• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.6. Manifestasi Klinis

2.1.6.5. Demam

Demam adalah suatu pertahanan tubuh berupa peningkatan suhu tubuh akibat infeksi atau peradangan. Demam merupakan sebuah respon terhadap masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh. Pada pneumonia, ketika mikroorganisme masuk setelah lolos dari mekanisme pertahanan tubuh saluran napas atas, akan merangsang makrofag alveolus untuk melakukan fagositosis. Pada proses fagositosis ini, akan dikeluarkan suatu bahan kimia yang dikenal sebagai pirogen endogen (IL-1, TNFα, IL-6, dan INF) yang memiliki fungsi melawan infeksi. Kemudian pirogen endogen ini akan merangsang sel-sel epitel hipotalamus

untuk mengeluarkan suatu substansi yakni asam arakidonat. Asam arakidonat yang dikeluarkan akan merangsang pengeluaran prostaglandin (PGE2). Prostaglandin inilah yang akan mempengaruhi kerja dari thermostat hipotalamus untuk meningkatkan patokan thermostat. Hipotalamus sekarang mempertahankan suhu di tingkat yang baru dan tidak mempertahankannya di suhu normal tubuh. Setelah suhu baru tercapai maka suhu tubuh diatur sebagai normal dalam respons terhadap panas dan dingin tetapi dengan patokan yang lebih tinggi.

Menggigil ditimbulkan agar dengan cepat meningkatkan produksi panas, sementara vasokonstriksi kulit juga berlangsung untuk dengan cepat mengurangi pengeluaran panas. Kedua mekanisme tersebut mendorong suhu naik. Dengan demikian, pembentukan demam sebagai respon terhadap rangsangan pirogenik adalah sesuatu yang disengaja dan bukan disebabkan oleh kerusakan mekanisme termoregulasi.

2.1.6.6. Mual dan Muntah19

Muntah adalah pengeluaran isi lambung dengan kekuatan secara aktif akibat adanya kontraksi abdomen, pilorus, elevasi kardia, disertai relaksasi sfingter esofagus bagian bawah dan dilatasi esofagus. Muntah merupakan respon somatik refleks yang terkoordinir secara sempurna oleh karena bermacam-macam rangsangan, melibatkan aktifitas otot pernapasan, otot abdomen dan otot diafragma.

Gambar 2.6. Mekanisme Mual dan Muntah19

a. Nausea (Mual)

Merupakan sensasi psikis akibat rangsangan pada organ viseral, labirinth dan emosi. Tidak selalu berlanjut dengan retching dan ekspulsi. Keadaan ini ditandai dengan keinginan untuk muntah yang dirasakan di tenggorokan atau perut, seringkali disertai dengan gejala hipersalivasi, pucat, berkeringat, takikardia dan anoreksia. Selama periode nausea, terjadi penurunan tonus kurvatura mayor, korpus dan fundus. Antrum dan duodenum berkontraksi berulang-ulang, sedangkan bulbus duodeni relaksasi sehingga terjadi refluks cairan duodenum ke dalam lambung. Pada fase nausea ini belum terjadi peristaltik aktif. Muntah yang disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranial dan obstruksi saluran gastrointestinal tidak didahului oleh fase nausea.

b. Retching

Retchingdapat terjadi tanpa diikuti muntah. Pada faseretching, terjadi kekejangan dan terhentinya pernafasan yang berulang-ulang, sementara glotis tertutup. Otot pernapasan dan diafragma berkontraksi menyebabkan tekanan intratorakal menjadi negatif. Pada waktu yang bersamaan terjadi kontraksi otot abdomen dan lambung, fundus dilatasi sedangkan antrum dan pilorus berkontraksi. Sfingter esofagus bawah membuka, tetapi sfingter esofagus atas masih menutup menyebabkan chyme masuk ke dalam esofagus. Pada akhir fase retching terjadi relaksasi otot dinding perut dan lambung sehingga chyme yang tadinya sudah masuk ke dalam esofagus kembali ke lambung. Fase ini dapat berlangsung beberapa siklus.

c. Ekspulsi

Apabila retching mencapai puncaknya dan didukung oleh kontraksi otot abdomen dan diafragma, akan berlanjut menjadi muntah, jika tekanan tersebut dapat mengatasi mekanisme anti

refluks dari LES (lower esophageal sphincter). Pada fase ekspulsi ini pilorus dan antrum berkontraksi sedangkan fundus dan esofagus relaksasi serta mulut terbuka. Pada fase ini juga terjadi perubahan tekanan intratorakal dan intraabdominal serta kontraksi dari diafragma.

Pada episode ekspulsi tunggal terjadi tekanan negatif intratorakal dan tekanan positif intraabdominal, dan dalam waktu bersamaan terjadi kontraksi yang cepat dari diafragma yang menekan fundus sehingga terjadi refluks isi lambung ke dalam esofagus. Bila ekspulsi sudah terjadi, tekanan intratorakal kembali positif dan diafragma kembali ke posisi normal.

Tabel 2.6.Pneumonia Severity Index (PSI)20

Variabel Poin PSI

Demografi

Laki-laki n

Perempuan n-10

Nursing Home Resident +10

Penyakit Penyerta

Neoplasma +30

Penyakit Liver +20

Congestive Heart Failure +10

Stroke +10

Penyakit Ginjal +10

Sumber. Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A, dkk. Infectious diseases society of america/american thoracic society consensus guidelines on the management of community-acquired pneumonia in adults. CID.2007;44:S54.

Tabel 2.7.Pneumonia Severity Index (PSI)(Sambungan)20

Variabel Poin PSI

Tanda Vital Abnormal

Perubahan Status Mental +20

Frekuensi Napas≥ 30/menit +20

Tekanan Darah Sistolik < 90 mmHg +20

Suhu < 350C atau≥ 400C +15

Takikardi, Frekuensi Nadi≥ 125/menit +10 Pemeriksaan Lab Abnormal

Sodium < 130mmol/L +20

Blood Urea Nitrogen≥ 30/mg/dl +20

GD≥ 250mg/dL +10

Hematokrit < 30% +10

Trombosit <100.000 sel/mm3 +10

Leukosit <4.000 sel/mm3 +10

Pemeriksaan Radiologi Abnormal

Efusi Pleura +10

Parameter Oksigenasi

pH arteri <7,35 +30

pO2<60 mmHg +10

SaO2< 90% +10

Sumber. Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A, dkk. Infectious diseases society of america/american thoracic society consensus guidelines on the management of community-acquired pneumonia in adults. CID.2007;44:S54.

2.1.7. Diagnosis2,3,21

Diagnosis pada kasus pneumonia komunitas, terdapat dua pertanyaan yang seorang dokter harus tanyakan: Apakah ini pneumonia, dan apakah etiologinya? Kedua pertanyaan ini, dapat dijawab dengan diagnosis klinis dan diagnosis etiologi. 2.1.7.1 Diagnosis Klinis

Dignosis banding pneumonia berkaitan dengan beberapa penyakit, baik yang infeksius maupun non-infeksius, seperti bronchitis akut, bronchitis kronik eksaserbasi akut, gagal jantung, emboli paru, dan pneumonitis radiasi. Dengan

beberapa data epidemiologi, dapat diketahui pathogen endemik pada perjalanan terakhir pasien, sehingga dapat menspesifikan berbagai kemungkinan.

Meskipun pemeriksaan fisik, termasuk pemeriksaan klinis untuk mendiagnosis pneumonia, namun tingkat sensitif dan spesifisitasnya masih di bawah ideal, yaitu sekitar 58% dan 67%. Maka dari itu, pemeriksaan radiologi thoraks menjadi yang tersering untuk membedakan pneumonia dengan kondisi klinis lain yang serupa. Adapun radiologi yang ditemukan adanya infiltrat. Terkadang, pemeriksaan radiologi dapat juga menjadi diagnosis etiologi untuk menentukan penyebab infeksi. Contohnya, pneumatocele menunjukkan infeksi S. aureus, dan lesi cavitas lobus atas menunjukkan tuberculosis. Sedangkan untuk pemeriksaan CT jarang dilakukan, tetapi dapat menunjukkan pneumonia obstruktif yang disebabkan oleh tumor dan benda asing.

Dokumen terkait