• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Desentralisasi Fiskal

Desentraliasasi fiskal di Indonesia masih sering diperdebatkan terutama dilihat dari sisi efektivitas dan efisiensinya jika dibandingkan dengan kebijakan sebelumnya. Kaitan dengan hal tersebut Martinez dan Mcnab (2001) mengemukakan bahwa beberapa alasan mendasar yang dilakukan oleh pemerintah di negara berkembang untuk memilih desentralisasi fiskalnya adalah: (1) dengan adanya desentralisasi fiskal maka diharapkan pengeluaran pemerintah akan lebih efisien, (2) dengan sentralisasi fiskal diakui telah mengalami kegagalan, dan (3) peran pemerintah daerah akan lebih besar dan tidak didikte oleh pemerintah pusat.

Di Indonesia, desentralisasi fiskal didasarkan pada Undang undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Undang-undang ini mendeskripsikan desentralisasi sebagai penyerahan wewenang kepemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam hal ini maka urusan fiskal daerah diserahkan kepada daerah otonom atau pemerintah daerah.

Desentralisasi fiskal di Indonesia mempunyai tujuan : (1) memberikan keleluasaan kepada Daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi, (2) membantu daerah dalam mendanai kewenangannya dan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintahan antara pusat dan daerah serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antar daerah, (3) melaksanakan fungsi pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah, dan (4) membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di daerah tertentu yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan daerah (Penjelasan Undang-Undang No. 33 tahun 2004). Jadi desentralisasi fiskal diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, hal yang perlu mendapat perhatian khusus dalam kaitannya dengan kebijakan desentralisasi fiskal agar sukses adalah bahwa kebijakan harus diikuti dengan kewenangan yang jelas dan efektif antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kebijakannya harus adil dan transparan terutama dalam hal transfer dana dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (Rodriguez-Pose dan Kroijer , 2009). Kebijakan seperti ini belum sepenuhnya dilaksanakan di Indonesia. Hal ini ditandai dengan masih banyaknya kewenangan pemerintah pusat yang belum diserahkan kepada daerah sehingga menganggu pelaksanaan suatu kebijakan (Rowa, 2003).

Kebijakan fiskal dapat berhasil dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya jika pemerintah daerah komitmen yang direpresentasikan dengan kebijakan yang tepat, kualitas birokrat yang memadai, dan kesadaran masyarakat terhadap pemerintahan yang konsisten. Penelitian Tiebout (1956) dalam Rodriguez-Pose dan Kroijer (2009) menemukan bahwa salah satu keuntungan dari desentralisasi fiskal adalah bahwa desentralisasi akan meningkatkan efisiensi ekonomi pemerintah lokal karena pemerintahnya akan lebih mampu memberikan layanan yang lebih baik kepada masyarakatnya. Tetapi beberapa studi tentang desentralisasi fiskal menemukan bahwa kebijakan desentralisasi banyak yang tidak berhasil terutama dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya (Bardhan, 2002). Untuk itu perlu dicermati faktor apa dalam desentralisasi fiskal yang sangat dominan dalam mempengaruhi kesejahteraan masyarakat.

Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, berdasarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004, penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri atas pendapatan daerah dan pembiayaan. Selanjutnya disebutkan pada pasal 5 Undang- Undang No. 33 Tahun 2004 bahwa pendapatan daerah bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah. Sedangkan pembiayaan bersumber dari sisa lebih perhitungan anggaran daerah, penerimaan pinjaman daerah dana cadangan daerah, dan hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan. Besarnya penerimaan daerah ini akan sangat menentukan pengeluaran pemerintah. Dengan kata lain besarnya penerimaan ini menentukan besarnya belanja per sektor.

Zhang dan Zou (1996) mengadakan penelitian di Cina dan menemukan fenomena bahwa pendapatan yang diperoleh dari fiskal dan kemudian digunakan

untuk keperluan belanja pemerintah daerah ternyata belum berhasil untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan tidak dapatnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi berbati tidak mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat. Selain itu, mereka menemukan bahwa desentralisasi fiskal dianggap sebagai salah satu ancaman terhadap kondisi stabilitas makroekonomi nasional. Salah satu penyebabnya dari kondisi seperti ini adalah bahwa kebijakan desentralisasi fiskal sering mengedepankan kepentingan proyek-proyek lokal dibanding dengan kepentingan nasional. Untuk itu kebijakan desentralisasi fiskal memerlukan perhatian khusus agar efektivitas dalam pencapaian kesejahteraan dapat optimal.

Dalam kaitanya dengan efisiensi dan efektivitas pengeluaran pemerintah pada desentralisasi fiskal, Bardhan dan Mookherjee (2005) tidak dapat menyimpulkan apakah desentralisasi fiskal mendorong terjadinya korupsi di pemerintah lokal atau tidak. Tetapi menurut mereka desentralisasi fiskal dapat memberi peluang kepada pemerintah daerah untuk melakukan korupsi seperti terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, perlu dilakukan regulasi terutama dalam penggunaan dana transfer guna mengurangi korupsi. Namun jika hal ini dilakukan terkesan membatasi tingkat otonomi fiskal itu sendiri.

Rodriguez-Pose dan Kroijer (2009) melakukan penelitian tentang hubungan antara tingkat dan bentuk desentralisasi fiskal dan kinerja perekonomian Eropa Timur dan Eropa Tengah dengan menggunakan model regresi. Hasilnya adalah bahwa desentralisasi fiskal berkorelasi negatif dengan tingkat pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pemerintah daerah, dan pajak daerah. Besarnya dana transfer berhubungan negatif dengan pertumbuhan ekonomi

walaupun tidak signifikan Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua kebijakan desentralisasi fiskal dapat berhasil dalam meningkatkan kinerja perekonomian daerah.

2.2.1. Pendapatan Asli Daerah

Pendapatan asli daerah terdiri atas pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain lain pendapatan daerah yang sah. Secara perundangan pendapatan asli daerah adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Adapaun tujuan dari adanya PAD itu adalah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi. PAD itu sendiri terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain lain pendapatan asli daerah yang sah.

Secara definisi, pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan yang seimbang yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Beberapa pajak daerah antara lain adalah pajak restoran, pajak hotel, pajak kendaraan bermotor dan pajak balik nama kendaraan bermotor.

Secara mekanistis, kebijakan fiskal melalui peningkatan tarif pajak akan berdampak pada dunia usaha, yang selanjutnya berpengaruh pada penyerapan tenaga kerja atau pengangguran. Tenaga kerja yang kurang mobile, yang biasanya merupakan tenaga kerja kasar, akan sangat terpengaruh oleh kenaikan tarif pajak. Tenaga kerja ini memiliki peluang yang relatif tinggi menjadi penganggur atau

setengah penganggur. Tenaga kerja terampil atau berpendidikan relatif tinggi memiliki mobilitas relatif tinggi sehingga memiliki kerentanan yang relatif lebih kecil untuk menjadi pengangguran atau setengah penganggur dan kelompok ini dapat mengikuti kenaikan tarif pajak (Siebert, 1996)

Retribusi didefinisikan sebagai pungutan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai akibat adanya kontra prestasi yang diberikan oleh pemerintah daerah atau pembayaran tersebut didasarkan atas prestasi atau pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah yang langsung dinikmati secara perorangan oleh warga masyarakat dan pelaksanaannya didasarkan atas peraturan perundangan yang berlaku (Devas et al, 1989). Selanjutnya, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan merupakan hasil keuntungan perusahaan yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Sedangkan, yang dimaksud dengan lain lain pendatapan asli daerah yang sah meliputi hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan antara lain pendapatan dari jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, pendapatan denda pajak, dan pendapatan denda retribusi (Undang-Undang No. 33 Tahun 2004).

2.2.2. Dana Perimbangan

Dana perimbangan merupakan komponen dari penerimaan daerah yang cukup besar. Dana perimbangan terdiri dari dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus. Menurut Undang-Undang No. 33 Tahun 2004, Dana Perimbangan bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah dan pemerintah daerah. Dana perimbangan ini terdiri dari Dana Bagi Hasil, Dana

Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus. Adapun besarnya jumlah dana perimbangan setiap tahun anggaran ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara .

Dana bagi hasil terdiri dari Dana Bagi hasil Pajak, Dana Bagi hasil bukan pajak, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Dana bagi hasil ini terdiri dari dana Bagi Hasil bersumber dari pajak dan sumberdaya alam. Selanjutnya untuk dana bagi hasil yang bersumber dari pajak terdiri atas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21. Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumberdaya alam terdiri dari kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi.

Dana Alokasi Umum (DAU) mempunyai pengertian sebagai dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah sesuai dengan prioritas nasional. Besarnya DAU secara keseluruhan yang diberikan pemerintah pusat kepada daerah minimal 26 persen dari penerimaan dalam negeri netto. Selanjutnya pembagian ke daerah (provinsi, kabupaten, dan kota) ditentukan dengan menggunakan pendekatan konsep celah fiskal dan alokasi dasar.

Celah fiskal itu sendiri dihitung berdasarkan kebutuhan fiskal (fiskal needs) dikurangi kapasitas fiskal daerah (fiskal capacity). Sedangkan DAU itu sendiri digunakan untuk menutup celah yang terjadi akibat adanya kebutuhan daerah yang melebihi potensi penerimaan daerah bersangkutan. Berdasarkan

konsep celah fiskal tersebut, distribusi DAU kepada daerah-daerah yang memiliki kemampuan relatif besar akan lebih kecil dan sebaliknya, daerah-daerah yang mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh DAU yang relatif besar. Selanjutnya, alokasi dasar DAU dihitung berdasarkan jumlah gaji pegawai negeri sipil daerah (Undang-Undang No. 33 Tahun 2004).

Undang-undang ini menjelaskan bahwa kebutuhan daerah dalam penyelenggaran pemerintahan daerah paling sedikit dicerminkan dari variabel jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan geografi, dan tingkat pendapatan masyarakat dengan memperhatikan kelompok masyarakat miskin. Sementara potensi ekonomi daerah dicerminkan dengan potensi penerimaan daerah seperti potensi industri, potensi sumberdaya alam, potensi sumberdaya manusia, dan PDRB.

Menurut Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Pengalokasian DAK ditentukan dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN. Sedangkan yang dimaksud dengan lain-lain Pendapatan yang sah adalah hibah dan dana darurat. Pendapatan hibah merupakan bantuan yang tidak mengikat. Hibah digunakan sesuai dengan naskah perjanjian. Dana darurat pada intinya adalah dana APBN yang dimaksudkan untuk keperluan mendesak yang diakibatkan oleh bencana nasional dan atau peristiwa luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi oleh daerah dengan menggunakan sumber APBD. Dari hasil

penelitian Rowa (2003) penerimaan daerah pada daerah otonom 70 persen masih didominasi oleh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).

2.3. Peran dan Struktur Pengeluaran Pemerintah Daerah dalam Pembangunan

Pengeluaran pemerintah daerah tidak terlepas dari penerimaan daerah, karena secara teoritis pengeluaran merupakan fungsi dari penerimaan daerah. Semakin tinggi penerimaan daerah semakin tinggi tingkat pengeluaran daerah. Untuk itu daerah berusaha untuk meningkat penerimaan daerah dengan kewewenangannya daerah berusaha untuk meningkatkan Pendapatan asli daerah dan dana perimbangan. Hal inilah yang mendorong pemerintah daerah berusaha meningkatkan potensi pendapatan melalui peningkatan PAD nya agar bisa digunakan untuk belanja daerah dalam kerangka pembangunan daerah.

Secara proses pengeluaran pemerintah merupakan kebijakan pemerintah untuk membiayai pembangunan daerah termasuk dalam hal ini biaya penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan kata lain pengeluaran pemerintah daerah merupakan pengeluaran yang digunakan untuk membiayai pembangunan di berbagai bidang termasuk dalam hal ini adalah bidang sosial, ekonomi, pemerintahan, budaya, ketertiban, ketentraman, dan sebagainya yang merupakan tugas pemerintahan secara umum. Dalam pelaksanaanya pengeluaran pemerintah direpresentasikan dengan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang disusun setiap tahun dan berperiode 1 Januari sampai dengan 31 Desember.

Tahapan dalam pembangunan daerah sangat berhubungan dengan tahapan pembangunan ekonomi. Setiap tahapan pembangunan ekonomi mempunyai

fokus pengeluaran pemerintah yang berbeda tetapi tetap harus memperhatikan keberlanjutan. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Rostow dan Musgrave dalam Mangkusoebroto (1998) bahwa pada tahap awal perkembangan ekonomi pengeluaran pemerintah harus menyediakan prasarana seperti pendidikan, kesehatan, prasarana trasnportasi, dan sebagainya.

Pada tahap menengah pembangunan ekonomi ditandai dengan pengeluaran pemerintah yang difokuskan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas. Dalam hal ini investasi swasta sudah semakin besar dengan demikian peran dan kontribusi swasta dalam pembangunan relatif lebih besar dibanding dengan fase pertama.

Pada tingkatan selanjutnya kegiatan pemerintah beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program untuk lanjut usia, program untuk layanan kesehatan. Pendapat ini memberikan pemahaman bahwa pengeluaran pembangunan harus menjadi perhatian terutama oleh pemerintah itu sendiri agar alokasi anggaran dapat lebih tepat sasaran sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan sehingga target yang telah ditetapkan bisa terwujud. Pada akhirnya kesejahteraan masyarakat dapat segera tercapai sesuai dengan yang diharapkan. Namun berdasarkan hasil penelitian Ramey (2011) ternyata tidak ada pengeluaran pemerintah yang memiliki multiplier efek yang mengikuti efek langsung itu sendiri.

Dalam pengelolaan keuangan daerah, tata kelola administrasinya sering mengalami perubahan yang sangat siginifikan setiap periode. Hal ini disesuaikan dengan perubahan lingkungan dan sistem pemerintahan. Pada tahun anggaran 2006 belanja daerah dilaksanakan dengan pedoman pada Peraturan Menteri

Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 (Permendagri No.13/2006). Dalam peraturan ini, belanja diartikan sebagai belanja yang dipergunakan untuk penyelenggaraan dan diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial.

Menurut Permendagri No. 13/2006, klasifikasi belanja menurut urusan pemerintahan terdiri dari belanja urusan wajib dan belanja urusan pilihan. Belanja urusan wajib antara lain pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, perumahan rakyat, sedangkan belanja menurut urusan pilihan antara lain pertanian kehutanan, energi, dan sumberdaya mineral perindustrian.

Sedangkan klasifikasi belanja lain adalah klasifikasi belanja menurut kelompok belanja. Klasifikasi ini terdiri dari belanja tidak langsung dan belanja langsung. Kelompok belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Sedangkan kelompok belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan.

Kelompok belanja tidak langsung menurut jenis belanja yang terdiri dari: belanja pegawai, bunga, subsidi, hibah bantuan sosial, belanja bagi basil, bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga. Sedangkan belanja langsung tediri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja modal.

Dalam perkembanganya pengelolaan keuangan daerah terjadi banyak perubahan. Sebelum Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13

Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, pengelolaan belanja daerah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah (PP No.105/2000) dan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan dan Belanja Daerah Pelaksanaan Tatausaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Angaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Kepmendagri No.29/2002).

Pada Kepmendagri No.29/2002 disebutkan bahwa struktur APBD diklasifikasikan berdasarkan bidang pemerintahan daerah. Format susunan bidang pemerintahan dan perangkat daerah provinsi, kabupaten dan kota dalam APBD terdiri dari 21 bidang pemerintahan dan unit organisasi perangkat daerah provinsi, kabupaten dan kota dalam APBD, yaitu antara lain bidang administrasi umum pemerintahan, bidang pertanian, bidang perindustrian, perdagangan, bidang kesehatan, bidang permukiman, dan bidang pekerjaan umum. Selanjutnya disebutkan dalam keputusan ini bahwa belanja daerah terdiri dari bagian belanja aparatur daerah dan bagian belanja pelayanan publik. Selanjutnya masing-masing bagian belanja tersebut dirinci menurut kelompok belanja yang meliputi belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan serta belanja modal. Pada setiap kelompok belanja dirinci menurut jenis belanja. Setiap jenis belanja dirinci menurut obyek belanja. Setiap obyek belanja dirinci menurut rincian obyek belanja. Dengan demikian secara akuntansi keuangan daerah tedapat perbedaan yang signifikan tantang pengelolalan keuangan daerah antara periode sebelum tahun 2006 dan setelah tahun tersebut.

Dokumen terkait