• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2. Karakteristik Demografi Subjek Penelitian

Subjek penelitian penyakit pneumonia komunitas sangat beragam, karakteristik yang akan dibahas dalam laporan penelitian ini adalah sebagai berikut: usia, jenis kelamin, status pernikahan, tingkat pendidikan, riwayat pekerjaan, jalur masuk, lama hari inap, dan indeks massa tubuh.

4.2.1. Karakteristik Usia Subjek Penelitian

Tabel 4.1. Karakteristik Pasien Pneumonia Komunitas RSUD Cengkareng Tahun 2013-2014 Berdasarkan Kelompok Umur

Variabel Frekuensi (n) Persentase (%)

Usia

Masa Remaja Akhir (17-25 tahun) 11 11,3

Masa Dewasa (26-45 tahun) 31 32,0

Masa Pertengahan (45-59 tahun) 55 56,7

Frekuensi morbiditas pasien pneumonia komunitas di bawah usia 60 tahun meningkat seiring meningkatnya usia. Pada penelitian ini, kelompok usia dibagi 3 sesuai dengan klasifikasi Departemen Kesehatan 2009. Frekuensi morbiditas tertinggi terdapat pada kelompok usia pertengahan yaitu pada usia rentang 45-59 tahun sebesar 55 pasien (56,7%), diikuti kelompok usia dewasa sebesar 31 pasien (32%), dan yang terendah morbiditasnya pada kelompok usia remaja sebesar 11 pasien (11,3%). Dari data tersebut, menunjukkan bahwa semakin tua usia pasien, semakin meningkat jumlah morbiditas penyakit pneumonia komunitas. Pernyataan ini didukung oleh penelitian Almirall (2000) di Madrid, Spanyol yang menyatakan meningkatnya usia berbanding lurus dengan meningkatnya jumlah penderita pneumonia komunitas.29,30 Hal serupa juga disampaikan oleh Malik (2012) pada penelitiannya di Pakistan.31

Namun, yang menjadi masalah adalah adanya perbedaan pada setiap penelitian mengenai puncak kelompok usia penderita. Pada penelitian Malik (2012) puncak kelompok usia penderita pada kelompok usia 20-40 tahun, sedangkan pada penelitian Jordan (2009) menyatakan puncak kelompok usia penderita pada usia <5 tahun dan >65 tahun.31 Pada penelitian lain Nolt (2007) mendapatkan puncak usia penderita pada kelompok usia 18-50 tahun. Perbedaan distribusi ini, kemungkinan disebabkan adanya perbedaan pada desain penelitian, perbedaan variasi geografik, dan perbedaan kriteria inklusi. Kemungkinan lain perbedaan tersebut disebabkan kemiskinan, malnutrisi, dan kesadaran keluarga rendah pada suatu negara.32

4.2.2. Karaktersitik Jenis Kelamin Subjek Penelitian

Tabel 4.2. Karakteristik Pasien Pneumonia Komunitas RSUD Cengkareng Tahun 2013-2014 Berdasarkan Jenis Kelamin

Variabel Frekuensi (n) Persentase (%)

Jenis Kelamin

Laki-laki 47 48,5

Perempuan 50 51,5

Pada penelitian ini, diketahui data jumlah jenis kelamin pada penderita pneumonia komunitas di bawah usai 60 tahun. Di mana jenis kelamin perempuan yang berjumlah 50 pasien (51,5%) mendominasi daripada jenis kelamin laki-laki yang berjumlah 47 pasien (48,5%). Rasio kasus pneumonia komunitas di RSUD Cengkareng antara laki-laki dan perempuan sekitar 1:1,1. Lebih tingginya frekuensi jenis kelamin perempuan dibandingkan laki-laki pada penderita pneumonia komunitas, didukung oleh penelitian lain yang menyebutkan hal serupa. Penelitian Viegi (2006) yang membahas epidemiologi pneumonia komunitas pada dewasa di Italia, mendapatkan bahwa perempuan lebih banyak sebesar 53,3% dibandingkan laki-laki yang berjumlah 46,7%.33

Namun, jika melihat penelitian lain, seperti penelitian Malik (2012) di Pakistan, mendapatkan bahwa laki-laki memiliki jumlah yang lebih banyak yaitu 55% dibandingkan perempuan 45%.31 Hal serupa juga ditemukan oleh Onyedum (2010) pada penelitiannya di Nigeria bahwa laki-laki lebih mendominasi 55% dibandingkan perempuan 45% dan penelitian Nolt (2007) di Amerika dengan laki-laki penderita pneumonia sebanyak 68%.32,34 Penelitian pada negera Eropa pun serupa yaitu pada penelitian Torres (2013) mendapatkan hasil bahwa insiden pneumonia komunitas lebih banyak pada laki-laki ketimbang perempuan.35 Di negara India yang merupakan negara berkembang, yang memiliki keidentikan sama halnya dengan Indonesia pun, didapatkan data pneumonia komunitas dari penelitian Abdullah (2012) bahwa penderita pneumonia komunitas lebih banyak pada laki-laki berjumlah 35 pasien (70%) dibandingkan perempuan yang berjumlah 15 pasien (30%).36 Hal tersebut berkaitan dengan kerentanan laki-laki lebih besar terhadap

pajanan merokok dan alkohol yang merupakan salah satu faktor risiko pneumonia komunitas.31,36

Akan tetapi dari data penelitian Malik (2012) bahwa walaupun ada perbedaan dalam frekuensi jenis kelamin, tidak ada perbedaan yang signifikan antara pasien pneumonia komunitas terhadap jenis kelamin.31

4.2.3. Karakteristik Status Pernikahan Subjek Penelitian

Tabel 4.3. Karakteristik Pasien Pneumonia Komunitas RSUD Cengkareng Tahun 2013-2014 Berdasarkan Status Pernikahan

Variabel Frekuensi (n) Persentase (%)

Status Pernikahan

Belum Menikah 14 14,4

Menikah 74 76,3

Pernah Menikah 8 8,2

Tidak ada data 1 1,0

Dari hasil penelitian berdasarkan status pernikahan pasien, pasien yang memiliki status pernikahan sudah menikah menempati urutan tertinggi yaitu sebanyak 74 pasien (76,3%), diikuti oleh belum menikah sebanyak 14 pasien (14,4%), dan yang pernah menikah sebanyak 8 pasien (8,2%). Hal ini sesuai dengan penelitian Almirall (2008) yang mana status pernikahan tersering pada penderita pneumonia komunitas adalah yang sudah menikah (66%).30,37

4.2.4. Karakteristik Tingkat Pendidikan Akhir Subjek Penelitian

Tabel 4.4. Karakteristik Pasien Pneumonia Komunitas RSUD Cengkareng Tahun 2013-2014 Berdasarkan Tingkat Pendidikan Akhir

Variabel Frekuensi (n) Persentase (%)

Tingkat Pendidikan

Tamat SD 18 18,6

Tamat SMP 9 9,3

Tamat SMA 41 42,3

Perguruan Tinggi 11 11,3

Tidak ada data 18 18,6

Untuk distribusi pasien pneumonia komunitas berdasarkan tingkat pendidikan akhir pada tabel 4.4., didapatkan pasien yang memiliki pendidikan terakhir tamat SD 18,6% atau 18 pasien, tamat SMP 9,3% atau 9 pasien, tamat SMA 42,3% atau 41 pasien, perguruan tinggi termasuk D1, D2, D3, S1, S2, dan S3 11,3% atau 11 pasien, dan yang tidak ada data 18,6% atau 18 pasien.

Dari hasil dari data penelitian berdasarkan tingkat pendidikan terakhir menunjukkan tingkat pendidikan terakhir sekolah menengah atas (SMA) adalah yang terbanyak yaitu 41 pasien dari 97 pasien (42,3%) dan yang terbanyak kedua adalah tamat sekolah dasar (SD) sebanyak 18 pasien (18,6%). Hal ini sesuai dengan penelitian Almirall (2008) bahwa tingkat pendidikan terbanyak pasien pneumonia komunitas adalah tingkat pendidikan menengah (40,6%), diikuti oleh tingkat pendidikan dasar (37,7%), dan tingkat pendidikan tinggi (21,7%).29,30 Namun, menurut penelitian Torres (2013) bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan terakhir semakin rendah risiko terjadinya pneumonia komunitas dibandingkan dengan pasien yang memiliki tingkat pendidikan terakhir rendah. Sehingga dalam penelitiannya tingkat pendidikan akhir terbanyak adalah tingkat pendidikan terendah.35Hal serupa juga disampaikan oleh Teepe (2010), Almirall (2008), dan Schnoor (2007), serta Abdul (2012).29,30,36,38,39 Bahkan pada penelitian Schnoor M,dkk(2007) lebih spesifik lagi membahas tingkat pendidikan. Pada pasien yang tingkat pendidikannya lebih atau sama dengan 12 tahun memiliki risiko terkena

pneumonia komunitas rendah, sebaliknya pasien yang memiliki tingkat pendidikan terakhirnya kurang atau sama dengan 9 tahun memiliki risiko terkena pneumonia komunitas lebih tinggi.38 Perbedaan ini kemungkinan disebabkan karena adanya peningkatan kesadaran pada populasi tentang wajib belajar yang dicanangkan oleh pemerintah. Sehingga tingkat pendidikan terakhir dalam populasi rata-rata tinggi.

Adapun hubungan tingkat pendidikan terakhir terhadap keluaran pengobatan pneumonia, tidak ada hubungannya. Seperti yang dinyatakan pada penelitian Izquierdo (2010) bahwa hasil dari pengobatan pneumonia tidak berhubungan terhadap tingkat pendidikan terakhir pasien. Sehingga tingkat mortalitas tidak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan terakhir.40

4.2.5. Karakteristik Pekerjaan Subjek Penelitian

Tabel 4.5. Karakteristik Pasien Pneumonia Komunitas RSUD Cengkareng Tahun 2013-2014 Berdasarkan Pekerjaan

Variabel Frekuensi (n) Persentase (%)

Pekerjaan

Tidak Bekerja 2 2,1

Ibu Rumah Tangga 31 32,0

Karyawan Swasta 33 34,0

Pegawai Negeri Sipil 5 5,2

Wiraswasta 8 8,2

Buruh 8 8,2

Petani 1 1,0

Pelajar 5 5,2

Tidak ada data 4 4,1

Untuk distribusi pasien pneumonia komunitas berdasarkan distribusi pekerjaan pada tabel 4.5., didapatkan pasien yang memiliki pekerjaan PNS 5,2% atau 5 pasien, karyawan swasta 34% atau 33 pasien, wiraswasta 8,2% atau 8 pasien, buruh 8,2% atau 8 pasien, petani 1% atau 1 pasien, pelajar 5 pasien, IRT 32% atau 31 pasien dan yang tidak bekerja 2,1% atau 2 pasien, dan tidak ada data 4,1% atau 4 pasien.

Dari data penelitian ini, diketahui frekuensi pekerjaan yang paling tinggi adalah karyawan swasta sebanyak 33 pasien (34%), diikuti ibu rumah tangga sebanyak 31 pasien (32%). Berdasarkan data hasil penelitian ini, sosio-ekonomi populasi pasien berada pada golongan yang masih rendah, sehingga menjadi risiko terhadap penyakit pneumonia komunitas. Hal ini sesuai dengan penelitian Abdul (2012) dan Loeb (2004), yang menyatakan adanya keterkaitan frekuensi penderita pneumonia komunitas terhadap status sosio-ekonomi populasi. Pada penelitiannya didapatkan, pada status sosio-ekonomi yang rendah menggambarkan frekuensi yang tinggi terjadinya pneumonia komunitas (68,75%). Sehingga hubungan antara frekuensi pneumonia komunitas dan status sosio-ekonomi berbanding terbalik.36,41 Hal ini kemungkinan disebabkan, pada golongan sosio-ekonomi rendah tidak mampu membayar biaya pengobatan sehingga memperberat penyakit dan mempercepat kematian.36

Namun pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan antara status sosio-ekonomi terhadap pneumonia komunitas. Seperti pada dua penelitian Farr (2000) dengan judul yang berbeda, menyatakan bahwa diagnosis pneumonia komunitas dan status sosio-ekonomi tidak memiliki hubungan antar keduanya.42,43 Selain itu, status sosio-ekonomi juga tidak berpengaruh terhadap keluaran dari perawatan pneumonia komunitas seperti pada penelitian Izquierdo (2010) di Barcelona, Spanyol menyatakan bahwa status sosio-ekonomi tidak memiliki hubungan terhadap keluaran pneumonia komunitas.40 Hal serupa juga disampaikan oleh Vrbova (2005) di Ontario, Kanada bahwa status sosio-ekonomi tidak berpengaruh terhadap frekuensi pneumonia komunitas dan tingkat mortalitasnya.44

4.2.6. Karakteristik Jalur Masuk Subjek Penelitian

Tabel 4.6. Karakteristik Pasien Pneumonia Komunitas RSUD Cengkareng Tahun 2013-2014 Berdasarkan Jalur Masuk

Variabel Frekuensi (n) Persentase (%)

Jalur Masuk

Instansi Gawat Darurat (IGD) 77 79.4

Adapun distribusi pasien pneumonia komunitas berdasarkan jalur masuk ke RSUD pada tabel 4.6., didapatkan pasien yang masuk melalui IGD adalah sebanyak 79,4% atau 77 pasien, sedangkan yang masuk melalui poli sebanyak 20,6% atau 20 pasien.

4.2.7. Karakteristik Lama Hari Inap Subjek Penelitian

Tabel 4.7. Karakteristik Pasien Pneumonia Komunitas RSUD Cengkareng Tahun 2013-2014 Berdasarkan Lama Hari Inap

Variabel Frekuensi (n) Persentase (%)

Lama Hari Inap

0-5 hari 30 30,9

6-10 hari 52 53,6

11-15 hari 12 12,4

16-20 hari 3 3,1

Dari tabel 4.7, diketahui bahwa pasien yang dirawat paling lama adalah pada rentang 6-10 hari dengan frekuensi 52 pasien (53,6), kemudian 0-5 hari 30 hari (30,9%), 11-15 hari 12 pasien (12,4%), dan 16-20 hari 3 pasien (3,1%). Pada jurnal American Thoracic Society (ATS) terapi minimum untuk antibiotik adalah 5 hari, namun padaBritish Thoracic Society(BTS) terapi antibiotik minimum 7 hari.36,37 Pada penelitian Ghazipura (2013) dikatakan bahwa tidak ada bukti yang signifikan untuk perbedaan pemberian antibiotik baik yang diberikan lebih dari 7 hari maupun kurang.45Hal serupa juga terdapat pada penelitian Dimopoulus (2008) bahwa tidak ada perbedaan efektivitas dan keamanan dari lamanya pemberian antibiotik pada pasien pneumonia komunitas dewasa.46

4.2.8. Karakteristik Indeks Massa Tubuh Subjek Penelitian

Tabel 4.8. Karakteristik Pasien Pneumonia Komunitas RSUD Cengkareng Tahun 2013-2014 Berdasarkan Indeks Massa Tubuh

Status Gizi Frekuensi (n) Persentase (%)

Underweight 18 18,6

Normal 53 54,6

Pre-Obesitas/Overweight 10 10,3

Obesitas Derajat I 1 1,0

Obesitas Derajat II 1 1,0

Tidak ada data 14 14,4

Total 97 100

Pada tabel 4.8., hasil indeks masa tubuh (IMT) pada pasien CAP di RSUD Cengkareng tahun 2013 hingga 2014, didapatkan dari 97 pasien yang memiliki data antropometri (BB dan TB), terdapat jumlah yang lebih banyak pada pasien yang normal 54,6% (53 pasien) di ikuti pasien yang IMTunderweight18,6% (18 pasien), pasien pre-obesitas/overweight10,3% (10,3 pasien), pasien obesitas derajat I 1,0% (1 pasien) dan pasien obesitas derajat II 1,0% (1 pasien).

Pada hasil penelitian, didapatkan indeks massa tubuh (IMT) pasien pneumonia komunitas lebih tinggi pada pasien yang memiliki IMT normal sebanyak 54,6%, kemudian yang tertinggi kedua adalah pasien yang memiliki IMT underweight sebanyak 18,6%. Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian Bramley (2012) di mana IMT pasien pneumonia komunitas yang terbanyak adalah normal, namun terdapat perbedaan pada IMT terbanyak kedua, yaitu obesitas.8 Penelitian Almirall (2008) yang membahas faktor-faktor risiko pneumonia juga mendapatkan IMT terbanyak pada pasien pneumonia komunitas adalah pasien dengan IMT normal.29 Kemudian apakah terdapat hubungan antara IMT terhadap risiko pneumonia komunitas. Hal ini terjawab pada penelitian Phung (2013) yang pada hasil penelitiannya menyatakan terdapat keterkaitan antara risiko terjangkitnya CAP dengan status IMT. Namun yang bermakna hanya pada status IMT underweight (P<0,01) dan obesitas berat (P<0,01).47 Didukung dengan

penelitian Almirall (2008) yang mengatakan bahwaunderweightmerupakan salah satu faktor risiko pneumonia komunitas. Hal ini kemungkinan diakibatkan defisiensi nutrisi atau penyakit lain yang mempengaruhi sistem imun. Namun pada status IMT overweight dan obesitas tidak didapatkan adanya hubungan untuk meningkatkan faktor risiko pneumonia komunitas.29,30Lebih lanjut pada penelitian Lee (2015) mengaitkan IMTunderweightberat (BMI<16kg/m2) dengan kematian dalam waktu 30 hari, yang di mana hasilnya bermakna (P=0.005), sehingga status IMT underweight berat merupakan salah satu risiko terjadinya kematian pada penderita pneumonia komunitas.48

4.3. Karakteristik Kebiasaan dan Penyakit Penyerta Subjek Penelitian

Dokumen terkait