• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abstrak

Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas pengelola sagu dalam peningkatan pemanfaatan sagu di Maluku Tengah dan merancang strategi penyuluhan untuk meningkatkan kapasitas tersebut. Penelitian dilaksanakan pada sentra produksi sagu di Maluku Tengah. Responden penelitian berjumlah 172 pengelola sagu mewakili 300 pengelola sagu sebagai populasi. Besar sampel ditentukan menggunakan formula Slovin dengan tingkat kesalahan lima persen. Sampel diambil secara acak sederhana menggunakan daftar nama pengelola sagu dari kantor desa terpilih. Pengumpulan data berlangsung sejak bulan Juni 2013 hingga September 2013. Data primer dikumpulkan melalui wawancara langsung dengan responden menggunakan kuesioner, diskusi kelompok dan wawancara mendalam dengan para responden terpilih yang memiliki pengalaman lebih terkait pengelolaan sagu. Data primer meliputi karakteristik sosial ekonomi pengelola sagu, kapasitas pengelola sagu, dukungan lingkungan dan data pemanfaatan sagu. Data sekunder berupa data potensi sagu, pengelolaan dan pendayagunaan produk olahan sagu di Maluku Tengah diperoleh dari kantor desa dan kecamatan terpilih, kantor Kabupaten Maluku Tengah, pihak Pemerintah Provinsi Maluku dan berbagai referensi yang terkait dengan penelitian ini. Analisis jalur digunakan untuk menemukan model empiris hubungan antar peubah. Strategi pengembangan kapasitas pengelola sagu dirancang berdasarkan analisis kondisi lingkungan internal dan eksternal pengelola sagu yang dikenal dengan analisis SWOT. Identifikasi dan klasifikasi kondisi lingkungan internal dan eksternal pengelola sagu dilakukan melalui wawancara mendalam dan

focused group discussion (FGD) dengan tokoh masyarakat, peneliti dan praktisi sagu. Strategi penyuluhan untuk pengembangan kapasitas pengelola sagu dirancang menggunakan teori belajar hubungan antara stimulus dan respons dari Thorndike. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pendidikan non formal, lama berusaha, akses informasi (sebagai bagian dari karakteristik sosial ekonomi pengelola sagu), dan dukungan lingkungan yang meliputi dukungan keluarga, dan dukungan penyuluhan/tenaga pendamping berpengaruh nyata terhadap kapasitas pengelola sagu. Pilihan strategi pengembangan kapasitas pengelola sagu dalam peningkatan pemanfaatan sagu secara berurutan adalah: (1) Penyiapan kondisi pengelola sagu dalam rangka peningkatan pemanfaatan sagu, (2) Penyiapan penyuluh/tenaga pendamping yang berkompeten di bidang pengelolaan sagu, (3) Penguatan kesadaran dan pengakuan masyarakat terhadap fungsi sosial dan budaya sagu untuk menjamin keberlanjutan usaha pemanfaatan sagu, dan (4) Peningkatan kerjasama dan sinkronisasi kebijakan perencanaan program pengembangan sagu dengan melibatkan instansi terkait di daerah, seperti instansi Pertanian (bidang tanaman pangan) dan perkebunan, Perindustrian dan Perdagangan, Badan Ketahanan Pangan, instansi Kesehatan/BPOM, Perguruan Tinggi, pelaku usaha/swasta, BUMD/BUMN, dan pihak terkait lainnya.

Pendahuluan

Maluku Tengah merupakan salah satu sentra produksi sagu di Provinsi Maluku dengan luas areal sagu diperkirakan seluas 6 425 ha atau 20.49% dari total luas areal sagu di Provinsi Maluku (berdasarkan paparan Gubernur Maluku tentang Sagu dalam Revitalisasi Pertanian Maluku di hadapan Menteri Pertanian Republik Indonesia pada tahun 2006). Proses produksi sagu (pemanenan) di Maluku Tengah masih didominasi cara-cara tradisional sebagai bentuk pengetahuan dan keterampilan yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Proses produksi secara tradisional menghasilkan produk olahan sagu berupa semi olahan (pati sagu basah) sehingga belum memenuhi kebutuhan selera konsumen dan segmen pasar baik pasar lokal, regional maupun nasional.

Ketidakmampuan menjawab kebutuhan selera konsumen dan pasar akibat rendahnya daya saing produk olahan sagu dari Maluku dibandingkan dengan produk dari daerah lain, seperti Riau dan Papua menyebabkan semakin sulit untuk mempertahankan dan memperluas jangkauan pemasaran produk olahan sagu yang dihasilkan. Keadaan ini menyebabkan produk olahan sagu dari Maluku tidak dikenal di luar Maluku. Apabila kondisi ini dibiarkan terus terjadi, bukan tidak mungkin sagu akan semakin ditinggalkan masyarakat Maluku, padahal permintaan produk sagu yang berkualitas semakin meningkat, baik di dalam negeri maupun di luar negeri seiring meningkatnya kebutuhan bahan baku sagu yang semakin meluas di bidang industri pangan dan non pangan, termasuk energi (Sukarmanto 2014).

Salah satu upaya untuk meningkatkan kemampuan pengelola sagu dalam peningkatan produktivitas pemanfaatan sagu di Maluku Tengah agar produk olahan sagu yang dihasilkan memiliki daya saing adalah dengan mengembangkan kapasitas pengelola sagu. Kapasitas sering digunakan sebagai kata kunci kualitatif untuk menilai kinerja, kemampuan dan potensi yang dimiliki suatu objek atau seseorang; dan juga untuk mengukur suatu obyek secara kuantitatif dengan mengevaluasi ukuran dan volume, nilai dan harga serta daya moneter yang terkait (Liou 2004). Dengan demikian, pengembangan kapasitas bertujuan meningkatkan kemampuan mendayagunakan potensi yang dimiliki untuk meningkatkan kinerja. Dalam dunia usaha, produsen skala kecil termasuk pengelola sagu di Maluku Tengah sering menghadapi kesulitan dalam mengembangkan kapasitas usaha. Temuan Bienabe & Sautier (2005) bahwa produsen skala kecil umumnya memiliki keterbatasan pengetahuan, informasi dan sumber daya yang dimiliki untuk memenuhi standar kualitas dan spesifikasi yang ditentukan pasar. Kondisi ini menyebabkan produsen hanya fokus kepada rutinitas usaha, padahal menurut Kotler & Gary (2000); Tenner & Detoro (1994), bagi produsen, konsumen harus menjadi fokus perhatian dalam menghasilkan produk agar produk yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan dan selera konsumen, sehingga dengan demikian dapat merebut pasar. Sehubungan dengan itu, pengembangan kapasitas produsen termasuk pengelola sagu, khususnya yang berskala kecil merupakan pilihan untuk meningkatkan daya saing produk olahan sagu yang dihasilkan.

Pengembangan kapasitas pengelola sagu dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan pengelola sagu menjalankan usaha pemanfaatan sagu. Ada empat komponen kemampuan yang termasuk dalam kapasitas pengelola sagu, yaitu kapasitas atau kemampuan dalam hal: (1) mengolah sagu, (2) mengembangkan

pemasaran, (3) mengidentifikasi dan memecahkan masalah, dan (4) menjaga keberlanjutan usaha. Keempat komponen ini masih tergolong dalam kategori sedang (Tabel 8 s.d Tabel 11), sehingga perlu dikembangkan. Pembiaran kondisi kapasitas pengelola sagu dapat menyebabkan pemanfaatan sagu semakin berkurang yang tidak hanya berdampak pada menurunnya pendapatan usaha dan pendapatan rumah tangga pengelola sagu serta ekonomi daerah, melainkan juga berdampak pada hilangnya norma budaya masyarakat Maluku yang berkaitan dengan sagu. Menurunnya pemanfaatan sagu menjadi faktor pendorong dilakukannya pengembangan kapasitas pengelola sagu di Maluku, termasuk di Maluku Tengah.

Upaya pengembangan kapasitas pengelola sagu memerlukan kajian yang komprehensif terhadap semua faktor yang terkait dengan perilaku usaha pemanfaatan sagu yang dilakukan selama ini. Hal ini diperlukan agar dapat ditemukan strategi penyuluhan yang sesuai sehingga pada gilirannya akan terjadi perubahan perilaku pengelola sagu ke arah yang lebih baik demi peningkatan pemanfaatan sagu. Terkait dengan hal tersebut, permasalahan yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah:

1. Faktor-faktor apakah yang secara nyata mempengaruhi kapasitas pengelola sagu di Maluku Tengah dalam pemanfaatan sagu?

2. Strategi penyuluhan bagaimanakah yang tepat untuk pengembangan kapasitas pengelola sagu di Maluku Tengah?

Berkaitan dengan permasalahan penelitian, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menganalisis faktor-faktor yang secara nyata mempengaruhi kapasitas pengelola sagu di Maluku Tengah dalam pemanfaatan sagu.

2. Menyusun strategi penyuluhan yang sesuai untuk mengembangkan kapasitas pengelola sagu di Maluku Tengah.

Perumusan masalah dan tujuan penelitian menjadi dasar dalam menyusun kerangka peubah penelitian. Landasan pemikiran dalam menyusun kerangka peubah penelitian adalah bahwa setiap pengelola sagu merupakan individu yang menentukan arah usaha yang dijalankannya, yaitu usaha pemanfaatan sagu. Dengan kata lain, pengelola sagu adalah pengambil keputusan untuk setiap hal yang terkait dengan usahanya yang meliputi: (1) proses pengolahan sagu, (2) mengembangkan pemasaran, (3) mengidentifikasi dan memecahkan masalah, serta (4) menjaga keberlanjutan usaha pemanfaatan sagu. Kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua pengelola sagu memiliki kapasitas yang mendukung untuk berani mengambil keputusan melakukan perubahan dalam usaha karena kurang siap menanggung resiko jika gagal. Keadaan ini menyebabkan pengelola sagu lebih memilih untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang sudah menjadi kebiasaan dalam usahanya.

Di samping karakteristik sosial ekonomi yang berbeda antar pengelola sagu, dukungan lingkungan menurut penilaian setiap pengelola sagu juga tidak sama, baik dukungan yang bersumber dari keluarga, kelompok yang ada, pemerintah setempat, serta dari lembaga penyuluhan. Bila dikaitkan dengan pengembangan kapasitas pengelola sagu, hal ini menjadi menarik untuk diteliti. Seperti pada petani umumnya, dukungan keluarga terutama dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja, dukungan kelompok dibutuhkan untuk mengembangkan kemampuan pengelola sagu melalui kerjasama dengan pengelola sagu lainnya,

dukungan pemerintah setempat bertujuan terutama untuk memfasilitasi para pengelola sagu melalui dukungan fisik dan non fisik, sedangkan dukungan penyuluhan bermanfaat untuk memotivasi pengelola sagu agar memiliki perilaku berusaha yang lebih baik. Karakteristik sosial ekonomi dan dukungan lingkungan yang khas bagi setiap pengelola sagu menjadi ciri pembeda yang dapat mempengaruhi kapasitas antar pengelola sagu. Secara skematis, kerangka peubah penelitian ini disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Hubungan antar peubah penelitian pengembangan kapasitas pengelola sagu dalam peningkatan pemanfaatan sagu

Berdasarkan peubah penelitian, hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah:

1. Karakteristik sosial ekonomi pengelola sagu berpengaruh positif dan nyata terhadap kapasitas pengelola sagu.

2. Dukungan lingkungan yang diterima pengelola sagu berpengaruh positif dan nyataterhadap kapasitas pengelola sagu.

3. Kapasitas pengelola sagu berpengaruh positif dan nyata terhadap tingkat pemanfaatan sagu.

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi dunia akademis dan dunia praktis. Bagi dunia akademis, hasil penelitian ini dapat mendukung

Karakteristik Sosial Ekonomi Pengelola Sagu (X1) (X1.1) Umur

(X1.2) Tingkat pendidikan formal

(X1.3) Pendidikan non formal (X1.4) Lama berusaha (X1.5) Motivasi berusaha (X1.6) Skala usaha (X1.7) Jumlah anggota keluarga (X1.8) Jumlah tanggungan keluarga (X1.9) Pola konsumsi (X1.10) Akses informasi (X1.11) Nilai fungsi sosial sagu (X1.12) Nilai fungsi budaya

sagu Tingkat Dukungan Lingkungan (X2) (X2.1) Tingkat dukungan keluarga (X2.2) Tingkat dukungan kelompok (X2.3) Tingkat dukungan pemerintah (X2.4) Tingkat dukungan penyuluhan Tingkat Kapasitas Pengelola Sagu (Y1) (Y1.1) Mengolah sagu (Y1.2) Mengembangkan pemasaran (Y1.3) Mengidentifikasi dan memecahkan masalah (Y1.4) Menjaga keberlanjutan usaha Pemanfaatan Sagu (Y2) (Y2.1) Konsumsi (Y2.2) Pasar (Y2.3) Kuantitas (Y2.4) Kualitas (Y2.5) Pendapatan

pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya Ilmu Penyuluhan Pembangunan terkait dengan upaya untuk merubah perilaku pengelola sagu khususnya dan bagi pengelola pangan lokal umumnya. Di samping itu, hasil penelitian ini juga bermanfaat sebagai informasi tambahan bagi peneliti lain yang tertarik pada pengembangan kapasitas pengelola sagu di Maluku Tengah dan di daerah lain yang memiliki kemiripan.

Secara praktis, hasil penelitian ini bermanfaat sebagai bahan masukan khususnya bagi Pemerintah Daerah Maluku Tengah dan Pemerintah Provinsi Maluku dalam merumuskan kebijakan terkait dengan upaya pengembangan kapasitas pengelola sagu. Di samping itu, bagi pihak-pihak yang tertarik dengan pengembangan pengelola sagu di Maluku Tengah dan Provinsi Maluku, hasil penelitian ini dapat menjadi informasi awal yang komprehensif tentang kapasitas pengelola sagu di Maluku Tengah dan strategi pengembangannya.

Metode Penelitian

Penelitian dilakukan di Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Maluku Tengah merupakan salah satu sentra pengembangan sagu di Provinsi Maluku. Selanjutnya, secara sengaja dipilih dua kecamatan di Maluku Tengah yang merupakan sentra produksi sagu, yaitu Kecamatan Saparua dan Kecamatan Salahutu. Penentuan desa-desa penelitian untuk mewakili setiap kecamatan terpilih juga ditentukan secara sengaja dengan pertimbangan bahwa desa-desa tersebut memiliki potensi sagu yang lebih besar dari desa lainnya dan/atau usaha pemanfaatan sagu merupakan sumber mata pencaharian utama masyarakat. Berdasarkan pertimbangan tersebut, desa-desa yang terpilih mewakili Kecamatan Saparua adalah Desa Ihamahu, Mahu, Tuhaha, Siri Sori Amalatu; sedangkan mewakili Kecamatan Salahutu adalah Desa Tulehu, Waai dan Liang. Pengumpulan data dilakukan selama empat bulan terhitung sejak bulan Juni 2013 hingga September 2013.

Populasi penelitian adalah seluruh pengelola sagu yang berada pada desa- desa terpilih yang telah menjalankan usaha pemanfaatan sagu minimal lima tahun saat penelitian dilaksanakan. Berdasarkan kriteria ini, jumlah populasi adalah 300 orang. Jumlah sampel (responden) ditentukan berdasarkan formula Slovin (Sevilla

et al. 1993) dengan memilih tingkat kesalahan lima persen. sehingga jumlah responden adalah 172 orang pengelola sagu. Sebaran sampel untuk setiap desa penelitian ditentukan secara proporsional sehingga memenuhi unsur keterwakilan pengelola sagu di setiap desa. Hal ini dilakukan karena sebaran populasi di setiap desa terpilih tidak sama. Penentuan sampel dilakukan secara acak sederhana dengan menggunakan daftar nama pengelola sagu yang bersumber dari setiap kantor desa terpilih.

Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer meliputi karakteristik sosial ekonomi pengelola sagu, dukungan lingkungan, kapasitas pengelola sagu dalam memanfaatkan sagu, dan tingkat pemanfaatan sagu yang dikumpulkan langsung dari responden melalui wawancara yang berpedoman pada kuesioner. Kuesioner yang digunakan merupakan perwujudan peubah-peubah penelitian yang disusun dalam bentuk pernyataan- pernyataan dengan pilihan jawaban menggunakan Skala Likert (Oppenheim 1992) dengan tiga tingkatan skor, yaitu rendah, sedang dan tinggi.

Jumlah skor maksimum – jumlah skor minimun

= Jumlah skor yang dicapai per indikator – jumlah skor

x 100

Disediakan juga pertanyaan tertutup dan terbuka untuk memperkaya data tentang hal-hal yang dipandang perlu. Di samping itu, dilakukan wawancara mendalam (indepth interview) dan focused group discussion (FGD) terhadap responden-responden tertentu yang dianggap menguasai dan memiliki pengalaman lebih luas terkait topik penelitian. Data sekunder diperoleh dari Pemerintah Daerah Maluku Tengah, Pemerintah Kecamatan Saparua dan Salahutu, dan kantor desa-desa terpilih. Data dari tokoh-tokoh masyarakat terkait pengembangan sagu dan pengamatan langsung di lapangan juga digunakan untuk memperkuat data.

Dalam upaya menjamin validitas dan reliabilitas kuesioner yang digunakan, dilakukan uji validitas dan reliabilitas kuesioner yang melibatkan 30 pengelola sagu di desa Nolloth Kecamatan Saparua Maluku Tengah. Desa Nolloth dipilih karena pengelola sagu di desa ini memiliki kesamaan dengan pengelola sagu di desa-desa penelitian. Uji validitas dilakukan menggunakan uji korelasi Pearson, sedangkan uji reliabilitas dengan metode Cronbach-Alpha. Hasil uji memperlihatkan bahwa nilai rhitung = 0.479 - 0.961 > r0.05 = 0.361; dan nilai koefisien reliabilitas berada pada interval 0.664 - 0.751. Ini berarti kuesioner yang disusun layak digunakan.

Analisis data untuk mengukur pengaruh antar peubah digunakan analisis jalur (path analysis). Penggunaan analisis jalur didasarkan pada beberapa asumsi, yaitu (MacDonald 1977; Sugiyono 2009): (1) hubungan antar peubah berbentuk linier, aditif, dan kausal; (2) peubah-peubah residual tidak berkorelasi nyata dengan peubah yang lebih dahulu, dan tidak juga berkorelasi nyata dengan peubah yang lain; (3) model hubungan peubah hanya terdapat jalur kausal atau sebab- akibat searah; dan (4) data setiap peubah yang dianalisis paling tidak berada pada tingkat pengukuran interval. Mengingat tidak semua data yang dikumpulkan merupakan data interval, menurut Sugiyono (2009) sebelum data dianalisis terlebih dahulu dilakukan transformasi data dari data ordinal menjadi data interval atau rasio yang memiliki kisaran perubahan yang sama diantara 0 (nol) hingga 100 (seratus). Formula yang dipakai untuk proses transformasi data mengacu kepada Sumardjo (1999) dengan rumus:

Pengolahan dan analisis data dilakukan menggunakan komputer dengan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 22,0. Kerangka hipotetik analisis jalur peubah penelitian disajikan pada Gambar 4. Berdasarkan kerangka hipotetik analisis jalur peubah penelitian, diperoleh dua persamaan struktural, yaitu:

Ŷ1 =

ρ

Y1X1 X1 +

ρ

Y1X2 X2 +

ρ

Y1 ἐ1

Ŷ2 =

ρ

Y2Y1 Y1 + ρY2ἐ2

x 100 Indeks Indikator

Indeks Peubah = Jumlah indeks indikator tiap peubah

Keterangan:

X1 = Karakteristik sosial ekonomi pengelola sagu

X2 = Dukungan lingkungan yang dirasakan pengelola sagu

Y1 = Kapasitas pengelola sagu

Y2 = Pemanfaatan sagu yang dilakukan pengelola sagu

Gambar 4 Kerangka hipotetik analisis jalur peubah penelitian

Desain strategi pengembangan kapasitas pengelola sagu dalam peningkatan pemanfaatan sagu di Maluku Tengah menggunakan analisis kekuatan (Strengths), kelemahan (Weaknesses), peluang (Opportunities), dan ancaman (Threats), yang disebut dengan analisis SWOT. Analisis SWOT merupakan alat bantu berupa matriks yang dapat digunakan untuk mengembangkan strategi yang didasarkan pada situasi lingkungan internal dan eksternal. Untuk mengetahui tingkat pengaruh faktor-faktor strategi internal dan eksternal dalam pengembangan kapasitas pengelola sagu, digunakan matriks IFAS (Internal Factors Analysis Summary) dan EFAS (External Factors Analysis Summary). Matriks IFAS dan EFAS digunakan untuk mengevaluasi situasi lingkungan internal (faktor-faktor kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (faktor peluang dan ancaman) terkait dengan pengembangan kapasitas pengelola sagu dalam peningkatan pemanfaatan sagu di Maluku Tengah, dengan langkah-langkah sebagai berikut:

(1) Menentukan faktor-faktor kekuatan dan kelemahan serta faktor peluang dan ancaman. Kemudian setiap faktor diberikan bobot dengan skala 0.00 (tidak penting) hingga 1.00 (sangat penting). Jumlah bobot tidak boleh >1.00. Pemberian rating untuk faktor kekuatan dan peluang diberi nilai 1.00 (sangat kurang) hingga 4.00 (sangat baik), sedangkan faktor kelemahan dan ancaman sebaliknya. Untuk memperoleh skor pembobotan, bobot dan rating dikalikan, kemudian setiap skor dijumlahkan untuk memperoleh skor total pembobotan. Jika skor total faktor internal >2.5 (di atas rata-rata), mengindikasikan bahwa lingkungan internal berada pada posisi yang cukup kuat; artinya, secara internal kapasitas pengelola sagu dalam peningkatan pemanfaatan sagu berpeluang untuk ditingkatkan (Rangkuti 2002).

(2) Skor total pembobotan dari faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman), dijadikan sebagai acuan penempatan kuadran. Berdasarkan nilai absis (X) dan ordinat (Y), titik kuadran pengembangan kapasitas pengelola sagu dapat ditentukan.

X2 Y1

ρ

Y1X1

ρ

Y1X2 ρY1ἐ1 r12 X1 ἐ1 Y2

ρ

Y2Y1 ρἐY22 ἐ2 R2Y1X1

(3) Alternatif strategi pengembangan kapasitas pengelola sagu diperoleh dengan menggunakan analisis SWOT, dengan cara menformulasikan strategi berdasarkan penggabungan antara faktor internal dan eksternal. Rumusan matriks SWOT terdiri dari empat set kemungkinan alternatif strategi, dengan formulasi sebagai berikut: (1) Strategi S-O (Strength-Opportunity), (2) Strategi W-O (Weakness-Opportunity), (3) Strategi S-T (Strength-Threat), dan (4) Strategi W-T (Weakness-Threat).

(4) Untuk mengetahui prioritas strategi yang terbaik dilakukan evaluasi pilihan alternatif strategi secara obyektif menggunakan metode QSPM (Quantitatif Strategic Planning Matrix). Analisis QSPM merupakan alat analisis yang digunakan untuk menentukan strategi yang dianggap paling baik untuk diimplementasikan (David 2001; Puspitasari et al. 2013); dan untuk merancang strategi penyuluhan untuk pengembangan kapasitas pengelola sagu digunakan teori belajar hubungan antara stimulus dan respons dari Thorndike.

Hasil dan Pembahasan

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kapasitas Pengelola Sagu

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas pengelola sagu dilakukan terhadap dua peubah dugaan, yaitu karakteristik sosial ekonomi dan dukungan lingkungan. Karakteristik sosial ekonomi dan dukungan lingkungan terbukti berpengaruh positif dan nyata terhadap kapasitas pengelola sagu dengan besar kontribusi 0,5572 = 0,3102 atau 31,02%; dan kontribusi dukungan lingkungan sebesar 0,4932 = 0,2430 atau 24,30%. Secara simultan, kedua peubah ini berpengaruh dengan kontribusi sebesar 0,708 atau 70,80% terhadap kapasitas pengelola sagu dan sisanya 29,20% dipengaruhi faktor-faktor lain yang tidak dianalisis dalam penelitian ini (Tabel 18). Berdasarkan nilai-nilai koefisien jalur, bentuk persamaan struktural X1 dan X2 terhadap Ŷ1 adalah:

Ŷ1 = 0.557 X1 + 0.493 X2 + 0.292

ἐ.

Tabel 18 Nilai koefisien jalur peubah karakteristik sosial ekonomi dan dukungan lingkungan yang berpengaruh terhadap kapasitas pengelola sagu di Maluku Tengah, 2013

Peubah

Koefisien jalur

yang telah Keputusan Pengaruh distandarkan Langsung Total Karakteristik sosial

ekonomi

0.557 Berpengaruh positif dan sangat nyata

0.557 31.02% Dukungan

lingkungan

0.493 Berpengaruh positif dan sangat nyata

0.493 24.30% R2 = 0.708 = 70.80%

Keterangan: **Taraf sangat nyata pada p ≤ 0.01

Secara skematis, pengaruh karakteristik sosial ekonomi (X1) dan dukungan lingkungan (X2) terhadap kapasitas pengelola sagu disajikan pada Gambar 5. Dengan demikian, hipotesis pertama, yaitu bahwa karakteristik sosial ekonomi pengelola sagu berpengaruh positif dan nyata terhadap kapasitas pengelola sagu

dan hipotesis kedua, yaitu bahwa dukungan lingkungan yang diterima pengelola sagu berpengaruh positif dan nyata terhadap kapasitas pengelola sagu diterima.

Gambar 5 Diagram jalur hubungan kausal empiris peubah karakteristik sosial ekonomi dan dukungan lingkungan terhadap kapasitas pengelola sagu Analisis mendalam terhadap peubah karakteristik sosial ekonomi yang ditampilkan pada Tabel 19 memperlihatkan bahwa hanya tiga sub peubah berpengaruh positif secara nyata terhadap kapasitas pengelola sagu, yaitu pendidikan non formal, lama berusaha, dan akses informasi, sedangkan sub peubah umur, pendidikan formal, motivasi berusaha, skala usaha, jumlah anggota keluarga, jumlah tanggungan keluarga, pola konsumsi, nilai fungsi sosial sagu dan nilai fungsi budaya sagu tidak memberikan pengaruh secara nyata.

Tabel 19 Faktor-faktor (sub peubah) yang mempengaruhi kapasitas pengelola sagu di Maluku Tengah, 2013

Peubah dan sub peubah Koefisien jalur yang telah distandarkan

Pengaruh Langsung Total

Karakteristik Sosek:

Pendidikan non formal 0.593** 0.593 35.16%

Lama berusaha 0.234** 0.234 5.48% Akses informasi 0.170** 0.170 2.89% Dukungan Lingkungan: Dukungan keluarga 0.189** 0.189 3.57% Dukungan kelompok -0.116* 0.116 -1.35% Dukungan penyuluhan 0.193** 0.193 3.72% Keterangan: **Taraf sangat nyata pada p ≤ 0.01; *Taraf nyata pada p ≤ 0.05

Pendidikan non formal memberikan pengaruh langsung tertinggi secara positif dan nyata terhadap kapasitas pengelola sagu dibanding sub peubah lama berusaha dan akses informasi dari peubah karakteristik sosial ekonomi dengan nilai koefisien jalur sebesar 0.593 dan pengaruh total sebesar 0.3516 (35.16%). Jadi, pendidikan non formal berkontribusi secara siginifikan terhadap kapasitas pengelola sagu. Pendidikan non formal yang dimaksud terdiri dari keikutsertaan pengelola sagu dalam berbagai kegiatan, seperti pelatihan/magang/kursus dan pameran terkait pengelolaan sagu terutama di Maluku, namun minimnya kegiatan-kegiatan pendidikan non formal menyebabkan tidak semua pengelola sagu mendapat kesempatan mengikutinya. Sebagian besar (82.56%) pengelola

Y1 ρY1X1= 0,557 r12 = 0,559 X1 ἐ = 0,292 ρY1X2 = 0,493 X2 R2Y1X1 =0,708

sagu diantaranya tidak pernah mengikuti pendidikan non formal selama dua tahun terakhir, seperti pelatihan atau penyuluhan tentang proses pengolahan sagu/pemanenan (Tabel 4), padahal pelatihan merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mempersiapkan perilaku seseorang menghadapi tuntutan perubahan yang terjadi. Hal ini mengindikasikan bahwa kegiatan pendidikan non formal (pelatihan atau penyuluhan) masih sangat jarang dilakukan sehingga belum menjangkau sebagian besar pengelola sagu. Berbagai pelatihan tentang pengolahan sagu pernah dilaksanakan oleh pihak Badan Ketahanan Pangan Maluku Tengah di desa Tulehu dan Tuhaha, namun seringkali hanya mengakomodir pengelola sagu yang sudah sering terlibat, sehingga kadangkala menimbulkan kecemburuan di kalangan pengelola sagu. Bagi pengelola sagu yang

Dokumen terkait