• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. ANATOMI KULIT

2.5 DERMATITIS KONTAK ALERGI .1 Patogenesis .1 Patogenesis

Dermatitis kontak alergi (DKA) adalah reaksi hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV) yang muncul ketika kulit kontak dengan zat kimia dimana sebelumnya sudah tersensitisasi (Nixon et al., 2018).

Hipersensitivitas tipe IV/ hipersensitivitas tipe lambat yang dimediasi oleh antigen-spesifik T sel efektor. Hipersensitivitas ini memiliki jeda waktu dari paparan antigen sampai respon terlihat (1-3 hari). Antigen diambil dan diproses oleh makrofag atau sel dendritik. Beberapa efektor T helper 1 yang mengenali antigen spesifik (ini langka dan mengambil waktu untuk sampai) distimulasi untuk melepaskan chemokines (merekrut makrofag ke tempat tujuan), sitokin-sitokin (memediasi tissue injury dan growth factors yang menstimulasi produksi monosit). IFN-γ dari T helper 1 mengaktivasi makrofag untuk menambah pelepasan dari mediator inflamasi sedangkan TNF-α dan TNF-β mengaktivasi sel endotel, menambah permeabilitas vaskular, dan kerusakan jaringan lokal. Sel T CD8+ juga memediasi kerusakan oleh toksisitas langsung (Salmon,2016).

Pada T helper 1 mediasi reaksi hipersentivitas efektornya adalah makrofag sedangkan pada T helper 2 efektornya adalah eosinofil. T helper 2 memproduksi sitokin

Universitas Sumatera Utara untuk merekrut dan mengaktivasi eosinofil (IL-5 dan eotaxin), mengarah ke degranulasi, tissue injury lebih lanjut, dan kerusakan jalan napas kronik, ireversibel.

(Salmon, 2016) (Gambar 2.4).

Gambar 2.4. Reaksi hipersensitivitas tipe IV (Salmon, 2016) Gambar 2.4. Reaksi hipersensitivitas tipe IV (Salmon, 2016)

Pada dermatitis kontak alergi, terdapat perbedaan antara fase induksi (sensitisasi/primer) dan efektor (kemunculan/sekunder) (Saint-Mezard et.al., 2003 dalam Rustemeyer et.al., 2019). Fase induksi mencakup kejadian dengan kontak pertama terhadap alergen dan berakhir ketika seseorang sudah tersensitisasi dan mampu untuk memberikan reaksi positif DKA. Fase efektor dimulai setelah kemunculan (terpapar antigen) dan terjadi manifestasi klinis dermatitis kontak alergi.

Keseluruhan proses dari fase induksi membutuhkan sedikitnya 4 hari sampai beberapa minggu dan reaksi fase efektor berkembang penuh dalam 1-4 hari (Rustemeyer et al., 2019). Episode utama dari fase induksi (tahap 1-5) dan fase efektor (tahap 6) adalah :

18

Universitas Sumatera Utara 1. Pengikatan dari alergen ke komponen kulit. Alergen yang segera menembus ke

kulit berhubungan dengan semua jenis komponen kulit, termasuk protein major histocompatibility complex (MHC) . Molekul ini pada manusia dikode oleh gen human leukocyte antigen (HLA), banyak terdapat pada antigen presenting cells (APC) atau nama lainnya sel Langerhans (Lepoittevin, 2006; Gerberick et al., 2008; Divkovic et al.2005, Rustemeyer et al., 2019).

2. Aktivasi hapten-induced dari allergen presenting cells. Sel Langerhans yang membawa alergen menjadi teraktivasi, matur, dan berpindah melalui limfatik aferen ke nodus limfatik regional, dimana alergen menetap yang dinamakan interdigitating cells (IDC) di area sel T parakortikal (Rustemeyer et al., 2019).

3. Pengenalan dari allergen modified sel Langerhans oleh sel T spesifik. Pada individu yang tidak tersensitisasi frekuensi dari sel T dengan kekhususan tertentu biasanya jauh dibawah 1/ 1.000.000. Di dalam area parakortikal, kondisi adalah optimal untuk IDC yang membawa allergen untuk bertemu sel T naïve yang secara khusus mengenal kompleks molekul MHC-alergen.

Morfologi dendritik dari allergen presenting cell memfasilitasi kontak sel multipel, mengarah ke pengikatan dan aktivasi dari alergen spesifik sel T (Rustemeyer et al., 2019).

4. Proliferasi dari sel T spesifik di dalam aliran nodus limfatik. Didukung oleh IL-1, dilepaskan oleh allergen presenting cells, sel T yang aktif mulai memproduksi beberapa faktor pertumbuhan, termasuk IL-2 ( Hoyer et al., 2008 dalam Rustemeyer et.al., 2019). Sebagian kaskade autokrin mengikuti sejak waktu yang sama reseptor untuk IL-2 memberikan respon terhadap stimulus di sel T, menghasilkan formasi ledakan kuat dan proliferasi dalam beberapa hari (Rustemeyer et al., 2019).

5. Penyebaran sistemik dari keturunan sel T. Keturunan yang meluas kemudian dilepaskan via limfatik eferen ke dalam aliran darah dan mulai untuk resirkulasi. Jadi frekuensi dari efektor memori sel T spesifik di dalam darah meningkat dalam 1/1.000 , sedangkan kebanyakan dari sel ini menampilkan

Universitas Sumatera Utara molekul reseptor yang memfasilitasi migrasi mereka ke jaringan perifer. Pada saat tidak kontak dengan alergen yang sama, frekuensi selnya akan berkurang dalam beberapa minggu atau bulan kemudian, tetapi tidak kembali ke level rendah yang ditemukan pada orang yang belum terpapar (Rustemeyer et al., 2019).

6. Fase efektor. Dengan kontak alergen lagi, dimulai fase efektor dimana tidak hanya bergantung pada peningkatan frekuensi dari sel T spesifik dan perubahan kapasitas migrasi tetapi juga pada ambang batas aktivasi yang rendah. Jadi dalam kulit, allergen presenting cells dan sel T spesifik dapat bertemu, dan mengarah ke pelepasan banyak sitokin dan kemokin. Pelepasan dari mediator ini, banyak yang mempunyai aksi pro-inflammatory, menyebabkan kedatangan lebih banyak sel inflamatori, jadi semakin memperkuat pelepasan mediator lokal. Ini secara berangsur mengembangkan reaksi eczematous yang mencapai maksimum setelah 18-72 jam kemudian menurun (Rustemeyer et al., 2019).

2.6 DIAGNOSIS

Pada tahun 1989, Toby Mathias mengemukakan kriteria untuk menilai hubungan antara dermatitis kontak dan pekerjaan. Kriteria Mathias menunjukkan validitas tinggi dan menghasilkan diagnosis. Sensitivitas dari kriteria Mathias 100% dan spesifisitas adalah 98.9% (Tabel 2.2) (Gómez et al., 2012).

20

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.2 Kriteria Mathias

1. Apakah tampilan klinisnya konsisten dengan dermatitis kontak?

Ya : Identifikasi ciri klinis dari eksim (pruritus, eritema, vesikel, eksudasi, krusta, tanda dari likenifikasi).

Tidak : Tampilan klinis bukan eksim.

Tidak tahu : dermatitis seboroik, dyshidrotic eczema , nummular eczema, atopic eczema, dan neurodermatitis semuanya memiliki pola klinis yang mirip dengan reaksi eksim.

2. Apakah terdapat paparan di tempat kerja terhadap potensial iritan alergen ke kulit?

Ya : Dokter harus menanyakan tentang semua sumber dari paparan pekerjaan, termasuk perlengkapan perlindungan pribadi, krim, dan sabun. Penting untuk familiar dengan data toksikologi dari produk ini.

Tidak : Data toksikologi dan pengalaman klinis menunjukkan bahwa tidak ada paparan alergik atau iritan di tempat kerja.

Tidak tahu : Jika dokter tidak dapat menentukan apakah terdapat paparan di tempat kerja terhadap iritasi atau alergen, kriteria ini tidak boleh dinilai.

3. Apakah distribusi anatomis dari dermatitis konsisten dengan paparan kulit dalam hubungan terhadap tugas pekerjaannya?

Ya : Dermatitis kontak biasanya lebih parah pada permukaan yang terpapar di tempat kerja.

Tidak : Dermatitis bertambah di permukaan kulit dengan paparan besar tetapi melibatkan yang lain.

Tidak tahu : Terdapat pengecualian terhadap kalimat diatas, sebagai contoh, lebih mudah diserap seperti kelopak mata, wajah, dan genital.

4. Apakah terdapat hubungan temporal antara paparan dan onset konsisten dengan dermatitis kontak?

Ya : Paparan mendahului onset dari gejala. Pada kasus dari dermatitis kontak alergi, periode laten dapat sepanjang 6 bulan.

Tidak : Kebanyakan gejala mendahului sebelum terpapar di tempat kerja.

Tidak tahu : Jika periode laten lebih dari 6 bulan, akan menjadi sulit untuk menentukan hubungan sebab akibat. Pekerja yang berumur 50 dan 60 tahun dapat mempunyai sensitivitas kulit yang besar karena usia.

5. Apakah paparan bukan karena pekerjaan diekslusi sebagai kemungkinan penyebab?

Ya : iritan lain seperti kosmetik dan perekat harus diekslusi dengan riwayat bukan karena pekerjaan dan pada saat patch testing.

Tidak : Paparan bukan karena pekerjaan dapat menjadi penyebab dari dermatitis.

Universitas Sumatera Utara Dari kriteria Mathias harus berisi jawaban “ya” minimal 4 soal dari 7 soal untuk menegakkan diagnosis dermatitis kontak akibat kerja (Gómez et al., 2012).

Dokumen terkait