• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki kegunaan:

1. Manfaat praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi peningkatan kinerja aparatur dari satuan polisi pamong praja kabupaten Gowa dalam melayani masyarakat, yaitu pelayanan di bidang ketentraman dan ketertiban umum.

b. Sebagai bahan kajian atau studi banding bagi yang ingin melakukan penelitian.

2. Manfaat teoritis

a. Sebagai salah satu bahan bacaan atau sumber referensi yang dimiliki oleh Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Makassar.

b. Sebagai salah satu sumber data dan informasi atau bahan referensi dasar bagi para mahasiswa dan peneliti yang berminat untuk melakukan penelitian.

c. Sebagai salah satu sumber referensi dalam diskusi, seminar, maupun pengkajian terkait kinerja satuan polisi pamong praja.

d. Sebagai salah satu sumber data, informasi, dan referensi tambahan dalam Ilmu Administrasi Publik.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PENELITIAN TERDAHULU

Adapun penelitian-penelitian terdahulu yang relevan dalam mendukung penelitian ini, di antaranya:

a. Penelitian Wahida Ardiantiana Rasyid (2018) dengan judul “ Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja dalam pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2001 tentang Larangan Mengonsumsi Minuman Keras di Kabupaten Maros”

yang menyimpulkan bahwa dilihat dari sisi kualitas Satpol PP belum optimal dalam menangani larangan mengonsusmsi minuman keras namun aparat telah menunjukkan usahanya dengan berpatroli dan bersosialisasi.

b. Penelitian Andi Muhammad Ardan (2016) dengan judul “Kinerja Pegawai Satuan Polisi Pamong Prja dalam menertibkan Pedagang Kaki Lima di Kecamatan Samarinda Ilir Kota Samarinda” yang menyimpulakan bahwa kualitas kerja dari penertiban pedagang kaki lima yang di lakukan oleh anggota Satpol PP cukup baik. Akan tetapi belum terlalu optimal karena masih banyak terdapat pedagang kaki lima yang beraktifitas di Kecamatan Samarinda Ilir Kota Samarinda.

B. TEORI MANAJEMEN KINERJA

Manajemen kinerja adalah manajemen tentang menciptakan hubungan dan memastikan komunikasi yang efektif. Manajemen kinerja memfokuskan pada apa yang diperlukan oleh organisasi, manajer, dan pekerja untuk berhasil. Manajemen kinerja adalah tentang bagaimana kinerja dikelola untuk memperoleh sukses. Definisi dari manajemen kinerja terdapat beberapa pandangan para pakar tentang pengertian manajemen kinerja.

Fahmi (2014:128) berpendapat bahwa manajemen kinerja adalah suatu ilmu yang memadukan seni di dalamnya untuk menerapkan suatu konsep manajemen yang memiliki tingkat fleksibilitas yang representatif dan aspiratif guna mewujudkan visi dan misi perusahaan dengan cara mempergunakan orang yang ada di organisasi tersebut secara maksimal. Jadi memanajemen kinerja itu harus memiliki beberapa visi dan misi secara baik dan benar. Didalam suatu kantor atau perusahaan biasanya memiliki visi dan misi untuk menunjang tercapainya tujuan dalam suatu pekerjaan dan juga, diperlukan beberapa organisasi yang harus mengontrol tiap–tiap pekerjaan yang harus selesai tepat pada waktunya.

Bacal (2012:4) mengemukakan bahwa manajemen kinerja adalah proses komunikasi yang sedang berjalan, dilakukan dengan kemitraan antara pekerja dengan atasan langsung mereka, yang menyangkut menciptakan harapan yang jelas dan saling pengertian tentang pekerjaan yang harus dilakukan, Sedangkan Wibowo (2007:9) berpendapat bahwa manajemen kinerja merupakan gaya manajemen dalam

mengelola sumber daya yang berorientasi pada kinerja yang melakukan proses komunikasi secara terbuka dan berkelanjutan dengan menciptakan visi bersama dan pendekatan strategis serta terpadu sebagai kekuatan pendorong untuk mencapai tujuan organisasi.

Armstrong (2004:29) lebih melihat manajemen kinerja sebagai sarana untuk mendapatkan hasil yang lebih dari organisasi, tim, dan individu dengan cara memahami dan mengelola kinerja dalam suatu kerangka tujuan, standar, dan persyaratan-persyaratan atribut atau kompetensi terencana yang telah disepakati.

Sedangkan menurut Kreitner dan Anggelo kinicki (2014:246) manajemen kinerja (Performance Management) adalah sistem perusahaan di mana manajer mengintegrasikan aktivitas penentuan tujuan, pengawasan dan evaluasi, penyediaan umpan balik dan pelatihan, dan penghargaan karyawan secara kontinu.

Berdasarkan pendapat beberapa ahli diatas dapat disimpulkan, bahwa manajemen kinerja adalah tata kelola kinerja individu ataupun suatu kelompok dalam sebuah organisasi agar tujuan dan sasaran yang ingin di capai suatu organisasi dapat tercapai dengan baik, dan manajemen kinerja memerlukan proses yang cukup lama.

Menurut Dessler (2003:322) manajemen kinerja adalah suatu proses manajemen yang dirancang untuk menghubungkan tujuan organisasi dengan tujuan individu sedemikian rupa, sehingga baik tujuan indviidu maupun tujuan perusahaan dapat bertemu. Berdasarkan pendapat ahli diatas kesimpulan saya bahwa dalam hal ini bagi pekerja bukan hanya tujuan individunya yang tercapai tetapi juga ikut

berperan dalam pencapaian tujuan organisasi, yang membuat dirinya termotivasi serta mendapa kepuasan yang lebih besar.

C. KONSEP KINERJA

Konsep kinerja pada dasarnya dapat diilihat dari dua segi yaitu kinerja pegawai (perindividu) dan kinerja organisasi. Kinerja pegawai adalah hasil kerja perseorangan dalam suatu organisasi. Sedangkan kinerja organisasi adalah totalitas hasil kerja yang dicapai suatu organisasi. Kinerja pegawai dan kinerja organisasi memiliki keterkaitan yang sangat erat. Tercapainya tujuan organisasi tidak bisa dilepaskan dari sumber daya yang dimiliki oleh organisasi yang digerakkan atau dijalankan pegawai yang berperan aktif sebagai upaya perilaku dalam upaya mencapai tujuan organisasi.

Kinerja artinya sama dengan prestasi kerja atau dalam Bahasa Inggrisnya disebut Performance. Abdullah (2013;331) dilihat dari asal katanya, kinerja itu adalah terjemahan dari performance yang berarti hasil kerja atau prestasi kerja. Dan dalam pengertian yang simpel kinerja adalah hasil dari pekerjaan organisasi, yang dikerjakan oleh karyawan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan petunjuk (manual), arahan yang diberikan oleh pimpinan (manajer) kompetensi dan kemampuan karyawan mengembangkan nalarnya dalam bekerja.

Moeheriono (2012:95) kinerja atau performance merupakan gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu program kegiatan atau kebijakan

dalam mewujudkan sasaran, tujuan, visi, dan misi organisasi yang di tuangkan melalui perencanaan strategis suatau organisasi.

Menurut Dharma (2003 : 55) dalam pengukuran kinerja seseorang dapat dilihat sebagai berikut :

1. Kuantitas, yaitu melibatkan perhitungan keluaran dari proses atau pelaksanaan kegiatan. Hal ini berkaitan dengan jumlah keluaran yang dihasilkan.

2. Kualitas, yaitu mencerminkan seberapa baik penyelesaian atau mutu yang dihasilkan. Hal ini berkaitan dengan bentuk keluaran.

3. Ketepatan waktu, yaitu sesuai tidaknya penyelesaian pekerjaan dengan waktu yang direncanakan.

Wirawan (2009:5), kinerja merupakan singkatan dari kinetika energy kerja yang pandangannya dalam bahasa inggeris adalah performance. kinerja adalah keluaran yang dihasilkan oleh fungsi-fungsi ataupun indikator-indikator suatu pekerjaan dan suatu profesi dalam waktu tertentu. Saya dapat menarik kesipulan bahwasanya kinerja adalah kinetika energy kerja yang pandangannya mengarah ke performance. Kinerja juga ialah keluaran performance yang dihasilkan dari

fungsi-fungsi atau indikator suatu pekerjaan dalam waktu tertentu.

Colquitt, LePine, dan Wesson, (2011:35) mengemukakan bahwa kinerja adalah nilai serangkaian perilaku pekerja yang memberikan konstribusi, baik secara positif maupun negatif, pada penyelesaian tujuan organisasi. Pendapat lain memandang kinerja sebagai cara untuk memastikan bahwa pekerja individual atau tim tahu apa yang di harapkan dari mereka dan mereka tetap fokus pada kinerja efektif dengan

memberikan perhatian pada tujuan, ukuran dan penilaian (cascio, 2013:693).

Pendapat lain juga menyatakan bahwa kinerja adalah hasil dari pekerjaan yang berkaitan dengan tujuan organisasi seperti kualitas, efisiensi dan criteria lain dari efektivitas (Gibson, Ivancevich, Donnelly, dan Konopaske, 2012:374).

Sedarmayanti (2011:260) mengungkapkan bahwa kinerja merupakan terjemahan dari performance yang berarti hasil kerja seorang pekerja, sebuah proses manajemen atau suatu organisasi secara keseluruhan, di mana hasil kerja tersebut harus dapat ditunjukkan buktinya secara kongkrit dan dapat di ukur (dibandingkan dengan standar yang telah ditentukan).

Berdasarkan beberapa definisi mengenai kinerja di atas, dapat di tarik kesimpulan bahwa kinerja merupakan hasil kerja organisasi ataupun gambaran mengenai apakah suatu organisasi telah dapat melaksanakan kegiatan atau kebijakan sesuai dengan visi dan misi yang telah dibuat atau di tentukan sebelumnya oleh organisasi tersebut.

Wibowo (2006:3) kinerja merupakan implementasi dari rencana yang telah disusun tersebut. Implementasi kinerja dilakukan oleh sumberdaya manusia yang memiliki kemampuan, kompetensi, motivasi dan kepentingan. Bagaimana organisasi menghagai dan memperlakukan sumber daya manusianya akan memengaruhi sikap dan perilakunya dalam menjalankan kinerjanya.

Umar (2004: 76) dalam Dwi Jatmiko mengatakan bahwa pengertian kinerja sebagai berikut: “kinerja adalah keseluruhan kemampuan seseorang untuk bekerja sedemikian rupa sehingga mencapai tujuan kerja secara optimal dan berbagai sasaran

yang telah diciptakan dengan pengorbanan rasio kecil dibandingkan dengan hasil yang dicapai”.

Rivai (2010: 548) dalam Wahyudi (2014: 28) mengungkapkan bahwa kinerja karyawan tersebut merupakan hal yang sangat penting dalam upaya perusahaan untuk mencapai tujuannya. Adapun salah satu cara yang dapat digunakan untuk melihat perkembangan perusahaan adalah dengan cara melihat hasil penilaian kinerja. Dari hasil penilaian tersebut dapat dilihat kinerja karyawan atau dengan kata lain bahwa kinerja adalah hasil kerja konkret yang dapat diamati dan diukur.

Kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Dengan kata lain bahwa kinerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. Terdapat tiga faktor utama yang berpengaruh pada kinerja, yaitu individu (kemampuan kerja), usaha kerja (keinginan untuk bekerja), dan dukungan organisasional (kesempatan untuk bekerja). Terdapat empat unsur dalam kinerja, yaitu hasil-hasil fungsi pekerjaan, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap prestasi karyawan, pencapaian tujuna organisasi, dan periode waktu tertentu (tika, 2006L: 121). Dari beberapa pengertian yang telah dikemukakan di atas, bahwa pada dasarnya kinerja merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh individu untuk diselesaikan dalam kurun waktu tertentu sehingga dapat diukur dan diamati.

Anwar Prabu Mangkunegara (2009:75) mengemukakan bahwa indikator kerja, yaitu:

a. Kualitas, kualitas kerja adalah seberapa baik seorang karyawan mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan.

b. Kuantitas, kuantitas kerja adalah seberapa lama seorang pegawai bekerja dalam satu harinya kuantitas kerja ini dapat dilihat dari kecepatan kerja setiap pegawai itu masing-masing

c. Pelaksanaan tugas, pelaksanaan tugas kerja adalah seberapa jauh karyawan mampu melakukan pekerjaannya dengan akurat atau tidak ada kesalahan d. Tanggung jawab, tanggung jawab terhadap pekerjaan adalah kesadaran akan

kewajiban karyawan untuk melaksanakan pekerjaan yang diberikan perusahaan

D. DEFINISI SATUAN POLISI PAMONG PRAJA (SATPOL PP)

Polisi Pamong Praja sebelumnya disebut pangreh praja sampai awal kemerdekaan dalam sejarah pemerintahan daerah di Indionesia memeliki peran yang srategis, karena pamong praja tidak saja memainkan peran sebagai abdi negara dan abdi masyarakat yang menyelenggarakan pelayanan masyarakat tapi juga peran strategis dalam menjaga keutuhan Negara Republik Indonesia. Pamong praja berperan dalam mengelolah berbagai keragaman dan mengukuhkan keutuhan negara.

Pangreh praja sebagaimana pengertian secara etimologis masih relevan pada saat jaman kolonial dan awal kemerdekaan di mana pemerintah masih sangat dominan, sistem pemerintahan yang sangat sentralistik serta paradigma pemerintah

dan sentralistik serta desentralistik, kewenangan untuk mengurus juga ada pada rakyat, rakyat lebih mandiri, maka dengan kondisi ini tentunya pengertian pamong praja sebagai mana awal berkembangnya sudah berbeda dengan kondisi saat ini, definisi pamong praja sesuai dengan konteks dan jamannya perlu dinjau ulang.

Apabila dilihat dari sejarahnya, keberadaan pamong praja sudah ada sejak jaman hindia belanda sebagai korp binnenlands bestuur, yakni korp pejabat bumi putera yang bertugas menjaga kepentingan kerajaan Belanda di tanah Nusantara. Pada masa awal kemerdekaan, kemudian diganti menjadi korps pamong praja, karena istilah pangreh mengandung makna memerintah dengan paksaan

Satuan polisi pamong praja, disingkat Satpol PP adalah perangkat pemerintah daerah dalam memelihara ketentraman dan ketertiban umum serta menegakkan peraturan daerah. Organisasi dan tata kerja satuan polisi pamong praja di tetapkan dengan peraturan daerah. Satuan polisi pamong praja dapat berkedudukan di daerah provinsi dan daerah kabupaten atau kota.

Di Daerah Provinsi, satuan polisi pamong praja dipimpin oleh kepala yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada gubernur melalui sekretaris daerah sedangkan di daerah kabupaten atau kota, satuan polisi pamong praja dipimpin oleh kepala yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada bupati atau wali kota melalui sekretaris daerah.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 6 tahun 2010 tentang satuan polisi pamong praja, dalam Bab I (1) tentang ketentuan umum di sebutkan satuan polisi pamong praja, yang selanjutnya di singkat Satpol PP, adalah

bagian perangkat daerah dalam penegakan peraturan daerah (Perda) dan penyelenggaraan ketertiban umum serta ketenteraman masyarakat. Polisi pamong praja adalah anggota Satpol PP sebagai aparat pemerintah daerah dalam penegakan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, di mana ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat adalah suatu keadaan dinamis yang memungkinkan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dapat melakukan kegiatannya dengan tenteram, tertib, dan teratur. Defenisi ini juga disebutkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia nomor 40 tahun 2011 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja.

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010, Satuan polisi pamong praja dibentuk untuk membantu kepala daerah dalam menegakkan perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, di setiap provinsi dan kabupaten atau kota dibentuk satuan polisi pamong praja. Pembentukan organisasi satuan polisi pamong praja berpedoman pada peraturan pemerintah tersebut.

Ndaraha (2005) mengatakan pamong praja adalah mereka yang mengelola kebhinekaan dan mengukuhkan ketunggalikaan. Pamong praja kembali menjadi perbincangan di tengah masyarakat, bahkan petinggi negeri, pengamat pemerintahan termasuk penggiat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mencurahkan perhatian dan pikirannya untuk beberapa saat setelah kejadian “Kota Berdarah” bentrok antara polisi pamong praja dengan warga di makam Mbah Priuk Jakarta tanggal 14 April 2010 dan penertiban Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 26 tahun 2010 tentang

Penggunaan Senjata Bagi Satuan Polisi Pamong Praja. Bagi sebagian besar masyarakat keberadaan pamong praja identik dengan satuan polisi pamong praja, hal ini bisa dipahami karena dalam Undang-Undang yang mengatur tentang pemerintah daerah sebutan “Pamong Praja” di temukan dalam pasal yang mengatur polisi pamong praja (pasal 148 UU32/2004 dibentuk untuk membantu kepala daerah dalam penegakan peraturan daerah dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat). Di lingkungan Kementrian Dalam Negeri sebutan “Pamong Praja”

terkait dengan satuan polisi pamong praja (UU 32/2004 dan PP 6 tahun 2010) dan lembaga pendidikan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) sebagai

“Pendidikan Tinggi Pamong praja” sebagaimana dalam Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2004 tentang Perubahan Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri ke Dalam Institut Ilmu Pemerintahan. Peserta didik atau mahasiswa Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) di sebut “Praja” dan lulusan sebagai “Pamong Praja Muda”

1. Wewenang Satuan Polisi Pamong Praja

Satuan polisi pamong praja memiliki wewenang dalam penegakan hukum peraturan daerah karena satuan polisi pamong praja adalah pejabat pemerintah pusat yang ada di daerah melaksanakan tugas pemerintahan umum. Dengan adanya kedudukan di atas maka dapat disimpulkan bahwa satuan polisi pamong praja berwenang :

a. Melakukan tindakan penertiban non yustial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas peraturan daerah atau peraturan kepala daerah.

b. Menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang mengganggu ketertiban umum dan ketentraman masyarakat.

c. Fasilitas dan pemberdayaan kapasitas penyelenggaraan perlindungan masyarakat.

d. Melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas peraturan daerah dan atau peraturan kepala daerah.

e. Melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas peraturan daerah atau peraturan kepala daerah.

2. Tugas Pokok

Satuan polisi pamong praja mempunyai tugas pokok menegakkan peraturan daerah dan menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta perlindungan masyarakat dan pengamanan asset daerah.

3. Fungsi

Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, satuan polisi pamong praja mempunyai fungsi:

1. Penyusunan program dan pelaksanaan ketentraman dan ketertiban umum, menegakkan Peraturan Daerah, Peraturan Bupati dan Keputusan Bupati sebagai pelaksanaan Peraturan Daerah.

2. Pelaksanaan kebijakan pemeliharaan dan penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum di Daerah.

3. Pelaksanaan kebijakan penegakkan Peraturan Daerah, Keputusan Bupati dan Keputusan Bupati sebagai pelaksanaan Peraturan Daerah.

4. Perlaksanaan kebijakan perlindungan masyarakat dan pengamanan asset Daerah.

5. Pelaksanaan koordinasi Penegakan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat dengan Kepala Kepolisian Negara RI, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah (PPNS) dan/atau aparatur lainnya.

6. Pengawasan terhadap masyarakat agar memenuhi dan mentaati Peraturan Daerah, Peraturan Bupati dan Keputusan Bupati sebagai pelaksanaan Peraturan Daerah.

7. Pelaksanaan tugas lainnya yang diberikan oleh Kepala Daerah.

4. Indikator Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja a. Pegawai negeri sipil

b. Berijazah sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas atau yang setingkat

c. Tinggi badan sekurang-kurangnya 160 cm (seratus enam puluh sentimeter) untuk laki-laki dan 155 cm (seratus lima puluh lima sentimeter) untuk perempuan

d. Berusia sekurang-kurangnya 21 (dua puluh satu) tahun e. Sehat jasmani dan rohani; dan

f. Lulus pendidikan dan pelatihan dasar polisi pamong praja

E. SEJARAH MUNCULNYA PEDAGANG KAKI LIMA

Pedagang kaki lima atau yang sering di sebut PKL merupakan sebuah komunitas pedagang, yang kebanyakan berjualan dengan memanfaatkan area pinggir jalan raya. Meraka menggelar dagangannya, atau gerobaknya, di pinggir perlintasan jalan raya. Sebenarnya istilah pedagang berasal dari masa penjajahan kolonial Belanda peratutan pemerintahan waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalan kaki. Lebar ruas untuk pejalan adalah lima kaki atau sekitar satu setengah meter. Di beberapa tempat, pedagang kaki lima dipermasalahkan karena mengganggu para pengendara kendaraan bermotor, menggunakan badan jalan dan trotoar. Selain itu ada pedagang kaki lima yang menggunakan sungai dan saluran air terdekat untuk membuang sampah dan air cuci. Sampah dan air sabun dapat merusak sungai yang ada dengan mematikan ikan dan menyebabkan pencemaran lingkungan. Tetapi pedagang kaki lima kerap menyediakan makanan atau barang lain dengan harga yang lebih, bahkan sangat murah dari pada membeli di pedagang yang hendak memulai bisnis dengan modal

yang kecil atau orang kalangan ekonomi lemah yang biasanya mendirikan bisninya di sekitar rumah mereka.

Istilah pedagang kaki lima berasal dari masa kolonial Belanda. Tepatnya pada saat Gubernur Jendral Stanford Raffles berkuasa (1811-1816). Jauh sebelum Indonesia merdeka, pemerintah Belanda membuat sebuah peraturan yakni setiap jalanan yang dibangun harus memiliki sarana untuk para pedestrian atau pejalan kaki yang dinamakan trotoar. Trotoar ini memiliki lebar 5 feet way (Kaki: satuan panjang yang digunakan oleh mayoritas bangsa Eropa). Kebijakan ini juga diterapkan oleh Raffles pada saat ia bertugas di Singapore pada tahun 1819, tepatnya di Chinatown.

Kemudian setelah Indonesia merdeka, trotoar untuk pejalan kaki itu sering dimanfaatkan untuk tempat berjualan. Kata 5 feet sering disalah artikan ke dalam bahasa Melayu yakni kaki lima karena penerjemahan Bahasa Inggris kedalam bahasa Melayu menggunakan hukum Diterangkan. Dari istilah trotoar kaki lima inilah pedagang yang berjualan di wilayah tersebut sering dijuluki dengan nama pedagang kaki lima istilah ini menjalar ke Medan, kemudian dari Medan menjalar sampai ke Jakarta dan kota-kota lainnya Indonesia. Kemudian setelah Indonesia merdeka, trotoar yang tadinya berfungsi sebagai jalur pedestrian atau pejalan kaki sering di salah gunaka oleh pedagang untuk tempat berjualan atau sekedar untuk tempat beristirahat meletakkan gerobak dagangan mereka. Sehingga masyarakat Indonesia menyebutnya dengan pedagang kaki lima.

Menurut susan Blackburn dalam Jakarta sejarah 400 tahun, pada akhir abad ke 19 jumlah pedagang kaki lima di batavia suka berteriak untuk menarik pembeli. Tapi

pemerintah pada saat itu tidak menyukai kehadiran mereka. Menurut salah satu Bumiputera yang duduk di Dewan Kota yaitu Abdoel Moeis menyatakan bahwa pedagang kaki lima itu di usir karena banyak orang belanda yang mau melihat adanya pedagang kaki lima yang kotor di kawasan tersebut.

1. Penyebab Kemunculan Pedagang Kaki Liam

Sejak terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1998, banyak sekali kegiatan ekonomi yang bergerak di sektor formal beralih ke sektor informal. Faktor utama beralihnya kegiatan ekonomi dari sektor formal ke sektor informal adalah sifat dari sektor informal yang tidak memerlukan tingkat keteramilan yang tinggi, modal usaha yang besar, dan sarana yang sederhana sehingga mudah dijangkau oleh semua lapisan masyarakat atau mereka yang belum memiliki pekerjaan yang tetap. Menurut jayadinata (2001: 46) karakteristik sektor informal antara lain:

a. Bentuknya tidak terorganisir b. Kebanyakan kerja sendiri c. Cara kerja tidak teratur

d. Biaya diri sendiri atau sumber tidak resmi

Terutama sejak terjadinya krisis moneter yang menyebabkan banyak perusahaan di Indonesia tidak bisa menutupi biaya operasionalnya lagi sehingga harus ditutup. Hal ini menyebabkan terjadinya Pemecatan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran. Sehingga angka pengangguran di Indonesai saat itu meningkat dengan pesat.

Salah satu kegiatan usaha yang bergerak di sektor informal adalah Pedagang Kaki Lima. Kesulitan untuk mencari pekerjaan serta keterbatasan kemampuan modal untuk mendirikan usaha bagi masyarakat golongan ekonomi lemah mendorong mereka untuk melakukan suatu usaha dalam mempertahankan hidupnya. Untuk mempertahankan hidupnya mereka mencari nafkah yang sesuai dengan kekuatan

Salah satu kegiatan usaha yang bergerak di sektor informal adalah Pedagang Kaki Lima. Kesulitan untuk mencari pekerjaan serta keterbatasan kemampuan modal untuk mendirikan usaha bagi masyarakat golongan ekonomi lemah mendorong mereka untuk melakukan suatu usaha dalam mempertahankan hidupnya. Untuk mempertahankan hidupnya mereka mencari nafkah yang sesuai dengan kekuatan

Dokumen terkait