• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.5. Pertumbuhan Ekonomi dan Pertumbuhan Wilayah

Pertumbuhan ekonomi pada umumnya mempunyai pengertian meningkatnya output barang dan jasa pada wilayah tertentu dan biasanya diukur dengan pertumbuhan nilai Gross Domestic Product (GDP). Dalam hal ini ada tiga faktor atau komponen utama yang penting dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara atau wilayah (Todaro dan Smith, 2006). Pertama adalah berapa besar tingkat akumulasi modal yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang dialokasikan dalam perekonomian. Kedua adalah berapa besar laju pertumbuhan penduduk yang akan menambah jumlah angkatan kerja dan yang ketiga adalah tingkat kemajuan teknologi yang akan mempengaruhi secara langsung proses produksi dan akhirnya akan meningkatkan kuantitas produksi.

Hampir sama dengan Todaro dan Smith (2006), Romer (2001) mengemukakan bahwa teori pertumbuhan model Solow memfokuskan pada

empat variabel, yaitu : output (Y), capital (K), labor (L) dan Knowledge atau the effectiveness tenaga kerja (A), formulasi model pertumbuhannya adalah sebagai berikut.

Yt = F (Kt, At, Lt ) ...t merupakan waktu.

Formula ini menunjukkan bahwa faktor kapital sangat dominan dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian. Di samping faktor tersebut, faktor tenaga kerja dan ilmu pengetahuan yang dimiliki tenaga kerja tersebut juga menjadi faktor penentu pertumbuhan ekonomi.

Suatu wilayah dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi, apabila Produk Domestik Bruto (PDB) riil mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Berlaku sebaliknya, apabila PDB suatu wilayah turun dari tahun sebelumnya, maka wilayah tersebut dikatakan mengalami penurunan. Dalam perekonomian, pertumbuhan menjadi penting karena dapat memacu pembangunan daerah. Dalam konteks Indonesia pada era otonomi, pertumbuhan ekonomi merupakan cara paling efektif untuk memperkuat kelompok pembaharu karena hal ini akan mendorong pembentukan kelompok kelas menengah baru. Kelompok ini merupakan penggerak pembangunan daerah (Boediono, 2009). Dikatakan juga bahwa syarat lain berkaitan dengan hal ini adalah bahwa pertumbuhan ekonomi harus tersebar dan harus tumbuh dari sumber enterpreunerial dalam kompetisi yang sehat.

Pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari sisi permintaan dan sisi penawaran. Dalam konteks ini, dari sisi permintaan agregat, peningkatan output domestik dapat diidentifikasi dengan empat komponen perekonomian, yaitu : (1) pengeluaran konsumsi oleh rumahtangga (C), (2) pengeluaran investasi oleh dunia

bisnis dan rumahtangga (I), (3) belanja pemerintah untuk barang dan jasa (G), dan (4) nett eksport (X-M) (Dornbusch et al, 2004).

McCann (2006) memformulasikan komponen perekonomian daerah tersebut yang dikenal dengan permintaan agregat standar dari Keynesian untuk kawasan regional yang dapat dirumuskan sebagai berikut.

Yr = Cr + Ir + Gr + Xr – Mr Keterangan:

Yr = Pendapatan regional Ir = Investasi regional Cr = Konsumsi regional

Gr = Pengeluaran pemerintah daerah Xr = Eskpor daerah

Mr = Impor daerah.

Formula di atas mengandung arti bahwa pertumbuhan ekonomi di daerah sangat tergantung dari empat komponen. Dalam hal ini yang dimaksud dengan konsumsi (C) adalah konsumsi dari barang dan jasa yang dilakukan rumahtangga. Tingkat konsumsi rumahtangga dipengaruhi oleh pendapatan disposibel (Disposible Income) atau pendapatan yang dapat dibelanjakan. Jika diasumsikan belanja pemerintah tetap, maka semakin tinggi konsumsi menyebabkan menurunnya investasi atau memperbesar defisit perdagangan.

Selanjutnya, yang disebut dengan investasi (I) adalah pembelian barang dan jasa oleh dunia usaha. Investasi disebut juga dengan barang modal yang dibeli untuk penggunaan masa depan. Yang termasuk dalam investasi ini, adalah pembiayaan untuk konstruksi infrastruktur.

Salah satu sumber investasi adalah dengan privatisasi badan usaha milik pemerintah. Namun menurut Adams (2006) kebijakan privatisasi di Subsaharan Afrika ternyata tidak mendorong pertumbuhan ekonomi tetapi dapat menurunkan tingkat ketimpangan pendapatan. Hal yang penting dari hasil penelitiannya adalah bahwa infrastuktur di Subsaharan Afrika yang dibangun dan disediakan pemerintah sangat membantu dalam pertumbuhan ekonomi.

Infrastruktur menjadi penting dalam pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah harus selektif dalam menyusun prioritas pembangunan. Dengan kata lain pemerintah harus selektif, komprehensif, dan profesional dalam penyusunan rancangan APBN dan rancangan APBD. Untuk itu, berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2003, penyusunan APBN dan APBD didasarkan dengan pendekatan pada prestasi kerja yang akan dicapai. Dengan demikian maka anggaran yang dialokasikan pada kegiatan pada APBN dan APBD dapat menghasilkan kinerja yang dapat di ukur. Dalam hal ini Irawati dan Mansur (2006) berpendapat bahwa elemen penting yang harus diperhatikan dalam penerapan menajemen pengeluaran publik berbasis kinerja adalah: (1) pergeseran pengambil keputusan tentang penentuan kebutuhan publik dari pemerintah , yaitu dari birokrat profesional dan kelompok elite ke masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar anggaran publik dapat menjawab kebutuhan masyarakat, dan (2) manajemen kinerja dengan perencanaan kinerjanya merupakan kesatuan yang utuh dengan anggaranya. Oleh karena itu, alokasi anggaran harus berdasarkan pada kinerjanya. Kondisi seperti ini menuntut akuntabilitas yang tinggi dan transparansi dari semua para pemangku kepentingan.

Sejalan dengan hal ini, untuk pertimbangan efektivitas dan efisiensi penganggaran publik menjadi hal yang sangat penting. Penetapan indikator kinerja harus jelas dan harus berkaitan dengan tujuan dan sasaran yang telah disusun berdasarkan kesepakatan masyarakat. Hal ini mengandung arti bahwa reformasi manajeman pengeluaran publik bukan lah merupakan agenda reformasi yang berdiri sendiri tetapi merupakan bagian dari paket reformasi manajemen penyelenggaraan pemerintahan. Untuk mendapatkan hasil yang baik dan dalam penerapan manajemen kinerja diperlukan juga anggaran berbasis kinerja yang salah satu intinya adalah alokasi anggaran publik yang berdasakan kinerja.

Untuk mendukung penerapan manajemen pengeluaran publik berbasis kinerja dibutuhkan juga perubahan dalam mekanisme perumusan tujuan dan sasaran dari pengeluaran publik, pembenahan saluran komunikasi untuk menjaring aspirasi masyarakat, serta penentuan indikator yang tepat sebagai kontrak formal antara pemerintah dan masyarakat. Kontrak formal inilah yang harus dipertanggungjawabkan oleh pemerintah kepada masyarakat. Jika hal ini dilakukan maka tidak akan ditemukan salah alokasi anggaran dengan demikian terjadi optimalisasi penggunaan anggaran pemerintah. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi regional yang dibutuhkan masyarakat dapat terwujud sesuai rencana (Sodik, 2007).

2.5.2. Pertumbuhan Wilayah

Secara teoritis, wilayah diartikan sebagai subsistem dari sistem yang lebih kompleks dan lebih besar, yaitu lingkup nasional. Oleh karena itu, wilayah mempunyai pusat kegiatan yang fungsinya mendukung kegiatan nasional. Dalam

konteks ini, maka daerah merupakan subsistem dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Wilayah yang memiliki tingkat pembangunan yang relatif tinggi dan tingkat aktivitas yang relatif padat, menunjukkan wilayah tersebut mempunyai heterogenitas sosial yang semakin kompleks. Hal ini mengakibatkan pada wilayah tersebut muncul berbagai aneka pekerjaan yang dilakukan oleh para penduduknya, yang berlatar belakang berbeda-beda (Adisasmita, 2008).

Heterogenitas sosial dalam kota, merupakan prasyarat terjadinya dinamika positif dalam perekonomian. Hal ini seperti dinyatakan oleh Lampard dan Friedmann dalam Adisasmita (2008) bahwa dinamika tersebut merupakan syarat agar terwujud inovasi baru dalam produksi. Jadi intinya, inovasi merupakan faktor yang penting dalam pertumbuhan ekonomi. Sejalan dengan inovasi merupakan bagian dari perubahan teknologi, maka ada kecenderungan bahwa pembangunan ekonomi lebih mudah terjadi di kota-kota besar atau daerah yang sudah maju dari pada di daerah-daerah pedesaan atau daerah yang kurang maju. Selain itu, inovasi berkecenderungan menimbulkan perubahan dalam struktur ekonomi, struktur sosial dan politik. Oleh karena itu, setiap daerah mempunyai respon yang berbeda- beda terhadap perubahan yang datang dari luar termasuk perubahan dalam investasi dan pengeluaran pemerintah daerah untuk pembangunan.

Dalam hal ini, Perroux (2007) dalam Adisasmita (2008) mengatakan bahwa suatu tempat dikatakan sebagai kutub pertumbuhan apabila di tempat tersebut terdapat industri kunci (key industry). Industri kunci ini memainkan peranan sebagai pendorong yang dinamik, karena industri tersebut mempunyai kemampuan untuk melakukan inovasi. Jika wilayah mempunyai industri kunci

yang tumbuh dengan baik maka industri tersebut merupakan kutub pertumbuhan. Selanjutnya kutub pertumbuhan tersebut jika berkumpul, maka akan dapat merupakan suatu kompleks industri, yang berkelompok di sekitar industri kunci. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa industri kunci dalam suatu wilayah, juga sangat menentukan aktivitas perekonomian. Dengan demikian, disimpulkan oleh dia bahwa ada tiga ciri penting dalam konsep titik pertumbuhan, yaitu : (1) terdapat keterkaitan internal antara berbagai industri secara teknik dan ekonomi, (2) terdapat pengaruh multiplier, dan (3) terdapat konsentrasi geografis.

Sedangkan dalam Capello (2007) Perroux mengatakan bahwa teori kutub pertumbuhan merupakan teori yang membahas secara detail tentang pertumbuhan suatu wilayah. Basis dari teori ini menyatakan bahwa pembangunan tidak tumbuh di setiap tempat pada waktu yang sama. Pertumbuhan terkonsentrasi pada wilayah tertentu dan tumbuh dengan intensitas yang bervariasi.

Dokumen terkait