• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Kapasitas Pengelola Sagu Dalam Peningkatan Pemanfaatan Sagu Di Maluku Tengah Provinsi Maluku

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan Kapasitas Pengelola Sagu Dalam Peningkatan Pemanfaatan Sagu Di Maluku Tengah Provinsi Maluku"

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

DALAM PENINGKATAN PEMANFAATAN SAGU

DI MALUKU TENGAH PROVINSI MALUKU

MEILVIS ELSWORTH TAHITU

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya nyatakan bahwa disertasi berjudul Pengembangan Kapasitas Pengelola Sagu dalam Peningkatan Pemanfaatan Sagu di Maluku Tengah Provinsi Maluku adalah benar karya saya dengan arahan dari para komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir dari disertasi ini

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

(4)
(5)

dalam Peningkatan Pemanfaatan Sagu di Maluku Tengah Provinsi Maluku. Dibimbing oleh AMIRUDDIN SALEH, DJUARA P LUBIS dan DJOKO SUSANTO.

Pengelola sagu memiliki peranan yang sangat penting dalam pengembangan sagu di Maluku, termasuk Maluku Tengah yang bertujuan tidak hanya untuk meningkatkan pemanfaatan sagu dan pendapatan pengelola sagu,tetapi juga untuk membangkitkan kembali peran sagu sebagai pangan lokal yang dapat mendukung percepatan penganekaragaman konsumsi pangan rumah tangga, serta menjamin terwujudnya ketahanan pangan, berbasis sumber daya alam lokal. Pengelola sagu masih memiliki berbagai kesulitan untuk meningkatkan usaha pemanfaatan sagu, baik kuantitas maupun kualitas. Produk olahan sagu yang dihasilkan umumnya tepung sagu basah dengan jangkauan pemasaran terbatas di tingkat lokal. Menyikapi akan kondisi ini, diperlukan upaya untuk meningkatkan kemampuan pengelola sagu melalui pengembangan kapasitas. Pengembangan kapasitas dapat ditingkatkan apabila dilakukan sesuai dengan kondisi nyata pengelola sagu, baik kondisi sosial ekonomi maupun kapasitas yang dimiliki saat ini.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mendeskripsikan karakteristik sosial ekonomi dan kapasitas pengelola sagu di Maluku Tengah; (2) Menganalisis tingkat pemanfaatan sagu di Maluku Tengah dan hubungannya dengan tingkat kapasitas pengelola sagu; dan (3) Menghasilkan strategi penyuluhan bagi pengembangan kapasitas pengelola sagu untuk meningkatkan kemampuan memanfaatkan sagu. Penelitian dilaksanakan di Maluku Tengah yang merupakan salah satu kawasan pengembangan sagu di Maluku. Penelitian berlangsung selama empat bulan, mulai bulan Juni 2013 hingga September 2013. Jumlah sampel 172 orang pengelola sagu mewakili populasi 300 pengelola sagu. Sampel ditentukan menggunakan rumus Slovin dengan tingkat kesalahan lima persen. Penentuan sampel dilakukan secara acak sederhana menggunakan daftar nama pengelola sagu yang bersumber dari kantor desa setempat. Kajian karakteristik sosial ekonomi pengelola sagu dan tingkat kapasitas pengelola sagu dilakukan secara statistik deskriptif. Matriks korelasi Rank Spearman digunakan untuk menganalisis hubungan antar peubah penelitian, analisis jalur (path analysis) digunakan untuk menemukan model empiris hubungan antar peubah. Strategi pengembangan kapasitas pengelola sagu dalam peningkatan pemanfaatan sagu di Maluku Tengah didesain menggunakan analisis SWOT dan strategi penyuluhan didesain menggunakan teori belajar dari Thorndike.

(6)

dengan jangkauan pemasaran terbatas pada segmen pasar lokal, masih banyak masalah yang tidak terpecahkan, belum mampu menyesuaikan produk olahan dengan keinginan konsumen/pasar, dan kurangnya kegiatan promosi terhadap produk olahan sagu.

Analisis matriks korelasi Rank Spearman memperlihatkan bahwa kapasitas pengelola sagu berhubungan secara positif dan nyata dengan tingkat pemanfaatan sagu. Dengan demikian, peningkatan kapasitas pengelola sagu sangat penting dalam meningkatkan pemanfaatan sagu di Maluku Tengah. Analisis lebih lanjut menggunakan analisis jalur (path analysis) memperlihatkan bahwa kapasitas pengelola sagu dipengaruhi secara langsung oleh karakteristik sosial ekonomi pengelola sagu yang terdiri dari pendidikan non formal, lama berusaha, dan akses informasi; dan dukungan lingkungan yang meliputi dukungan keluarga dan dukungan penyuluhan.

Analisis SWOT memperlihatkan bahwa pengembangan kapasitas pengelola sagu di Maluku Tengah layak dilakukan melalui strategi pertumbuhan agresif (growth oriented strategy) yang ditunjukkan oleh posisi kebijakan, yaitu pada kuadran pertama dari diagram penentuan matriks grand strategi pengembangan kapasitas pengelola sagu. Analisis Quantitatif Strategic Planning Matrix (QSPM) menghasilkan empat prioritas strategi, yaitu: (1) Penyiapan kondisi pengelola sagu dalam rangka peningkatan pemanfaatan sagu (S-O); (2) Penyiapan penyuluh/ tenaga pendamping yang kompeten (W-O); (3) Penguatan kesadaran dan pengakuan masyarakat terhadap fungsi sosial dan budaya sagu (S-T), dan (4) Pemantapan koordinasi dan sinkronisasi kebijakan perencanaan program pengembangan sagu antar lembaga pemerintah dengan pihak-pihak terkait (W-T).

Strategi penyuluhan untuk pengembangan kapasitas pengelola sagu didesain dalam tiga tahap, yaitu tahap persiapan (hukum kesiapan), tahap pelaksanaan (hukum latihan), dan tahap hasil (hukum akibat/efek). Bentuk kegiatan yang dipilih adalah penyuluhan, pelatihan, dan pendampingan. Agar pelaksanaan penyuluhan terlaksana sesuai rencana, dibutuhkan penyuluh-penyuluh yang kompeten di bidang teknik pengelolaan sagu, namun jumlah penyuluh PNS yang ada saat ini masih terbatas. Keterbatasan ini dapat diatasi dengan merekrut pengelola-pengelola sagu yang lebih maju menjadi penyuluh-penyuluh swadaya dengan prosedur seperti diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian No.61/Permentan/OT.140/11/2008 tentang Pedoman Pembinaan Penyuluh Pertanian Swadaya dan Penyuluh Pertanian Swasta. Pada tataran pengambil kebijakan, strategi dilakukan dengan menyatukan persepsi dan tindakan dalam memandang perlunya pengembangan kapasitas pengelola sagu sebagai upaya peningkatan pemanfaatan dan nilai tambah sagu serta pendapatan masyarakat, mengembalikan peranan sagu sebagai salah satu budaya Maluku, dan mendukung upaya penganekaragaman pola konsumsi berbasis sumber daya lokal.

(7)

Increasing Sago Benefit in Central Maluku District, Maluku Province. Supervised by AMIRUDDIN SALEH, DJUARA P LUBIS and DJOKO SUSANTO.

Sago producers have important role in sago development in Maluku, particularly in Central Maluku, not only to increase sago benefit and income of sago producers but also to increase sago role as local staple food in order to accelerate household food diversification and to guarantee food security based on local food. The main sago processing product is wet sago starch which is only able around limited at local market. Based on this condition, it is needed an effort to improve capability of sago producers though capacity development is really needed. This capacity can be done based on the real condition of the sago producers in terms of social economic as well as existing condition of sago

producer‟s capacity.

The objectives of this research were: (1) to describe the social economic and existing capacity characteristics of sago producers in Central Maluku Districts; (2)

to develop an analysis of sago usage in line with sago producer‟s capacity; (3) to

develop extension strategies to improve sago producer capacity for enhancing sago products in relation to food security. Research was conducted for four months, from June to September 2013, in Central Maluku District as the main region for sago development in Maluku Province. Sample were 172 people of total 300 sago producers as population. The size of sample was based on Slovin‟s formula with 5% of error. Sample was determined based on simple random

sampling. The characteristics of sago producers and the level of sago producer‟s

capacity were analyzed by using descriptive statistic. Spearman‟s correlation matrix was used to analyze correlation between variables while path analysis was used to find out an empirical model for correlation among variables. Development capacity strategy of sago producers was designed by SWOT analysis and stimulus response theory of Thorndike was used to design extension strategies.

Research results showed that most of sago producers were productive age, high categories in length time of sago business, have high appreciation for cultural and social values of sago. The capacity level of sago producer‟s indicated in terms of capacity to process sago products, market development, identification and problem solving, and capability to sustain sago business was categorized as moderate level. Capacity indicators were measured by knowledge, attitude and skill indicated that the slow-down of sago producer behavior to develop sago business and benefit because of several factors such as conventional technology as representation of skill that was inherited from generation to generation. Sago product was limited in the form of wet sago starch that was wrap and was sold in limited local market, many unsolved problems, inability to develop products according to market demand, and limited promotion of sago products.

Spearman‟s correlation matrix showed that sago producer‟s capacity was significantly positive correlation with sago usage level. Thus, sago producer development was pivotal for sago development in Central Maluku. Then, path

(8)

feasible to be done through growth oriented strategy that was showed by policy

strategy, the first quadrant of grand strategy for sago producer‟s capacity

development. QSPM (Quantitative Strategic Planning Matrix) analysis was also showed that there were four strategy priorities as follows: (1) Prepare condition of sago producers to increase the benefit of sago (S-O); (2) Prepare professional and competence extension agent or facilitator (W-O); (3) Strengthening people conscience about the function of socio-cultural values of sago (S-T); and (4) Established synchronization and coordination policies and planning for sago development program between government institutions and relevant stakeholders (W-T).

Extension strategies for sago producer‟s capacity development was designed in three steps, that is preparation (the law of preparation), implementation (the law of training) and output (the law of effect). Selected activities were extension, training and facilitating. In order that extension will be done on the right track, it was needed professional and competence extension agent in technic of sago processing products but the amount of civil servant extension agent was limited. This limitation could be solved by recruiting advanced sago producers as extension agent volunteers according to Ministry of Agriculture Rule No. 61/Permentan/OT.140/11/2008 about The Guidelines for Development of Volunteer Agricultural Extension Agent and Private Agricultural Extension Agent. At the policy level, strategy was done through unifying perception and action in

order to have the same perspective for sago producer‟s capacity development as

an effort to enhance sago benefit as well as to improve sago added value, household income improvement, to revisit the role of sago as part of Maluku culture, and to support food consumption diversification based on local natural and cultural resources.

(9)

©

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(10)
(11)

DI MALUKU TENGAH PROVINSI MALUKU

MEILVIS ELSWORTH TAHITU

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr Ir Basita Ginting Sugihen, MA

Staf Pengajar Fakultas Ekologi Manusia IPB

2. Dr Ir Pudji Muljono, MSi

Staf Pengajar Fakultas Ekologi Manusia IPB

Penguji pada Sidang Promosi : 1. Dr Ir Basita Ginting Sugihen, MA

Staf Pengajar Fakultas Ekologi Manusia IPB 2. Dr Anton A. Lailossa, ST., M.Si

Karo Pengembangan Ekonomi dan Investasi Setda Maluku

(13)
(14)

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas hikmat dan penyertaanNya sehingga penulisan disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik. Adapun tema penelitian yang dipilih adalah pengembangan kapasitas kaitannya dengan pemanfaatan sagu dengan judul Pengembangan Kapasitas Pengelola dalam Peningkatan Pemanfaatan Sagu di Maluku Tengah Provinsi Maluku. Pemilihan judul ini didasarkan atas pertimbangan bahwa di satu sisi daerah Maluku memiliki potensi sagu yang dapat didayagunakan dan dikembangkan untuk memenuhi ketersediaan sumber pangan lokal dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap pangan beras. Di sisi lain, keberadaan pengelola sagu yang jumlahnya dominan di Maluku, khususnya di Maluku Tengah dihadapkan pada berbagai kendala dalam mengembangkan usaha pemanfaatan sagu. Penelitian dilaksanakan sejak bulan Juni 2013 hingga September 2013.

Penulis menghaturkan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada Dr Ir Amiruddin Saleh, MS; Dr Ir Djuara P Lubis, MS; dan Prof(R) Dr Djoko Susanto, SKM selaku Komisi Pembimbing yang telah mendorong, mengarahkan serta membimbing penulis mulai dari proses penyusunan proposal penelitian hingga penyusunan disertasi ini. Kepada Dr Ir Basita Ginting Sugihen, MA sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup dan sidang promosi, dan Dr Ir Pudji Muljono, MSi selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup serta Dr Ir Anton A Lailossa, ST., MSi pada sidang promosi; juga Dr Ir Anna Fatchiya, MSi yang mewakili Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan pada sidang promosi. Terima kasih yang sama pula disampaikan kepada pihak BPP-DN Dikti selaku pemberi dana beasiswa studi bagi penulis. Begitu pula kepada pemerintah desa, kecamatan, dan kabupaten yang menjadi lokasi penelitian serta Pemerintah Provinsi Maluku atas ijin yang diberikan kepada penulis melaksanakan penelitian, diucapkan terima kasih. Kepada kepala BPP kecamatan Salahutu dan Saparua serta para penyuluh/enumerator dan para responden yang telah berkontribusi sehingga seluruh data yang diperlukan dapat dikumpulkan, diucapkan terima kasih. Kepada rekan-rekan mahasiswa Ilmu Penyuluhan Pembangunan Sekolah Pascasarjana IPB, terutama angkatan 2010 yang turut berpartisipasi dan berkontribusi dalam penyelesaian disertasi ini, diucapkan terima kasih. Ucapan terima kasih yang tulus disampaikan kepada seluruh keluarga, terutama kedua orang tua terkasih dan istriku tercinta Inta P.N. Damanik beserta putriku tersayang Pricillia Karlini, serta kaum kerabat atas segala doa dan dukungan moril yang diberikan selama ini.

Harapan penulis, kiranya karya ilmiah ini bermanfaat bagi yang memerlukannya.

Bogor, Agustus 2015

(15)

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 8

Tujuan Penelitian 8

Kebaruan Penelitian 9

Manfaat Penelitian 10

Ruang Lingkup Penelitian 11

2 HUBUNGAN KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI DAN DUKUNGAN LINGKUNGAN DENGAN KAPASITAS

PENGELOLA SAGU DI MALUKU TENGAH 13

Abstrak 13

Pendahuluan 13

Metode Penelitian 15

Hasil dan Pembahasan 16

Simpulan 36

3 TINGKAT PEMANFAATAN SAGU DAN HUBUNGANNYA

DENGAN KAPASITAS PENGELOLA SAGU DI MALUKU TENGAH 37

Abstrak 37

Pendahuluan 37

Metode Penelitian 39

Hasil dan Pembahasan 40

Simpulan 46

4 STRATEGI PENYULUHAN UNTUK PENGEMBANGAN KAPASITAS

PENGELOLA SAGU DI MALUKU TENGAH 47

Abstrak 47

Pendahuluan 48

Metode Penelitian 51

Hasil dan Pembahasan 54

Simpulan 87

5 PEMBAHASAN UMUM 89

6 SIMPULAN DAN SARAN 95

Simpulan 95

Saran 96

DAFTAR PUSTAKA 97

LAMPIRAN 105

(16)

2 Beberapa penelitian pengembangan sagu di Maluku 9

3 Lokasi, sebaran populasi dan sampel penelitian 12

4 Distribusi pengelola sagu menurut umur, pendidikan formal dan

pendidikan non formal di Maluku Tengah, 2013 17

5 Distribusi pengelola sagu menurut lama berusaha, motivasi berusaha

dan skala usaha di Maluku Tengah, 2013 19

6 Distribusi pengelola sagu menurut jumlah anggota keluarga,

tanggungankeluarga dan pola konsumsi di Maluku Tengah, 2013 21

7 Distribusi pengelola sagu menurut akses informasi, nilai fungsi sosial

dan nilai budaya sagu di Maluku Tengah, 2013 22

8 Distribusi pengelola sagu menurut kapasitas pengolahan sagu,

di Maluku Tengah 2013 24

9 Distribusi pengelola sagu menurut kapasitas mengembangkan

pemasaran sagu di Maluku Tengah, 2013 25

10 Distribusi pengelola sagu menurut kapasitas identifikasi dan

pemecahan masalah di Maluku Tengah, 2013 27

11 Distribusi pengelola sagu menurut kapasitas menjaga keberlanjutan

usaha pemanfaatan sagu di Maluku Tengah, 2013 28

12 Hubungan karakteristik sosial ekonomi dengan tingkat kapasitas

pengelola sagu di Maluku Tengah, 2013 29

13 Distribusi penilaian pengelola sagu tentang dukungan lingkungan

di Maluku Tengah, 2013 31

14 Hubungan dukungan lingkungan dengan tingkat kapasitas

pengelola sagu di Maluku Tengah, 2013 34

15 Manfaat pati sagu 37

16 Produksi dan pemanfaatan sagu oleh pengelola sagu di Maluku

Tengah, 2013 41

17 Hubungan kapasitas pengelola sagu dengan tingkat pemanfaatan sagu,

di Maluku Tengah, 2013 44

18 Nilai koefisien jalur peubah karakteristik sosial ekonomi dan dukungan lingkungan yang berpengaruh terhadap kapasitas pengelola sagu di

Maluku Tengah, 2013 54

19 Faktor-faktor (sub peubah) yang mempengaruhi kapasitas pengelola

sagu di Maluku Tengah, 2013 55

20 Faktor-faktor (sub peubah) yang mempengaruhi tingkat pemanfaatan

sagu di Maluku Tengah, 2013 59

21 Matriks IFAS pengembangan kapasitas pengelola sagu di Maluku

(17)

23 Analisis SWOT pengembangan kapasitas pengelola sagu berdasarkan evaluasi faktor lingkungan internal dan eksternal di Maluku Tengah,

2013 70

24 Prioritas strategi pengembangan kapasitas pengelola sagu berdasarkan

analisis QSPM di Maluku Tengah, 2013 75

25 Kebijakan strategi pengembangan kapasitas pengelola sagu di Maluku

Tengah, 2013 77

26 Komponen penyuluhan untuk pengembangan kapasitas pengelola

sagu di Maluku Tengah, 2013 80

27 Desain strategi penyuluhan untuk pengembangan kapasitas pengelola

sagu di Maluku Tengah, 2013 83

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka berpikir penelitian pengembangan kapasitas pengelola sagu 8

2 Rantai pemasaran produk olahan sagu di lokasi penelitian 26

3 Hubungan antar peubah penelitian pengembangan kapasitas pengelola

sagu dalam peningkatan pemanfaatan sagu 50

4 Kerangka hipotetik analisis jalur peubah penelitian 53

5 Diagram jalur hubungan kausal empiris peubah karakteristik sosial

ekonomi dan dukungan lingkungan terhadap kapasitas pengelola sagu 55

6 Diagram jalur hubungan kausal empiris faktor-faktor (sub peubah) peubah karakteristik sosial ekonomi dan dukungan lingkungan terhadap

kapasitas pengelola sagu 58

7 Diagram jalur hubungan kausal empiris peubah kapasitas pengelola

sagu terhadap peubah tingkat pemanfaatan sagu 60

8 Diagram penentuan matriks grand strategy pengembangan

kapasitas pengelola sagu 69

DAFTAR LAMPIRAN

1 Posisi lokasi penelitian terhadap Kota Ambon (Ibukota Provinsi Maluku) 105

2 Definisi operasional dan pengukuran peubah 106

3 Nilai koefisien matriks korelasi peubah karakteristik sosial ekonomi

dan indikator kapasitas pengelola sagu 113

4 Makna setiap kategori unsur-unsur kapasitas pengelola sagu 117

(18)
(19)

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Sagu merupakan sumber pangan bagi masyarakat Maluku, termasuk Maluku Tengah di samping umbi-umbian yang dapat diandalkan untuk mendukung ketahanan pangan di Maluku khususnya dan Indonesia umumnya. Pengembangan sagu di Maluku bertujuan mengoptimalkan pendayagunaan sumber daya alam sagu dan menjaga pengolahan hasil secara terencana dan berkelanjutan. Hal ini dimaksudkan untuk menguatkan kembali peran sagu sebagai sumber pangan lokal yang semakin menurun dari waktu ke waktu. Menurunnya peran sagu sebagai

sumber pangan disebabkan adanya pergeseran pola konsumsi di tingkat rumahtangga masyarakat Maluku dari semula didominasi pangan sagu menjadi

pangan beras. Pergeseran pola konsumsi ini juga diikuti dengan perubahan pandangan masyarakat Maluku terhadap sagu; sagu mulai dipandang sebagai pangan inferior (bermutu rendah) yang ingin dihindari. Keadaan ini menyebabkan tingkat pemanfaatan sagu juga semakin rendah.

Faktor penyebab terjadinya pergeseran pola konsumsi masyarakat dari pangan sagu (produk olahan sagu) ke beras di antaranya segi kepraktisan dalam menyajikan karena beras mudah dimasak dan tetap enak dikonsumsi walaupun sudah dingin. Di samping itu, lebih mudah menyediakan lauk yang sesuai dan beras mudah diperoleh di kios-kios terdekat (Damanik dan Tahitu 2008). Kriteria ini menyebabkan beras lebih disukai, karena masyarakat cenderung akan menentukan pilihan terhadap bahan pangan yang secara ekonomis mudah dijangkau atau tersedia di pasar dengan kualitas yang memadai. Harga pangan beras juga lebih stabil dibandingkan pangan non beras, terutama sagu. Harga pangan sagu di pasar lokal relatif fluktuatif, yang antara lain disebabkan harga dasar sagu belum ditentukan, suplai semi olahan sagu (pati sagu basah) tidak kontinyu di pasar karena produktivitas sagu saat ini masih rendah dan tidak tetap, serta belum ada standar mutu produk olahan sagu sehingga berimplikasi pada kontinuitas pemasaran produk olahan sagu. Kondisi ini menyebabkan proporsi pengeluaran masyarakat untuk kebutuhan bahan makanan sumber karbohidrat dari pangan beras otomatis akan meningkat dibandingkan bahan pangan sagu. Di lain sisi, kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan pangan beras, baik secara nasional maupun lokal di antaranya melalui Program Beras untuk Masyarakat Miskin (Raskin) menyebabkan masyarakat Maluku mulai mengutamakan beras untuk dikonsumsi dan menganggap beras lebih bergengsi dibandingkan pangan lokal yang ada, termasuk sagu. Dengan demikian, kehadiran beras telah mengubah pandangan masyarakat Maluku terhadap sagu yang berdampak kepada perubahan pola konsumsi masyarakat yang cenderung mengutamakan beras.

(20)

semakin meningkat, tidak hanya di daerah perkotaan, tetapi juga di desa-desa dengan pola hidup berbasis sagu.

Berbagai upaya untuk mengurangi ketergantungan pada beras telah dilakukan pemerintah, namun belum menunjukkan hasil menggembirakan. Introduksi pangan lokal, terutama pangan sagu dan umbi-umbian sebagai pangan pokok masih sebatas uji coba. Pada tahun 2006, Pemerintah Provinsi Maluku telah mencanangkan program Revitalisasi Sagu untuk mengembalikan peran sagu sebagai pangan pokok (Pemprov Maluku 2006). Selain revitalisasi sagu, pada tahun 2011 juga diterbitkan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Pengelolaan dan Pelestarian Sagu yang dikenal dengan Perda Sagu. Perda sagu bertujuan antara lain menjamin ketersediaan sumber bahan makanan penghasil karbohidrat, seperti tercantum dalam Pasal 3 Perda Sagu tersebut (Pemprov Maluku 2011).

Potensi sagu di Maluku berupa luas areal tanaman sagu yang berkisar 31 360 hektar tersebar di seluruh wilayah Maluku, baik di daerah dataran rendah maupun dataran tinggi. Dikaitkan dengan produksi, potensi produksi pati sagu ditentukan berdasarkan jumlah pohon masak tebang dan produksi pati per pohon. Di Maluku, rata-rata jumlah pohon masak tebang tercatat 82.12 pohon/hektar dengan produksi sagu berupa semi olahan (pati sagu basah) rata-rata antara 100-500 kg/pohon atau 292 kg/pohon tergantung jenisnya (Alfons et al. 2004). Berdasarkan potensi luas lahan dan jumlah pohon masak tebang, produksi sagu di Maluku dapat mencapai 71 532 ton semi olahan atau 46 495.80 ton produk olahan atau pati kering (Alfons et al. 2004; Louhenapessy et al. 2010). Angka ini sangat baik bila dibandingkan dengan tanaman pangan yang lain (Stanton 1986; Timisela 2006), seperti: padi enam ton dan jagung 5.5 ton (Asomono 2014). Selain potensi luas areal, sagu juga memiliki peran strategis, yakni sebagai bahan pangan sumber karbohidrat (85.9 gram per 100 gram) dan kalori (357 kalori), di samping memiliki fungsi sosial dan budaya, ekonomi, kesehatan, ekologi dan politik (Tarigan 2001; Girsang et al. 2010). Dengan demikian peluang pengembangan sagu baik sebagai bahan pangan maupun industri memiliki prospek yang menjanjikan.

(21)

Pilihan memanfaatkan potensi sagu yang ada sebagai pangan lokal merupakan reaksi terhadap keberadaan tanaman sagu yang cukup tersedia di lingkungan masyarakat Maluku, khususnya di desa-desa atau negeri-negeri dengan pola hidup berbasis sagu. Pemanfaatan sagu bagi masyarakat Maluku secara umum, termasuk Maluku Tengah tidak dapat dipisahkan dari nilai sosial dan budaya sagu yang merupakan simbol identitas masyarakat setempat seperti diungkapkan Soselisa (2008) bahwa sagu dapat dijadikan sebagai alat pemersatu bagi masyarakat Maluku. Nilai-nilai sosial budaya sagu juga tercermin dari kearifan lokal masyarakat Maluku dalam memanfaatkan sagu. Menurut Triguna (Kapludin 2011), kearifan lokal merupakan hasil abstraksi berdasarkan pengalaman beradaptasi dalam mengelola sumber daya alam. Seiring berjalannya waktu, pemanfaatan sagu tidak hanya sebagai sumber pangan lokal, tetapi juga sebagai sumber mata pencaharian dan pendapatan bagi masyarakat Maluku.

Salah satu cara meningkatkan pemanfaatan sagu adalah dengan meningkatkan kapasitas pengelola sagu melalui upaya perubahan perilaku dalam memanfaatkan sagu. Perubahan perilaku dimaksudkan meliputi perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan usaha dari sekedar menjalankan usaha seadanya menjadi perilaku usaha yang senantiasa ingin berkembang yang menurut Rogers (1969) dapat dilihat dari kemampuan bertindak melalui kapasitas yang dimiliki. Dengan demikian, perubahan perilaku akan dapat meningkatkan produktivitas pemanfaatan sagu, baik kuantitas maupun kualitas sehingga dapat meningkatkan daya saing sagu terhadap bahan pangan lainnya, baik di tingkat lokal, regional, nasional, bahkan global. Jika ini tercapai, tidak hanya meningkatkan pendapatan rumah tangga pengelola sagu, tetapi juga pihak-pihak lain yang terlibat dalam aliran distribusi sagu tersebut, seperti pengolah pati sagu menjadi aneka produk olahan sagu maupun olahan lanjutan (siap saji), pedagang, penyedia layanan transportasi, dan lainnya. Di samping itu, dukungan terhadap program diversifikasi pangan sebagai bagian integral dari pembangunan ketahanan pangan di Maluku, termasuk Maluku Tengah dan di Indonesia juga dapat terwujud.

Upaya peningkatan kapasitas pengelola sagu tidak terlepas dari dukungan lingkungan di sekitarnya, mulai dari dukungan keluarga, kelompok sebagai wadah bekerjasama, peran pemerintah, dan layanan lembaga penyuluhan. Dukungan keluarga dibutuhkan mengingat usaha pemanfaatan sagu membutuhkan bantuan orang lain dan anggota keluarga merupakan tenaga kerja yang tersedia dan dapat dimanfaatkan. Dukungan keluarga juga diperlukan karena umumnya hak pemilikan lahan sagu merupakan milik bersama sehingga untukmemanfaatkannya memerlukan ijin keluarga. Dukungan kelompok diperlukan pengelola sagu untuk memperkuat posisi tawar dan berbagi pengalaman dalam proses pengolahan sagu (pemanenan). Dukungan pemerintah dibutuhkan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif dalam pengembangan sagu di Maluku Tengah, terutama dalam persaingan dengan pengembangan bahan pangan lain, sedangkan dukungan lembaga penyuluhan dibutuhkan untuk mewujudkan perilaku pengelola sagu yang berorientasi pada peningkatan produktivitas, pemanfaatan sagu, dan pasar.

(22)

Landasan Teori

Kapasitas dapat dipahami sebagai kemampuan orang, organisasi, dan masyarakat secara keseluruhan untuk mengelola sesuatu kegiatan atau pekerjaan dengan sukses (DAC Network on Governance 2006). Pada manusia, secara alamiah perkembangan kehidupan setiap individu senantiasa ditentukan kapasitas yang dimilikinya. Dalam hal ini, kata kapasitas sering diidentikkan dengan istilah kekuatan individu yang ditunjukkan dalam bentuk tindakan. Tindakan yang dimaksudkan bertujuan mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Brown et al. 2001) dan sesuai dengan kepentingan atau kebutuhan (Weber 1964). Kapasitas sebagai kemampuan individu juga dinyatakan oleh Havelock (1971) & Sumardjo (1999) dan dalam beberapa aspek terkait dengan kinerja (Willems & Baumer 2003; Baser & Morgan 2008) serta keterampilan dalam melaksanakan fungsinya (Willems Baumer 2003).

Kapasitas individu dibentuk oleh tiga ranah perilaku individu, yaitu: (1) pengetahuan (kognitif), (2) sikap mental (afektif), dan (3) keterampilan atau tindakan (psikomotor) yang terinternalisasi dalam diri seseorang (Rogers 1994; Tjitropranoto 2005; Subagio et al. 2008). Sehubungan dengan itu, pengembangan sumber daya manusia dimaksudkan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sehingga individu mampu memperbaiki perilaku yang dimiliki secara terorganisasi untuk kebutuhan dirinya (Gilley & Eggland 1989). Seseorang dikatakan memiliki kualitas sumber daya manusia yang tinggi jika tahu, mau, dan mampu memberi reaksi yang benar terhadap berbagai rangsangan yang berasal dari dalam dan luar dirinya (Susanto 2008). Perkataan benar mengandung arti paling mendekati atau paling sesuai dengan harapan sumber rangsangan.

Terkait dengan pengembangan kapasitas individu, konsep kapasitas, kompetensi dan pemberdayaan, unsur perubahan yang diharapkan terfokus pada ranah pengetahuan, sikap dan keterampilan pada diri individu, sehingga sulit dipisahkan secara jelas karena konsep-konsep tersebut penting dalam pembentukan kemampuan pribadi seseorang dalam berperilaku untuk memenuhi harapan dan kebutuhannya. Walaupun demikian, menurut Badudu (2003) bila ditelusuri dari makna kata-kata serapan asing dalam kamus bahasa Indonesia, konsep kapasitas dan kompetensi memiliki perbedaan yang substansial. Kapasitas berasal dari kata asing capacity yang mengandung makna suatu kemampuan untuk berfungsi atau berproduksi berdasarkan kekuatan yang dimilikinya, sedangkan konsep kompetensi berasal dari kata competency yang memiliki makna sebagai suatu kemampuan yang berkaitan dengan wewenang atau hak-hak untuk menentukan atau memutuskan sesuatu menyangkut dengan tugas dan tanggungjawab. Jadi pada dasarnya kapasitas merupakan daya-daya kekuatan yang menghasilkan kemampuan, sedangkan kompetensi adalah suatu kemampuan yang bermuara pada keahlian. Menurut Boyatzis (1984), kompetensi adalah kemampuan dan keterampilan yang dimiliki seseorang untuk melakukan pekerjaan guna mencapai tujuan. Pendapat Boyatzis tersebut menekankan bahwa kemampuan menggambarkan sifat (baik sifat bawaan ataupun dipelajari) yang memungkinkan seseorang untuk melakukan sesuatu yang bersifat mental fisik. Sementara keterampilan berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan atau tugas untuk mencapai tujuan. Pemberdayaan juga merupakan kata yang sering digunakan untuk menunjukkan berbagai pekerjaan/kegiatan yang membantu masyarakat agar memiliki daya dalam mengembangkan kehidupannya. Dengan kata lain, pemberdayaan bertujuan untuk memberikan daya atau kemampuan bagi masyarakat yang tidak atau kurang berdaya menjadi masyarakat yang berdaya,

(23)

(Slamet 2003). Perbedaan konsep kapasitas, kompetensi dan pemberdayaan menurut unsur-unsurnya tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1 Perbedaan konsep kapasitas, kompetensi dan pemberdayaan

Unsur Kapasitas Kompetensi Pemberdayaan

Terminologi Mengembangkan

Sasaran Anggota masyarakat pada berbagai bidang atau sektor,

Target studi Anggota masyarakat pada berbagai bidang usaha

Substansi Cenderung pada level individu terkait dengan

(24)

memonitor dan memodifikasi berbagai hasil negatif dari dukungan yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas individu atau organisasi. Dengan demikian, upaya pengembangan kapasitas membutuhkan proses yang berkelanjutan berdasarkan kondisi nyata dan capaian setiap proses yang sudah dilakukan.

Upaya mengembangkan kapasitas dapat dilakukan melalui berbagai bentuk pendidikan non formal, di antaranya penyuluhan. Bentuk penyuluhan yang diperlukan menurut Tjitropranoto (2005) tidak hanya terbatas mengubah pengetahuan dan keterampilan atau tindakan saja, tetapi juga membentuk sikap, rasa percaya diri, dan rasa tanggung jawab atau komitmen. Dalam hal ini, falsafah penyuluhan tentang pentingnya individu menjadi penting karena menurut Asngari (2008), pribadi seseorang memiliki nilai yang tiada taranya untuk berkembang dan dikembangkan. Diperlukan penyadaran dan advokasi tentang kapasitas yang dimiliki seseorang, agar mengetahui permasalahan yang dihadapi, kemauan untuk berubah dan kemampuan untuk memecahkan masalahnya sendiri. Pengembangan kapasitas perlu dilakukan secara terus menerus sesuai perkembangan dan kebutuhan. Hal ini sesuai dengan falsafah kontinyu pada penyuluhan yang dimulai dari tahu, mau dan mampu (Asngari 2008) serta sejalan dengan tujuan penyuluhan pembangunan yang berupaya membangun struktur masyarakat melalui proses yang bersifat konvergen, dialogis, demokratis dan partisipatif (Sumardjo 2008). Sejalan dengan itu, penyuluhan diselenggarakan berasaskan demokrasi, manfaat, kesetaraan, keterpaduan, keseimbangan, keterbukaan, kerjasama, partisipatif, kemitraan, berkelanjutan, berkeadilan, pemerataan, dan bertanggung gugat (UU RI No. 16 Tahun 2006). Pada bidang pertanian, meningkatkan kemampuan dan kapasitas petani serta kelembagaan petani dalam berusahatani secara produktif, maju, moderen, dan berkelanjutan merupakan salah satu tujuan dari perlindungan dan pemberdayaan petani (UU RI No. 19 Tahun 2013).

Intervensi penyuluhan dalam pengembangan kapasitas terkait erat dengan teori-teori belajar, terutama teori belajar perilaku seperti teori koneksionisme yang diperkenalkan E.L. Thorndike. Berdasarkan teori belajar koneksionisme, perilaku seseorang merupakan respons yang diberikan terhadap stimulus-stimulus yang ada di sekitar lingkungannya. Menurut Lewin (Amanah 2006) perilaku individu merupakan fungsi dari individu dan situasi atau lingkungan. Secara matematis dapat diformulasikan sebagai berikut: B = f (P,S); B adalah behavior, P adalah

person, dan S adalah situasi. Dengan demikian, perilaku seseorang dipengaruhi oleh sesuatu dalam dirinya dan di luar dirinya yang memotivasi untuk bertindak dan antara individu dengan situasi akan saling bergantung. Perbedaan karakteristik setiap orang serta perbedaan lingkungan menyebabkan upaya mengubah perilaku tidak sama untuk setiap orang, karena itu, dibutuhkan pemahaman terhadap perubahan perilaku dan menghindari pelaksanaan program-program pengembangan perilaku yang tidak mempertimbangkan kenyataan atau kondisi setempat (Fleskens & Jorritsma 2010).

Kerangka Berpikir Penelitian

(25)

rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman merata dan terjangkau sesuai amanat Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 sebagai pengganti Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Kecukupan pangan akan tercapai bila sebagian besar pemenuhan kebutuhan pangan disediakan dari produksi dalam negeri (Kusharto dan Hardinsyah 2012).

Dalam upaya memenuhi kebutuhan pangan untuk mewujudkan ketahanan pangan, peranan sumber pangan non beras (pangan lokal) menjadi penting yang merupakan potensi untuk mendukung terwujudnya pembangunan ketahanan pangan. Hampir di setiap daerah di Indonesia memiliki pangan lokal yang dapat diandalkan sebagai sumber pangan non beras. Di Maluku, sumber pangan non beras yang memiliki potensi untuk dimanfaatkan dan dikembangkan adalah sagu.

Pilihan memanfaatkan sagu sebagai pangan lokal merupakan reaksi terhadap keberadaan tanaman sagu yang sudah ada sejak dahulu kala di lingkungan tempat tinggal masyarakat Maluku, khususnya di daerah pedesaan dengan pola hidup berbasis sagu. Pemanfaatan sagu sebagai pangan lokal tidak dapat dipisahkan dengan kearifan lokal yang merupakan budaya masyarakat Maluku. Menurut Triguna (Kapludin 2011) bahwa nilai sosial budaya merupakan hasil abstraksi berdasarkan pengalaman beradaptasi dalam pengelolaan sumber daya alam.

Selain sebagai sumber pangan lokal, sagu juga dimanfaatkan sebagai sumber mata pencaharian dan pendapatan bagi masyarakat Maluku, karena itu peran pengelola sagu cukup penting dalam pengembangan sagu di Maluku, termasuk Maluku Tengah. Kenyataan yang ada saat ini menunjukkan bahwa pengelola sagu di Maluku, khususnya Maluku Tengah belum mampu memanfaatkan sagu secara optimal, karena adanya berbagai keterbatasan yang dihadapi dalam pengelolaan sagu. Keterbatasan dimaksud, menurut Hetharia (2006) lebih disebabkan kurangnya pengetahuan dalam peningkatan pemanfaatan sagu. Kondisi ini sangat memprihatinkan bagi pengembangan sagu di Maluku, terutama dalam kaitan dengan penguatan kembali peran sagu sebagai pangan lokal dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan. Sehubungan itu, diperlukan berbagai upaya untuk mengembangkan kapasitas pengelola sagu agar nantinya mampu meningkatkan pemanfaatan sagu.

(26)

Gambar 1 Kerangka berpikir penelitian pengembangan kapasitas pengelola sagu

Perumusan Masalah

Setiap individu memiliki karakteristik sosial ekonomi yang berbeda satu sama lain. Karakteristik sosial ekonomi individu dapat menjadi faktor penentu perbedaan kapasitas yang dimiliki antar individu, seperti ditemukan Subagio (2008) pada petani sayuran di Pasuruan dan Malang serta pada petani sawah lebak di Sumatera Selatan (Yunita 2011). Perbedaan atribut (ciri-ciri petani) seperti umur dan pendidikan formal berpengaruh pada adopsi inovasi para petani tradisional di Canada (Atari et al. 2009). Damanik et al. (2014) menemukan bahwa faktor umur, pendidikan non formal yang pernah diikuti, lama menekuni usaha, motivasi berusaha, jumlah keluarga dan nilai fungsi sosial dan budaya sagu mempengaruhi kapasitas pengolah sagu tradisional di Maluku dalam mengembangkan kapasitas usaha.

Karakteristik sosial ekonomi pengelola sagu di Maluku, termasuk Maluku Tengah menjadi penting diketahui dalam mempersiapkan upaya pengembangan kapasitasnya karena perbedaan karakteristik sosial ekonomi antar pengelola sagu menimbulkan perbedaan dalam perilaku pemanfaatan sagu sebagai perwujudan dari perbedaan kapasitas yang dimiliki. Hal ini menjadi dasar dalam menemukan strategi pengembangan kapasitas pengelola sagu agar dapat meningkatkan pemanfaatan sagu. Sehubungan dengan itu, permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana keterkaitan hubungan karakteristik sosial ekonomi dan dukungan lingkungan dengan kapasitas pengelola sagu di Maluku Tengah saat ini?

2. Bagaimanakah tingkat pemanfaatan sagu saat ini dan hubungannya dengan tingkat kapasitas yang dimiliki pengelola sagu?

3. Bagaimana strategi penyuluhan yang tepat untuk mengembangkan kapasitas pengelola sagu sehingga pemanfaatan sagu meningkat?

Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan memberikan pemecahan terhadap permasalahan dalam pengembangan kapasitas pengelola sagu di Maluku Tengah dalam upaya meningkatkan pemanfaatan sagu. Secara lebih rinci, tujuan penelitian ini adalah:

Tingkat Pemanfaatan

Sagu Kapasitas

Pengelola Sagu

Potensi Sagu

Pengembangan Kapasitas

Ketersediaan Pangan Lokal Dukungan

Lingkungan

Karakteristik Sosial Ekonomi

Sumber Mata Pencaharian

dan Pendapatan

(27)

1. Menganalisis hubungan karakteristik sosial ekonomi dan dukungan lingkungan dengan kapasitas pengelola sagu di Maluku Tengah.

2. Menganalisis tingkat pemanfaatan sagu di Maluku Tengah dan hubungannya dengan tingkat kapasitas pengelola sagu.

3. Menghasilkan strategi penyuluhan bagi pengembangan kapasitas pengelola sagu untuk meningkatkan kemampuan memanfaatkan sagu.

Kebaruan Penelitian

Tingkat pemanfaatan sagu untuk menghasilkan produk semi olahan di Maluku berkisar 24% (28.6 ribu ton), sementara kapasitas produksi pati sagu (produk semi olahan) per hektar mencapai 119 168 ton per masa tebang. Sisanya sekitar 90 568 ton hasil olahan sagu terbuang di hutan setiap tahunnya (Pemprov Maluku 2006). Potensi sagu yang ada saat ini akan semakin meningkat bila diarahkan pada usaha revitalisasi sagu yang telah, sedang dan akan dilakukan lebih berfokus pada pendayagunaan sumber daya alam sagu dengan cara pengolahan dan produksi hasil olahan sagu secara profesional. Untuk itu, pengembangan kapasitas pengelola sagu dalam memanfaatkan sagu menjadi penting dilakukan.

Kebaruan penelitian ini terletak pada aspek penelitian yang dipilih, yaitu: (1) untuk membuktikan dan menganalisis hubungan kapasitas pengelola sagu dengan karakteristik sosial ekonomi, dan dukungan lingkungan yang dirasakan pengelola sagu dalam menjalankan usaha pemanfaatan sagu, dan 2) merancang strategi penyuluhan yang tepat untuk pengembangan kapasitas pengelola sagu dalam peningkatan pemanfaatan sagu di Maluku Tengah, sehingga menghasilkan produk olahan sagu yang berdaya saing dan memiliki nilai tambah, berkelanjutan, inovatif sehingga dapat mendukung program ketahanan pangan. Ketahanan pangan melalui penguatan pangan lokal sagu sulit terwujud jika peran sagu dalam memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga keluarga di Maluku semakin menurun dari waktu ke waktu. Pengelola sagu memegang peran strategis mengingat jumlahnya relatif dominan dan masih mengandalkan sagu sebagai sumber mata pencaharian dan pendapatan keluarga, khususnya pada desa-desa berbasis sagu di Maluku. Berikut ini disajikan beberapa penelitian/artikel ilmiah yang memiliki kemiripan permasalahan pengembangan/pemanfaatan sagu, khususnya di Maluku dengan pendekatan yang berbeda. Penjelasan lebih rinci terhadap tujuh macam penelitian sebelumnya yang menguatkan dan membangun kebaruan (novelty) pada penelitian ini tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2 Beberapa penelitian pengembangan sagu di Maluku

No. Peneliti, tahun, dan jenis penelitian

Judul penelitian Pendekatan Kontribusi

(28)

Tabel 2 (lanjutan)

No. Peneliti, tahun, dan jenis penelitian

Judul penelitian Pendekatan Kontribusi

penelitian

Penelitian ini merupakan bagian dari proses pembelajaran untuk menghasilkan suatu strategi penyuluhan dalam meningkatkan kapasitas pengelola sagu di Maluku Tengah. Landasan penelitian ini mengacu pada kajian teoritik dan empirik. Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Manfaat akademis:

a. Sebagai sumbangan informasi untuk memperkaya khasanah keilmuwan dalam pengembangan Ilmu Penyuluhan Pembangunan, terutama yang berkaitan dengan aspek pengembangan kapasitas pengelola sagu.

b. Sebagai bahan informasi bagi ilmuwan lain yang tertarik pada kajian tentang pendayagunaan sumber daya alam sagu.

2. Manfaat praktis

(29)

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini difokuskan pada perilaku pengelola sagu dalam mengolah sagu menjadi pati, baik semi olahan (pati sagu basah), olahan (pati sagu kering), maupun olahan lanjutan (pati sagu siap saji) untuk memenuhi segmen pasar lokal, regional, nasional dan pasar global. Perilaku pengelola sagu merupakan bentuk perwujudan kemampuan/kapasitas yang tercermin pada pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam memanfaatkan sagu sehingga dapat menjamin keberlanjutan usaha, baik dari segi sosial, ekonomi maupun lingkungan. Perilaku pengelola sagu di Maluku mencirikan tipologi teknologi pengolahan sagu secara sederhana dan semi mekanis. Hasil pengamatan di lapangan memperlihatkan bahwa perilaku usaha pengelola sagu dimulai dari kemampuan mempersiapkan input produksi, pelaksanaan kegiatan usaha (proses), penanganan produk olahan sagu, hingga memasarkan produk olahan tersebut.

Disertasi ini disusun dalam tiga rangkaian penelitian, yakni: (1) Karakteristik sosial ekonomi pengelola sagu dan tingkat kapasitas yang dimiliki. Bagian ini menyajikan potret sosial ekonomi pengelola sagu serta kaitannya dengan kapasitas yang dimiliki; (2) Hubungan tingkat pemanfaatan sagu dengan tingkat kapasitas pengelola sagu. Tingkat pemanfaatan sagu menarik untuk dianalisis karena memanfaatkan sagu menjadi salah satu mata pencaharian utama di desa-desa yang memiliki potensi sagu, termasuk di Maluku Tengah; dan (3) Strategi penyuluhan untuk pengembangan kapasitas pengelola sagu. Pengembangan kapasitas pengelola sagu dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan meningkatkan produktivitas sagu, baik kuantitas maupun kualitas sehingga menghasilkan daya saing produk olahan sagu yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dibandingkan dengan produk pangan lainnya.

(30)

Data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari responden melalui wawancara yang berpedoman pada kuesioner. Di samping itu, dilakukan wawancara mendalam dan focused group discussion

dengan beberapa responden terpilih. Data sekunder dikumpulkan dari berbagai sumber yang berkaitan dengan tujuan penelitian, seperti tokoh-tokoh adat setempat dan pemangku kepentingan lain. Dilakukan pula pengamatan langsung di lapangan untuk menunjang data penelitian.

Tabel 3 Lokasi, sebaran populasi dan sampel penelitian

Kecamatan Desa Populasi (orang) Sampel (orang)

Saparua Ihamahu 93 53

Mahu 23 13

Tuhaha 64 37

Siri-sori Amalatu 20 12

Salahutu Tulehu 46 26

Waai 34 19

Liang 20 12

Jumlah 300 172

Sumber: Kantor desa setempat (2013) dan pra penelitian (2013)

Penyusunan kuesioner dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan tertutup menggunakan skala pengukuran ordinal (skala Likert) (Oppenheim 1992; Kerlinger 2006), dan pertanyaan terbuka. Agar tidak menimbulkan salah pengertian, setiap peubah diberikan definisi operasional dan cara pengukuran seperti tersaji pada Lampiran 2. Sebelum kuesioner digunakan, dilakukan uji validitas dan reliabilitas pada 30 orang pengelola sagu di Desa Noloth Kecamatan Saparua Kabupaten Maluku Tengah. Desa Nolloth dipilih karena dinilai memiliki kemiripan dengan lokasi penelitian dalam hal pengelola sagu. Uji validitas dilakukan agar diketahui sejauhmana kuesioner yang disusun secara empiris dapat menggambarkan makna nyata dari konsep yang sedang dipertimbangkan (Babbie 2004), sedangkan uji reliabilitas kuesioner dilakukan untuk mengetahui tingkat keandalan dan kepercayaan terhadap kuesioner tersebut (Kerlinger 2006). Uji validitas kuesioner dilakukan dengan teknik korelasi Pearson, sedangkan reliabilitas kuesioner diuji dengan metode Alpha-Cronbach menggunakan program SPSS versi 22.0. Hasil uji validitas menghasilkan nilai rhitung = 0.479 – 0.961 > r0.05 = 0.361; dan nilai koefisien reliabilitas berada pada interval 0.664 – 0.751, sehingga dapat dinyatakan bahwa instrumen penelitian sahih dan andal untuk memperoleh data.

(31)

2 HUBUNGAN KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI DAN DUKUNGAN LINGKUNGAN DENGAN

KAPASITAS PENGELOLA SAGU DI MALUKU TENGAH

Abstrak

Sumber daya alam sagu di Maluku, termasuk Maluku Tengah sangat potensial untuk dikembangkan, khususnya sebagai sumber pangan lokal untuk mendukung penganekaragaman pangan sebagai bagian integral pembangunan ketahanan pangan sehingga dapat mengurangi ketergantungan pada beras. Sehubungan dengan hal tersebut, dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas, yakni pengelola sagu yang berkapasitas sehingga mampu memanfaatkan sagu secara optimal untuk menghasilkan produk olahan sagu yang berdaya saing dalam memenuhi selera konsumen pada berbagai segmen pasar. Pemanfaatan sagu yang dijalankan pengelola sagu di Maluku Tengah merupakan usaha yang secara turun-temurun diwariskan oleh generasi sebelumnya. Produksi sagu sebagian besar masih dalam bentuk semi olahan (pati sagu basah) dengan menggunakan tumang

atau keranjang (wadah yang terbuat dari daun sagu), yang lazim disebut dengan sagu mantah. Seiring perkembangan waktu, permintaan domestik terhadap produk olahan sagu yang berkualitas cenderung meningkat baik sebagai bahan baku industri pangan, non pangan maupun ekspor. Selama ini berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan kemampuan pengelola sagu, namun belum memberikan hasil yang diharapkan karena kurang memperhatikan karakteristik sosial ekonomi dan kapasitas pengelola sagu yang ada. Terkait dengan hal tersebut, penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan karakteristik sosial ekonomi dan tingkat kapasitas pengelola sagu di Maluku Tengah. Lokasi penelitian adalah kawasan sentra pengembangan sagu, yakni Maluku Tengah dengan memilih dua kecamatan yang merupakan sentra produksi sagu, yakni Kecamatan Saparua dan Kecamatan Salahutu. Kecamatan Saparua diwakili empat desa dan Kecamatan Salahutu diwakili tiga desa yang dipilih secara sengaja. Desa-desa penelitian merupakan sentra produksi sagu yang ada di kedua kecamatan dimaksud. Sampel penelitian berukuran 172 pengelola sagu aktif yang mewakili 300 pengelola sagu sebagai populasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik sosial ekonomi pengelola sagu merupakan penentu pengembangan kapasitasnya, yakni sebagian besar berumur produktif dan masih melestarikan nilai sosial dan budaya sagu. Kapasitas pengelola sagu perlu ditingkatkan melalui dukungan lingkungan eksternal, yakni peran kelembagaan penyuluhan, komitmen pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah Maluku Tengah dan pemangku kepentingan lain.

Kata kunci: Karakteristik sosial ekonomi, kapasitas, pengelola sagu

Pendahuluan

(32)

Sumatera Selatan (Yunita 2011), petani di sekitar hutan pada Pegunungan Kendeng Pati (Sumarlan et al. 2012), pengolah sagu tradisional di Maluku (Damanik et al. 2014), dan pengrajin ulat sutra di Sulawesi Selatan (Ibrahim 2014).

Pada penelitian ini, karakteristik sosial ekonomi pengelola sagu juga digunakan sebagai faktor pembeda dalam membentuk perilaku usaha pemanfaatan sagu. Hal ini didasarkan adanya perbedaan dalam pengelolaan sagu menjadi lebih benilai ekonomi. Di samping karakteristik sosial ekonomi, dukungan lingkungan juga dijadikan faktor pembeda dalam membentuk perilaku pengelola sagu. Keberadaan keluarga, kelompok pengelola sagu, pemerintah, dan penyuluhan dapat menjadi pendorong jika memberikan dukungan yang tepat. Hal ini disebabkan pengelola sagu masih memiliki keterbatasan dalam mengembangkan usaha sehingga membutuhkan dukungan dari berbagai pihak.

Sebagai komoditi lokal yang sudah menyatu dengan kehidupan masyarakat setempat, keterampilan menjalankan usaha pemanfaatan sagu umumnya diperoleh secara turun-temurun, namun tidak berarti kreativitas pengelola sagu tidak diperlukan. Pengelola sagu dituntut mampu meningkatkan keterampilannya sehingga menghasilkan produk-produk yang lebih inovatif dan berdaya saing agar dapat memenuhi kebutuhan selera konsumen dan segmen pasar yang senantiasa berubah. Hambatan utama pengelola sagu dalam memanfaatkan sagu adalah teknologi pengolahan sagu yang belum mendukung dalam peningkatan daya saing produk olahan sagu yang dihasilkan. Di samping itu, dari segi kuantitas dan kontinuitas juga masih terkendala sehingga belum dapat memenuhi kebutuhan pasar, baik di Maluku maupun di luar Maluku. Sehubungan dengan itu, kapasitas pengelola sagu menjadi penentu bagi peningkatan pemanfaatan sagu agar lebih berdaya guna dan berdaya saing.

Pentingnya kapasitas bagi pengembangan individu disebabkan kapasitas pada diri individu akan menentukan tindakan yang akan diambil. Setiap individu dalam kehidupannya akan melakukan tindakan sesuai dengan kepentingan dan kebutuhannya yang diwujudkan dalam bentuk perilakunya (Weber 1964). Dalam kehidupan bermasyarakat, kapasitas adalah kemampuan individu dalam masyarakat untuk mengerahkan dan menginvestasikan berbagai sumber daya yang dimilikinya (Havelock 1971; Sumardjo 1999) dan sering dikaitkan dengan kinerja, kemampuan, kapabilitas dan potensi yang dimiliki seseorang (Liou 2004; Baser & Morgan 2008; Fatchiya 2010). Tjitropranoto (2005) berpendapat bahwa kapasitas seorang petani dipengaruhi oleh karakteristik pribadinya yang menurut Rogers (1994) dibentuk oleh tiga ranah perilaku individu, yaitu: (1) pengetahuan (kognitif), (2) sikap (afektif), dan (3) keterampilan atau tindakan (psikomotor) yang terinternalisasi dalam diri seseorang. Dengan demikian, kapasitas seseorang dapat ditingkatkan.

Bagi pengelola sagu, kapasitas yang dimiliki dalam usaha pemanfaatan sagu merupakan kemampuan dalam melaksanakan seluruh proses yang masih menghambat peningkatan pemanfaatan sagu, yaitu kemampuan menyediakan dan memanfaatkan teknologi pengolahan sagu, kemampuan mengembangkan pemasaran produk olahan sagu, kemampuan mengidentifikasi dan memecahkan masalah, serta kemampuan menjaga keberlanjutan usaha. Berhasil tidaknya tindakan yang dilakukan pengelola sagu akan tergantung pada kapasitas yang dimilikinya.

(33)

pengelola sagu serta kaitannya dengan kapasitasnya. Secara lebih jelas, permasalahan penelitian dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah karakteristik sosial ekonomi pengelola sagu di Maluku Tengah? 2. Bagaimanakah dukungan lingkungan yang dirasakan pengelola sagu saat ini? 3. Bagaimanakah tingkat kapasitas pengelola sagu saat ini?

4. Bagaimanakah keterkaitan hubungan antara karakteristik sosial ekonomi dan dukungan lingkungan dengan kapasitas pengelola sagu saat ini?

Penelitian ini bertujuan menganalisis lebih jauh tentang kapasitas pengelola sagu untuk menemukan jawaban atas permasalahan penelitian. Lebih jelasnya, tujuan penelitian ini adalah:

1. Menganalisis karakteristik sosial ekonomi pengelola sagu di Maluku Tengah. 2. Menganalisis dukungan lingkungan yang dirasakan pengelola sagu dalam

peningkatan pemanfaatan sagu.

3. Menganalisis tingkat kapasitas pengelola sagu.

4. Menganalisis keterkaitan hubungan antara karakteristik sosial ekonomi pengelola sagu dan dukungan lingkungan dengan tingkat kapasitas yang dimilikinya.

Mengacu pada tujuan penelitian dimaksud, dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:

1. Terdapat keterkaitan hubungan secara positif dan nyata antara karakteristik sosial ekonomi pengelola sagu dengan kapasitas pengelola sagu.

2. Terdapat keterkaitan hubungan secara positif dan nyata antara dukungan lingkungan yang dirasakan pengelola sagu dengan kapasitas pengelola sagu

Implikasi akademis dari hasil penelitian ini adalah sebagai bahan informasi tentang keberadaan pengelola sagu serta perilakunya dalam memanfaatkan sagu. Informasi dimaksud dapat menjadi acuan bagi peneliti lain yang terkait dengan pengembangan sagu di Maluku Tengah dengan titik sentral pada pengelola sagu yang ada. Bagi Ilmu Penyuluhan Pembangunan, diharapkan hasil penelitian ini menjadi bahan masukan bagi pengembangan ilmu penyuluhan yang terkait dengan perilaku pengelola sagu dan pengelolaan sumber daya alam lokal lainnya di berbagai daerah yang memiliki kesamaan, baik kesamaan wilayah maupun kesamaan masyarakat. Implikasi praktis dari hasil penelitian ini adalah sebagai bahan pertimbangan bagi Pemerintah Provinsi Maluku, khususnya Pemerintah Daerah Maluku Tengah dan semua pihak yang terkait dalam merumuskan kebijakan dan program pengembangan pangan lokal, terutama sagu.

Metode Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Maluku Tengah Provinsi Maluku dengan memilih tujuh desa yang mewakili dua kecamatan terpilih, yaitu Kecamatan Saparua dan Salahutu yang merupakan sentra produksi sagu di Maluku Tengah. Desa-desa yang terpilih adalah desa Ihamahu, Mahu, Tuhaha, Sisi Sori Amalatu, Tulehu, Waai dan Liang. Pengumpulan data dilakukan selama empat bulan, mulai bulan Juni hingga September 2013.

Populasi dalam penelitian ini sebanyak 300 orang pengelola sagu sebagai kepala keluarga yang berada pada desa-desa penelitian dengan kriteria telah melakukan usaha pemanfaatan sagu minimal lima tahun. Berdasarkan populasi, jumlah sampel penelitian ditentukan menggunakan rumus Slovin (Sevilla et al.

(34)

adalah 172 orang pengelola sagu. Mengingat sebaran populasi di setiap desa penelitian tidak merata, maka sebaran sampel untuk setiap desa penelitian ditentukan secara proporsional sehingga memenuhi unsur keterwakilan pengelola sagu di setiap desa. Sampel ditentukan secara acak sederhana menggunakan daftar nama pengelola sagu yang bersumber dari setiap kantor desa penelitian.

Data primer yang dikumpulkan terdiri dari karakteristik sosial ekonomi pengelola sagu, dukungan lingkungan yang dirasakan dan kapasitas pengelola sagu dalam memanfaatkan sagu. Data ini diperoleh langsung dari sampel penelitian melalui wawancara dengan panduan kuesioner yang merupakan perwujudan dari peubah-peubah penelitian. Sebagai peubah bebas (independent variable) adalah: (1) Karakteristik Sosial Ekonomi Pengelola Sagu (X1), dan (2) Dukungan Lingkungan (X2); sedangkan peubah terikat (dependent variable) terdiri dari: (1) Kapasitas Pengelola Sagu (Y1) dan (2) Tingkat Pemanfaatan Sagu (Y2).

Bentuk kuesioner berupa pernyataan-pernyataan dengan pilihan jawaban menggunakan Skala Likert (Oppenheim 1992) yang memiliki tiga tingkatan skor dengan skala ordinal yang kemudian dikategorikan menjadi tiga kategori yaitu rendah, sedang dan tinggi. Di samping itu, digunakan pula bentuk pertanyaan tertutup dan terbuka untuk hal-hal tertentu yang dianggap perlu. Klarifikasi terhadap data penelitian dilakukan melalui wawancara mendalam dan focused group discussion (FGD) pada sejumlah sampel penelitian terpilih, yakni pengelola sagu dengan lama usaha terpanjang dan terpendek, umur tertua dan termuda, dan tingkat pendidikan formal tertinggi; serta pedagang yang merupakan pelanggan pengelola sagu di setiap desa.

Data sekunder tentang keberadaan pengelola sagu dan dukungan lingkungan yang pernah berlangsung bersumber dari kantor pemerintah desa dan kecamatan terpilih serta kantor Pemerintah Daerah Maluku Tengah; juga dari satuan-satuan kerja perangkat teknis dan fungsional terkait; dan dari tokoh-tokoh masyarakat seperti tokoh adat yang mengetahui sejarah sagu dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Maluku. Pengamatan langsung di lapangan dan catatan harian digunakan untuk memperkuat data.

Sebelum penelitian dilaksanakan, dilakukan uji validitas dan reliabilitas terhadap kuesioner pada 30 pengelola sagu di luar lokasi terpilih, yaitu di desa Nolloth Kecamatan Saparua Maluku Tengah. Desa Nolloth dipilih karena pengelola sagu di desa ini memiliki kesamaan dengan keadaan sampel pada lokasi penelitian. Uji validitas dilakukan menggunakan uji korelasi Pearson, sedangkan uji reliabilitas dengan teknik Cronbach-Alpha. Hasil uji validitas menghasilkan nilai rhitung= 0.479 - 0.961 > r0.05= 0.361; dan nilai koefisien reliabilitas berada pada interval 0.664 - 0.751, sehingga dapat dinyatakan bahwa instrumen penelitian sahih dan andal untuk memperoleh data. Data dianalisis menggunakan uji statistik deskriptif dan statistik inferensial, yakni matriks korelasi Spearman menggunakan komputer dengan program Statistical Product and Service Solution

(SPSS) versi 22.

Hasil dan Pembahasan

Karakteristik Sosial Ekonomi Pengelola Sagu di Maluku Tengah

(35)

perilakunya, karena itu, pemahaman terhadap karakteristik sosial ekonomi pengelola sagu merupakan hal penting untuk memahami perilaku sosial dan ekonomi pengelola sagu dalam pemanfaatan sagu.

Umur, Pendidikan Formal dan Pendidikan Non Formal

Berdasarkan komposisi umur, 95.35% pengelola sagu tergolong pada usia produktif (26 - 64 tahun) (Tabel 4), sesuai batas usia tenaga kerja yang berada pada umur 15 - 64 tahun menurut Rusli (1995). Hal ini memperlihatkan bahwa usaha pemanfaatan sagu banyak diminati masyarakat, terutama oleh kelompok umur ≥ 40 tahun. Faktor pendorong pengelola sagu pada kelompok umur tersebut melakukan usaha secara intensif adalah untuk meneruskan usaha dan keterampilan orang tua dalam usaha pemanfaatan sagu. Di samping itu, kurang tersedianya lowongan kerja lain serta potensi sagu yang tersedia turut pula menjadi pendorong. Kurang tersedianya lowongan kerja yang dapat dimanfaatkan antara lain disebabkan tingkat pendidikan pengelola sagu yang relatif rendah. Ini terlihat dari >50% pengelola sagu memiliki tingkat pendidikan yang tergolong rendah dengan lama belajar 6-8 tahun atau setara sekolah dasar (Tabel 4).

Tabel 4 Distribusi pengelola sagu menurut umur, pendidikan formal dan pendidikan non formal di Maluku Tengah, 2013

Karakteristik sosial ekonomi pengelola sagu

Jumlah

(orang)

Persentase

(%) Umur (tahun)

26 - 39 (muda) 38 22.09

40 - 53 (dewasa) 72 41.86

54 - 67 (tua) 62 36.05

Pendidikan formal (tahun)

6 - 8 (rendah) 87 50.58 9 - 11 (sedang) 40 23.26

12 - 14 (tinggi) 45 26.16

Pendidikan non formal (frekuensi dalam dua tahun terakhir)

> 1 (tidak pernah) 142 82.56

2 - 3 (jarang) 19 11.05

4 - 5 (sering) 11 6.39

(36)

Cianjur Jawa Barat dan BPP Bumiaji Kota Batu, petani padi sawah lebak di Kabupaten Ogan Ilir dan Ogan Komering Ilir (Yunita 2011), dan petani lahan kritis di sekitar Pegunungan Kendeng Pati (Sumarlan et al. 2012); namun juga di beberapa negara lain seperti di empat desa di wilayah Iran (Ahmadvand et al. 2011), petani padi di Nasarawa, Nigeria (Bello et al. 2012), dan petani di Bangladesh (Chowdhury et al. 2011).

Masyarakat pedesaan yang berusia muda dan berpendidikan menengah ke atas mulai beralih ke sektor non pertanian atau sektor jasa di perkotaan. Hal ini menggambarkan adanya kecenderungan tenaga kerja muda yang relatif terdidik kurang tertarik bekerja di sektor pertanian, termasuk menjadi pengelola sagu. Anggapan masyarakat pedesaan, khususnya generasi muda bahwa bekerja di sektor pertanian kurang menarik, baik dari sisi status sosial/penampilan maupun pendapatan.

Dibutuhkan beberapa upaya untuk mengatasi dampak tingkat pendidikan yang rendah, di antaranya melalui berbagai bentuk pendidikan non formal seperti penyuluhan yang sesuai dengan kebutuhan lokalita, namun di lokasi penelitian keterlibatan pengelola sagu dalam pendidikan non formal relatif masih sangat kurang, dan sering bersifat situasional jika ada program pemerintah. Dalam dua tahun terakhir, sebanyak >82.56% pengelola sagu tidak pernah mengikuti pendidikan non formal, seperti pelatihan atau penyuluhan tentang sistem pengelolaan sagu, padahal pelatihan merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mempersiapkan perilaku seseorang menghadapi tuntutan perubahan yang terjadi. Hal ini mengisyaratkan bahwa pendidikan non formal masih sangat jarang dilakukan sehingga belum menjangkau semua pengelola sagu. Tidak jarang kegiatan pelatihan hanya melibatkan pengelola sagu yang sama dari waktu ke waktu. Alasan lain adalah pengelola sagu kurang tertarik mengikutinya karena kegiatan penyuluhan sering tidak diikuti tindak lanjut sehingga kurang membawa manfaat bagi pengelola sagu. Seyogianya, penyuluhan sebagai salah satu bentuk proses pendidikan non formal dapat menstimulir terjadinya perubahan perilaku petani sehingga dapat berusahatani lebih baik. Cunguara & Moder (2011) menemukan bahwa penyuluhan secara nyata memiliki pengaruh nyata terhadap pengurangan kemiskinan melalui stimulasi pertumbuhan produksi pertanian di pedesaan Mozambik.

Di lokasi penelitian, belum ditemukan penyuluh pertanian yang memiliki kompetensi pada bidang pengelolaan sagu. Ini menjadi salah satu kendala terkait dengan layanan penyuluhan bagi usaha pemanfaatan sagu. Umumnya penyuluh pertanian yang ada adalah penyuluh pertanian tanaman pangan lainnya, seperti padi dan palawija. Di samping itu, perhatian terhadap komoditi sagu yang tidak sebesar perhatian terhadap komoditi pangan lain, seperti padi sawah menyebabkan upaya-upaya penyuluhan terhadap pengelola sagu masih sangat kurang. Sebagai konsekuensinya, upaya yang dilakukan pengelola sagu didominasi oleh cara-cara konvensional yang diperoleh secara turun-temurun. Pengelola sagu juga kesulitan mengakses informasi tentang pemanfaatan sagu karena aspek pendidikan formal yang relatif rendah serta sarana komunikasi yang sangat terbatas.

(37)

segi pembiayaan maupun dari segi lokasi sekolah sehingga menyurutkan keinginan mengikuti pendidikan formal. Seiring dengan perkembangan waktu, saat ini, ketersediaan fasilitas pendidikan yang lebih baik dan kemudahan mengakses pendidikan dasar hingga menengah yang diberikan Pemerintah menyebabkan tingkat pendidikan formal generasi muda di daerah ini sudah semakin meningkat.

Lama Berusaha, Motivasi Usaha, dan Skala Usaha

Lama berusaha merupakan salah faktor penting bagi individu dalam menjalankan suatu pekerjaan dan mendapatkan pengalaman berusaha. Lama berusaha dalam penelitian ini diukur berdasarkan periode waktu (lamanya) pengelola sagu dalam menjalankan usaha pemanfaatan sagu. Sebagian besar (65.70%) pengelola sagu telah menjalankan usaha pemanfaatan sagu lebih dari 15 tahun, dengan rerata 20 tahun (Tabel 5). Hal ini memperlihatkan bahwa usaha pemanfaatan sagu yang ditekuni sudah lama menyatu dengan kehidupan masyarakat, terutama masyarakat pada sentra produksi sagu.

Tabel 5 Distribusi pengelola sagu menurut lama berusaha, motivasi usaha dan skala usaha di Maluku Tengah, 2013

Karakteristik sosial ekonomi pengelola sagu

Jumlah

(orang)

Persentase

% Lama berusaha (tahun)

5 - 15 (rendah) 59 34.30

16 - 26 (sedang) 74 43.03

27 - 37 (tinggi) 39 22.67

Motivasi berusaha (skor)

17 - 21 (rendah) 52 30.23

22 - 26 (sedang) 101 58.72

27 - 31 (tinggi) 19 11.05

Skala usaha (ha)

0.20 - 1.21 (sempit) 137 79.65

1.22 - 2.23 (sedang) 31 18.02

2.24 - 3.25 (luas) 4 2.33

Terdapat hubungan yang positif dan sangat nyata dengan nilai rs= 0.727, antara lama berusaha dengan umur pengelola sagu (Lampiran 3), dengan pengertian bahwa semakin tua umur pengelola sagu, semakin lama waktu dalam menjalankan usaha pemanfaatan sagu yang sudah dilalui, sehingga lebih banyak pengalaman yang didapatkan. Pengalaman berusaha yang dimiliki pengelola sagu erat hubungannya dengan kemampuan menjalankan usahanya yang didukung oleh pengalaman pribadi, termasuk memperoleh pengetahuan baru tentang cara mengatasi permasalahan yang ada. Hal ini sejalan dengan pendapat van den Ban dan Hawkins (2001), yaitu seseorang yang banyak belajar akan memperoleh banyak pengalaman, sehingga akan meningkatkan kemampuan dalam melakukan suatu pekerjaan.

Gambar

Tabel  4  Distribusi pengelola sagu menurut umur, pendidikan formal dan
Tabel 5  Distribusi pengelola sagu menurut lama berusaha, motivasi usaha              dan skala usaha di Maluku Tengah, 2013
Tabel 7  Distribusi pengelola sagu menurut akses informasi, nilai fungsi
Tabel 8   Distribusi pengelola sagu menurut kapasitas pengolahan sagu di
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Dengan demikian melalui kajian model gugus pulau dalam pengembangan wilayah kepulauan di Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku, dapat diketahui

Dengan demikian melalui kajian model gugus pulau dalam pengembangan wilayah kepulauan di Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku, dapat diketahui

Penelitian ini bertujuan mengetahui kondisi ekologis dan potensi ekosistem padang lamun perairan Pulau Tujuh Seram Utara Barat Kabupaten Maluku Tengah. Metode

Langkah berikutnya karena tujuan penelitian adalah Untuk menyusun Strategi yang harus dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Maluku Utara dalam rangka meningkatkan

Perhitungan nilai kontribusi, nilai LQ, tipologi ekonomi, nilai aglomerasi, nilai spesialisasi sektor perikanan di Kabupaten Maluku Tengah diperoleh hasil bahwa kontribusi

Strategi komunikasi interpersonal orang tua terhadap anak remaja dalam menghadapi pergaulan bebas di Negeri Tulehu Kabupaten Maluku Tengah terutama pada Dusun

Potensi yang Bisa dijadikan sebagai modal dalam mengembangkan strategi pengembangan Rural Tourism di desa Tulehu dan Liang Kecamatan Salahutu Kabupaten Maluku Tengah Berdasarkan hasil