• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. TINGKAT PENGEMBALIAN KUESIONER

1. Deskripsi Hasil Penelitian

Peneliti membagikan kepada 42 guru di tujuh SD inklusi yang ada di Kota Yogyakarta. Kuesioner tersebut berisi 15 item pernyataan. Ada 27 kuesioner yang kembali. Data bentuk evaluasi belajar yang digunakan guru di sekolah dasar inklusi se-Kota Yogyakarta dihitung melalui lima tahap. Tahap pertama yaitu menghitung total dari setiap. Tahap kedua yaitu mencari rata-rata nilai maksimal dari item. Rata-rata dihitung dengan membagi dua total skor maksimal item. Tahap ketiga yaitu mencari mean dari skor item. Tahap keempat yaitu menghitung presentase penggunaan evaluasi belajar. Presentase dihitung dengan membagi mean skor dengan mean skor maksimal dikali dengan 100. Tahap kelima yaitu memasukkan hasil persentase ke dalam tabel. Berikut adalah tabel persentase penggunaan evaluasi belajar yang digunakan guru di SD Inklusi se-Kota Yogyakarta:

Tabel 4.1 Hasil Angket Evaluasi Belajar yang Digunakan Guru di Sekolah Dasar Inklusi se-Kota Yogyakarta

Aspek Indikator No.

Item

Jumlah Presentase

Ya Tidak Ya Tidak

Tes Melakukan asesmen awal dan akhir

1 17 10 63% 37%

2 13 14 48% 52%

3 21 6 78% 22%

Melakukan penilaian hasil belajar sesuai dengan kemampuan ABK. 4 17 10 63% 37% 5 26 1 96% 4% 6 26 1 96% 4% Melakukan penilaian kognitif. 7 17 10 63% 37%

Melakukan penilaian secara

berkelanjutan. 8 26 1 96% 4%

Non Tes

Melakukan asesmen awal, tengah, dan akhir.

9 20 7 74% 26%

10 22 5 81% 19%

11 17 10 63% 37%

Melakukan penilaian afektif. 12 21 6 78% 22% Melakukan penilaian

psikomotorik. 13 21 6 78% 32%

Menyesuaikan instrumen penilaian hasil belajar.

14 17 10 63% 37%

15 22 5 81% 19%

Pada item 1 dari 27 guru, ada 17 guru (63%) yang menjawab “ya” dan 10 guru (37%) yang menjawab “tidak” untuk pernyataan memberikan latihan ulangan bagi siswa agar terbiasa dengan format ujian. 10 guru yang menjawab tidak pada item ini seharusnya memberikan latihan ulangan agar siswa terbiasa dengan format ulangan dan tidak merasakan kesulitan saat mengerjakan ulangan. Latihan ulangan ini mampu menimbulkan rasa percaya diri kepada siswa saat mengerjakan ujian karena sudah terbiasa melakukan latihan ulangan yang diberikan guru.

Pada item 2 dari 27 guru, ada 13 guru (48%) yang menjawab “ya” dan 14 guru (52%) menjawab “tidak” untuk pernyataan memberikan les atau tutor sebelum ujian sesuai jam pembelajaran sekolah berakhir pada siswa

yang berkebutuhan khusus. Sangatlah perlu memberikan les atau tutor sebelum ujian sesuai jam pembelajaran sekolah berakhir pada siswa yang berkebutuhan khusus. Namun dari hasil angket, masih ada 14 guru (52%) yang menjawan “tidak”. Perlu adanya pengarahan kepada 14 guru yang menjawab “tidak” karena memberikan les atau tutor sebelum ujian sesuai jam pembelajaran sekolah berakhir pada siswa yang berkebutuhan khusus, sangat penting karena guru dapat mengulang kembali materi pelajaran pada siswa yang belum paham.

Pada item 3 dari 27 guru, ada 21 guru (78%) yang menjawab “ya” dan 6 guru (22%) yang menjawab “tidak” untuk pernyataan membuat alternatif bentuk pertanyaan saat ujian berlangsung bagi siswa berkebutuhan khusus. Sangatlah perlu membuat alternatif bentuk pertanyaan saat ujian berlangsung bagi siswa berkebutuhan khusus. Namun dari hasil angket, masih ada 6 guru (22%) yang menjawab “tidak”. Perlu adanya pengarahan kepada 6 guru yang menjawab “tidak” karena membuat alternatif bentuk pertanyaan saat ujian berlangsung bagi siswa berkebutuhan khusus, dapat mempermudah siswa memahami pertanyaan yang dibuat guru dan tidak mempermasalahkan pertanyaan.

Pada item 4 dari 27 guru, ada 17 guru (63%) yang menjawab “ya” dan 10 guru (37%) yang menjawab “tidak” untuk menentukan standar kompetensi kelulusan pada setiap mata pelajaran sesuai kemampuan siswa. Di setiap mata pelajaran pasti ada standar kompetensi kelulusan, ini digunakan untuk menentukan berhasil atau tidaknya siswa pada mata

pelajaran tersebut. Oleh sebab itu, guru harus menentukan standar kompetensi kelulusan pada mata pelajaran yang diampu guru tersebut. Guru dalam menentukan standar kompetensi kelulusan harus menyesuaikan kemampuan siswa agar standar kompetensi kelulusan yang diberikan oleh guru tidak terlalu tinggi. Namun dalam kenyataannya, masih ada 10 guru (37%) yang menjawab tidak menentukan standar kompetensi kelulusan pada setiap mata pelajaran sesuai kemampuan siswa.

Pada item 5 dari 27 guru, ada 26 guru (96%) yang menjawab “ya” dan 1 guru (4%) yang menjawab “tidak” untuk pernyataan membuat indikator yang sesuai kemampuan siswa dan menjadi acuan terhadap hasil belajar. Sangatlah perlu membuat indikator yang sesuai kemampuan siswa dan menjadi acuan terhadap hasil belajar. Namun dari hasil angket, masih ada 1 guru (4%) yang menjawab “tidak”. Perlu adanya pengarahan kepada 1 guru yang menjawab “tidak” karena membuat indikator yang sesuai kemampuan siswa dapat digunakan sebagai acuan terhadap hasil belajar siswa, jika tidak sesuai dalam membuat indikator dan tidak melihat kemampuan siswa maka hasil belajar yang diharapkan akan tidak maksimal.

Pada item 6 dari 27 guru, ada 26 guru (96%) yang menjawab “ya” dan 1 guru (4%) yang menjawab “tidak” untuk pernyataan menggunakan instrumen penilaian yang bervariasi sesuai kemampuan siswa untuk menilai hasil belajar. Penggunaan instrumen penilaian yang bervariasi perlu digunakan oleh guru sebab kemampuan siswa berbeda-beda misalnya salah satu anak memiliki kemampuan dalam bidang olahraga, dalam menilai hasil

belajar anak tersebut tidak hanya menggunakan penilaian tes saja, akan tetapi guru perlu menggunakan penilaian non tes misalnya observasi. Namun dalam kenyataannya, masih ada 1 guru (4%) yang menjawab tidak menggunakan instrumen penilaian yang bervariasi sesuai kemampuan siswa untuk menilai hasil belajar.

Pada item 7 dari 27 guru, ada 17 guru (63%) yang menjawab “ya” dan 10 guru (37%) yang menjawab “tidak” untuk memberikan nilai tes di akhir pembelajaran. Ketika guru mengajar hendaknya di setiap akhir pembelajaran memberikan nilai tes, ini digunakan untuk mengapresiasi kemampuan siswa dan nilai tes juga sebagai acuan untuk penilaian selanjutnya. Namun dalam kenyataannya, masih ada 10 guru (37%) yang menjawab tidak memberikan nilai tes di akhir pembelajaran.

Pada item 8 dari 27 guru, ada 26 guru (96%) yang menjawab “ya” dan 1 guru (4%) yang menjawab “tidak” untuk melakukan penilaian berdasarkan hasil kemajuan yang dicapai siswa. Hasil kemajuan yang dicapai siswa hendaknya diberikan penilaian, karena dapat digunakan untuk penilaian berkelanjutan dan mengetahui apakah siswa itu berkembang atau tidak. Namun dalam kenyataannya, masih ada 1 guru (4%) yang menjawab tidak melakukan penilaian berdasarkan hasil kemajuan yang dicapai siswa.

Pada item 9 dari 27 guru, ada 20 guru (74%) yang menjawab “ya” dan 7 guru (26%) yang menjawab “tidak” mengenai pernyataan melakukan penilaian secara berkala. Penilaian secara berkala perlu dilakukan oleh guru untuk mengetahui kondisi siswa. Penilaian secara berkala dapat mengetahui

tingkat perkembangan siswa. Jika siswa belum menunjukkan nilai yang semakin meningkat guru bisa memberi materi tambahan. Namun dalam kenyataannya, masih ada 7 guru (26%) yang menjawab tidak pada penilaian secara berkala untuk mengetahui kemampuan siswa.

Pada item 10 dari 27 guru, ada 22 guru (81%) yang menjawab “ya” dan 5 guru (19%) yang menjawab “tidak” pada pernyataan mengobservasi kondisi siswa pada saat pelajaran. Kegiatan observasi perlu dilakukan oleh guru untuk mengetahui situasi dan kondisi siswa. Obervasi saat pelajaran perlu dilakukan untuk mengetahui paham atau tidak siswa dalam memahami materi pelajaran. Namun dalam kenyataannya, masih ada 5 guru (19%) yang menjawab tidak pada mengobservasi kondisi siswa pada saat pelajaran.

Pada item 11 dari 27 guru, ada 17 guru (63%) yang menjawab “ya” dan 10 guru (37%) yang menjawab “tidak” pada pernyataan mengobservasi kemampuan siswa diakhir proses pelajaran untuk memastikan bahwa materi yang disampaikan dapat dipahami oleh siswa. Mengobservasi kemampuan siswa diakhir proses pembelajaran sangat perlu dilakukan oleh guru untuk mengetahui apakah siswa paham atau tidak dengan materi yang disampaikan guru. Namun dalam kenyataannya, masih ada 10 guru (37%) yang menjawab tidak mengobservasi kemampuan siswa diakhir pelajaran.

Pada item 12 dari 27 guru, ada 21 guru (78%) yang menjawab “ya” dan 6 guru (22%) yang menjawab “tidak” pada pernyataan mengobservasi ketertarikan siswa saat mengerjakan tes. Mengobservasi ketertarikan siswa

saat mengerjakan tes seharusnya perlu dilakukan oleh guru untuk melihat ketertarikan siswa saat mengerjakan tes, apakah siswa senang atau tidak sebab jika siswa merasa senang dalam mengerjakan tes ia akan menjawab dengan jawaban yang sesuai. Namun dalam kenyataannya, masih ada 6 guru (22%) yang menjawab tidak pada mengobservasi ketertarikan siswa saat mengerjakan tes.

Pada item 13 dari 27 guru, ada 21 guru (78%) yang menjawab “ya” dan 6 guru (22%) yang menjawab “tidak” pada pernyataan mengobservasi ketrampilan sikap siswa saat mengerjakan tes. Mengobservasi sikap siswa saat mengerjakan tes seharusnya perlu dilakukan oleh guru untuk melihat kemampuan siswa, apakah siswa tekun atau tidak saat mengerjakan tes. Namun dalam kenyataannya, masih ada 6 guru (22%) yang menjawab tidak pada mengobservasi sikap siswa saat mengerjakan tes.

Pada item 14 dari 27 guru, ada 17 guru (63%) yang menjawab “ya” dan 10 guru (37%) yang menjawab “tidak” pada pernyataan membuat rubrik penilaian tentang aspek psikomotorik.Bentuknya berupa rubrik pengamatan dengan pernyataan. Rubrik penilaian psikomotorik misalnya ada pernyataan yang memandu guru untuk mengetahui kemampuan siswa dalam mendengarkan perintah guru, mempresentasikan tugas, kesediaan membantu teman dsb. Namun dalam kenyataannya, masih ada 10 guru (37%) yang menjawab tidak membuat rubrik penilaian tentang aspek psikomotorik pada siswa yang berkebutuhan khusus.

Pada item 15 dari 27 guru, ada 22 guru (81%) yang menjawab “ya” dan 5 guru (19%) yang menjawab “tidak” pada pernyataan membuat instrumen observasi untuk meninjau ketrampilan siswa. Setiap anak berkebutuhan khusus memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, rubrik observasi dibuat berdasarkan kemampuan siswa agar tercapainya hasil belajar yang diharapkan. Namun dalam kenyataannya, masih ada 5 guru (19%) yang menjawab tidak membuat rubrik observasi bagi siswa yang berkebutuhan khusus.

Guru di sekolah dasar inklusi se-Kota Yogyakarta menggunakan evaluasi belajar tes dan non tes (Kustawan, 2006: 39). Bahwa evaluasi belajar non tes sangat membantu bagi siswa berkebutuhan khusus yang cenderung mengalami permasalahan dalam memperhatikan, mengingat, dan mengatur informasi secara berarti. Namun, dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa beberapa guru di sekolah dasar inklusi se-Kota Yogyakarta belum secara maksimal dalam menggunakan evaluasi belajar, terlebih pada evaluasi belajar dengan aspek non tes yang menjadi ciri khas dari pendidikan inklusi.

Dokumen terkait