• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Model Gugus Pulau, dalam Pengembangan Kepulauan di Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Model Gugus Pulau, dalam Pengembangan Kepulauan di Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku."

Copied!
425
0
0

Teks penuh

(1)

WILAYAH KEPULAUAN DI KABUPATEN MALUKU TENGGARA

BARAT, PROVINSI MALUKU

JOHANNES ADRIAN LOKOLLO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi yang berjudul :

KAJIAN MODEL GUGUS PULAU DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH KEPULAUAN DI KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT, PROVINSI MALUKU.

adalah merupakan hasil karya dan hasil penelitian saya sendiri, dengan pembimbingan dari komisi pembimbing. Disertasi ini belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi dan data yang digunakan berasal atau dikutip dari karya penulis lain yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Februari 2012

Johannes A. Lokollo

(4)
(5)

JOHANNES A. LOKOLLO. Study of the Islands Cluster Model, for the development of archipelago of the Western Southeast Maluku Regency, of Maluku Province. Under supervision TRIDOYO KUSUMASTANTO, SETYO BUDI SUSILO, SETIA HADI, and ARIF SATRIA.

The size of the small island and the isolated location by the sea are related to the limited supply of the land resources and the accessibility to the surrounding islands. The problem of the small islands are generally related to the difficulties to get the supply for living and various facilities needed for development, coming from inside and from outside of the small islands. To solve the problem, it needed a spatial approach model, and one of the approach model is island cluster model. The design of this model focus to the effort of the levelization of the population in order to reach the balance between Ecological Footprint (EF) and Bio Capacity (BC), by the interaction proses among the islands in the research area. Based on the design on the model mention above the aim of this study is to know the implication of the island cluster model in the development of the archipelago in Western part of Southeast Maluku Regency. The results shows that the mechanism of the islands cluster model can reduce the gap of GDP growth, employment, and sustainability of each small islands in the study area.

(6)
(7)

JOHANNES A. LOKOLLO. Kajian Model Gugus Pulau, dalam Pengembangan Kepulauan di Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku. Dibimbing oleh TRIDOYO KUSUMASTANTO, SETYO BUDI SUSILO, SETIA HADI, dan ARIF SATRIA.

Luas wilayah Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) secara keseluruhan mencapai 125.422,4 Km2. dari luas tersebut 110.838,3 Km2 atau 88,37% diantaranya merupakan wilayah lautan. Sedangkan 14.584 Km2 atau 11,63% sisanya merupakan wilayah daratan yang terfragmentasi dalam bentuk pulau dan pulau kecil dengan luas dibawah 2.000 Km2. Dengan demikian secara geografis wilayah Kabupaten Maluku Tenggara Barat didominasi oleh pulau-pulau kecil, bahkan sangat kecil, sehingga karakteristik pulau-pulau-pulau-pulau kecil sangat berperan dalam pengembangan wilayahnya.

Dengan luasan wilayah yang kecil, maka pulau-pulau kecil memiliki keterbatasan dalam ketersediaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan seperti air tawar, vegetasi, tanah, ekosistem pesisir dan satwa liar , sehingga pada gilirannya akan berpengaruh terhadap daya dukung pulau-pulau kecil tersebut didalam menopang kehidupan manusia serta segenap kegiatan pembangunan yang ada. Dengan semakin banyaknya penduduk di pulau-pulau kecil, maka kebutuhan penduduk akan lahan di pulau-pulau kecil juga semakin meningkat. Jika kebutuhan ini tidak sesuai dengan kapasitas daya dukung lahan yang cukup memadai dari waktu ke waktu, maka keberlanjutan pembangunan pulau-pulau kecil tidak akan tercapai. Selain kecil, tata letak dari pulau kecil dalam ruang yang terpisah oleh laut dan lautan cenderung terpencil sehingga aksesabiltas dari lingkungan diluar pulau kecil tersebut yang diharapkan dapat ikut memberikan suplai kebutuhan hidup serta berbagai fasilitas lainnya didalam rangka mendukung proses pertumbuhan dari pulau kecil tersebut juga relatif lebih sulit.

Dalam mengatasi masalah tersebut, diperlukan suatu model pendekatan ruang, dan salah satu model pendekatan dimaksud adalah model gugus pulau. Desain model ini menitik beratkan pada upaya levelisasi penduduk antar pulau kecil dengan faktor pembatasnya adalah pencapaian keseimbangan antara kebutuhan lahan penduduk dengan ketersediaan lahan yang mampu dihasilkan oleh pulau kecil melalui proses interaksi. Sesuai dengan prinsip Ecological Footprint (EF) sebagaimana dikemukakan oleh: Wackernagel (2001); Kitzes (2007), faktor-faktor pembatas ini dapat diartikan sebagai kebutuhan Ecological Footprint penduduk setempat yang diukur berdasarkan satuan unit luas lahan yang diperlukannya dalam rangka melangsungkan kehidupan serta aktivitasnya. Sedangkan pemenuhan kebutuhan ekologi penduduk akan lahan ini sangat berkaitan dengan bio

capacity (BC) dari sistem dan penggunaan lahan pulau pulau kecil tersebut

(8)

sesuai dengan ketersediaan kapasitas lahan (BC) dari masing-masing pulau kecil yang ada di wilayah penelitian. Mengacu pada desain model diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji implikasi dari model gugus pulau dimaksud dalam pengembangan wilayah kepulauan, khususnya pulau-pulau kecil di Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku. Sesuai dengan ruang lingkup dari model ini, maka pengembangan wilayah kepulauan dilihat berdasarkan tiga tingkatan yaitu tingkat makro yang berorientasi pada besarnya pertumbuhan yang bisa dihasilkan oleh pulau kecil, tingkat meso yang berorientasi pada ketersediaan lapangan pekerjaan bagi penduduk, dan tingkat mikro yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan ekologi penduduk di pulau-pulau kecil tersebut.

Hasil penelitian pada tingkatan makro menunjukkan bahwa disatu sisi mekanisme interaksi dalam gugus pulau dapat menurunkan dan mendistribusikan besarnya nilai PDRB Kecamatan yang relatif tinggi (Rp. 106.337,49 juta menjadi Rp. 84.327,73 juta). Disisi lain mekanisme ini dapat menyerap dan menaikan besarnya nilai PDRB Kecamatan yang relatif lebih rendah (Rp. 11.922,21 juta menjadi Rp. 15.529,25 juta).

Hasil penelitian pada tingkatan meso menunjukkan bahwa secara keseluruhan, keseimbangan antara kebutuhan lapangan pekerjaan dari penduduk terhadap ketersediaan lapangan pekerjaan yang dihasilkan oleh PDRB masih memperlihatkan gejala deficit, sehingga dari waktu kewaktu jumlah pengangguran akan semakin terus meningkat. Usaha dari penduduk di wilayah penelitian masih merupakan upaya pemenuhan kebutuhan minimum mereka selama setahun.

Hasil penelitian pada tingkatan mikro menunjukkan bahwa disatu sisi mekanisme interaksi dalam gugus pulau dapat mengurangi perbedaan waktu pencapaian keseimbangan yang sangat tinggi (149 menjadi 144 tahun model). Disisi lain mekanisme ini dapat memperpanjang waktu pencapaian keseimbangan yang sangat singkat (2 menjadi 3 tahun model).

Dengan demikian melalui kajian model gugus pulau dalam pengembangan wilayah kepulauan di Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku, dapat diketahui tingkat pertumbuhan PDRB, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan tingkat keberlanjutan dari masing-masing pulau-pulau kecil yang ada, sesuai dengan sebaran kebutuhan lahan serta sebaran ketersediaan lahan yang mampu dihasilkan oleh penduduk dan pulau-pulau kecil tersebut.

(9)

©Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan

kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak

(10)
(11)

KAJIAN MODEL GUGUS PULAU DALAM PENGEMBANGAN

WILAYAH KEPULAUAN DI KABUPATEN MALUKU TENGGARA

BARAT, PROVINSI MALUKU

JOHANNES ADRIAN LOKOLLO

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Achmad Fahrudin, MSc. Dr. Ir. Luky Adrianto, MSc.

(13)

Nama : Johannes A. Lokollo

NIM : C261040131

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Disetujui, Komisi Pembimbing,

Prof. Dr. Ir.Tridoyo Kusumastanto,MS.

Ketua

Dr. Ir. Setia Hadi, MS.

Anggota

Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, MSc.

Anggota

Dr. Ir. Arif Satria, MSi.

Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi

Prof Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA.

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

(14)
(15)

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas kemurahan-Nya semata sehingga penyusunan disertasi doktor, sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dapat diselesaikan.

Disertasi dengan judul “Kajian Model Gugus Pulau Dalam Pengembangan Wilayah Kepulauan di Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku”, ini bertujuan untuk mengkaji efek batas dari suatu mekanisme pembentukan gugus pulau yang mendukung proses distribusi pertumbuhan secara optimal sesuai dengan kapasitas daya dukung lahan dari masing masing pulau kecil yang ada didalam gugus pulau tersebut.

Dengan diselesaikannya disertasi ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS, selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, MSc, Dr. Ir. Setia Hadi, MS, dan Dr. Ir. Arif Satria, MSi, selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang telah banyak memberikan arahan dan saran dalam penyelesaian disertasi ini. Kepada Dr. Ir. Achmad Fahrudin, MSc dan Dr. Ir. Luky Adrianto, MSc, selaku penguji pada ujian tertutup, Dr. Ir. Mukhlis Kamal, MSc dan Dr. Ir. Pamuji Lestari, MSc, selaku penguji pada ujian terbuka, yang telah bersedia menyediakan waktu dan memberikan masukan dalam perbaikan desertasi.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian (FPIK) Bogor, Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA, selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Pemerintah Daerah Provinsi Maluku sebagai penyandang dana dalam mengikuti studi, serta keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga disertasi ini bermanfaat bagi pengembangan gugus pulau-pulau kecil secara berkelanjutan.

Bogor, Februari 2012

Johannes A. Lokollo

(16)
(17)

Johannes A. Lokollo dilahirkan di Moscow pada tanggal 21 Februari 1965 dari pasangan bapak Anton F. Lokollo (alm) dan ibu Siswardini. Penulis menikah dengan Norma M.P. Manoppo, dan dikaruniai seorang putri bernama Johana M. Lokollo.

Penulis menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Jurusan Teknik Sipil, Universitas Trisakti Jakarta pada tahun 1991. Selanjutnya menyelesaikan pendidikan S2 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, tahun 2002. Selain pendidikan formal diatas, beberapa pelatihan yang mendukung penulis didalam penelitian ini antara lain adalah pelatihan Integrated Coastal Zone Planing and Management (ICZPM) di Queensland, Australia pada tahun 1998, dan pelatihan District and Provincial Planning di Melbourne dan Adelaide, Australia pada tahun 2004.

Setelah lulus S1, penulis bekerja pada Mitsui Engineering Co.Ltd, sebagai Quantity Surveyor pada Jabotabek Railway Project Central Track Elevated, Manggarai – Pasar Pagi, Jakarta tahun 1991. Kemudian pada tahun 1992 bekerja pada Proyek Sarana Air Bersih, bidang Cipta Karya, Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Maluku di Ambon. Tahun 1993, bekerja pada Sub Direktorat Tata Bangunan Rumah Sakit, Ditjen Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan, di Jakarta. Tahun 1994, bekerja pada Direktorat Irigasi I, Ditjen Pengairan, Departemen Pekerjaan Umum, di Jakarta. Tahun 1995, bekerja pada bidang Fisik dan Prasarana Bappeda Provinsi Maluku. Tahun 2002 bekerja sebagai Kasubid Perikanan dan Kelautan, Bappeda Provinsi Maluku.

(18)
(19)

DAFTAR TABEL ……….…xxi

DAFTAR GAMBAR …...………xxv

DAFTAR LAMPIRAN ………..xxvii

1 PENDAHULUAN ………..1

1.1 Latar Belakang ………..1

1.2 Perumusan Masalah ………..4

1.3 Tujuan Penelitian ………..5

1.4 Manfaat Penelitian ………..5

1.5 Kebaharuan (Novelty) ………..6

2 TINJAUAN PUSTAKA ………...9

2.1 Karakteristik Wilayah Kepulauan ………..9

2.1.1 Ukuran Yang Relatif Kecil (Smallness) ………..9

2.1.2 Keterpencilan (Remoteness) ………10

2.1.3 Ketergantungan (Dependence) ……….12

2.1.4 Kerentanan (Vulnerable) ……….12

2.2 Pengelolaan Wilayah Pulau-Pulau Kecil ……….14

2.2.1 Kebijakan Pengembangan ……….14

2.2.2 Kebijakan Pengendalian ……….16

2.2.3 Aspek Pengembangan ……….18

2.2.4 Pendekatan Perwilayahan ……….20

2.3 Komponen Interaksi Spasial ……….23

2.3.1 Model Gravitasi Kendala Ganda ……….24

2.3.2 Pola Interaksi Spasial ………29

2.4 Komponen Pertumbuhan ……….33

2.5 Komponen Keberlanjutan ……….36

2.5.1 Konsep Ecological Footprint Analysis (EFA) ……….37

2.5.2 Konsep Bio Capacity Analysis (BCA) ……….40

2.5.3 Interaksi antara EF dan BC ……….41

(20)

2.5.5 Keberlanjutan Sistem Perikanan. ……….45

3 KERANGKA PEMIKIRAN ……….49

3.1 Pemikiran Gugus Pulau ……….………49

3.2 Batasan Model ……….52

4 METODOLOGI PENELITIAN ……….55

4.1 Metode Penelitian ……….55

4.2 Jenis Data, dan Sumber Data. ……….55

4.3 Metode Pengumpulan Data. ……….…57

4.4 Metode Analisis Data ……….…57

4.4.1 Analisis Potensi Kawasan Pulau-Pulau Kecil ……….58

4.4.2 Analisis Keberlanjutan Pulau Kecil ……….77

4.4.3 Analisis Pergerakkan Antar Pulau ……….78

4.4.4 Analisis Model Gugus Pulau ………...81

4.5 Kerangka Operasional Penelitian ……….82

5 KEADAAN UMUM WILAYAH ……….85

5.1 Karakteristik Fisik dan Perairan. ……….85

5.1.1 Jumlah Pulau ……….86

5.1.2 Topografi ……….89

5.1.3 Tanah ……….90

5.1.4 Batuan Induk ……….………93

5.1.5 Iklim ……….95

5.1.6 Vegetasi ……….97

5.1.7 Jarak Antar Pulau ……….99

5.2 Karakteristik Sosial ……….99

5.2.1 Kependudukan ………...101

5.2.2 Ketenagakerjaan ………..104

5.2.3 Pendidikan ………..106

5.2.4 Kesehatan ………..110

5.3 Karakteristik Ekonomi ………..112

(21)

6.2 Analisis Kebutuhan Lahan. ………..119

6.2.1 Kebutuhan Makanan ………..120

6.2.2 Kebutuhan Perumahan ………..122

6.2.3 Kebutuhan Transportasi ………..125

6.2.4 Kebutuhan Barang ………..127

6.2.5 Kebutuhan Jasa ………..128

6.2.6 Kebutuhan Tempat Limbah ………..130

6.2.7 Ecological Footprint Penduduk ………..131

6.2.8 Ecological footprint PDRB ………..133

6.2.9 Perbandingan Ecological Footprint Penduduk dan PDRB. ……….135

6.3 Analisis Ketersediaan Lahan ………..136

6.3.1 Kemampuan Lahan ………..136

6.3.2 Bio capacity ………..139

6.4 Tingkat Keberlanjutan ………..143

6.4.1 Skala Kabupaten ………..143

6.4.2 Kecamatan ………..149

6.4.3 Pulau-Pulau Kecil ………..154

7 MODEL PENGEMBANGAN GUGUS PULAU ………..159

7.1 Sejarah Gugus Pulau ………..159

7.2 Pengertian Gugus Pulau ………..160

7.3 Gugus Pulau dan Keterkaitan Tumbuh ………..163

7.4 Mekanisme Model Gugus Pulau ………..165

7.5 Pendekatan Model ………..167

7.6 Analisis Jarak Antar Kecamatan ………..168

7.7 Analisis Jangkauan Wilayah Pelayanan ………..170

7.8 Analisis Interaksi Antar Kecamatan ………..171

7.9 Analisis Pola Interaksi Antar Kecamatan ………...174

(22)

8 KESIMPULAN DAN SARAN ………..178

(23)

1. Keterkaitan utama dalam perkembangan spasial……….. 2. Contoh Matrix Hubungan antara Konsumsi dengan Kebutuhan

Lahan ………

3. Equivalen dan Yield Factor ……….

4. Konversi Kebutuhan Manusia Terhadap Beberpa Jenis Lahan …. 5. Produktivitas Primer Wilayah Perairan ……… 6. Tingkatan Ikan Tropis yang Digunakan dalam Kasus Perikanan di

Pulau Yoron ……….

7. Sepesifikasi Data yang Dibutuhkan ………. 8. Analisis Satuan Kemampuan Lahan Morfologi ……….. 9. Analisis Satuan Kemampuan Lahan Kemudahan Dikerjakan…….. 10. Analisis Satuan Kemampuan Lahan Kestabilan Lereng …………... 11. Analisis Satuan Kemampuan Lahan Kestabilan Pondasi …………. 12. Analisis Satuan Kemampuan Lahan Ketersediaan Air ……….. 13. Analisis Satuan Kemampuan Lahan Drainase ………

14. Analisis Kemampuan Lahan ………..

15. Klasifikasi Pengembangan Lahan ……….

16. Arahan Kesesuaian Lahan ……….

17. Analisis Bio Capacity ………...

18. Analisis Kependudukan ………..

19. Analisis Pendidikan ………..

20. Analisis Ketenagakerjaan ………..

21. Analisis Kesehatan ………..

22. Analisis Ecological Footprint ……….. 23. Koefisien Kebutuhan Manusia Terhadap Beberpa Jenis Lahan ….. 24. Analisis Kebutuhan Lahan Ekologi Penduduk ………

25. Analisis Aspek Sumberdaya Alam ………

26. Analisis Aspek Sumberdaya Buatan ………. 27. Analisis Aspek Sumberdaya Manusia ……….. 28. Analisis Ecological Footprint PDRB ……….

21

38 43 43 46

(24)

29. Analisis Kebutuhan Lahan Ekologi PDRB ………..

30. Analisis Interaksi Spasial ………

31. Analisis Pola Interaksi Spasial ………... 32. Luas Daratan dan Jumlah Pulau berdasarkan Kecamatan ……….. 33. Luas Pulau dan Jumlah Pulau Hasil Analisis ……….. 34. Karakter Jenis Tanah Gabungan ……….. 35. Sebaran Penduduk berdasarkan Ruang Kecamatan ……… 36. Laju Pertumbuhan Penduduk per Kecamatan ……… 37. Data Angkatan Kerja di Kabupaten MTB tahun 2002-2007 ……….. 38. Data Angkatan Kerja Berdasarkan Lapangan Pekerjaan ………….. 39. Sarana Pendidikan SD di Kab. MTB Tahun 2006……… 40. Sarana Pendidikan SMP di Kab. MTB Tahun 2006 ………... 41. Sarana Pendidikan SMA di Kab. MTB Tahun 2006 ………...

42. Sarana dan Usaha Kesehatan MTB ……….

43. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) MTB Tahun 2006 …... 44. Konversi Kebutuhan Makanan Terhadap Lahan EF ………. 45. Konversi Kebutuhan Perumahan Terhadap Lahan EF ………. 46. Konversi Kebutuhan Transportasi Terhadap Lahan EF ………

47. Konversi Kebutuhan Barang-Barang Terhadap Lahan EF …………

48. Konversi Kebutuhan Aneka Jasa Terhadap Lahan EF ………..

49. Konversi Kebutuhan Tempat Limbah Terhadap Lahan EF ………...

50. Kebutuhan Lahan EF Penduduk ………

51. Kebutuhan Lahan EF PDRB ………..

52. Perbandingan Kebutuhan Lahan EF Penduduk dan PDRB Tahun

2006. ………..

53. Luas Sebaran Kelas Kemampuan Lahan ……… 54. Luas Sebaran Kelas Bio capacity ………..

55. Perbandingan Luas Lahan Model dengan Data Eksisting …………

56. Perbandingan EF dan BC………

57. Keberlanjutan Pulau Kecil dalam Skala Kecamatan Tahun 2006 … 58. Keberlanjutan Pulau-Pulau Kecil dalam Skala Pulau ……… 59. Matriks Jarak Antar Pusat Kecamatan di Kabupaten MTB………… 60. Angkatan Kerja, distribusi lapangan kerja, kapasitas ketersediaan

(25)

62. Perbandingan Lamanya Keberlanjutan dan besarnya nilai PDRB

(26)
(27)

1. Desain Struktur Kerentanan Pulau-Pulau Kecil……… 2. Struktur transportasi berpola denritik dan network system……….

3. Karakteristik Hubungan Antar Wilayah……….. 4. Matiks Asal Tujuan (MAT) Perjalanan Antar Wilayah ……… 5. Diagram Alir Gravitasi Kendala Ganda (Lee, 1980)………. 6. Model Matematis Pola Gerakan Antar Dua Wilayah……….. 7. Contoh Kerangka Pola Aliran Antar Pulau berdasarkan matriks

interkasi 10 x10……….

8. Contoh Generalisasi Arah Vektor Aliran berdasarkan titik berat aliran... 9. Transaksi Konsumen dengan Produsen……….. 10. Struktur interaksi “ecological footprint dan bio capacity”………….

11. Kerangka Pemikiran Penelitian……….. 12. Kerangka Operasional Penelitian……….. 13. Karakteristik Geografis Wilayah Kepulauan Maluku ... 14. Peta Kemiringan Lahan ... 15. Peta Jenis Tanah ... 16. Peta Batuan Induk ... 17. Peta Iklim ... 18. Peta Vegetasi dan Perairan ... 19. Peta Kemampuan Lahan... 20. Peta Bio Capacity... 21. Trend Perkembangan Pola Konsumsi Penduduk ... 22. Diagram Dinamik Keberlanjutan Pulau Kecil ... 23. Diagram EF Darat vs BC Darat... 24. Peta Tingkat Keberlanjutan Dalam Skala Kecamatan... 25. Peta Tingkat Keberlanjutan Dalam Skala Pulau Kecil... 26. Sub-sub wilayah inti dengan berbagai tingkat hirarki………. 27. Diagram Causal Loop Model Pulau………... 28. Grafik Trip Length Distribution. Jumlah Penduduk Per Satuan

13 16 20 24 29 30

33

(28)

Jarak (mil)……… 29. Pola Interaksi antar Kecamatan………..

(29)

1. Kebutuhan Lahan Penduduk……….. 2. Ketersediaan Lahan Pulau-Pulau Kecil ……….………. 3. Kebutuhan Lahan PDRB Pertanian……….

4. Kebutuhan Lahan PDRB Non Pertanian

5. Kebutuhan Lahan PDRB Pertanian dan Non-Pertanian

(30)
(31)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB), merupakan salah satu tipologi wilayah administratif di Provinsi Maluku, yang karakteristik wilayahnya berbentuk kepulauan. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kantor BPS MTB Tahun 2006, jumlah pulau di kawasan ini mencapai 133 pulau dan dari jumlah tersebut hanya 88 pulau yang dihuni, sedangkan 54 pulau sisanya tidak didiami. Luas wilayah Kabupaten (MTB) secara keseluruhan mencapai 125.422.4 Km2. Dari luas tersebut 110.838.3 Km2 atau 88.37% diantaranya merupakan wilayah lautan. Sedangkan 14.584 Km2 atau 11.63% sisanya merupakan wilayah daratan yang terfragmentasi dalam bentuk pulau-pulau kecil dengan luasannya dibawah 10.000 Km2. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27, Tahun 2007, tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor PER.16/MEN/2008, tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, disebutkan bahwa Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2, Berdasarkan definisi tersebut diketahui bahwa ada dua pulau di wilayah kabupaten MTB yang tidak masuk dalam kategori pulau kecil yaitu Pulau Wetar dan Pulau Yamdena, sedangkan yang selebihnya didominasi oleh pulau-pulau kecil bahkan sangat kecil, sehingga karakteristik pulau-pulau kecil sangatlah berperan dalam pengembangan wilayahnya.

Pelling & Uitto (2001), mengemukakan bahwa karakteristik pulau kecil terutama dikaitkan dengan ukurannya yang kecil (smallness) dan tata letaknya yang cenderung tersebar serta terpisah oleh jarak dan laut

(remoteness). Kondisi ini menggambarkan bahwa, selain minim akan potensi

(32)

dengan adanya faktor lingkungan alami (Environmental Factors) seperti dinamika laut dan perubahan iklim yang semakin mengurangi tingkat aksesibilitas terhadap pulau-pulau kecil tersebut. Dengan demikian, tidaklah mengherankan kalau isu utama yang muncul didalam pengembangan wilayah pulau-pulau kecil biasanya terkait dengan pertumbuhan pulau-pulau kecil yang relatif sangat terbatas dan terfragmentasi, sehingga diperlukan suatu pendekatan model perwilayahan yang diharapkan dapat memberikan nilai tambah didalam meningkatkan pertumbuhan pulau-pulau kecil tersebut sebagai solusinya.

Salah satu pendekatan model perwilayahan yang muncul seiring dengan upaya meningkatkan pertumbuhan pulau-pulau kecil di wilayah Provinsi Maluku ini dikenal dengan nama “Gugus Pulau” (Bappeda, 2001). Sebagai model perwilayahan yang bersifat fungsional, maka ruang lingkup model gugus pulau ini bersifat lintas Kabupaten dan Kota, dimana salah satu Kabupaten dimaksud adalah Kabupaten MTB. Sedangkan berdasarkan obyek yang dikelolanya, konsep gugus pulau dihadapkan dengan keterbatasan pulau-pulau kecil sesuai dengan karakteristik sumberdaya yang dimilikinya. Dengan demikian sebagai suatu solusi pengembangan wilayah yang berskala makro model gugus pulau perlu menjaga keberimbangan dampaknya pada skala mikro.

(33)

kecilnya daya tarik wilayah tujuan ini sendiri sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti jumlah penduduk, banyaknya fasilitas, dan tingkat aksesibilitas yang dimiliki wilayah tujuan tersebut.

Selanjutnya jika mengacu kepada perspektif kerangka pengembangan wilayah pesisir dan lautan berkelanjutan yang menekankan akan adanya keterkaitan antara aspek fisik, sosial, ekonomi dan ekologi sebagaimana dikemukakan oleh Chua (2006), maka proses interaksi antar pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud dalam model gugus pulau diatas, kemudian dapat dianalogikan sebagai suatu variabel tetap berupa besar kecilnya arus pergerakkan antar pulau, yang muncul sebagai akibat adanya pengaruh dari variabel bebas yang bersifat fisik, seperti sistem prasarana transportasi (jaringan) antar pulau, serta variabel bebas yang bersifat sosial dan ekonomi, seperti sistem tata guna lahan (kegiatan) yang berlaku pada masing-masing pulau-pulau kecil tersebut. Sedangkan dampak dari adanya pergerakkan antar pulau ini sendiri pada akhirnya akan berpengaruh terhadap aspek-aspek pembangunan yang bersifat ekologi dalam skala yang lebih mikro.

Dalam skala mikro, pulau-pulau kecil dengan kapasitas daya dukungnya yang sangat terbatas diasumsikan sebagai faktor pembatas terhadap sistem dari model gugus pulau yang ada seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di pulau-pulau kecil akibat adanya proses pergerakan yang terjadi diantara pulau-pulau kecil tersebut. Menurut Wackernagel (2001), faktor-faktor pembatas ini berkaitan dengan adanya kebutuhan ekologi penduduk setempat atau ecological footprint yang diukur berdasarkan satuan unit luas lahan yang diperlukannya dalam rangka melangsungkan kehidupan serta aktivitasnya. Sedangkan pemenuhan kebutuhan ekologi penduduk akan lahan ini sangat berkaitan dengan bio

capacity atau kemampuan keragaan sistem dan penggunaan lahan dari pulau

(34)

Mengacu pada implikasi dari pendekatan model perwilayahan didalam pengembangan wilayah pulau-pulau kecil sebagaimana dijelaskan sebelumnya, maka pada prinsipnya model gugus pulau dapat dikategorikan sebagai salah satu solusi pengembangan wilayah yang relevan untuk Provinsi Maluku, khususnya Kabupaten MTB yang secara geografis didominasi oleh pulau-pulau kecil dengan pertumbuhan wilayah yang relatif rendah. Namun demikian, perlu dikaji lebih lanjut seberapa besar peran model gugus pulau ini didalam meningkatkan pertumbuhan pulau-pulau kecil itu sendiri, terutama jika dikaitkan dengan dampak eksternalitas yang dihasilkannya. Dampak tersebut berupa peningkatan kebutuhan akan lahan bagi kelangsungan hidup penduduk di pulau-pulau kecil yang semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan pulau-pulau kecil tersebut dari waktu kewaktu, yang pada akhirnya akan mempengaruhi keberlanjutan pertumbuhan pulau-pulau kecil itu sendiri.

1.2 Perumusan Masalah

Sebagaimana dijelaskan pada sub-bab sebelum ini bahwa model pengembangan wilayah pulau-pulau kecil berbasis gugus pulau ini diawali dengan isu keterbatasan “pertumbuhan” dan “daya dukung” wilayah pulau-pulau kecil terkait dengan adanya hambatan geografis berupa jarak dan lautan serta potensi daratannya yang sangat minim, sehingga dapat diasumsikan bahwa upaya pengembangan pulau-pulau kecil disatu sisi lebih dititikberatkan pada upaya menghidupkan interaksi diantara pulau-pulau kecil tersebut melalui stimulasi pendekatan pusat pertumbuhan. Sementara disisi lain pengembangan pulau kecil juga dibatasi oleh bio capacity pulau kecil tersebut didalam mendukung besarnya ecological footprint penduduk dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup dan usaha mereka di pulau-pulau kecil.

(35)

dengan kapasitas daya dukung lahan dari masing-masing pulau-pulau kecil yang ada didalam gugus pulau tersebut.

1.3 Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji model gugus pulau dalam pengembangan wilayah kepulauan di Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku. Sehubungan dengan hal tersebut maka dalam skala yang lebih detail, penelitian ini bertujuan untuk :

(1) Mengkaji tingkat keberlanjutan pulau-pulau kecil

(2) Mengkaji efektifitas model gugus pulau dalam pengembangan wilayah kepulauan

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil kajian model gugus pulau dalam pengembangan wilayah kepulauan di Provinsi Maluku ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa :

(1) Indikasi pulau-pulau strategis yang secara ruang dan karakter sumberdayanya berpotensi untuk menjadi pusat pertumbuhan bagi pulau-pulau lain disekitarnya.

(2) Seberapa jauh efek batas pertumbuhan yang bisa disitrbusikan oleh sebuah pusat pertumbuhan sesuai dengan karakteristik pulau-pulau kecil yang membentuknya.

(3) Pemetaan tingkat keberlanjutan dari pertumbuhan dari pulau-pulau kecil dalam suatu wilayah sesuai dengan daya dukungnya masing masing.

(36)

1.5 Kebaharuan (Novelty)

Pulau-pulau Kecil pada prinsipnya merupakan salah satu sumberdaya pesisir dan lautan (SPL) yang dalam implikasi pengembangannya kemudian, melibatkan banyak teori-teori dasar, baik yang berasal dari SPL sendiri, maupun yang berasal dari luar SPL, salah satu diantaranya adalah perwilayahan. Dari sudut pandang SPL, maka pada dasarnya fokus pengembangan pulau-pulau kecil sangat terkait dengan karakteristik utama dari pulau-pulau kecil itu sendiri, yaitu ukurannya yang relatif kecil

(smallness). Sebagai konsekwensinya penelitian dari sudut pandang ini

biasanya lebih terkait pada isu kapasitas daya dukung pulau-pulau kecil yang relatif sangat terbatas didalam mendukung suatu proses pertumbuhan. Sedangkan dari sudut pandang perwilayahan, maka fokus pengembangan pulau-pulau kecil lebih dilihat berdasarkan karakteristik tata letaknya yang relatif terpencil (remoteness). Tidaklah mengherankan kalau penelitian dari sudut pandang ini biasanya terkait dengan isu aksesibilitas dari pulau-pulau kecil yang relatif sangat rendah terhadap pusat-pusat pertumbuhan yang dapat memberi suplai kebutuhan hidup serta berbagai fasilitas sosial ekonomi dan budaya (sosekbud) yang diperlukan untuk pertumbuhan di pulau-pulau kecil. Interaksi antara kedua sudut pandang pengembangan pulau-pulau kecil inilah yang kemudian melatarbelakangi berkembangnya suatu perspektif baru tentang bagaimana melakukan pengembangan wilayah pulau-pulau kecil secara lebih obyektif sesuai dengan kenyataan dan isu yang berkembang di wilayah pulau-pulau kecil.

(37)

ruang tertentu. Dimana efek batas dari mekanisme ini diukur berdasarkan keseimbangan antara kebutuhan lahan untuk pertumbuhan terhadap kapasitas lahan yang mampu disediakan oleh pulau-pulau kecil tersebut.

(38)
(39)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Wilayah Kepulauan

Menurut Wikipedia (2007), wilayah kepulauan atau yang sering disebut dengan archipelago, didefinisikan sebagai serangkaian atau sekelompok daratan non benua yang yang muncul dan tersebar dipermukaan laut sebagai akibat dari adanya proses geologi. Dengan perkataan lain karakteristik wilayah kepulauan, dapat digambarkan sebagai sekelompok luasan daratan yang terfragmentasi satu dengan lainnya oleh jarak dan lautan dengan ukuran luasnya yang sangat bervariasi. Jika daratan yang trefragmentasi oleh jarak dan lautan tersebut memiliki luas dibawah 2.000 km2, maka menurut UNESCO (1991), daratan dimaksud dikategorikan sebagai pulau kecil, ukurannya yang relatif kecil dan tata letaknya yang cenderung terpisah oleh laut, mengindikasikan akan adanya permasalahan dalam pengelolaan pulau kecil yang umumnya terkait dengan, terbatasnya lahan darat, rendahnya aksesibilitas, ketergantungan, serta rentannya pulau kecil terhadap perubahan. (Pelling & Uitto, 2001)

2.1.1 Ukuran Yang Relatif Kecil (Smallness)

(40)

bahwa Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan Ekosistemnya.

Menurut Kusumastanto (2003), Ukurannya yang kecil, terkait dengan terbatasnya ketersediaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan seperti air tawar, vegetasi, tanah, ekosistem pesisir dan satwa liar, sehingga pada gilirannya akan berpengaruh terhadap daya dukung pulau-pulau kecil tersebut didalam menopang kehidupan manusia serta segenap kegiatan pembangunan yang ada. Hal yang sama dikemukakan oleh Briguglio (2002), yang menyatakan bahwa, ukuran yang kecil (smallness) sering dikaitkan dengan kurangnya keragaan sumberdaya lahan daratan, serta rendahnya hubungan antar industri yang dimiliki oleh pulau kecil. Oleh karenanya pulau kecil cenderung mengimpor energi dan makanan dari luar wilayahnya dalam rangka memenuhi kebutuhan pertumbuhannya. Keterbatasan lahan dan rendahnya hubungan antar industri juga menyebabkan pulau kecil memiliki tingkat diversivikasi usaha yang relatif sangat rendah. Sebagai konsekuensinya pulau kecil memiliki peluang pasar yang relatif sangat sempit dan terbatas karena tidak memiliki pilihan atau alternatif produk lain yang dapat diekspor kewilayah-wilayah lain dalam rangka meningkatkan pendapatan wilayahnya.

2.1.2 Keterpencilan (Remoteness)

(41)

dijelaskan bahwa secara operasional ukuran variabel jarak dikategorikan sebagai (0) untuk jarak 0 km dari lokasi, (1) untuk jarak 1 km, (2) untuk jarak 5 km, (3) untuk jarak 20 km, (4) untuk jarak 100 km, dan (5) untuk jarak diatas 100 km. sedangkan ukuran variabel moda transportasi dikategorikan sebagai (1) untuk jalan kaki, (2) untuk kendaraan, (3) untuk kapal laut, dan (4) untuk kapal terbang, demikian halnya dengan ukuran variabel untuk waktu tempuh yang besifat kontinyu. Menurut Worldbank (2004), formulasi umum yang dipergunakan untuk menggambarkan tingkat keterpencilan dari masing-masing variabel tersebut adalah :

min max

min ~

X X

X X

X i

 

 ………. ….. .(1)

Dimana, Xi = ukuran keterpencilan dari suatu lokasi (i), sedangkan Xmin dan Xmax = ukuran keterpencilan minimum dan maksimum dari lokasi-lokasi yang

ada terhadap fasilitas umum yang tersedia. Normalisasi dari ketiga nilai variabel tersebut diatas selanjutnya digambarkan dalam suatu tingkatan keterpencilan lokasi dalam bentuk sebaran nilai dari 0 yang artinya tidak terpencil atau nilai yang diasosiasikan sebagai nilai minimal yang dihasilkan oleh setiap variabel. Sebaliknya nilai 1 yang berarti sangat terpencil diasosiasikan sebagai nilai maksimal yang dihasilkan oleh setiap variabel.

(42)

2.1.3 Ketergantungan (Dependence)

Menurut Fauzi (2002), selain smallness dan remoteness, terdapat beberapa sifat khas dari pulau kecil yang juga harus dipertimbangkan dalam melakukan penilaian ekonomi sumberdaya pulau-pulau kecil. Sifat-sifat tersebut adalah ketergantungan (dependence) dan kerentanan (vulnerability). Sifat ketergantungan pulau-pulau kecil ini pada dasarnya terbentuk sebagai tuntutan atas sifat-sifat dasar dari pulau-pulau kecil seperti “smallness” dan

remoteness”. Kondisi tersebut menunjukkan adanya keterbatasan

sumberdaya darat pulau kecil serta adanya hambatan jarak dan laut yang memisahkannya. Dengan demikian dalam rangka pertumbuhannya pulau kecil sangat membutuhkan bantuan dari wilayah lain atau dari pulau lain yang dianggap mampu mendukung pulau kecil tersebut sesuai dengan kebutuhannya. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa karena keterbatasan fisiknya pulau-pulau kecil cenderung memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap wilayah lain diluarnya yang diharapkan dapat memberikan dukungan secara fungsional dalam rangka pertumbuhannya.

2.1.4 Kerentanan (Vulnerable)

(43)

kemudian digambarkan sebagai suatu desain struktur kerentanan pulau-pulau kecil sebagaimana ditunjukkan melalui Gambar 1 berikut ini.

Characteristic Exposure Sensitivitas Resilience

Ukuran Kecil Terpencil Pengaruh Lingkungan kuat Kekuatan Terbatas Demografi Ekonomi Skala Kecil

Characteristic Exposure Sensitivitas Resilience

SMALL ISLANDS

Environment Factors Social Factors Economic Factors Resources Potentials and Disadvantage Economic Exposures Economic of Natural Disaster Economic Remoteness Potential Social Problem Demographic Problem INDICATORS S u st ai n ab le P o lic ie s V u ln er ab ili ty In d ex Risks & Impacts Adjustments & Adaptations Actual Conditions System Responses

[image:43.595.118.518.123.458.2]

Sumber : Pelling dan Uito (2002)

Gambar 1. Desain Struktur Kerentanan Pulau-Pulau Kecil

(44)

2.2 Pengelolaan Wilayah Pulau-Pulau Kecil

Sebagaimana telah dijelaskan dalam sub-bab sebelum ini, bahwa karena karakteristik pulau-pulau kecil yang cenderung rentan terhadap dampak eksternal, maka menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27, Tahun 2007, tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, disebutkan bahwa konsep dasar pengembangan wilayah pulau-pulau kecil haruslah memperhatikan faktor ketahanan pulau-pulau kecil itu sendiri sebagai obyek sekaligus sasaran dari upaya pengembangan wilayah pulau-pulau kecil tersebut. Sehubungan dengan itu, maka perlu diketahui lebih rinci tentang kebijakan apa saja yang bisa dilakukan dalam rangka pengembangan pulau-pulau kecil beserta upaya pengendalian dampak eksternalitas yang dihasilkannya. Dengan melihat implikasi dari kebijakan pengembangan dan pengendalian pulau-pulau kecil dimaksud diharapkan dapat diketahui aspek-aspek apa saja yang berpengaruh dalam suatu sistem perwilayahan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan.

2.2.1 Kebijakan Pengembangan

(45)

Sejalan dengan pemikiran diatas, Rustiadi (2007), mengemukakan tentang pentingnya mengembangkan sektor-sektor basis pada wilayah dengan mayoritas masyarakat seperti petani lahan kering, nelayan (perikanan), dan kehutanan. Dengan demikian selain dapat mengurangi kemiskinan masyarakat lokal (pulau-pulau kecil), diharapkan upaya ini dapat juga mengurangi dampak transformasi struktur ekonomi dari pertanian ke industri atau jasa yang terlalu cepat, dan cenderung menyebabkan adanya dominasi oleh pendatang sehingga masyarakat lokal termarjinalisasi.

Dalam skala wilayah, diketahui bahwa wilayah pulau-pulau kecil cenderung terfragmentasi oleh jarak dan lautan. Sebagai akibatnya dalam skala ini kecenderungan terjadinya disparitas wilayah adalah cukup tinggi bahkan sangat signifikan. Kondisi ini akan menciptakan adanya ketidakadilan atau ketimpangan dalam pembangunan wilayah pulau-pulau kecil tersebut. Disatu sisi ada pulau-pulau kecil yang tingkat pertumbuhannya tinggi disisi lain ada juga pulau-pulau kecil yang tingkat pertumbuhannya sangat rendah. Menurut Rustiadi (2007), untuk mengurangi disparitas wilayah, maka kebijakan yang perlu diambil adalah meningkatkan kapasitas dan hiraki pelayanan sesuai dengan hukum nodalitas, dimana selalu akan terjadi aliran dari wilayah belakang (hinterland) ke pusat (center). Sehingga diharapkan dapat mengurangi dampak aliran sumberdaya dan nilai tambah asimetrik, yang dapat berupa kebocoran wilayah (regional leakages) ataupun backwash. Langkah strategis pada pulau-pulau kecil dapat dilakukan melalui pengembangan pusat-pusat pelayanan permukiman/kota kecil/menengah, serta pengembangan fasilitas (urban function centers). Peningkatan kapasitas pelayanan terkait dengan pemenuhan infrastruktur dasar akan menjamin akses masyarakat terhadap air bersih, energi, komunikasi, informasi, layanan pendidikan, kesehatan, dan interaksi sosial-ekonomi.

(46)

sistem aliran network mendorong interaksi yang lebih simetris sehingga posisi “tawar” kawasan tertinggal menjadi lebih kuat. Ilustrasi perbandingan

networking struktur ruang disajikan pada Gambar 2 berikut ini.

Sumber : Rustiadi (2007)

Gambar 2.Struktur transportasi berpola denritik dan network system

Hal yang sama dikemukakan oleh Kusumastanto (2003), bahwa dalam rangka membuka keterisolasian pulau-pulau kecil, maka kebijakan pengembangan ekonomi lokal di pulau-pulau kecil perlu ditunjang oleh kebijakan pengembangan jaringan angkutan laut guna mengembangkan potensi sumberdaya yang dimilikinya serta mempermudah aliran barang dan jasa diantara pulau-pulau kecil yang ada.

2.2.2 Kebijakan Pengendalian

(47)

rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi wilayah, sedangkan disisi lain lebih diarahkan pada bagaimana menjamin keberlanjutan pemanfaatan itu sendiri sebagai suatu kebijakan pengendalian pembangunan.

Beller et al. (1990) dalam Susilo (2003), mengemukakan bahwa keberlanjutan pembangunan pulau-pulau kecil sangat bergantung pada berapa lama penduduknya dapat mempertahankan kondisi berikut ini :

 Energi, air dan sumberdaya lainnya yang tersedia didalam rangka memenuhi aktifitas di pulau-pulau kecil tersebut.

 Sistem alami atau penggantinya mampu menangani atau menyerap semua limbah yang ditimbulkan, dan juga mampu memberikan jasa dukungan kehidupan seperti udara bersih, air bersih yang bernilai ekonomi.

 Teknologi yang tepat untuk mempertahankan semua sistem pendukungnya dapat berjalan

 Mampu dan cukup fleksibel hidup dalam lingkungan yang baru ditimbulkan oleh pembangunan.

 Ekosistem cukup kompleks untuk berhadapan dengan keadaan darurat dan bencana alam.

 Nilai yang berguna dalam perdagangan barang dan jasa secara domestik dan internasional serta nilai yang memberikan kontribusi ketahanan hidup dari planet ini.

 Pemerintah dan masyarakat mau mengambil langkah yang diperlukan untuk menceghah kerusakan lingkungan di daratan maupun sumber daya lautan

(48)

kaitannya dengan mitigasi bencana. Oleh karena itu, strategi pengembangan pulau-pulau kecil yang terpencil lebih kepada aspek konservasi dan mitigasi bencana, yang meliputi (1) Perlindungan keanekaragaman hayati sebagai kawasan konservasi, serta pemantapan regulasi kawasan konservasi melalui regulasi, (2) Peningkatan partisipasi masyarakat lokal dan pemangku kepentingan lainnya dalam pengelolaan kawasan konservasi, (3) Peningkatan upaya pengawasan dan penegakan hukum, (4) Identifikasi potensi bencana pada pulau-pulau kecil dan peningkatan kewaspadaan masyarakat terhadap bencana, (5) Pemanfaatan teknologi peringatan dini dan mitigasi bencana, (6) Peningkatan upaya rehabilitasi ekosistem.

2.2.3 Aspek Pengembangan

Mengacu pada penjelasan sub-bab sebelumnya yang berkaitan dengan kebijakan pengembangan dan pengendalian pulau-pulau kecil, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa untuk dapat menjaga keberlanjutannya, pengembangan pulau-pulau kecil harus memenuhi kriteria-kriteria atau aspek-aspek keberlanjutan yang oleh Dahuri et al (1996), kemudian dikategorikan kedalam 4 dimensi, yaitu dimensi ekologis, sosial ekonomi budaya, sosial politik, hukum dan kelembagaan. Ditjen P3K (2000) dalam Susilo (2003), juga mengemukakan hal yang sama. Sedangkan Chua (2006), mengemukakan konsep keberlanjutan pembangunan pesisir dan lautan pada dasarnya meliputi empat dimensi yaitu, Ekonomi, Sosial, Ekologi dan Fisik. Dalam buku Pedoman Penataan Ruang dan Modul Terapan yang diterbitkan oleh Departemen Pekerjaan Umum, Tahun 2007, ke empat dimensi tersebut dijabarkan sebagai berikut :

(1) Dimensi Ekonomi, berkaitan dengan potensi lokasi, sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan yang dapat dikembangkan secara lebih efisien.

(49)

(3) Dimensi Fisik dan Lingkungan, berkaitan dengan karakteristik sumberdaya alam berdasarkan kemampuan dan kesesuaian lahan, sehingga penggunaannya dapat dilakukan secara optimal sesuai dengan keseimbangan ekosistem.

Jika secara substantial dimensi-dimensi keberlanjutan pembangunan pesisir dan laut tersebut di atas kemudian secara lebih rinci diintegrasikan dengan apa yang menjadi tujuan atau ukuran dari suatu sistem pengembangan wilayah seperti dikemukakan oleh Rustiadi et al. (2004), maka indikasi kinerja dari masing-masing dimensi tersebut dapat diukur berdasarkan kriteria : (1) produktifitas, efisiensi dan pertumbuhan, (2) pemerataan keberimbangan dan keadilan, (3) keberlanjutan. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Manuwoto (2004), dimana ukuran dari tercapainya suatu tujuan pengembangan wilayah pada dasarnya dapat dilihat berdasarkan tingkat efisiensi, equity, enforcebility, insentif perbaikan dan

morality dari suatu sistem perwilayahan. Pendapat diatas diperkuat melalui

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007, tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang menyebutkan bahwa pengembangan wilayah pulau-pulau kecil selayaknya berasaskan pada keberlanjutan, konsistensi, keterpaduan, kepastian hukum, kemitraan, pemerataan, peran serta masyarakat, keterbukaan, desentralisasi. akuntabilitas, dan keadilan.

(50)

2.2.4 Pendekatan Perwilayahan

Menurut Nugroho dan Dahuri (2004), wilayah diartikan sebagai suatu area geografis yang memiliki ciri tertentu dan merupakan media bagi segala sesuatu untuk berlokasi dan berinteraksi. Kata ciri tertentu memiliki arti penting dan kritis karena berkaitan dengan fungsi yang menjadi tujuan dari suatu upaya perwilayahan atau dibentuknya suatu wilayah. Lebih jauh, Rustiadi (2004), mengemukakan bahwa pada dasarnya kata wilayah atau

region digunakan sebagai suatu penekanan atas adanya karakteristik

hubungan dari fungsi-fungsi dan komponen-komponen di dalam suatu unit wilayah, sehingga batas dan sistemnya sangat ditentukan oleh aspek fungsional tersebut.

Menurut Ulman (1956), karakteristik hubungan fungsional antar wilayah sebagaimana dimaksud di atas, dibedakan dalam tiga kategori yaitu : proses hubungan yang bersifat Complementarity, Intervening Opportunity dan

Transferability diantara pulau-pulau tersebut (Gambar 3).

[image:50.595.49.488.26.841.2]

Sumber : Ulman (1956)

Gambar 3. Karakteristik Hubungan Antar Wilayah

(51)

hubungan yang terjadi antar dua wilayah sebagai akibat adanya infrastruktur yang menghubungkan kedua wilayah tersebut.

[image:51.595.103.530.301.757.2]

Rondineli (1985), secara fungsional kemudian mengklasifikasikan tipologi dari karakteristik keterkaitan antar wilayah kedalam 7 kelompok kriteria keterkaitan utama perkembangan spasial, yang mencakup keterkaitan fisik, ekonomi, pergerakan penduduk, teknologi, interaksi sosial, pelayanan jasa, politik dan administrasi. Secara lebih detail ke tujuh tipe beserta elemen pendukung dari karakteristik hubungan antar wilayah dimaksud diperlihatkan melalui (Tabel 1).

Tabel 1. Keterkaitan utama dalam perkembangan spasial

No Tipe Elemen

1. Keterkaitan Fisik  Jaringan transportasi sungai dan air

 Ketergantungan ekologi

2. Keterkaitan Ekonomi

 Aliran modal & Pola Pemasaran

 Keterkaitan produksi ke depan dan kebelakang

 data lateral

 Aliran bahan mentah dan setengah jadi

 Pola komsumsi dan belanja

 Aliran komoditas secara lintas sektoral dan lintas regional

3. Keterkaitan Pergerakan Penduduk

 Migrasi permanen atau temporer yang melakukan perjalanan dalam rangka kerja

4. Keterkaitan teknologi

 Ketergantungan teknologi

 Sistem migrasi

 Sistem telekomunikasi

5. Keterkaitan Interaksi Sosial

 Pola kunjungan

 Pola kekerabatan

 Kegiatan ritual dan keagamaan

 Interaksi kelompok dan sosial

6. Keterkaitan Pelayanan Jasa

 Jaringan aliran energy

 Jaringan kredit dan finansial

 Jaringan pendidikan dan pelatihan

 Sistem pelayanan kesehatan

 Sistem pelayanan transportasi

7.

Keterkaitan politik administrasi dan Organisasi

 Hubungan struktural

 Aliran budget pemerintah

 Ketergantungan organisasi

 Pola pengawasan kewenangan

(52)

Dalam banyak hal karakteristik keterkaitan antar wilayah sebagaimana dimaksud, berkaitan dengan suatu hubungan saling mempengaruhi secara vertikal seperti wilayah yang memiliki hiraki lebih tinggi dengan wilayah yang memiliki hirarki lebih rendah, wilayah kota dengan desa, wilayah produksi dengan wilayah bahan mentah, wilayah yang memberikan pelayanan dengan wilayah yang dilayani (Pradhan, 2003). Hubungan secara vertikal ini juga sekaligus menggambarkan akan adanya faktor ketertarikan (attractiveness) secara potensial yang dimiliki oleh setiap wilayah sehingga mengakibatkan adanya proses pergerakan dalam ruang (spatial movement) yang dicirikan melalui adanya perpindahan penduduk atau barang serta jasa dari satu wilayah menuju wilayah lainnya. Sehubungan dengan adanya proses perpindahan sebagaimana dimaksud diatas, maka lebih jauh dikemukan pula oleh Pradhan (2003) bahwa hubungan antar wilayah tidak pernah terjadi tanpa adanya sarana dan prasarana penghubung diantara mereka.

Dalam perspektif pulau kecil, pergerakkan antar wilayah sebagaimana dimaksud oleh Rondinelli (1985), kemudian dianalogikan sebagai fungsi keterkaitan yang mengakibatkan berpindahnya penduduk dari pulau asal sesuai dengan daya tarik yang ditawarkan oleh pulau tujuan, sehingga berdampak terhadap daya dukung pulau-pulau tujuan yang umumnya merupakan pusat pertumbuhan (Tarigan, 2004). Jika menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor PER.16/MEN/2008, tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dikatakan bahwa daya dukung pulau-pulau tujuan adalah digambarkan sebagai kemampuan pulau-pulau kecil untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain, maka sesuai dengan UU.RI. No.27 Tahun 2007, maka sudah seharusnya tujuan pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya pulau-pulau kecil diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial secara berkelanjutan.

(53)

ekologisnya secara berkelanjutan. Lebih lanjut dijelaskan dalam UU.RI. No.27 Tahun 2007, bahwa melalui pendekatan perwilayahan ini diharapkan dapat ditentukan arah penggunaan sumber daya untuk setiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada kawasan perencanaan pulau-pulau kecil yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Mengacu pada penjelasan diatas diketahui ada tiga komponen utama yang penting dalam pendekatan perwilayahan yaitu komponen interaksi, komponen pertumbuhan dan komponen keberlanjutan.

2.3 Komponen Interaksi Spasial

Tamin (2003), menyatakan bahwa fenomena pergerakan antar wilayah sangat berkaitan dengan adanya faktor-faktor spesifik dari suatu wilayah yang mampu memicu terjadinya aliran perpindahan penduduk, barang atau jasa dari wilayah asal (origin) menuju suatu wilayah tujuan (destination). Dengan demikian secara umum mekanisme interaksi spasial pada prinsipnya berupaya menjelaskan secara terukur hubungan antara sistem tata guna lahan (kegiatan) dan sistem prasarana transportasi (jaringan) terhadap sistem arus lalu lintas (pergerakkan). Lebih lanjut Tamin (2003), mendeskripsikan fenomena hubungan tersebut diatas sebagai suatu sebaran pergerakan yang ditimbulkan oleh adanya bangkitan dan tarikan pergerakan yang merupakan fungsi tata guna lahan dari wilayah asal dan wilayah tujuan serta tingkat kemudahan pencapaian wilayah tujuan dari wilayah asal. Secara umum kuantifikasi sebaran pergerakkan dimaksud mengacu pada persamaan Hukum Gravitasi Newton berikut :

2 ij j i ij

D M M k

F  ……… (2)

dimana, (Fij) adalah daya tarik menarik antara dua massa benda (Mi dan Mj)

yang terpisah dalam jarak (Dij) tertentu. Lebih lanjut persamaan di atas dalam

(54)

2.3.1 Model Gravitasi Kendala Ganda

Dengan menganalogikan variabel Massa Mi dan Mj pada persamaan (2) tersebut, sebagai jumlah penduduk wilayah asal Oi (Origin) dan tujuan Dj

(Destination); serta Jaraki-j sebagai jarak antara wilayah tersebut, yang

dinotasikan dengan dij, maka daya tarik antara wilayah tersebut kemudian

dapat digambarkan sebagai banyaknya perjalananan Tij dari wilayah asal ( i )

yang memilih untuk menuju wilayah tujuan ( j ), sehinggga secara matematis formulasinya kemudian dapat ditulis sebagai berikut :

b ij j i

ij G O D d

T      ……….… (3)

Jika jumlah wilayah yang menjadi tujuan (j) lebih dari satu, sebagaimana diperlihatkan dalam Matriks Asal dan Tujuan (MAT) pada Gambar 4, maka mengacu pada persamaan (3) di atas, probabilita banyaknya perjalanan dari wilayah asal satu ke wilayah tujuan dua (P12) sebanding dengan banyaknya

perjalanan dari wilayah asal satu ke wilayah tujuan dua (T12) dibagi

banyaknya perjalananan dari wilayah asal satu ke seluruh wilayah tujuan (T12

+T13).

1 3 2 T12 T21 T23 T32 T31 T13

d23 = d32

d12 = d21

d13 = d31

1 2 3 ∑

1 0 T12 T13 O1

2 T21 0 T23 O2

3 T31 T32 0 O3

∑ D1 D2 D3 T

Destination (j) O ri g in ( i) Wilayah

Sumber : Tarigan (2009)

Gambar 4. Matiks Asal Tujuan (MAT) Perjalanan Antar Wilayah

Secara matematis formulasi dari (P12) dimaksud selanjutnya dapat ditulis

sebagai persamaan berikut :

b b b d D O G d D O G d D O G T T T

P

              13 3 1 12 2 1 12 2 1 13 12 12 12 ……… (4)

Persamaan di atas kemudian dapat disederhanakan menjadi :

3 2 ; 1 12 2

12 j dan

d D d D P b j j b    

 
(55)

Jika, 3 2 ; 1 1 1 dan j A d

Djjb  

 ……… (6)

Maka,

b

d D A

P121212 ……… (7)

Jika, banyaknya perjalanan dari wilayah asal satu ke wilayah tujuan dua (T12),

dapat diketahui melalui persamaan berikut :

12 1

12 O P

T   ……… (8)

Maka dengan mensubtitusikan persamaan (7) kedalam persamaan (8), persamaan (T12) diatas, menjadi :

b

d D O A

T1211212 ……….. (9)

Dengan demikian secara umum formulasi banyaknya perjalanan Tij dari

wilayah asal ( i ) ke wilayah tujuan ( j ) kemudian dapat ditulis sebagai persamaan berikut :

b ij j i i

ij A O D d

T      ……… (10)

Persamaan diatas disebut sebagai model gravitasi kendala tunggal (single

constraint gravity model) yang mempertimbangkan kendala pada wilayah asal

( i ). Dalam kenyataannya wilayah tujuan ( j ), juga memiliki kendala didalam menerima banyaknya perjalanan dari wilayah asal ( i ). Sehingga mengacu pada persamaan (10) di atas, probabilita banyaknya perjalanan dari wilayah asal satu yang dapat diterima oleh wilayah tujuan dua (P12), sebanding

dengan banyaknya perjalanan ke wilayah tujuan dua yang berasal dari wilayah asal satu (T12) dibagi banyaknya perjalananan ke wilayah tujuan dua

yang berasal dari seluruh wilayah asal (T12+T32). Secara matematis formulasi

dari (P12) tersebut selanjutnya dapat ditulis sebagai persamaan berikut ini.

b b b d D O A d D O A d D O A T T T

P

              32 2 3 3 12 2 1 1 12 2 1 1 32 12 12

12 ……… (11)

Persamaan di atas kemudian dapat disederhanakan menjadi :

3 1 ; 2 12 1 1

12 i dan

d O A d O A P b i i i b      

 
(56)

Jika, 3 1 ; 1 2 2 dan i B d O

Aiiib  

 ………... (13)

Maka, b d B O A

P1211212 ………. (14)

Jika, banyaknya perjalanan dari wilayah asal satu yang dapat diterima di wilayah tujuan dua (T12), dapat diketahui melalui persamaan berikut :

12 2

12 D P

T   ………... (15)

Maka dgn mensubtitusikan persamaan (14) kedalam persamaan (15), persamaan (T12) diatas, menjadi :

b d D B O A

T12112212 ……… (16)

Sebagaimana diperlihatkan pada gambar 1.6 yang menunjukkan adanya proses timbal balik dari setiap wilayah yang berinteraksi, maka selain menerima banyaknya perjalanan dari wilayah asal satu dan tiga, wilayah tujuan dua juga mendistribusikan perjalanan ke wilayah asal satu dan tiga. Dengan demikian, mengacu pada persamaan (16), probabilita banyaknya perjalanan dari wilayah tujuan dua ke wilayah asal satu (P21), sebanding

dengan banyaknya perjalanan dari wilayah tujuan dua ke wilayah asal satu (T21) dibagi banyaknya perjalananan dari wilayah tujuan dua ke seluruh

wilayah asal (T23 +T21). Secara matematis formulasi (P21) dimaksud

selanjutnya dapat ditulis sebagai persamaan berikut ini :

b b b d D O G d D O G d D O G T T T

P

              32 2 3 12 2 1 12 2 1 23 21 21 21 ……….… (17)

Persamaan di atas kemudian dapat disederhanakan menjadi :

3 1 ; 2 12 1

21 i dan

d O d O P b i i b    

 

………... (18)

Jika, 3 1 ; 1 2 2 dan i B d

Oi ib

 

(57)

Maka

b

d O B

P212112 ………. (20)

Jika, banyaknya perjalanan dari wilayah tujuan dua ke wilayah asal satu (T21),

dapat diketahui melalui persamaan berikut :

21 2

21 D P

T   ………. (21)

Maka dengan mensubtitusikan persamaan (20) kedalam persamaan (21), persamaan (T21) di atas, menjadi :

b

d D O B

T2121212 ……….. (22)

Karena wilayah asal ( i ) juga memiliki kendala di dalam menerima banyaknya perjalanan dari wilayah tujuan ( j ), maka mengacu pada persamaan (22) di atas, probabilita banyaknya perjalanan dari wilayah tujuan dua yang dapat diterima oleh wilayah asal satu (P21), sebanding dengan banyaknya

perjalanan ke wilayah asal satu yang berasal dari wilayah tujuan dua (T21)

dibagi banyaknya perjalananan ke wilayah asal satu yang berasal dari seluruh wilayah tujuan (T21+T31). Secara matematis formulasi dari (P21) tersebut

selanjutnya dapat ditulis sebagai persamaan berikut ini.

b b b d D O B d D O B d D O B T T T

P

              13 3 1 3 12 2 1 2 12 2 1 2 31 21 21 21 ……….… (23)

Persamaan diatas kemudian dapat disederhanakan menjadi :

3 2 ; 1 12 2 2

21 j dan

d D B d D B P b j j j b      

 

……… (24)

Jika, 3 2 ; 1 1 1 dan j A d D B b j j j    

 ………...… (25)

Maka b d D B A

P21  1 2 2  12 ………. (26)

Jika, banyaknya perjalanan dari wilayah tujuan dua yang dapat diterima di wilayah asal satu (T21), dapat diketahui melalui persamaan berikut :

21 1

21 O P

(58)

Maka dengan mensubtitusikan persamaan (26) kedalam persamaan (27), persamaan (T21) di atas, menjadi :

b d D B O A

T21 1 1 2 2 12 ………. (28)

Berdasarkan persamaan (16) dan (28), maka formulasi banyaknya perjalanan

Tij dari wilayah asal ( i ) menuju wilayah tujuan ( j ) sesuai dengan kendala

wilayah asal maupun kendala wilayah tujuan, dapat ditulis sebagai persamaan model gravitasi kendala ganda (double contraint gravity model) sebagaimana diperkenalkan oleh Lee, pada tahun 1970 yaitu :

b ij j j i i

ij A O B D d

T       ……….. (29)

dimana,

1

 

b

ij j j

i B D d

A = Koefisien faktor pendorong (push factor) dari wilayah asal i

1

 

b

ij i i j A O d

B = Koefisien faktor penarik (pull factor) wilayah tujuan j

ij

i T

O = Banyaknya perjalanan dari wilayah asal i (orang per tahun)

ji

j T

D = Banyaknya perjalanan ke wilayah tujuan j (orang per tahun)

dij = Jarak antara wilayah asal i dengan wilayah tujuan j (km)

Dari persamaan (29) diatas nampak bahwa didalam (Ai) terkandung pengertian (Bj), demikian juga sebaliknya didalam (Bj) terkandung pengertian

(Ai). Ini berarti bahwa nilai (Ai) dan nilai (Bj) saling mempengaruhi satu

dengan lainnya dalam suatu tingkatan keseimbangan tertentu sesuai dengan karakter dari wilayah asal ( i ) dan wilayah tujuan ( j ) yang membentuknya. Dengan demikian melalui model ini, faktor gaya dorong (push factor) dan faktor gaya tarik (pull factor) dari wilayah-wilayah yang diteliti dapat teridentifikasi baik dari sudut pandang wilayah tujuan maupun wilayah asal. Dalam menghitung Tij, maka besarnya keseimbangan nilai (Ai) dan nilai (Bj)

(59)

Hitung Dj.dij-b

Tentukan Nilai Ai = 1

Hitung Bj setiap zona dgn Ai = 1

Hitung Ai atas dasar nilai Bj yg didapat

Apakah Ai yg didapat berbeda dgn Ai

sebelumnya

Ya

Hitung kemungkinan interaksi antara setiap pasangan zona ; ( Prij = Ai . Bj . Dij-1 )

Tidak

[image:59.595.117.461.87.422.2]

Hitung interaksi antara setiap pasangan zona ; ( Tij = Oi . Prij )

Gambar 5. Diagram Alir Gravitasi Kendala Ganda (Lee, 1980)

2.3.2 Pola Interaksi Spasial

Pola interaksi spasial pada dasarnya merupakan proses identifikasi kerangka interaksi spasial yang tersusun sebagai akibat adanya aliran perpindahan penduduk, barang atau jasa dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Jika aliran ini didefinisikan sebagai suatu vektor yang memiliki besaran dan arah pergerakan tertentu didalam ruang, maka distribusi aliran (flow) dalam ruang sebagaimana dimaksud di atas, pada akhirnya akan membentuk suatu pola interaksi dari wilayah-wilayah tersebut. Dalam bentuk suatu formulasi matematis sederhana, hubungan interaksi tersebut dianalogikan melalui formula Gravitasi Newton sebagaimana diperlihatkan pada persamaan (2) dan (3). Secara dinamis dan kontinyu, pergerakan ini mengindikasikan akan adanya suatu bentuk arah aliran penduduk, barang ataupun jasa dalam kapasitas tertentu untuk setiap satuan waktu tertentu (Sij),

(60)

1

  

i j ij

ij G O D S

T ……….… (30)

Menurut Tobler (1976), pergerakan diantara dua wilayah ( i ke j ) dapat digambarkan sebagai variabel-variabel yang terkait dalam usaha perjalanan seseorang melintasi danau dengan mempergunakan perahu (Gambar 6).

Sumber : Tobler (1976)

Gambar 6. Model Matematis Pola Gerakan Antar Dua Wilayah

Variabel tersebut antara lain: kecepatan mendayung perahu ( r ), kecepatan arus yang membantu (Cij), jarak tempuh (dij), dan waktu tempuh (Sij ), dimana

(dji = dij), (Cji = -Cij), sehingga kecepatan aliran (Vij cenderung lebih besar Vji)

dan sebaliknya waktu tempuh (Sij cenderung lebih kecil Sji). Hal ini

diperlihatkan melalui formulasi berikut ini :

) (

)

( ij ji ij

ij r C dan V r C

V     ……… (31)

) (

Gambar

Gambar 1. Desain Struktur Kerentanan Pulau-Pulau Kecil
Gambar 3. Karakteristik Hubungan Antar Wilayah
Tabel 1. Keterkaitan utama dalam perkembangan spasial
Gambar 5. Diagram Alir Gravitasi Kendala Ganda (Lee, 1980)
+7

Referensi

Dokumen terkait

   Paragraf 2 Susunan Organisasi  Pasal 40 (1)  Susunan Organisasi UPTD  Panti Sosial Tresna Werdha Meci Angi Bima, terdiri dari : a.  Kepala UPTD;

evidence peserta didik yang sesuai dengan kompetensi dan akan dijadikan

Skripsi berjudul Peningkatan Keterampilan Membaca Permulaan Pada Siswa Bustanul Athfal Aisyiyah Sumbersari Semester Dua Melalui Media Kartu Bermain Tahun Pelajaran 2014/2015,

Observasi merupakan teknik penilaian yang dilakukan secara berkesinambungan dengan menggunakan indera, baik secara langsung maupun tidak langsung

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat fanatik dengan perilaku agresi pada remaja suporter sepak bola bonek di kecamatan tambaksari

Dalam perencanaan pembelajaran guru di SMPLB- BCD menyusun silabus dan RPP yang dibuat guru untuk menyampaikan materi PAI disesuaikan dengan kondisi siswa, karena selain

When the democratic regime fails to satisfactorily address the articulated dislocations it reduces the legitimacy of the democracy discourse before the public in the

along with the photographic product (i.e., contact print from historical films) posed several challenges following a rigorous photogrammetric workflow.