• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deskripsi Masyarakat Osing

Dalam dokumen PERAN KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT OSING DA (Halaman 93-98)

BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

B. Deskripsi Masyarakat Osing

Beberapa orang menyebut Osing sebagai Using, dan ada pula yang menyebut Osing sebagai Osing. Perbedaan huruf awalan ini tidak mengindahkan arti dari kata itu sendiri. Berdasarkan data sejarah (dalam Salamun, dkk. 2015: 22-23), nama Banyuwangi tidak terlepas dari kerajaan Blambangan yakni sejak masa pemerintahan Pangeran Tawang Alun (1655- 1691), Pangeran Danuningrat (1736-1763), hingga masa Blambangan di bawah perlindungan Bali (1763-1767). Sejarah Using tidak dapat dipisahkan dari perang Paregreg dan Puputan bayu. Perang Paregreg terjadi pada tahun 1401-1404, sedangkan perang Puputan bayu terjadi pada tahun 1771-1772. Menurut Anoegrajekti berdasarkan tulisan Brandes, perang Paregreg merupakan perang yang terjadi antara pasukan Bhre Wirabhumi dengan Wikrawardhana dalam memperebutkan kekuasaan. Perebutan kekuasaan antara kedhaton wetan dan kedhaton kulon. Sedangkan perang Puputan bayu yang terjadi pada tanggal 18 Desember 1771 merupakan puncak perlawanan rakyat Blambangan melawan VOC. Dalam pertempuran tersebut menimbulkan banyak korban jiwa dan hanya menyisakan 8000 orang, sisa- sisa dari rakyat Blambangan inilah yang kemudian dinyatakan sebagai cikal bakal orang Using.

Beatty dengan mengutip pendapat dari Stoppelaar dalam Salamun, dkk (2015: 23) menjelaskan secara lebih rinci mengenai ciri-ciri Using:

a. Pemukiman cenderung lebih padat kompak di tengah ”orang

barat”, dengan rumah-rumah yang berdekatan bersama;

b. Endogami lokal sangat disukai, sehingga memberikan kedalaman pengetahuan genealogis dan pola yang jelas mengenai ikatan- ikatan kekerabatan yang bertumpang tindih;

c. Penekanan lebih besar pada nilai-nilai kekerabatan dibandingkan yang umum ditemukan di Jawa tercermin pada norma-norma

sharing dan dalam ritual ekonomi yang sama dengan ”keramaian”

tukar menukar pada orang Jawa-meski dalam bentuk yang lebih mencakup seluruh aspek kehidupan;

d. Di sebagian besar Desa Using, hampir setiap orang memiliki tanah sendiri sekurang-kurangnya sepetak tanah untuk rumah; secara tradisi, tidak ada perbedaan yang tegas orang yang banyak memiliki dan kurang memiliki tanah. Dari ciri-ciri yang telah disebutkan di atas menunjukkan sifat egalitarian masyarakat Using,

2. Kelembagaan Desa (Pertanian)

Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi, Kabupaten Banyuwangi merupakan salah satu desa yang dihuni oleh Suku Osing. Suku Osing yang berada di Desa Aliyan mayoritas bermata pencaharian sebagai petani. Menurut Budi (Wawancara, 09/03/18), Osing itu berarti bukan. Nenek moyang Suku Osing adalah keturunan dari darah campuran Jawa, Bali, Madura yang datang ke Tanah Osing untuk bersembunyi dari perlawanan Belanda. Persebaran Suku Osing kemudian babat alas ke seluruh penjuru Banyuwangi dan menjadi sebuah desa. Menurut Taufik (wawancara, 16/03/18), Salah satu persebaran masyarakat asli Suku Osing adalah mereka yang bermukim di salah satu desa dekat Desa Mangir yaitu Desa Aliyan. Masyarakat Osing di Desa Aliyan masih melestarikan adat terutama yang berkaitan dengan pertanian seperti keboan.

Lembaga Adat Desa ini menjadi bagian dari Lembaga Masyarakat Adat Using (LMAU) yang berpusat di Desa Kemiren. Kegiatan lembaga adat ini yaitu terdapat pertemuan antarlembaga adat di setiap bulannya dengan tujuan pelestarian budaya dan tradisi yang menjadi kearifan lokal Suku Osing. Di Desa Aliyan lembaga adat tersebut memberikan ruang bagi masyarakat untuk mengapresiasi kesenian, melestarikan budaya dan adat keboan dengan harapan budaya dan adat tetap terjaga dan lestari.

Menurut Giyono (wawancara, 18/03/18), adat keboan di Desa Aliyan adalah salah satu adat yang sudah lama ada dan lestari dengan sendiri sebagai penghormatan kepada leluhur, wujud rasa syukur dan ritual saat

musim kemarau panjang. Berbeda dengan adat Kebo-keboan yang ada di

Alasmalang, “kebo” artinya kerbau dan tambahan kata “–an” berarti

sungguhan, ketika orang yang menjadi kerbau dalam ritual dirasuki roh para leluhur tanpa ada rekayasa. Saat adat tersebut matisuri atau tidak diadakan, ada hal ganjil yang terjadi yaitu beberapa warga kesurupan dan menyerupai kerbau. Acara keboan di Desa Aliyan pun tidak bisa direkayasa sesuai dengan keinginan panitia karena saat kerasukan, tingkah laku si kebo ini seperti jam kerja kerbau yaitu sejak pukul 6 pagi dan berakhir sebelum dzuhur.

Masyarakat Osing percaya bahwa dalam adat tersebut ada petuah atau pesan yang disampaikan oleh si kerbau tentang hasil bumi, bencana alam maupun kondisi pengairan. Pengairan di Desa Aliyan dijaga dan dikelola oleh jaga tirta yaitu orang yang menjaga aliran air untuk masuk ke sawah milih warga. Pemilihan jaga tirta pun dilakukan seperti pemilihan Kepala Desa, dan suara masyarakat menjadi penentu akhir. Menurut Ashari (wawancara, 17/03/18), musyawarah dalam menentukan jaga tirta dilakukan oleh masyarakat karena nantinya akan berurusan langsung dengan masyarakat. Jika jaga tirta bukan orang yang tegas, keras, cepat tanggap, dan merakyat maka harus bersiap untuk menghadapi bacokan dari warga. Beberapa tahun silam, pernah ada kejadian kejar-kejaran antarwarga dan

jaga tirta di sawah karena masalah pengairan, sang jaga tirta harus siap diamuk masyarakat jika air tidak mengalir tepat waktu atau terdapat kecurangan dari oknum lain.

Selanjutnya, himpunan Petani Pemakai Air (hIPPA) merupakan organisasi irigasi yang mengurusi pengelolaan distribusi air irigasi terutama di daerah kering atau yang memiliki periode musim kelangkaan air dengan tujuan meningkatkan produksi tanaman pertanian. Dalam hal ini pengelolaan air irigasi dikelola petani secara bersama-sama. Pengaturan dalam hIPPA ini diatur secara musyawarah, di antaranya bergotong-royong bila saluran irigasi rusak, pengaturan pembagian air menurut luas lahan sawah yang digarap, pengaturan pembayaran untuk hIPPA yang ditentukan setiap satu sub

memberi ’uang lelah’ dalam bentuk padi ke Jaga Tirta berupa padi hasil

panen (dalam Salamun dkk, 2015: 35).

Menurut Giyono (wawancara, 18/03/18), pembagian upah yang diterimanya sebagai jaga tirta yaitu satu karung padi dalam hitungan satu bahu tanah yang dimiliki oleh petani. Kemudian, terdapat kelompok tani yang tergabung menjadi Gapoktan yang dibentuk untuk mengkordinir 7 (tujuh) kelompok tani yang ada di Desa Aliyan, yaitu: Tawangalun, Wongso Kenongo, Kangkung Darat, Dewi Sri, Kembang Turi, Sudimampir, dan Cempokomulya. Masing-masing kelompok tani ini didata nama pemilik sawah, nama penggarap sawah, luas sawah, dan masuk blok apa. Pengairan ini berasal dari aliran air Sungai Setail yang ada di utara Damrejo kemudian dialirkan ke sawah-sawah milik warga. Tak dipungkiri bahwa proses pengairan ini erat kaitannya dengan indikator rawan pangan yaitu akses ketersediaan pangan.

Dalam dokumen PERAN KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT OSING DA (Halaman 93-98)

Dokumen terkait