaati Peraturan Daerah, Peraturan Bupati dan Keputusan Bupati sebagai pelaksanaan Peraturan Daerah.

7. Pelaksanaan tugas lainnya yang diberikan oleh Kepala Daerah.

4. Indikator Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja a. Pegawai negeri sipil

b. Berijazah sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas atau yang setingkat

c. Tinggi badan sekurang-kurangnya 160 cm (seratus enam puluh sentimeter) untuk laki-laki dan 155 cm (seratus lima puluh lima sentimeter) untuk perempuan

d. Berusia sekurang-kurangnya 21 (dua puluh satu) tahun e. Sehat jasmani dan rohani; dan

f. Lulus pendidikan dan pelatihan dasar polisi pamong praja

E. SEJARAH MUNCULNYA PEDAGANG KAKI LIMA

Pedagang kaki lima atau yang sering di sebut PKL merupakan sebuah komunitas pedagang, yang kebanyakan berjualan dengan memanfaatkan area pinggir jalan raya. Meraka menggelar dagangannya, atau gerobaknya, di pinggir perlintasan jalan raya. Sebenarnya istilah pedagang berasal dari masa penjajahan kolonial Belanda peratutan pemerintahan waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalan kaki. Lebar ruas untuk pejalan adalah lima kaki atau sekitar satu setengah meter. Di beberapa tempat, pedagang kaki lima dipermasalahkan karena mengganggu para pengendara kendaraan bermotor, menggunakan badan jalan dan trotoar. Selain itu ada pedagang kaki lima yang menggunakan sungai dan saluran air terdekat untuk membuang sampah dan air cuci. Sampah dan air sabun dapat merusak sungai yang ada dengan mematikan ikan dan menyebabkan pencemaran lingkungan. Tetapi pedagang kaki lima kerap menyediakan makanan atau barang lain dengan harga yang lebih, bahkan sangat murah dari pada membeli di pedagang yang hendak memulai bisnis dengan modal

yang kecil atau orang kalangan ekonomi lemah yang biasanya mendirikan bisninya di sekitar rumah mereka.

Istilah pedagang kaki lima berasal dari masa kolonial Belanda. Tepatnya pada saat Gubernur Jendral Stanford Raffles berkuasa (1811-1816). Jauh sebelum Indonesia merdeka, pemerintah Belanda membuat sebuah peraturan yakni setiap jalanan yang dibangun harus memiliki sarana untuk para pedestrian atau pejalan kaki yang dinamakan trotoar. Trotoar ini memiliki lebar 5 feet way (Kaki: satuan panjang yang digunakan oleh mayoritas bangsa Eropa). Kebijakan ini juga diterapkan oleh Raffles pada saat ia bertugas di Singapore pada tahun 1819, tepatnya di Chinatown.

Kemudian setelah Indonesia merdeka, trotoar untuk pejalan kaki itu sering dimanfaatkan untuk tempat berjualan. Kata 5 feet sering disalah artikan ke dalam bahasa Melayu yakni kaki lima karena penerjemahan Bahasa Inggris kedalam bahasa Melayu menggunakan hukum Diterangkan. Dari istilah trotoar kaki lima inilah pedagang yang berjualan di wilayah tersebut sering dijuluki dengan nama pedagang kaki lima istilah ini menjalar ke Medan, kemudian dari Medan menjalar sampai ke Jakarta dan kota-kota lainnya Indonesia. Kemudian setelah Indonesia merdeka, trotoar yang tadinya berfungsi sebagai jalur pedestrian atau pejalan kaki sering di salah gunaka oleh pedagang untuk tempat berjualan atau sekedar untuk tempat beristirahat meletakkan gerobak dagangan mereka. Sehingga masyarakat Indonesia menyebutnya dengan pedagang kaki lima.

Menurut susan Blackburn dalam Jakarta sejarah 400 tahun, pada akhir abad ke 19 jumlah pedagang kaki lima di batavia suka berteriak untuk menarik pembeli. Tapi

pemerintah pada saat itu tidak menyukai kehadiran mereka. Menurut salah satu Bumiputera yang duduk di Dewan Kota yaitu Abdoel Moeis menyatakan bahwa pedagang kaki lima itu di usir karena banyak orang belanda yang mau melihat adanya pedagang kaki lima yang kotor di kawasan tersebut.

1. Penyebab Kemunculan Pedagang Kaki Liam

Sejak terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1998, banyak sekali kegiatan ekonomi yang bergerak di sektor formal beralih ke sektor informal. Faktor utama beralihnya kegiatan ekonomi dari sektor formal ke sektor informal adalah sifat dari sektor informal yang tidak memerlukan tingkat keteramilan yang tinggi, modal usaha yang besar, dan sarana yang sederhana sehingga mudah dijangkau oleh semua lapisan masyarakat atau mereka yang belum memiliki pekerjaan yang tetap. Menurut jayadinata (2001: 46) karakteristik sektor informal antara lain:

a. Bentuknya tidak terorganisir b. Kebanyakan kerja sendiri c. Cara kerja tidak teratur

d. Biaya diri sendiri atau sumber tidak resmi

Terutama sejak terjadinya krisis moneter yang menyebabkan banyak perusahaan di Indonesia tidak bisa menutupi biaya operasionalnya lagi sehingga harus ditutup. Hal ini menyebabkan terjadinya Pemecatan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran. Sehingga angka pengangguran di Indonesai saat itu meningkat dengan pesat.

Salah satu kegiatan usaha yang bergerak di sektor informal adalah Pedagang Kaki Lima. Kesulitan untuk mencari pekerjaan serta keterbatasan kemampuan modal untuk mendirikan usaha bagi masyarakat golongan ekonomi lemah mendorong mereka untuk melakukan suatu usaha dalam mempertahankan hidupnya. Untuk mempertahankan hidupnya mereka mencari nafkah yang sesuai dengan kekuatan serta kemampuan yang dimilikinya serta serba terbatas. Wujud keterbatasan ini adalah keterbatasan tingkat pendidikan, keterbatasan kemampuan ekonomi atau keterbatasan modal, keterbatasan tentang pengetahuan dalam tatanan atau peraturan yang berlaku, membuat mereka para masyarakat ekonimo lemah untuk berusaha dalam bentuk usaha dagangan berupa pedagang kaki lima (PKL) yang mereka laksanakan di kota-kota besar untuk memenuhi kebutuhan hidup.

F. PENGERTIAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

Pedagang kaki lima atau yang sering di sebut PKL merupakan sebuah komunitas pedagang, yang kebanyakan berjualan dengan memanfaatkan area pinggir jalan raya. Meraka menggelar dagangannya, atau gerobaknya, di pinggir perlintasan jalan raya.

Pada masa penjajahan kolonial, peraturan pemerintah menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk para pendestrian atau pejalan kaki (sekarang ini disebut dengan trotoar). Lebar ruas untuk sarana bagi para pejalan kaki atau trotoar ini adalah lima kaki. Pemerintah pada waktu itu juga

menghimbau agar sebelah luar dari trotoar diberi ruang yang agak lebar atau agak jauh dari pemukiman penduduk. Ruang ini untuk dijadikan taman sebagai penghijauan dan resapan air. Dengan adanya tempat atau ruang yang agak lebar itu kemudian para pedagang mulai banyak menempatkan gerobaknya untuk sekedar beristirahat sambil menunggu adanya para pembeli yang membeli dagangannya.

Seiring perjalanan waktu banyak pedagang yang memanfaatkan lokasi tersebut sebagai tempat untuk berjualan, sehingga mengundang para pejalan kaki yang kebetulan lewat untuk membeli makanan, minuman sekaligus beristirahat. Berawal dari situ maka Pemerintahan Kolonial Belanda menyebut mereka sebagai Pedagang Kaki Lima yang berasal dari buah pikiran pedagang yang berjualan di area pinggir perlintasan para pejalan kaki atau trotoar yang mempunyai lebar lima kaki.

Pedagang kaki lima, yang selanjutnya disingkat PKL, adalah pelaku usaha yang melakukan usaha perdagangan dengan menggunakan saran usaha bergerak maupun tidak bergerak, menggunakan prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan dan bangunan milik pemerintah atau swasta yang bersifat sementara atau tidak menetap.

Pedagang kaki lima merupakan salah satu jenis perdagangan dalam sektor informal, yakni operator usaha kecil yang menjual makanan, barang dan jasa yang melibatkan ekonomi uang dan transaksi pasar, hal ini sering disebut dengan sektor informal perkotaan.

Ciri-ciri umum pedagang kaki lima lebih lanjut dijelaskan oleh Kartono dkk sebagai berikut :

a. Kelompok pedagang yang kadang sekaligus menjadi produsen, yaitu pedagang makanan dan minuman yang memasaknya sendiri.

b. Pedagang kaki lima memberikan konotasi bahwa mereka umumnya menjual dagangannya di atas tikar di pinggil jalan, di depan tokoh, maupun dengan menggunakan grobak dorongan kecil dan kios kecil.

c. Pedagang kaki lima umumnya menjual dagangannya secara eceran.

d. Pedagang kaki lima umumnya bermodal kecil.

e. Kualitas dagangan yang dijual relatif renda, bahkan ada pedagang yang khusus menjual barang cacat dengan harga sangat rendah.

f. Omzet penjualan pedagang kaki lima tidak besar dan cenderung tidak menentu.

g. Para pembeli umumnya berdaya beli rendah.

h. Umumnya pedagang kaki lima merupakan usaha “familt enterprise” artinya anggota keluarga juga turut membantu dalam usaha tersebut

i. Mempunyai sifat “one man enterprise” yaitu usaha yang hanya dijalankan oleh satu orang.

j. Memiliki ciri khas yaitu terdapat sistem tawar-menawar antara pembeli dan pedagang.

k. Sebagian pedagang kaki lima melakukan usahanya secara musiman, sering kali jenis dagangannya berubah-ubah.

l. Pedagang kaki lima umumnya menjual barang yang umum, jarang menjual barang yang khusus.

m. Anggapan bahwa para pedagang kaki lima ini merupkan kelompok yang menduduki status sosial terendah dalam masyarakat.

n. Pedagang kaki lima tidak memiliki jam kerja yang tetap

o. Pedagang kaki lima memiliki jiwa “entrepeneurship” yaitu kewiraswataan atau kewirausahaan yang tinggi.

G. JENIS DAN TEMPAT USAHA PEDAGANG KAKI LIMA

Penjelasan mengenai jenis tempat usaha pedagang kaki lima sebagai berikut :

a. Gelar/Alas, pedagang menggunakan alas tikar, kain atau sejenisnya untuk menjajakan dagangannya.

b. Lesehan, pedagang menggunakan tikar atau lantai untuk memperjualbelikan dagangannya dan konsumen juga ikut menggunakan tikar untuk duduk.

c. Tenda, pedagang menggunakan tempa berlindung dari kain atau bahan lainnya untuk menutupi yang melekat pada kerangka tiang atau dengan tali pendukung.

d. Selter, bentuk sarana ini menggunakan papan-papan yang diatur sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah bilik, yang mana pedagang tersebut juga tinggal didalamnya.

e. Tidak bermotro, biasanya pedagang menggunakan gerobak/kereta dorong yang digunakan untuk berjualan makanan, minuman atau rokok.

f. Bermotor, pedagang menggunakan kendaraan baik beroda dua, tiga atau empat untuk menggunakan barang dagangan

SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KABUPATEN GOWA

H. KERANGKA PIKIR

Berdasarkan tinjauan pustaka, dari uraian kerangka pikir di atas maka adapun skema penelitian ini:

Kerangka Pikir

I.

Gambar 1 (Kerangka Pikir) Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Gowa

Indikator Kerja

Kualitas a. Ketepatan

b. Kelengkapan Kuantitas Tanggung Jawab

Pelaksanaan Tugas a. Orientasi Pelayanan b. Integritas

c. Komitmen

Peningkatan Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Gowa

I. FOKUS PENELITIAN

Ada 4 indikator fokus penelitian kinerja satuan polisi pamong praja di Kabupaten Gowa, yang menekankan pada pembahasan kualitas, kuantitas, pelaksanaan tugas dan tanggung jawab

J. DESKRIPSI FOKUS PENELITIAN

Deskripsi fokus penelitian merupakan penjelasan atau uraian masing-masing dari fokus yang di amati untuk memberikan kemudahan dan kejelasan tentang pengamatan.

1. Kualitas kinerja satuan polisi pamong praja, kualitas menunjukkan sejauh mana mutu seorang pegawai dalam melaksanakan tugas-tugasnya meliputi ketepatan, kelengkapan, dan kerapian.

a. Yang dimaksud ketepatan adalah ketepatan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan polisi pamong praja di kabupaten Gowa, artinya terdapat kesesuaian antara rencana kegiatan dengan sasaran atau tujuan yang telah di tetapkan.

b. Yang dimaksud kelengkapan satuan polisi pamong praja adalah kelengkapan ketelitian (seragam, pentungan, helm, peluit dan tameng) dalam melaksanakan tugasnya.

2. Kuantitas kerja adalah seberapa lama seorang pegawai satuan polisi pamong praja bekerja dalam satu harinya. Kuantitas kerja ini dapat dilihat dari kecepatan kerja setiap pegawai itu masing-masing.

3. Pelaksanaan tugas, selain dengan sasaran kinerja pegawai (SKP), prestasi kerja pegawai juga diukur dengan indikator perilaku kerja. Parameter yang digunakan untuk mengukur perilaku kerja adalah orientasi pelayanan, integritas, disiplin dan komitmen.

a. Orientasi pelayanan adalah keinginan untuk membantu atau melayani orang lain untuk memenuhi kebutuhan mereka, artinya berusaha untuk mengetahui dan memenuhi kebutuhan masyarakat

b. Integritas adalah suatu kepribadian seseorang yang bertindak secara konsisten dan utuh, baik dalam perkataan maupun perbuatan, sesuai dengan nilai-nilai dan kode etik.

c. Komitmen adalah suatu bentuk kewajiban yang mengikat seseorang dengan sesuatu, baik itu diri sendiri maupun orang lain.

4. Tanggung jawab, kesanggupan pegawai negeri sipil untuk menaati kewajiban dan menghindari larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang apabila tidak ditaati atau dilanggar dijatuhi hukuman disiplin.

Adapun disiplin kerja merupakan kebijakan yang menuju kepada rasa tanggung jawab dan kewajiban bagi karyawan untuk menaati peraturan-peraturan yang telah ditetapkan perusahaan di tempat karyawan itu bekerja.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN

Waktu yang dibutuhkan penulis dalam penelitian ini kurang lebih selama 2 (dua) bulan, setelah peneliti melakukan seminar proposal dan mendapatkan izin penelitian. Lokasi penelitian berada di kantor satuan polisi pamong praja Kabupaten Gowa karena peneliti melihat sikap dan perilaku yang dimiliki oleh beberapa pegawai masih dinilai kurang dari yang diharapkan masyarakat. Bukan hanya itu, peneliti melihat beberapa pegawai yang datang tidak tepat waktu di kantor dan di lapangan.

B. JENIS DAN TIPE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Berkaitan dengan tujuan penelitian adalah untuk memberikan gambaran mengenai kinerja satuan polisi pamong praja di Kabupaten Gowa. Secara obyektif, maka jenis penelitian ini adalah kualitatif, yaitu suatu penelitian yang mendeskripsikan tentang kinerja satuan polisi pamong praja di Kabupaten Gowa.

2. Tipe Penelitian

Tipe penelitian ini adalah fenomenologi dimaksudkan untuk member gambaran secara jelas mengenai masalah-masalah yang diteliti berdasarkan pengalamayang dialami oleh informan. Adapun masalah-masalah yang diteliti adalah mengenai bagaiamana kinerja satuan pilisi pamong dalam penertiban pedagang kaki lima di Kabupaten Gowa.

C. SUMBER DATA

Sumber data dalam penelitian ini ada 2 (dua), yaitu:

1. Data primer, yaitu data yang dikumpulkan peneliti untuk memperkaya dan mempertajam analisis bagi penarikan kesimpulan yang meliputi, pengamatan langsung (observasi), dan wawancara yang dilakukan penulis tentang bagaimana kinerja polisi pamong praja di Kabupaten Gowa.

2. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari berbagai laporan-laporan, catatan-catatan, atau dokumen-dokumen yang bersifat informasi tertulis yang digunakan dalam penelitian.

D. INFORMAN PENELITIAN

Informan penelitian yang peneliti wawancarai adalah sesuai dengan teknik pengumpulan informan yaitu melalui observasi langsung, wawancara mendalam dan dokumentasi. Informan dalam penelitian ini sebagai berikut :

Tabel 1 Informan Penelitia

No. Nama Informan Jabatan Ket

1. Mardhani Hamdan Sekretaris Polisi Pamong Praja MH 2. A. Moh. Rizky Junianto Abe Kepala Bidang Ketertiban umum

dan ketentraman masyarakat Polisi Pamong Praja

MR

3. Mursalim Seksi Operasi dan Pengendalian Polisi Pamong Praja

MS

4. Andi Afriady Kepala Bidang Perlindungan Masyarakat Polisi Pamong Praja

AA

5. Zulfikar Adijana Kepala Sumber Daya Aparatur Polisi Pamong Praja

ZA

6. Syamsul Bahri Anggota Pleton Raksi Cepat (PRC)

SB

7. Syarif Dg. Tammu Masyarakat Pedagang Kaki Lima

SR

8. Rahmawati Masyarakat Pedagang Kaki

Lima

RW

Total 8

E. TEKNIK PENGUMPULAN DATA

Guna memperoleh data yang relevan dengan tujuan penelitian maka digunakan teknik pengumpulan data menggunakan:

1. Observasi (pengamatan) adalah pengamatan data yang dilakukan melalui pengamatan penulis secara langsung di lapangan mengenai bagaimana kinerja satuan polisi pamong praja di Kabupaten Gowa.

2. Wawancara adalah di mana peneliti melakukan interview terhadap pipinan (atasan) atau sekertaris (wakil atasan) serta beberapa pegawai-pegawai yang bekerja pada kantor satuan polisi pamong praja di Kabupaten Gowa.

3. Dokumentasi merupakan teknik pengambilan data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen, arsip-arsip, peraturan-peraturan dan catatan resmi.

F. TEKNIK ANALISIS DATA

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan aktivitas yang difokuskan untuk mengelola data-data yang telah didapatkan oleh peneliti

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan aktivitas yang difokuskan untuk mengelola data-data yang telah didapatkan oleh peneliti

Dokumen terkait