• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abstrak

Usaha pemanfaatan sagu masih menjadi sumber mata pencaharian utama dan pendapatan bagi sebagian besar masyarakat di Maluku Tengah, khususnya di desa-desa/negeri-negeri dengan pola hidup berbasis sagu. Selain untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, usaha pemanfaatan sagu berperan sebagai sumber pangan lokal untuk mendukung program diversifikasi pangan sebagai bagian integral pembangunan ketahanan pangan; namun pada kenyataannya pengelola sagu belum mampu memanfaatkan sagu secara optimal. Kondisi ini tidak terlepas dari masih relatif rendahnya kapasitas yang dimiliki pengelola sagu dalam pemanfaatan sagu. Penelitian ini bertujuan menganalisis tingkat pemanfaatan sagu dengan tingkat kapasitas pengelola sagu. Penelitian dilaksanakan di Maluku Tengah sebagai salah satu kawasan sentra produksi sagu di Maluku. Sampel penelitian berjumlah 172 pengelola sagu mewakili 300 pengelola sagu (populasi) yang ada. Analisis data dilakukan dengan menggunakan korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa kapasitas pengelola sagu berhubungan secara positif dan nyata dengan tingkat pemanfaatan sagu. Dengan demikian, pengembangan kapasitas pengelola sagu sangat penting dalam meningkatkan pemanfaatan sagu di Maluku Tengah.

Kata kunci : Kapasitas, pengelola sagu, tingkat pemanfaatan sagu Pendahuluan

Pati sagu merupakan pangan fungsional, tidak hanya dalam konteks ketahanan pangan sebagai pangan pokok sumber karbohidrat (Novarianto & Hosang 2008; Wattimena 2012), sirup glukosa (Abd-Aziz 2002), namun pati sagu juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan penganan sagu (Louhenapessy et al. 2010), bahan industri pangan dan industri lainnya. Di samping pati sagu, bagian lain dari tanaman sagu juga dapat dimanfaatkan, seperti daun sagu yang berstruktur kuat dapat digunakan untuk atap rumah, tas, keranjang, tali serta produk lain seperti ulat sagu (Abd-Aziz 2002). Secara lebih rinci, manfaat pati sagu tersaji pada Tabel 15.

Tabel 15 Manfaat pati sagu

Pati sagu Manfaat

Bahan pangan pokok (staple food)

Papeda, kapurung, sagu lempeng, sinoli, karu-karu Bahan penganan sagu

(kue sagu)

Bagea, sagu tumbuk, sarut, bangket dan minuman buburne

(kue kering)

Bruder sagu, brownis sagu, sagu kacang, sagu keju, pizza sagu dan lainnya (kue basah)

Bahan penganan pembuat mie, bihun, kuetiaw, biskuit, dan makanan lainnya

Bahan industri pangan Glukosa, maltosa, strach syrup, cyclodextrins, high fructosa syrup (hasil fermentasi) Digunakan dalam produk industri seperti monosodium glutamat, glukosa, karamel, fruktosa, sirup, dan sebagainya.

Bustaman & Susanto (2007) menjelaskan bahwa pertanian sagu di Maluku, termasuk Maluku Tengah merupakan way of life dan dimanfaatkan sebagai sumber kehidupan, yaitu sebagai sumber pangan (sumber karbohidrat tradisional) utama. Sebagai sumber pangan, sagu telah terbukti mampu mengatasi masalah pangan lokal di Maluku dimasa lalu di samping jagung dan umbi-umbian. Louhenapessy (1997) menjelaskan bahwa di samping sebagai bahan pangan, pemanfaatan bagian lain dari tanaman sagu oleh masyarakat setempat, diantaranya bagian daun digunakan untuk atap dan keranjang yang dikenal dengan kamboti

dan tumang; bagian pelepah yang disebut gaba-gaba digunakan untuk dinding dan loteng rumah; bagian pangkal pelepah yang disebut sahani digunakan untuk tempat peremasan empulur; bagian kulit batang yang disebut waa digunakan untuk lantai dan kayu bakar; belahan utuh dari kulit batang digunakan sebagai bagian alat pengolahan sagu yang disebut goti; bekas tebangan digunakan untuk perkembangan ulat sagu; ampas empulur yang disebut ela digunakan sebagai media pertumbuhan jamur yang dinamakan jamur ela. Pemanfaatan bagian-bagian lain dari tanaman sagu untuk proses produksi pati sagu (tumang, sahani, dan goti) hingga kini masih banyak digunakan, namun pemanfaatan lain (sebagai bahan bangunan rumah, perkembangan ulat sagu, dan media pertumuhan jamur) sudah semakin kurang, dan pemanfaatan sagu sebagai bahan bakar dan bahan industri belum dilakukan masyarakat. Keadaan yang sama juga terjadi pada masyarakat di Maluku Tengah.

Pemanfaatan sagu sebagai bahan pangan di Maluku Tengah dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu dimanfaatkan sebagai pangan keluarga dan dijual ke pasar untuk memperoleh pendapatan. Di samping itu, kuantitas dan kualitas produk olahan pati sagu yang dihasilkan serta pendapatan yang diperoleh pengelola sagu juga menggambarkan tingkat pemanfaatan sagu. Kuantitas dan kualitas produk olahan pati sagu merupakan dua sisi yang saling terkait dalam meningkatkan pemanfaatan sagu, karena itu, peningkatan pemanfaatan sagu membutuhkan kemampuan pengelola sagu meningkatkan produk olahan sagu (kuantitas) yang berdaya saing (kualitas).

Kemampuan pengelola sagu meningkatkan pemanfaatan sagu dimaksudkan sebagai kapasitas pengelola sagu yang meliputi kemampuan dalam mengolah sagu, mengembangkan pemasaran, mengidentifikasi dan memecahkan masalah, dan menjaga keberlanjutan usaha pemanfaatan sagu. Kapasitas yang dimiliki pengelola sagu merupakan faktor pendukung dalam menemukan atau mengimplementasikan teknologi adaptif baru dalam proses pengolahan sagu (pemanenan). Adanya kecenderungan menurunnya pemanfaatan sagu di Maluku Tengah menarik untuk dianalisis dengan mengaitkannya pada kapasitas yang dimiliki pengelola sagu. Ada dua pertanyaan yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu: (1) Bagaimanakah tingkat pemanfaatan sagu saat ini? dan (2) Bagaimanakah hubungan tingkat pemanfaatan sagu dengan kapasitas pengelola sagu?

Sejalan dengan pertanyaan penelitian, tujuan penelitian ini adalah: (1) menganalisis tingkat pemanfaatan sagu di Maluku Tengah saat ini, dan (2) menganalisis hubungan tingkat pemanfaatan sagu dengan kapasitas pengelola sagu. Berdasarkan tujuan penelitian, hipotesa yang diuji dalam penelitian ini adalah: Kapasitas pengelola sagu melalui indikator-indikatornya (kemampuan mengolah sagu, mengembangkan pemasaran, mengidentifikasi dan memecahkan

masalah, dan menjaga keberlanjutan usaha) berhubungan positif dan nyata dengan tingkat pemanfaatan sagu melalui indikator konsumsi sagu dalam keluarga, jumlah sagu yang dipasarkan, kuantitas dan kualitas produk serta pendapatan.

Manfaat akademis hasil penelitian ini terutama untuk pengembangan Ilmu Penyuluhan Pembangunan, khususnya dalam mengembangkan kapasitas sumber daya manusia dalam mengelola sumber daya alam lokal untuk meningkatkan daya saing produk yang dihasilkan dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Di samping itu, juga sebagai sumber informasi tambahan bagi peneliti lain yang memiliki fokus penelitian yang sama atau terkait dengan pengembangan kapasitas pengelola produk-produk berbahan dasar sumber daya alam lokal. Bagi kepentingan praktis, hasil penelitian ini menjadi sumbangan pemikiran dan sumber informasi bagi Pemerintah Provinsi Maluku terutama Pemerintah Maluku Tengah dengan satuan-satuan kerja perangkat teknis dan fungsional hingga ke tingkat desa dalam memikirkan, mempertimbangkan, dan merumuskan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan peningkatan pemanfaatan sagu melalui peningkatan kapasitas pengelola sagu. Hasil penelitian ini juga dapat menjadi sumber informasi bagi pihak-pihak lain yang terkait dengan pengembangan kapasitas pengelola sagu di Maluku Tengah dan daerah lain yang memiliki pengelola sagu, yaitu pihak penyuluh/pendamping, instansi pertanian, lembaga keuangan perbankan, juga pihak-pihak terkait lainnya.

Metode Penelitian

Penelitian dilakukan pada kawasan sentra produksi sagu di Maluku Tengah Provinsi Maluku, dengan memilih tujuh desa yang mewakili dua kecamatan terpilih, yaitu Kecamatan Saparua dan Salahutu yang merupakan daerah pengembangan sagu di wilayah tersebut. Desa-desa yang terpilih adalah desa Ihamahu, Mahu, Tuhaha, Siri Sori Amalatu, Tulehu, Waai dan Liang. Pengumpulan data berlangsung sejak bulan Juni 2013 hingga September 2013.

Populasi penelitian adalah seluruh pengelola sagu di desa-desa penelitian, yakni 300 orang dengan pengalaman usaha minimal lima tahun. Berdasarkan jumlah populasi yang ada, sampel (responden) ditentukan menggunakan rumus Slovin (Sevilla et al. 1993) dengan tingkat kesalahan lima persen. Dengan demikian, jumlah responden adalah 172 orang pengelola sagu. Mengingat sebaran populasi di setiap desa penelitian tidak merata, maka sebaran responden untuk setiap desa penelitian ditentukan secara proporsional sehingga memenuhi unsur keterwakilan pengelola sagu di setiap desa. Sampel ditentukan secara acak sederhana menggunakan daftar nama pengelola sagu yang bersumber dari setiap kantor desa penelitian.

Data primer yang dikumpulkan terdiri dari kapasitas pengelola sagu dalam memanfaatkan sagu dan tingkat pemanfaatan sagu. Data ini diperoleh langsung dari responden melalui wawancara dengan panduan kuesioner yang merupakan perwujudan dari peubah-peubah penelitian. Sebagai peubah bebas (independent variable) adalah kapasitas pengelola sagu dengan empat indikator, yaitu: (1) kapasitas mengolah sagu, (2) kapasitas mengembangkan pemasaran, (3) kapasitas mengidentifikasi dan memecahkan masalah, dan (4) kapasitas menjaga keberlanjutan usaha. Peubah terikat (dependent variable) adalah tingkat pemanfaatan sagu.

Bentuk kuesioner berupa pernyataan-pernyataan dengan pilihan jawaban menggunakan Skala Likert (Oppenheim 1992) yang memiliki tiga tingkatan skor, yaitu rendah, sedang dan tinggi. Di samping itu, digunakan pula bentuk pertanyaan tertutup dan terbuka untuk hal-hal tertentu yang dianggap perlu. Klarifikasi terhadap data penelitian dilakukan melalui wawancara mendalam dan

focused group discussion (FGD) pada sejumlah responden terpilih, yakni responden dengan lama usaha terpanjang dan terpendek, umur tertua dan termuda, dan tingkat pendidikan formal tertinggi; serta pedagang yang merupakan pelanggan produk pengelola sagu di setiap desa. Data sekunder diperoleh dari kantor desa, kantor kecamatan, dan kantor kabupaten terpilih; satuan-satuan kerja perangkat teknis dan fungsional di lingkup Pemerintah Provinsi Maluku; dan tokoh-tokoh masyarakat seperti tokoh adat yang mengetahui sejarah sagu dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Maluku. Pengamatan langsung di lapangan dan catatan harian digunakan untuk memperkuat data.

Sebelum kuesioner digunakan, dilakukan uji validitas dan reliabilitas kuesioner pada 30 pengelola sagu di luar lokasi terpilih, yaitu di desa Nolloth Kecamatan Saparua Maluku Tengah. Desa Nolloth dipilih karena pengelola sagu di desa ini memiliki kesamaan dengan keadaan responden pada lokasi penelitian. Uji validitas dilakukan menggunakan uji korelasi Pearson, sedangkan uji reliabilitas dengan metode Cronbach-Alpha. Hasil uji menunjukkan bahwa

kuesioner yang disusun layak digunakan dengan nilai rhitung = 0.479 - 0.961 > r0.05 = 0.361; dan nilai koefisien reliabilitas berada pada interval

0.664 - 0.751. Data dianalisis menggunakan analisis statistik deskriptif dan statistik inferensial, yakni uji korelasi Spearman menggunakan komputer dengan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 22.

Hasil dan Pembahasan Tingkat Pemanfaatan Sagu

Masyarakat Maluku dikenal memiliki keterikatan secara sosial dan budaya dengan tanaman sagu karena tanaman sagu memiliki nilai filosofi dan historis dalam kehidupan masyarakat Maluku. Tidak hanya sebagai sumber bahan pangan penghasil karbohidrat, namun tanaman sagu memiliki nilai multiguna bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat Maluku.

Multi guna tanaman sagu terlihat dari bagian-bagian tanaman sagu yang dapat dimanfaatkan dalam menunjang kehidupan. Alfons (2006) menjelaskan bahwa tanaman sagu memiliki beragam fungsi, dimulai dari bagian daun tanaman sagu dapat digunakan untuk atap rumah dan kerajinan tangan; pelepah muda (daun sagu) dapat diolah menjadi dinding/krey, plafon/lantai, tali, aneka meubel, dan sebagai alat transportasi rakit. Khusus untuk pati sagu, empulur sagu juga bersifat multiguna, baik sebagai bahan industri pangan, sebagai bahan subtitusi dan sebagai bahan industri lainnya. Menurut Kainuma (Louhenapessy et al. 2010) bahwa sejak tahun 1980 pati sagu sudah mulai diproduksi melalui teknologi fermentasi yang menghasilkan asam-asam organik seperti: glukosa, maltosa, sirup fruktosa, polisakarida, fruktosa, dan dekstrin; sebagai bahan subtitusi pati sagu dengan ikan dan kedele dalam industri makanan bayi, untuk bahan industri lain dapat dimodifikasi sebagai bahan perekat pada industri playwood, kertas dan tekstil (Ong & Stanton 1976; Loiwatu 2006); ela atau limbah hasil ekstraksi sagu dapat menjadi campuran pakan ternak, campuran papan partikel, campuran briket

arang, media tumbuh jamur/tanaman, dan kompos/pupuk organik; kulit batang dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar, bahan industri kertas, bahan bangunan, dan arang; dan bekas tebangan pohon sagu dapat dijadikan sebagai media ulat sagu (Louhenapessy et al. 2010. Komersialisasi pati sagu menurut Wattimena (2012) juga dapat dicapai dengan memberikan sentuhan teknologi adaptif pada berbagai jenis pangan dan minuman dari pati sagu seperti sagu mutiara, mie, bihun, vermiseli, spageti, roti, dan sirup fruktosa agar memenuhi selera konsumen nasional dan internasional.

Masyarakat Maluku memanfaatkan sagu terutama untuk bahan pangan dan bahan bangunan. Sebagai bahan pangan, pati sagu diolah menjadi aneka produk olahan seperti: sagu bakar, bagea, serut, dan sebagainya. Nilai pangan sagu Maluku dapat dilihat dari dua persepsi, yakni di satu sisi sejak jaman kolonial, pangan lokal (sagu) dianggap sebagai pangan yang inferior ketika dibandingkan dengan pangan lain seperti roti dan beras. Dalam perspektif ini, sagu dipandang sebagai pangan tidak bergengsi. Keadaan ini semakin diperkuat dengan kebijakan Pemerintah Orde Baru yang mengutamakan produksi, distribusi dan konsumsi beras, sehingga sagu terlupakan dan lama kelamaan kebiasaan makan (food habit) kebanyakan masyarakat Maluku berubah dari sagu ke beras. Di sisi lain, sagu memiliki peran strategis, yakni sebagai penghasil karbohidrat tinggi, mengandung nilai sosial-budaya, ekonomi, kesehatan, ekologi dan politik. Sebagai penghasil karbohidrat, sagu merupakan makanan pokok dan makanan cadangan dalam keadaan darurat (paceklik), bahkan satu pohon sagu dapat menghidupi kebutuhan seorang dewasa dalam setahun sehingga memiliki makna strategis dari sisi ketahanan, kedaulatan, dan politik pangan. Nilai kultural sagu sering diidentikkan dengan karakteristik dan identitas diri orang Maluku. Nilai ekonomi sagu adalah sebagai sumber pendapatan rumah tangga, sedangkan nilai lingkungan sagu adalah penyangga sumber air dan penyerap karbondioksida (CO2). Sagu juga merupakan pangan fungsional karena tepung sagu mengandung berbagai unsur gizi yang tidak terdapat pada beras.

Sebagai bahan bangunan, pelepah daun sagu dan batang sagu digunakan untuk dinding rumah, dan daun sagu digunakan untuk atap rumah. Distribusi pengelola sagu menurut jenis pemanfaatan sagu disajikan pada Tabel 16.

Tabel 16 Produksi dan pemanfaatan sagu oleh pengelola sagu di Maluku Tengah, 2013

Uraian Interval (Kategori) Jumlah (Persentase)

Produksi (kg/thn) 4 920 - 7 439 (rendah) 81 (47.09%)

7 440 - 9 959 (sedang) 82 (47.67%) 9 960 - 12 480 (tinggi) 9 (5.24%) Rata-rata produksi (kg/thn) 7 482 (sedang)

Konsumsi keluarga (kg/thn) 175 - 325 (rendah) 40 (23.26%) 326 - 477 (sedang) 120 (69.77%) 478 - 624 (tinggi) 12 (6.97%) Rata-rata konsumsi keluarga (kg/thn) 374 (sedang)

Dijual (kg/thn) 4 446 - 4 940 (rendah) 8 (4.65%)

4 941 - 7 410 (sedang) 121 (70.35) 7 411 - 11 856 (tinggi) 43 (25.00%)

Tabel 16 memperlihatkan bahwa interval produksi pati sagu (produk semi olahan) berkisar antara 4 920 - 12 480 kg/tahun. Produk semi olahan pati sagu (pati sagu basah) yang dihasilkan selain untuk dikonsumsi juga dijual. Jumlah produk semi olahan yang dikonsumsi berkisar antara 175 - 624 kg/tahun, sedangkan yang dijual berkisar antara 4 446 - 11 856 kg/tahun. Seiring perkembangan waktu, akhir-akhir ini tingkat pemanfaatan sagu semakin menurun, baik untuk bahan pangan maupun bahan bangunan.

Tingkat pemanfaatan pati sagu di Maluku Tengah berkisar 24% atau 28.6 ribu ton/tahun, sedangkan potensi produk semi olahan per ha mencapai 119 168 ton per tahun. Sisanya sekitar 90.6 ribu ton olahan sagu (pati sagu) terbuang di hutan setiap tahunnya (Pemerintah Provinsi Maluku 2006). Permintaan produk olahan sagu untuk kebutuhan pangan pokok keluarga pada beberapa daerah di Maluku, termasuk Maluku Tengah khususnya wilayah perkotaan dan sekitarnya relatif menurun karena adanya kecenderungan masyarakat beralih dari mengonsumsi sagu dan makanan lokal lainnya seperti umbi-umbian dan jagung ke pangan beras. Beberapa alasan yang melatarbelakangi perubahan ini adalah segi kepraktisan dalam mengkonsumsi nasi dibandingkan pangan lokal termasuk sagu serta adanya anggapan bagi sebagian masyarakat bahwa mengkonsumsi nasi lebih

“terhormat” dibandingkan dengan konsumsi sagu sebagai pangan pokok. Hal yang mengikuti keadaan ini adalah terbatasnya rumah makan yang menyediakan makanan berbahan dasar sagu sebagai menu sehari-hari (umumnya dalam bentuk

papeda), baik rumah makan yang memiliki segmen pembeli dari kalangan menengah ke bawah maupun ke atas.

Sebagai pangan tambahan, permintaan terhadap produk berbahan dasar sagu dalam bentuk aneka kue kering, khususnya kue-kue tradisional juga cenderung menurun dari waktu ke waktu. Atapary (Damanik et al. 2014) menjelaskan telah terjadi penurunan penjualan kue kering berbahan dasar sagu, yaitu bagea dan serut sekitar 40 persen setiap tahun akibat kebosanan konsumen akan produk tersebut. Hal ini berarti masyarakat menginginkan adanya penganan sagu yang berbeda dari penganan sagu tradisional. Keadaan ini merupakan tantangan dan peluang bagi produsen sagu atau pengelola sagu selama dapat memenuhi kebutuhan dan selera konsumen maupun pasar. Menurut Sukarmanto (2014), saat ini permintaan domestik terhadap produk olahan sagu begitu besar mencapai 5 ton per tahun, namun baru dipenuhi 3.5 ton per tahun, belum lagi pasar mancanegara yang juga dengan permintaan cukup besar.

Menurut Jong & Adiwidjono (2007) prospek pasar produk olahan sagu termasuk baik dan pasar ekspor yang potensial adalah ke negara Jepang, Canada, Amerika Serikat, Inggris, Thailand serta Singapura sebagai tuntutan industri dalam negeri, yaitu industri makanan, farmasi, maupun industri lainnya. Senada dengan itu, Bintoro (2005) mengatakan bahwa potensi sagu memiliki prospek yang menjanjikan untuk pasar nasional dan internasional, khususnya produk olahan sagu yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dibanding produk olahan lain. Hal ini mengisyaratkan bahwa banyak negara berminat untuk memanfaatkan produk olahan sagu sebagai bahan dasar dalam pengembangan industri, baik industri pangan maupun non pangan. Selain sebagai komoditi ekspor, produk olahan sagu juga dapat berperan mengurangi ketergantungan impor, jika industri mie, roti, dan industri lain dengan bahan baku terigu dapat menggunakan campuran dari bahan olahan pati sagu, sehingga impor terigu dapat

dikurangi. Begitu pula halnya dengan industri farmasi nasional, yang menurut Sumaryono (Louhenapessy et al. 2010) bahwa bila berminat menggunakan olahan sagu/pati sagu dapat mengurangi ketergantungan impor bahan baku kemasan obat hingga 2 ribu ton per tahun, dengan nilai rupiah saat itu sekitar 24 miliar rupiah. Sejalan dengan itu, Haryanto (2008) menjelaskan bahwa peningkatan harga terigu di pasaran dunia telah menyebabkan peningkatan harga olahan sagu di dalam negeri karena permintaan terhadap produk olahan sagu meningkat untuk menggantikan atau mengurangi penggunaan terigu. Produk industri pangan yang berbahan dasar sagu yang terutama adalah mie dan bihun sagu. Ini merupakan peluang bagi produsen sagu selama dapat memenuhi kualitas tepung sagu yang disyaratkan. Lebih jauh Haryanto (2008) menjelaskan bahwa dibutuhkan penyempurnaan terhadap standard tepung sagu yang ada saat ini (SNI-01-3729- 1995 dan RASNI) agar dapat bersaing dengan tepung sagu dari Malaysia. Permintaan terhadap pati sagu juga akan meningkat dengan adanya rencana pemerintah untuk membantu masyarakat miskin memenuhi kebutuhan pangannya melalui Program Pangin (pangan bagi masyarakat miskin) yang menggantikan Raskin (beras untuk masyarakat miskin). Program pangin dalam bentuk kombinasi beras dengan pangan lokal setempat dengan salah satu tujuannya adalah mendukung program diversifikasi pangan sehingga ketergantungan terhadap pangan beras dapat dikurangi (Seafast IPB 2010).

Tidak hanya beralih ke beras, pandangan masyarakat Maluku terhadap sagu juga berubah, yaitu sagu mulai dipandang sebagai pangan inferior dan mulai ditinggalkan. Saat ini, konsumsi sagu pada rumah tangga di Maluku adalah 0.8 kg per kapita per tahun (BPS Maluku 2009). Angka konsumsi ini akan semakin menurun jika tidak ada upaya untuk mengatasinya, sementara di sisi lain, konsumsi beras semakin meningkat. Kondisi ini akan mempersulit tercapainya ketahanan pangan melalui upaya diversifikasi pangan berbasis pangan lokal. Data menunjukkan secara rata-rata produksi semi olahan sagu (pati sagu basah) adalah 7 482 kg/thn. Hanya lima persen (374 kg/thn) dari produk semi olahan yang dihasilkan dikonsumsi keluarga, sisanya (95% atau 7108 kg/thn) dijual ke pasar dengan rata-rata pendapatan per tahun sebesar Rp. 12 574 275 atau Rp 1 047 856 per bulan. Uang hasil penjualan produk semi olahan selanjutnya digunakan untuk membeli beras.

Penurunan pemanfaatan sagu juga terjadi pada pemanfaatan bagian-bagian lain dari tanaman sagu sebagai bahan bangunan. Kini sangat sedikit masyarakat lokal yang memanfaatkan bagian-bagian tanaman sagu sebagai bahan bangunan, terutama pada daerah-daerah pedesaan karena masyarakat lebih memilih menggunakan batu dan papan.

Hubungan Tingkat Pemanfaatan Sagu dengan Kapasitas Pengelola Sagu

Penurunan tingkat pemanfaatan sagu di Provinsi Maluku termasuk Maluku Tengah merupakan salah satu faktor pendorong untuk melakukan revitalisasi sagu di Maluku. Proses pengolahan sagu (pemanenan) yang bernuansa tradisional juga menjadi salah satu penyebab menurunnya pemanfaatan sagu karena perubahan kebutuhan dan selera konsumen dalam hal pangan dan gaya hidup tidak mampu dipenuhi oleh peningkatan kualitas daya guna produk dari bagian-bagian pohon sagu. Dalam hal ini, kapasitas pengelola sagu menjadi faktor penting untuk menghasilkan produk-produk sagu yang berkualitas.

Kapasitas pengelola sagu di Maluku Tengah terkait dengan proses pengolahan sagu yang diukur berdasarkan ranah pengetahuan, sikap dan keterampilan masih berada dalam kategori sedang (Tabel 8), dengan ciri-ciri penerapan teknologi pengolahan sagu (pemanenan) masih bernuansa tradisional sebagai bentuk pengetahuan dan keterampilan akibat akumulasi pengalaman masa lalu secara turun-temurun. Pengelola sagu juga lebih memilih menghindari resiko usaha dari pada menanggung resiko usaha sehingga aspek kuantitas dan kualitas produk sulit ditingkatkan.

Secara umum, kapasitas pengelola sagu berhubungan dengan tingkat pemanfaatan sagu khususnya dalam meningkatkan pemasaran produk, meningkatkan kualitas produk, dan pendapatan, namun tidak berhubungan dengan konsumsi sagu dalam keluarga pengelola sagu dan kuantitas produk yang dihasilkan (Tabel 17). Dengan demikian, hipotesa yang menyatakan bahwa kapasitas pengelola sagu melalui indikator-indikatornya (kemampuan mengolah sagu, mengembangkan pemasaran, mengidentifikasi dan memecahkan masalah, dan menjaga keberlanjutan usaha) berhubungan positif dan nyata dengan tingkat pemanfaatan sagu melalui indikator konsumsi sagu dalam keluarga, jumlah sagu yang dipasarkan, kuantitas dan kualitas produk serta pendapatan tidak sepenuhnya diterima karena tidak semua indikator kapasitas pengelola sagu berhubungan dengan tingkat pemanfaatan sagu.

Hanya indikator kapasitas, yaitu kemampuan menjaga keberlanjutan usaha pemanfaatan sagu yang berhubungan secara positif dan nyata pada p ≤ 0.05

dengan konsumsi sagu dalam keluarga. Artinya, ketersediaan sagu sebagai pangan keluarga ditentukan oleh ketersediaan potensi sagu yang dimiliki keluarga

Dokumen terkait