• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Literatur dan Hasil Penelitian Terdahulu

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.9. Tinjauan Literatur dan Hasil Penelitian Terdahulu

2.9.1. Studi yang Berkaitan dengan Peran Pengeluaran Pemerintah dalam Perekonomian Daerah

Penelitian yang berkaitan dengan desentralisasi fiskal dan aspek fiskal banyak menggunakan model ekonometrika dengan persamaan simultan. Pada tahun 2006. Nanga (2006) melakukan penelitian dengan tujuan untuk menganalisis dampak transfer fiskal terhadap kinerja perekonomian terutama terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan Indonesia.

Dalam hal ini sampel yang digunakan 25 provinsi di Indonesia dan periode waktunya dari tahun 1999 sampai tahun 2002. Penelitian ini menggunakan model ekonometrika yang terdiri dari enam blok yaitu : fiskal daerah, output, tenaga kerja, pengeluaran rumahtangga, distribusi pendapatan, dan blok kemiskinan. Antar blok saling terkait menjadi satu sistem persamaan simultan yang terdiri dari 20 persamaan struktural dan 8 persamaan identitas. Indikator distribusi pendapatan digunakan alat ukur Indeks gini, sedangkan untuk mengetahui tingkat kemiskinan di pedesaan dan kota menggunakan indek kemiskinan.

Model ekonometrika dengan persamaan simultan juga digunakan oleh Usman (2006). Model ekonometrika yang digunakan dengan empat blok yaitu: blok penerimaan daerah, blok pengeluaran daerah, blok permintaan agregat, blok distribusi pendapatan, dan kemiskinan. Keempat blok tersebut membentuk sistem persamaan (simultan) dengan 17 persamaan struktural dan 8 persamaan identitas. Tujuan dari penelitian Usman adalah mengevaluasi dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap kinerja fiskal dan ekonomi daerah yang lebih ditekankan pada distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan di Indonesia.

Sampel yang digunakan 308 Kabupaten dan kota yang di kelompokkan ke dalam 26 provinsi. Data yang diambil mulai dari tahun 1994 sampai tahun 2003 yang terdiri dari data yang digunakan untuk mengevaluasi dan membandingkan pertumbuhan masyarakat ekonomi bawah dan atas, data cross section rumahtangga tahun 1992 dan 2002 untuk mengetahui faktor penentu kemiskinan, dan data panel tahun 1995 sampai tahun 2003 untuk menganalisis dampak desentralisasi fiskal terhadap perubahan distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan.

Selain itu, peneliti Azwardi (2007) dengan menggunakan Social

Accounting Matriks (SAM) menganalisis dampak kebijakan pengeluaran pemerintah terhadap pembangunan daerah. Hasil dari penelitiannya, adalah bahwa pengeluaran pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah cenderung memberikan income multiplier terhadap rumahtangga yang lebih besar dibandingkan pengeluaran rutin. Ini menunjukkan, peran pemerintah untuk menggerakan perekonomian sangat strategis, terutama untuk pengeluaran

pembangunan. Atau dengan kata lain, pemerintah seyogyanya mengalokasikan anggaran untuk belanja modal lebih besar daripada belanja non-modal.

Menurut Purwanto (2009) besarnya belanja modal berpengaruh nyata terhadap peningkatan pendapatan riil perkapita. Berkaitan dengan hal ini variabel angka melek huruf yang pada dasarnya mencerminkan tingkat pendidikan ternyata tidak mempengaruhi perubahan pertumbuhan pendapatan riil perkapita. Penelititan ini juga menyimpulkan bahwa belanja modal pemerintah daerah dengan segala komposisi pengalokasiannya merupakan ”complementary factor” untuk potensi perumbuhan ekonomi regional. Hal ini didasarkan karena untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah tidak hanya tergantung dari proporsi belanja saja tetapi tergantung juga dari modal fisik dan modal non fisik yang digunakan untuk investasi dan inovasi guna pertumbuhann ekonomi. Hal ini sependapat dengan Panjaitan (2006) bahwa kinerja perekonomian daerah sangat tergantung dari belanja modal fisik dan non-fisik yang direpresentasikan oleh kondisi infrastruktur, investasi, dan tingkat kepastian berusaha.

Riyanto dan Siregar (2005) melakukan penelitian tentang desentralisasi fiskal terhadap keuangan daerah. Penelitian ini menggunakan model ekonometrika dengan persamaan simultan. Hasil penelitian tersebut adalah bahwa dana perimbangan berpengaruh nyata terhadap peningkatan anggaran pendapatan dan belanja daerah. Belanja rutin dan belanja pembangunan berpengaruh terhadap perekonomian daerah. Namun pengaruh tersebut tidak berbeda nyata antara sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal. artinya perubahan aliran dana belum diikuti oleh peningkatan kinerja perekonomian daerah yang signifikan. dengan demikian pemerataan pembangunan wilayah belum tercapai.

Penelitian Astuti (2007) yang bertujuan untuk mengevaluasi kebijakan desentralsisasi fiskal terhadap kinerja fiskal di Provinsi Bengkulu dengan menggunakan persamaan simultan menghasilkan beberapa temuan. Temuan tersebut antara lain bahwa peningkatan pengeluaran untuk infrastruktur berdampak positif terhadap kapasitas fiskal daerah, kesenjangan fiskal semakin membaik. Di samping itu studi ini juga menemukan bahwa pertumbuhan ekonomi semakin meningkat, pendapatan perkapita semakian tinggi, penyerapan tenaga kerja juga semakin baik tetapi distribusi pendapatan semakin tidak merata di semua kabupaten. Selain itu, kebijakan peningkatan pajak dan retribusi yang diimbangi dengan pengeluaran pembangunan berdampak paling besar terhadap peningkatan kapasitas fiskal daerah sehingga penerimaan transfer daerah semakin kecil. Sedangkan peningkatan saran infrastruktur akan mendorong investasi di daerah sehingga aktivitas perekonomian daerah (PDRB) meningkat. Temuan lainnya adalah peningkatan pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian juga berdampak positif terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum kinerja desenralisasi fiskal sangat signifikan pengaruhnya terhadap perekonomian daerah dan akan berdampak terhadap penerimaan daerah. Penerimaan daerah akan mempengaruhi pengeluaran dan pada gilirannya pengeluaran daerah ini akan berdampak positif terhadap perekonomian daerah.

Salah satu sumber penerimaan daerah adalah pajak. Kebijakan fiskal melalui peningkatan tarif pajak akan berdampak pada dunia usaha, yang selanjutnya berpengaruh pada penyerapan tenaga kerja atau pengangguran. Tenaga kerja yang kurang mobile, yang biasanya merupakan tenaga kerja kasar,

akan sangat terpengaruh oleh kenaikan tarif pajak. Tenaga kerja ini memiliki peluang yang relatif tinggi menjadi penganggur atau setengah penganggur. Tenaga kerja terampil atau berpendidikan relatif tinggi sehingga memiliki mobilitas relatif tinggi- memiliki kerentanan yang relatif lebih kecil untuk menjadi pengangguran atau setengah penganggur, mengikuti kenaikan tarif pajak (Siebert, 1996). Dengan demikian maka diperlukan kebijakan yang komprehensif dalam menyusun kebijakan pajak karena ternyata dampaknya sangat besar terhadap perekonomian termasuk dalam hal ini adalah penyerapan tenaga kerja dan jumlah investasi swasta.

2.9.2. Studi yang berkaitan dengan peran Investasi dalam Perekonomian Daerah

Menurut Pakasi (2005) meningkatnya investasi baik domestik maupun asing diramalkan akan mengurangi ketergantungan fiskal daerah terhadap Dana Alokasi Umum (DAU). Berkaitan dengan hal ini, Riyanto dan Siregar (2005) dengan menggunakan analisis kondisi riil dan simulasi model ekonometrika menyimpulkan bahwa dana perimbangan belum dapat menciptakan kondisi pemerataan pembangunan wilayah walaupun secara fiskal terjadi pemerataan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah dan antara pemerintah daerah. Hal ini dikarenakan bahwa dana perimbangan tersebut belum secara signifikan memperbaiki kesenjangan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). Hasil simulasi setiap komponen dana perimbangan juga menunjukkan bahwa dana bagi hasil pajak dan bukan pajak membuat ketidakmeraataan semakin besar. Hal ini diduga karena ketidakmerataan potensi sumberdaya alam antar daerah. Namun ketimpangan yang ditimbulkan oleh bagi hasil pajak dan bukan pajak tersebut

dapat direduksi dengan adanya DAU. Dengan demikian maka DAU diharapkan dapat berperan lebih besar sebagai instrumen kebijakan dalam mendorong pemerataan pembangunan antar daerah di masa mendatang. Penelitian ini juga menemukan bahwa kesenjangan perekonomian antara daerah dan pertumbuhan ekonomi daerah bukan semata-mata ditentukan oleh besar kecilnya dana perimbangan di suatu daerah .

Selanjutnya dikatakan bahwa peran infrastruktur dalam perekonomian sangat penting dan sentral, karena infrastruktur dipahami sebagai enabler berbagai kegiatan ekonomi lainnya. Selain itu, pembangunan infrastruktur merupakan bagian dari social overhead capital yang mutlak diperlukan untuk menggerakan sektor-sektor ekonomi lainnya. Artinya, bahwa investasi infrastruktur merupakan titik kunci dalam pembangunan ekonomi suatu wilayah.

Legowo (2009), menemukan bahwa ternyata terdapat pengaruh nyata atas kebijakan investasi infrastruktur transportasi jaringan jalan raya dan tol dan rel di wilayah Jabodetabek terhadap kegiatan ekonomi di wilayah tersebut dan wilayah sekitarnya. Artinya bahwa pembangunan infrastruktur jalan dan rel memang mempunyai dampak nyata dan pengaruhnya positif. Semakin banyak jalan dibangun dan semakin banyak rel kereta ditingkatkan kapasitasnya, maka semakin tinggi pula kegiatan ekonomi yang dihasilkan.

Dalam kaitannya dengan penyediaan infrastruktur, Yudhoyono (2004) juga menemukan bahwa pembangunan infrastruktur berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Selain itu hasil studinya juga menyimpulkan bahwa, pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur juga dapat mengurangi angka kemiskinan walaupun masih kurang efektif jika

dibandingkan dengan kemampuannya untuk mengurangi pengangguran. Temuan lain dari penelitian ini adalah bahwa pembangunan infrastruktur bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan ini bisa menyerap tenaga kerja. Dalam hal penyerapan tenaga kerja di sektor non pertanian, lebih besar dibanding penyerapan sektor tenaga kerja di sektor pertanian.

Kaitannya dengan investasi swasta, Pardede (2004) melakukan penelitian di Kabupaten Tapanuli Utara tentang dampak investasi swasta terhadap perekonomian. Salah satu kesimpulannya adalah, bahwa investasi swasta memiliki dampak yang lebih besar dalam pembentukan output pendapatan dan lapangan kerja. Hal Ini menunjukkan bahwa investasi swasta mempunyai peran yang cukup penting dalam penggerakan perekonomian daerah di era otonomi daerah.

Penelitian Calderon dan Serven (2004) menemukan bahwa pembangunan infrastruktur memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Selanjutnya, kesimpulannya adalah bahwa kuantitas dan kualitas infrastruktur berpengaruh negatif terhadap ketimpangan pendapatan dan efek dari infrastruktur terhadap pertumbuhan dan ketimpangan, adalah efek kausalitas bukan karena faktor kebetulan. Oleh karena itu, menurut penelitiannya pembangunan infrastruktur dapat menjadi solusi penting dalam penanggulangan kemiskinan. Untuk itu kebijakan pengeluaran pemerintah untuk sektor konstruksi menjadi penting untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Dalam kaitan dengan hal ini, Vibiz (2008) melakukan penelitian tentang pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia bagian Timur. Dengan menggunakan regresi penelitian ini menemukan bahwa

pertumbuhan infrastruktur telepon, jalan, irigasi teknis, dan listrik berhubungan positif terhadap pertumbuhan output pertanian dan non pertanian. Selain itu, pertumbuhan infrastruktur juga secara positif meningkatkan pertumbuhan investasi. Dengan kesimpulan ini, pembangunan infrastruktur menjadi strategis bagi daerah. Konsekuensi pemerintah daerah perlu memberikan fasilitas tertentu agar investasi dalam pembangunan infrastruktur dapat kondusif dan tercapai sasarannya.

3.1. Konsep Perekonomian Daerah

Secara makro, aktivitas perekonomian dapat dicermati melalui perilaku para pelaku ekonomi di pasar, yaitu pemerintah, rumahtangga, dan dunia usaha. Ketiga pelaku ini melakukan aktivitas ekonominya dengan tujuan yang spesifik dan berbeda antara pelaku yang satu dengan yang lain. Dengan mencermati aktivitas para pelaku ekonomi di pasar tersebut dapat diperoleh beberapa indikator suatu perekonomian seperti pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga, inflasi, kondisi pasar tenaga kerja dan keseimbangan neraca dalam perekonomian. Dengan demikian kita dapat melihat perkembangan perekonomian wilayah tersebut secara keseluruhan.

Berkaitan dengan kebijakan makroekonomi menurut Branson dan Litvack (1981), instrument yang sering digunakan dalam menyusun kebijakan yang akan mempengaruhi perekonomian secara makro dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu penerapan kebijakan fiskal dengan meningkatkan pengeluaran pemerintah, penerapan kebijakan fiskal dengan cara memotong pajak, dan dengan melalui kebijakan moneter dengan cara meningkatkan money supply.

Perekonomian dapat didekati dengan instrument aggregate supply dan

aggregate demand. Kedua instrument ini dapat digunakan sebagai dasar dalam menjelaskan kondisi perekonomian baik secara teoritis maupun mekanistis terutama dalam menggambarkan fluktuasi output, tingkat harga, tingkat pendapatan, dan inflasi. Gambar berikut mengilustrasikan interaksi antara

aggregate demand dan aggregate supply dalam pasar (Dornbusch et. al., 2004, dan Case dan Fair ,1999).

Gambar 2. Hubungan Tingkat Harga, Output, Agregat Demand dan Agregat Supply Keterangan: AS = Penawaran agregat AD =Permintaan agregat Po =Harga keseimbangan Yo = Output keseimbangan

Berdasarkan Gambar 2. di atas dapat dilihat bahwa titik Eo merupakan titik keseimbangan antara tingkat output dan tingkat harga. Pergeseran salah satu kurva karena salah satu sebab akan merubah tingkat harga dan tingkat output. Pergeseran kurva permintaan agregate ke kanan dapat disebabkan oleh dua hal,

yaitu peningkatan pengeluaran pemerintah atau penurunan pajak. Selain itu kurva permintaan agregat juga bergeser ke kanan jika jumlah uang beredar meningkat (Case dan Fair, 1999). Kedua penyebab ini menggeser kurva Permintaan aggregate bergeser dari ADo menjadi AD1.

Kurva Agregate Supply secara konsep adalah kurva yang menghubungkan antara jumlah barang dan jasa yang ditawarkan oleh perusahaan pada harga tertentu. Kurva ini slopenya positif karena perusahaan selalu berusaha untuk menawarkan barang yang diproduksi pada harga yang lebih tinggi. Sedangkan kurva aggregate demand slopenya negatif karena harga yang lebih tinggi akan menurunkan nilai money supply yang selanjutnya akan menurunkan juga permintaan akan output. Kurva permintaan agregate adalah kurva yang menguhubungkan kombinasi level harga dan level output pada suatu pasar output dan pasar uang secara simultan dan keadaan pasar tersebut dalam keadaan seimbang (Mankiw, 2003).

Perubahan dari salah satu kurva tersebut akan mempengaruhi keseimbangan umum. Dalam perekonomian modern, komponen dari permintaan agregate terdiri dari empat kelompok, yaitu pengeluaran konsumsi rumahtangga, pengeluaran investasi perusahaan, pengeluaran pemerintah, dan net ekspor (Krugman dan Obstfeld, 2003). Dengan demikian maka secara fungsi, pemerintah dapat menyusun kebijakan yang bisa mempengaruhi pergeseran kurva permintaan agregat.

Dengan mendasarkan pada hal tersebut di atas, komponen dari permintaan agregate perlu dikelola secara optimal agar terjadi keseimbangan pasar yang berkualitas. Dengan demikian dalam analisis ekonomi makro suatu daerah perlu

memperhatikan komponen tersebut. Agregate demand secara matematis dapat diformulasikan sebagai berikut.

D=C (Y – T) + I + G + CA (EP*IP, Y-T)…(Krugman dan Obstfeld, 2003)

Keterangan:

C (Y – T) = Konsumsi sebagai fungsi dari pendapatan disposibel I + G = Investasi dan pengeluaran pemerintah yang merupakan variabel eksogen

CA (EP*/P,Y-T) = Current account yang merupakan fungsi dari real exchange rate dan pendapatan disposibel

Formula tersebut di atas mengandung arti bahwa permintaan agregate akan sangat terpengaruh oleh besarnya konsumsi yang merupakan fungsi dari pendapatan disposibel, pajak, investasi, pengeluaran pemerintah, dan exchange rate. Dalam hal ini investasi dan pengeluaran pemerintah merupakan faktor eksogen yang penting dalam menggerakan perekonomian.

Dalam perekonomian, analisis secara komprehensif dapat dilakukan dengan menggabungkan antara analisis kurva IS-LM dan analisis AD-AS. Dalam kontek peningkatan investasi dan pengeluaran pemerintah alat analisis di atas dapat digunakan. Kebijakan peningkatan investasi dan pengeluaran pemerintah dengan yang lain dianggap tetap maka akan mengakibatkan keseimbangan pasar bergeser. Kenaikan investasi mengakibatkan perubahan yang sama dengan perubahan pengeluaran pemerintah jika asumsinya kurva LM tetap, dan tidak ada ekspor dan impor dalam suatu perekonomian. Dengan perekonomian hanya terdiri dari tiga sektor, yaitu pemerintah, perusahaan dan rumah tangga, maka kenaikan pengeluaran pemerintah atau kenaikan investasi akan memberikan perubahan

yang sama, yaitu pergerakan IS ke arah kanan, seperti pada Gambar 3. (Branson dan Litvack, 1981).

Sumber : Branson dan Litvack (1981)

Gambar 3. Dampak Peningkatan Pengeluaran Pemerintah atau Investasi terhadap Output

Keterangan:

r = Tingkat suku bunga y = Output

s = Tabungan t = Pajak i = Investasi

g = Pengeluaran Pemerintah

Peningkatan pengeluaran pemerintah akan menggeser kurva go menjadi g1. Dengan kondisi demikian output pada setiap tingkat bunga menjadi lebih

tinggi. Pada kurva g1 jika tingkat suku bunga ro, maka output yang dicapai pada kondisi kesimbangan adalah Y1. Jadi meningkatnya pengeluaran pemerintah memberikan dampak pergeseran kurva IS ke arah kanan, yaitu dari ISo menjadi kurva IS1. Hal ini mempunyai arti bahwa output menjadi lebih besar. Tingkat output yang besar akan meningkatkan aktivitas perekonomian. Selanjutnya kondisi ini akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor tersebut meningkat selanjutnya akan mengurangi pengangguran.

Dalam kontek yang sama jika suku bunga lebih rendah dari sebelumnya maka investasi akan meningkat. Dengan mekanisme yang sama seperti diuraikan pada Gambar 3 maka suku bunga yang lebih rendah juga akan meningkatkan output. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa besarnya investasi dan pengeluaran pemerintah mempunyai efek yang sama terhadap perekonomian, yaitu penambahan output (Sukirno, 2000). Oleh karena itu dalam hal ini investasi dan pengeluaran pemerintah menjadi sangat strategis untuk meningkatkan kinerja perekonomian daerah.

3.2. Kerangka Kebijakan Fiskal Daerah pada Era Otonomi

Kebijakan otonomi daerah di Indonesia diikuti dengan kebijakan desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal sendiri mempunyai pengertian suatu proses alokasi pengeluaran pemerintah dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang ada di bawahnya. Hal ini dimaksudkan untuk dapat digunakan dalam mendukung fungsi atau tugas pemerintahan yang telah dilimpahkan tersebut berdasarkan undang undang. Dengan demikian maka prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam hal ini adalah prinsip money follow

functions. Prinsip ini merupakan suatu keharusan untuk optimalisasi pencapaian tujuan desentralisasi fiskal. Prinsip ini mempunyai pengertian bahwa pemerintah pusat selain menyerahkan dan melimpahkan sebagian kewenangannya, pemerintah pusat juga harus menyerahkan sebagian anggarannya untuk pelaksanaan kewenangan tersebut.

Menurut Waluyo (2007) dalam pelaksanaannya desentralisasi fiskal dapat menggunakan pendekatan expenditure assignment dan revenue assigment. Pendekatan expenditure assignment adalah pendekatan sebagai akibat perubahan tanggung jawab. Sebagian tanggungjawab pemerintah pusat dalam hal pelayanan publik telah berpindah dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Pendekatan ini dapat dilakukan dengan cara pembatasan kewenangan dan tanggungjawab yang jelas. Selain itu, perlu juga menyusun standar kinerja. Dengan demikian pengeluaran pemerintah akan menjadi lebih optimal dan tepat.

Berbeda dengan expenditure assignment, pendekatan revenue assignment lebih menekankan pada peningkatan kemampuan keuangan daerah dengan cara pengalihan sumber pembiayaan pusat kepada daerah, dalam rangka membiayai fungsi yang didesentralisasikan (Waluyo, 2007). Penentuan sumber-sumber pembiayaan ini dapat dilakukan dengan beberapa cara salah satunya dengan tax assigment. Kondisi ini ditandai dengan disusunnya kebijakan pajak dan retribusi daerah yang tepat. Di Indonesia implementasinya adalah dengan mendelgasikan pengelolaan beberapa pajak yang tadinya dikelola pemerintah pusat sebagian telah dialihkan menjadi pajak daerah.

Desentralisasi fiskal yang ditandai dengan reformasi kebijakan perpajakan dan perimbangan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah

telah memberikan dampak besar terhadap perekonomian daerah. Semua pendapatan dan pengeluaran pemerintah daerah dikelola melalui APBD. Jadi dalam kontek pemerintah daerah di Indonesia, pendapatan dan pengeluaran pemerintah daerah selama satu tahun dimuat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang merupakan persetujuan dan kesepakatan antara eksekutif dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan prosesnya melalui tahapan tertentu yang melibatkan masyarakat.

Salah satu efek dari kebijakan pemerintah pusat tentang desentralisasi fiskal dan otonomi daerah adalah ketimpangan pendapatan antar wilayah. Pendapat Etharina (2005) mengatakan bahwa disparitas regional antar wilayah di Indonesia tidak lepas dari kebijakan pemerintah terhadap daerah terutama berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah. Kebijakan otonomi daerah yang termuat dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 yang menyebutkan bahwa pemerintah pusat menguasai dan mengontrol hampir semua pendapatan daerah yang meliputi pendapatan dari hasil kekayaan alam dan tambang telah mengakibatkan daerah yang kaya sumber daya alam tidak menikmati hasil yang dimiliki (Hill, 2000). Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah pusat terbuksi mengakibatkan ketimpangan pendapatan antar wilayah. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah seperti otonomi daerah dan desentralisasi fiskal diduga akan sangat berpengaruh terhadap ketimpangan pendapatan antar wilayah.

Di Indonesia pengelompokan provinsi-provinsi dalam hal kinerja perekonomian sangat beragam. Penelitian ketimpangan pendapatan berbasis spasial yang dilakukan oleh Etharina (2005) selain membagi provinsi-provinsi

Jawa dan luar Jawa dia juga membagi wilayah Indonesia menjadi dua wilayah, yaitu Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). KBI mencakup provinsi-provinsi di pulau Sumatera, Pulau Jawa, dan Provinsi Bali. Sedangkan yang KTI meliputi provinsi-provinsi yang ada di Pulau Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua.

3.2.1. Kerangka Dasar Penerimaan Daerah

Pada Undang-Undang No 25 Tahun 1999 yang direvisi dengan Undang- Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Pengelolaan pembiayaan pembangunan daerah dilakukan berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan (Yustika, 2007). Pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi dilakukan atas beban APBD yang berisi pendapatan dan belanja daerah untuk periode tahunan.

Dokumen APBD ini disusun melaui proses yang panjang dan melibatkan berbagai institusi dan masyarakat. Alasannya adalah bahwa dokumen APBD disusun berpedoman pada Rencana Kerja Pemerintah Daerah ( RKPD). Dokumen RKPD ini disusun oleh pemerintah daerah melaluai proses teknokratik, partisipatif, politik, bottom up, dan top down (Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 ).

Selanjutnya pada Undang-Undang No. 33 tahun 2004 diuraikan bahwa penerimaan fiskal daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana bagi hasil pajak dan bukan pajak, transfer dari pemerintah pusat, dan penerimaan lain yang sah berdasarkan perundangan.

Secara konsep Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang berasal dari sumber-sumber daerah itu sendiri. Adapun yang termasuk dalam PAD adalah pajak-pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba dari badan usaha milik daerah, dan jenis pendapatan lainnya yang sah. Sedangkan dana dari pemerintah berupa dana transfer berupa teridiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan total bagi hasil. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa total penerimaan daerah ini menggambarkan ketersediaan fiskal daerah atau fiscal available, sedangkan kemampuan fiskal atau kapasitas fiskal (fiscal capacity) menggambarkan kemampuan keuangan daerah yang bersumber dari PAD dan total bagi hasil baik berupa bagi hasil pajak maupun bagi hasil bukan pajak (UU No33/2004).

Secara definisi pajak merupakan pungutan yang yang dilakukan pemerintah sesuai dengan kewenangan yang diatur undang-undang yang berlaku dan dapat

Dokumen terkait