• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Nilai Lokal Masyarakat Osing dalam Membangun

Dalam dokumen PERAN KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT OSING DA (Halaman 115-120)

BAB III ANALISIS DATA

A. Identitas Informan

2. Peran Nilai Lokal Masyarakat Osing dalam Membangun

Menurut Jim Ife (2002), Nilai lokal digunakan untuk mengatur kehidupan bersama antarwarga masyarakat, maka setiap masyarakat memiliki aturan atau nilai-nilai lokal yang ditaati dan disepakati bersama. Nilai-nilai ini biasanya mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhannya.

Pada penelitian ini, nilai lokal diukur dengan melihat aturan yang ada dan disepakati secara turun temurun, kontrol sosial yang berlaku di masyarakat serta kepercayaan yang diyakini, hal ini seperti yang dikatakan oleh Diah, pemuda di Desa Aliyan yang menjadi Dewi Sri dalam adat keboan:

Ya itu, Mbak. Dek kene (Di sini) masyarakat percaya sama tradisi. Pernah itu nggak diadakan keboan, ada kesurupan pas Suro. Saya percaya kalau tradisi itu ya jadi pathok. Keboan itu kan salah satu adat, ya ada hubungannya Mbak sama pertanian. Nanti buat luwyangan (kubangan lumpur), sajian dari hasil bumi, ya harapannya biar hasil taninya melimpah dan bentuk wujud syukur gitu, Mbak.

(Wawancara, 18/03/18).

Pernyataan Diah tersebut menunjukkan bahwa nilai yang ada di desa ini berupa wujud dari kepercayaan dan penghormatan kepada leluhur yaitu dengan adanya tradisi keboan sebagai wujud hubungan religius karena keboan sebagai simbol yang menjembatani hubungan antara Tuhan – manusia – leluhur – Dewi Sri – pertanian.

Keboan Tuhan Leluhur Manusia Pertanian Dewi Sri

Menurut Astono dan Ario Soembogo, (2005: 89-90). Di sini ada nilai-nilai yang disakralkan yang merupakan simbol utama masyarakat (beliefs). Nilai-nilai yang disepakati (the sacred) tersebut berperan menjaga keutuhan dan ikatan sosial sebuah masyarakat. Hal tersebut apabila dianalisis berdasarkan temuan data maka dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar III.1 Nilai-nilai lokal masyarakat

Berdasarkan gambar tersebut, diketahui bahwa wujud dari nilai lokal masyarakat yaitu adat keboan dan adanya Dewi Sri, hal ini karena masyarakat mempercayai adanya pesan dari Tuhan dan leluhur terkait dengan pertanian yang ada di Desa Aliyan. Kedua nilai lokal ini ada karena disepakati bersama oleh Masyarakat Osing dan tetap dipertahankan karena demi menjaga hubungan di masyarakat, jika dua nilai ini tidak dipertahankan, maka akan terjadi

hal yang ditakutkan masyarakat seperti kesurupan dan adanya hal mistis yang terjadi.

Selaras dengan pernyataan tersebut, Mbah Ami yang bekerja sebagai buruh tani, beliau mengatakan:

“..keboan itu ada sejak dulu, nduk. Ya itu jadi apa yaak.. kayak udah jadi ciri khas, wujud tradisi... wes.. ndak bisa dipikir pakai akal sehat itu, nduk. Kan itu apa yaak.. ya ada kaitannya sama tani itu.. Yakk itu jadi wujud syukur. Ada yang percaya, ada juga ya biasa ajaa.. (Wawancara, 18/03/18).

Pernyataan dari Mbah Ami memberikan gambaran mengenai

keboan sebagai wujud syukur masyarakat yang dikemas dalam tradisi. Selain itu, Mbah Daris selaku petani memaparkan aturan dalam kehidupan masyarakat yang disepakati bersama seperti aturan dalam pertanian yaitu adanya naga dina (perhitungan hari yang diyakini masyarakat). Beliau memaparkan:

“..ada juga naga dina, nduk.. misalkan hari apa mau nandur nanti mulainya.. nanti arahnya mulai dari mana itu ada, ya harus sesuai. Dilihat hari, hari ini hari apa.. nanti nanemnya dari pojok sini larinya ke sini, itu satu arah, jangan sampai menentang arus, itu. Dihitung kejawen, rabu itu berapa pon itu berapa. Itu sudah ada rumusnya itu, nduk (Wawancara, 18/03/18)

Pernyataan tersebut memaparkan adanya aturan yang disepakati bersama yaitu perhitungan dan arah mulai menanam tanaman. Masyarakat Osing mempercayai adanya hal baik jika menaati perhitungan naga dina tersebut. Pada teori yang telah dipaparkan sebelumnya mengenai kearifan lokal dalam pertanian, maka naga dina termasuk salah satu wujud nilai-nilai dari pranoto

mongso atau aturan yang digunakan berdasarkan pada naluri dari leluhur dan dipakai sebagai patokan untuk mengolah pertanian.

Pernyataan Mbah Daris tersebut didukung oleh pernyataan dari Mas Afif yang pernah mengalami hal ganjil ketika tidak menuruti nasehat orang tuanya yang mengingatkan untuk tidak membangun di bulan 10 (sepuluh), beliau memaparkan:

“Biasanya ya mbak, kalau orang jawa itu ada lakonnya

geni, lakonnya air, lakonnya angin. Kejawen, kayak gini. Ini pengalamanku kemarin mau bikin kandang ambruk. Orang tua ya menging, ojo le iki lakone angin, musim angin iku ya. Kan bulan 10 gitu biasanya musim angin. Mbuh angin itu rempak apa dek piye itu wesan. Kalau lakonnya api, mesti apesnya ya kebakaran. Ada juga naga dina, mbak. Ya itu wes yang dipakai kejawen. Misalkan mau nanem, tanggal iki, hari iki.. dilihat teroos itu satu arah. Ndak bisa bolak- balik. Naga dina ngadepnya ke barat, ya berarti dari barat ke timur itu terus. Diemplok naga dina itu mesti hasilnya pasti jelek. P indah rumah itu nanti juga dilihat. Misal jam sekian naga dina ada di timur, jadi samean ngadepnya barat ke timur. Jangan sampai nanti samean dari depan ke belakang. Jadi ya masuknya dari belakang ke dalam, muter. Ada kosong, ada apes, ada rejeki, ada apa gitu” (Wawancara, 07/03/18)

Pendapat berbeda disampaikan oleh Mbah Ashari saat beliau sedang membersihkan rumput di sawah Pak Haji berikut ini:

...Ya kelendai ya, nduk.. (Ya gimana ya, nduk). Kalau jadi buruh ikau (itu) ya harus ngikut aturan,.. tapi kalau dulu ya, harus dihitung dulu pakai naga dina. Itu hasilnya buaaguuss, nduk. Iya... yaak.. kepercayaan yaak... kalau Osing Deles masih itu nduukk pakai itu.. Yaakk kan pengen hasilnya panennya bagus, pangannya cukup, ya gitu wes.. sekarang kan tinggal pakai emess wes,

kalau ada wereng ya disemprot..” (Wawancara, 17/03/18)

Hal senada juga disampaikan oleh Budhe Tin, seorang buruh pabrik yang tinggal bersama putra dan suaminya. Saat ditemui di rumahnya, beliau sedang bersantai setelah pulang bekerja dari sawah. Beliau mengatakan:

...kalau itu kan kepercayaan mbak, ya kalau saya itu yaak.. ngikut pemerintah aja wes. Kalau buruh tani ikau (itu) kan ya ngikut aja wes.. Yaaak sebenarnya sepakat, ee.. mbah saya dulu juga pakai naga dina. Aturan nanem dari dulu ya itu.

Tapi kan sekarang ya bedaaa.. wes berubah wes..” (Wawancara, 18/03/18).

Pernyataan Budhe Tin tersebut memberikan gambaran bahwa sebagai seorang buruh tani, aturan yang ditaati adalah aturan dari pemerintah, beliau menggarap sawah milik orang lain dan aturan tersebut sesuai dengan yang sudah ditetapkan. Meskipun nenek moyang beliau memakai perhitungan naga dina sebagai kesepakatan bersama dalam menanam padi.

Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat kita ketahui bahwa Peran Nilai Lokal dalam Membangun Ketahanan Pangan melalui Pertanian Organik terlihat pada setiap kegiatan di masyarakat yang berkaitan dengan alam, manusia dan leluhur diwujudkan dalam bentuk adat keboan serta perhitungan hari naga dina. Nilai lokal berperan dalam membangun ketahanan pangan karena menjadi sebuah kontrol sosial bagi masyarakat. Meskipun ada beberapa masyarakat yang tidak menerapkan naga dina tetapi kepercayaan masyarakat mengenai hal tersebut masih terasa. Selain

itu, nilai lokal mempunyai peran yaitu meningkatkan dan memperkuat hubungan produksi antarmasyarakat.

3. Peran Ketrampilan Lokal Masyarakat Osing Dalam

Dalam dokumen PERAN KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT OSING DA (Halaman 115-120)

Dokumen terkait