• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.1 Hasil Penelitian

4.1.2 Deskripsi Objek Penelitian 2

Pertama kali peneliti bertemu dengannya pada sore hari di sebuah rumah sakit di Kota Medan. Dia adalah seorang dokter muda berusia 28 tahun berbadan tegap dengan kulit sawo matang. Wajahnya tampan namun karakternya terlihat cukup keras dan tegas. Tatapan matanya cukup tajam di balik kacamata tipisnya dengan suara serak yang berat namun berwibawa. Siapa yang tahu bahwa lulusan Fakultas Kedokteran salah satu perguruan tinggi negeri di Medan ini memiliki riwayat gangguan mental, namun dia membuktikan bahwa dia mampu berhasil.

Gustaf, nama sengaja disamarkan, merupakan anak tunggal dari sebuah keluarga berkecukupan yang terdiri atas ayah yang merupakan seorang tentara dan ibu yang berprofesi sebagai seorang profesor muda di salah satu perguruan tinggi

swasta di Kota Medan. Terlahir di keluarga berpendidikan membuatnya mampu untuk bersekolah di sekolah swasta katholik terbaik di kota Medan dari SD hingga SMP. Dengan kemampuan akademisnya yang baik dia pun mampu menembus salah satu national boarding school atau sekolah semi militer terbaik yang terkenal sebagai sekolah bergengsi dengan lulusan-lulusan unggulan di Indonesia yang berlokasi di Magelang, Jawa Tengah. Ayahnya sangat berharap dia menjadi seorang anggota militer dan memaksanya masuk ke sekolah favorit tingkat nasional tersebut.

Sebagai anak tunggal, bukan sifat manja yang diajarkan oleh kedua orangtuanya. Namun kedisiplinan tingkat tinggi. Diakuinya, seringkali bila lalai mengerjakan sesuatu maka tidak hanya hukuman verbal yang dia terima namun juga hukuman fisik berupa pukulan sapu, tamparan, cubitan, hingga dipecut dengan menggunakan ikat pinggang.

"Saya diajarkan dengan didikan yang mengagungkan kesempurnaan. Perfeksionis. Saya dilatih olahraga fisik secara paksa sejak kecil oleh bapak saya agar menjadi orang yang kuat. Saya dipaksa untuk makan banyak setiap harinya oleh mama saya agar bertumbuh menjadi orang yang besar. Dan saya juga dipaksa untuk belajar rajin agar selalu mendapatkan peringkat pertama di kelas. Setiap saya mau main, saya dilarang. Akhirnya saya malah kabur lewat pintu belakang. Tapi saya selalu dapat ditemukan bapak dan dia pukul saya di depan teman-teman saya."

Gustaf terlihat sedih saat menceritakan masa lalunya. Matanya terlihat berkaca-kaca. Dia mengaku begitu kesepian saat kecil dan selalu merasa cemas saat orang tuanya ada di rumah. Pertengkaran ibu dan ayahnya selalu membuat dia mengantuk-antukan kepalanya ke tembok dinding kamarnya hingga beberapa kali berdarah namun tindakan itu selalu dia sembunyikan dari kedua orang tuanya. Pun

Gustaf mengaku jujur bahwa dia sempat membenci kedua orang tuanya dan sangat senang bila orang tuanya tidak ada di rumah.

Wawancara dan observasi pada Gustaf dan pendamping dilakukan selama dua hari pada tanggal 1 dan 2 Mei 2013.

4.1.2.2 Riwayat Bipolar Disorder

Walaupun didiagnosa mengalami manik depresif yang kemudian dikenal sebagai bipolar disorder pada tanggal 8 Desember 2002, Gustaf mengatakan bahwa gejalanya sudah timbul sejak masa remajanya. Gejala-gejala itu timbul sangat kuat ketika dia berada jauh dari keluarganya saat bersekolah di SMAN unggulan semi militer di Magelang. Awalnya dia sangat senang karena akhirnya dia merasa bebas dari cengkeraman kedua orangtuanya. Itulah masa paling membahagiakan yang pernah dia rasakan sseumur hidupnya.

Kehidupan barunya pun dimulai. Sebagai seorang siswa perantauan baginya tidak sulit untuk mendisiplinkan diri karena sudah dididik sejak kecil dengan cukup keras oleh orang tuanya. Baginya didikan di sekolahnya tidak lebih 'kejam' dari didikan orang tuanya. Gustaf sangat menikmati kehidupan di asramanya.

Disinilah gejala maniknya mulai muncul. Sebagai seorang pemuda batak berwajah tampan tidak heran bila banyak siswa perempuan yang menyukainya di sekolah. Dengan kemampuan akademisnya yang cemerlang dan kemampuan olahraganya yang hebat dengan mudah dia menjadi populer. Masuk kelas unggulan dan menjadi kapten tim basket di sekolahnya. Cap "playboy" pun dia dapatkan. Namun itu tidak mengurangi kharismanya. Dia memiliki banyak teman

wanita dan itu dianggapnya sebagai sebuah kesenangan. Gustaf mengakui bahwa dia sempat terjebak dalam aktivitas seks bebas bersama seorang mantan pacarnya saat sekolah dulu.

Memasuki pertengahan tahun ketiga, dia sempat bertengkar hebat bersama seorang teman sekamarnya masalah pembagian kelompok tim basket. Emosinya meledak-ledak. Dia selalu merasa paling hebat dan tidak pernah mau kalah. Tanpa kontrol dia meninju dan memukul temannya. Teman-teman yang melerai mereka ikut dipukuli satu per satu. Anehnya, walaupun akhirnya harus dihukum oleh pihak yayasan sekolah dan dipindahkan kamar, Gustaf tidak seperti punya masalah. Dia malah tertawa puas ketika temannya dibawa ke rumah sakit.

"Setelah saya dipisahkan kamar sendiri, saya mulai merasa kesepian lagi. Saya sering merasa cemas lalu pergi keluar kamar untuk bermain basket. Namun tertangkap petugas keamanan. Di kamar saya sering mengantuk-antukan kepala lagi hingga berdarah. Ketika ditanya kenapa luka, saya menjawab karena terpeleset di lapangan basket. Pacar saya saya putuskan satu per satu. Mereka yang menjadi sumber kesenangan saya sekarang berasa tidak berarti apa-apa. Mereka menangis setelah pulang sekolah namun saya tidak peduli. Cuek."

4.1.2.3 Keberfungsian Sosial

Depresi yang dialami oleh Gustaf ditandai dengan gejala perasaan kesepian dan cemas yang berlebihan yang dia rasakan dengan diikuti tindakan aktif mengantuk-antukan kepala di tembok hingga berdarah. Depresi seperti ini persis dialami ketika masa kecilnya.

Semenjak kasus pertengkarannya dengan teman sekamarnya, Gustaf pun mulai sering murung. Tiba-tiba saja dia mengundurkan diri dari klub basket. Dia jadi lebih sering tidur dibandingkan belajar. Daftar hukuman yang diterimanya

semakin menggunung karena dia selalu terlambat mengikuti pelajaran di kelas. Peringkat kelasnya menurun drastis dari peringkat pertama menjadi urutan dua puluh. Teman-temannya merasa heran, khususnya mantan pacarnya.

"Mantan pacar saya itu menangis dan menanyakan kondisi keadaan saya di kamar suatu hari. Saya hanya diam, tapi saya beranikan mencium dia dan terjadilah hubungan yang seharusnya tidak terjadi itu. Itu sudah terjadi berulang kali. Tapi entah kenapa saya menikmatinya dan meminta mengulanginya lalu berjanji akan menceritakan masalah yang sebenarnya kalau dia mau melakukan hal itu lagi. Tapi dia malah menangis terus lalu menampar saya dan mulai menjauhi saya. Begitulah."

Gustaf sendiri tidak tahu tentang apa yang terjadi di dalam dirinya sendiri, dia kadang tidur terlalu lama bahkan terlalu sedikit. Begitu pula dengan makan, dia sering dihukum karena tidak menghabisi makanannya. Dia seperti kehilangan motivasi, tidak memiliki harapan, dan kharismanya seperti menghilang begitu saja.

4.1.2.4 Risiko Bunuh Diri

Diakui Gustaf bahwa tindakan mengantuk-antukan kepala yang kerap dia lakukan merupakan aktivitasnya untuk membunuh dirinya. Itu sudah sering dia lakukan. Namun yang paling ektrim adalah saat kegiatan bakti sosial membersihkan desa. Itulah kesempatan baginya untuk bisa keluar dari asrama. Diam-diam dia membeli minuman keras beralkohol dalam bentuk kaleng di salah satu kedai. Lalu sore harinya, ketika sudah sampai kamar dia mengeluarkan beragam jenis obat-obatan yang dia curi dari ruang kesehatan lalu dia campurkan berpuluh-puluh pil dan kapsul obat itu ke dalam kaleng berisi minuman alkohol berkarbonasi dan meminumnya.

Sebelumnya, Gustaf sudah menulis sebuah surat yang ditujukan kepada kedua orang tuanya. Semacam surat wasiat. Dia pun ditemukan sudah dalam keadaan terkapar di kamarnya dengan hidung mengeluarkan darah dan wajah pucat oleh salah satu temannya yang akan menjemputnya makan malam. Gustaf langsung dibawa ke rumah sakit sehingga nyawanya dapat diselamatkan dengan cepat.

4.1.2.5 Hubungan Sosial

"Saat dalam kondisi manik saya merasa seperti seorang pahlawan, punya banyak penggemar. Saya angkuh sekali dan selalu meremehkan orang lain. Di dalam pikiran saya selalu muncul pemikiran kalau sayalah orang paling hebat di sekolah ini. Yang lain itu di bawah saya. Karena itulah banyak yang mungkin kurang menyukai saya dan mulai bertengkar dengan saya. Saya tetap cuek karena saya tetap punya banyak idola." Ekspresi wajah Gustaf sempat bersemangat dihiasi dengan senyum yang memperlihatkan deretan giginya yang rapi namun tiba-tiba berubah menjadi muram ketika menceritakan episode depresi yang dialaminya.

"Saat mengalami episode depresi yang saya belum tahu bahwa itu depresi, saya mulai sering menarik diri dari pergaulan. Selesai kelas, biasanya saya langsung bermain basket namun saya memilih buru-buru pulang dan tidur. Setelah bangun saya selalu merasa sedih dan mengantuk-antukan kepala hingga berdarah.

Hubungan saya dengan guru memburuk, saya sering melawan dan marah-marah tidak jelas. Saya merasa penggemar saya semua menghilang. Melupakan saya. Saya merasa hidup sendiri. Nilai-nilai saya jatuh. Saya yang biasa diandalkan menjadi pemimpin kelompok saat itu mulai tidak dihiraukan. Bahkan tidak ada yang mau memasukkan saya ke dalam kelompok mereka."

4.1.2.6 Terapi Psikososial untuk Peningkatan Keberfungsian Sosial Akhirnya, Gustaf bisa lulus dari sekolah tersebut walaupun bukan dengan nilai cemerlang seperti yang sebelumnya dia ukir. Dia lulus dengan nilai rata-rata

saja. Melihat hal ini, orang tuanya menjemputnya pulang ke Medan dengan marah-marah dan Gustaf semakin cemas akan siksaan fisik yang akan dihadapinya.

Dia melanjutkan bimbingan belajar di Kota Medan. Dia mulai berani melawan kedua orangtuanya dan bersikeras tidak mau masuk akademi militer dan ingin menjadi dokter saja. Setelah mengalami kekerasan fisik dan melihat kekerasan hati anaknya, akhirnya orang tuanya setuju dengan pilihan Gustaf untuk mengambil jurusan kedokteran. Tapi usahanya sepertinya belum maksimal, dia gagal lulus ujian masuk fakultas kedokteran.

Emelda sang Ibu yang peneliti wawancara via skype karena sedang berada di Jakarta menceritakan kondisi anaknya dengan sedih.

"Setelah pengumuman kelulusan itu, dia lebih sering keluar rumah. Main entah kemana. Pulang langsung ke kamar. Tidur. Sekali-kali saya lihat dia sedang mengantuk-antukan kepalanya, saya pun kaget dan marah-marah. Tapi dia langsung dorong saya dan usir saya dari kamar. Dia tidak pernah seperti itu sebelumnya.

Tiap bapaknya pulang dia juga sering bertengkar dengan bapaknya. Sudah berani dia melawan dengan fisik pula bahkan mengancam bunuh diri dengan bawa-bawa pisau. Untunglah bapaknya bisa mengendalikan marahnya. Waktu itu saya menangis dan menyadarinya sepertinya anak saya sedang depresi dan itu karena saya."

Setelah itu, Emelda berinisiatif menitipkan Gustaf di rumah kakak perempuannya, Evelin, di Bogor. Kebetulan dia bekerja sebagai seorang psikiater. Disana akhirnya diketahuilah bahwa Gustaf mengalami gangguan bipolar. Saat itu usianya adalah 19 tahun.

Terapi medikal dan terapi kognitif pun dijalankan di bawah asuhan Evelin. Gustaf akhirnya mengetahui penyakit gangguan mentalnya setelah melakukan konseling dan psikoedukasi. Gustaf diajarkan teknik koping sebagai penyaluran

emosi. Gustaf memilih basket. Sambil melakukan aktivitas bimbingan belajar, Gustaf masuk dalam salah stau tim basket di kompleksnya bersama dua orang sepupunya (Anton dan Daniel) yang juga ikut memantau dan melakukan pendampingan terhadap Gustaf.

Secara kebetulan di rumah mama tuanya itu tersedia ruangan musik milik anaknya, Gustaf pun berusaha menyalurkannya dengan belajar drum pada sepupunya, Anton. Saat gejala mania atau depresinya muncul dia lalu akan berkespresi menggebuk drum untuk pelampiasan emosi.

"Teknik koping yang saya pakai cukup bermanfaat, sebelum saya melakukan hal-hal aneh, saya sudah meluapkannya terlebih dahulu ke dalam olahraga dan juga drum. Obat-obatan penstabil mood dan anti depresan juga harus saya konsumsi sehingga saya bisa melakukan kegiatan sehari-hari saya dengan lancar.

Selain itu, saya juga punya mood journal atau mood chart untuk diisi setiap harinya dengan rutin untuk melihat perkembangan saya. Dan yang terpenting adalah dukungan keluarga baru saya bersama mama tua Evelin dan kedua sepupu saya yang memberikan perhatian dan pendampingan yang cukup sehingga saya mampu bertahan untuk tidak mengantuk-antukan kepala dan mengurung diri lagi."

4.1.2.7 Terapi Psikososial untuk Penurunan Risiko Bunuh Diri

Gustaf mengatakan bahwa sangat sulit untuk mengatakan kondisi dan meminta bantuan orang lain terhadap perasaan sedih dan putus asa yang datang secara tiba-tiba dan tidak diketahui alasannya. Itulah penyebabnya melakukan tindakan bunuh diri. Mencari jalan singkat yang sebenarnya salah dan tidak layak untuk dilakukan.

Pemikiran bunuh diri selalu datang kala episode depresi menyerang, bahkan hingga saat ini. Namun kali ini tidak diikuti oleh tindakan atau upaya nyata bunuh dirinya. Itu yang diungkapkan Gustaf. Seorang bipolar harus

memiliki orang yang bisa mereka percaya dan mempercayai mereka. Oleh karena itu Gustaf memlih, Debora, calon teman hidupnya.

Mereka sama-sama berprofesi sebagai dokter. Debora dua tahun lebih muda dari Gustaf. Terapi pendampingan psikososial yang dilakukan oleh Debora adalah dengan menjadi sahabat atau pendamping yang setia bagi Gustaf.

"Aku menerima Bang Gustaf apa adanya. Aku biasa melakukan olahraga bareng dia seperti basket dan tenis. Kami punya satu jurnal atau buku harian yang sama, itu adalah salah satu teknik koping pendampingan ini. Jadi aku tahu apa yang dia rasakan dan dia juga mengetahui apa yang aku rasakan. Dia tidak merasa sendiri. Selain itu aku sering ajak dia menjadi relawan atau mengunjungi panti asuhan atau panti jompo untuk menanamkan sifat afeksi. Karena sesungguhnya ketika kita sedang menolong orang lain kita sedang menolong diri kita sendiri."

Debora juga menyediakan alat rekam elektronik untuk Gustaf. Jadi, ketika Gustaf butuh cerita dan dia sedang tidak bisa diganggu maka Gustaf akan merekam suaranya dan menceritakan apa yang ada di dalam pikirannya. Debora juga sering mengajak Gustaf ikut ke dalam pertemuan-pertemuan komunitas skizofrenia yang memiliki gangguan mental. Debora berharap dengan cara ini maka Gustaf akan termotivasi dan semakin menghargai hidupnya.

4.1.2.8 Hasil Terapi Pendampingan Psikososial

Setelah dilakukan terapi pendampingan psikososial yang sifatnya mengarah pada afeksi dan penanaman mentalitas positif oleh Keluarga Evelin, Gustaf pun semakin bisa mengendalikan dirinya. Dia memiliki penyemangat baru dan semangat baru. Teknik koping dan pendampingan membuatnya bisa melampiaskan emosi terpendamnya secara positif. Bila keinginan untuk mengantuk-antukan kepala hingga berdarah kembali muncul maka dia akan

mencari lapangan basket dan bermain basket atau menggebuk-gebukan drum dan memainkan musik bersama kedua sepupunya. Dia bisa melalui hidupnya dengan normal dibantu dengan obat-obatan dan bisa lulus di fakultas kedokteran yang dia idamkan dan memiliki cita-cita mulia untuk menolong orang lain sebagai dokter.

Begitu pula bila episode depresinya muncul dan dia berpikiran untuk mati, dia akan langsung melakukan teknik koping dengan menulis jurnal harian yang dimilikinya bersama Debora dan merekan suaranya dalam sebuah alat rekam elektronik. Lalu berbagi beban bersama Debora. Teknik itu membuatnya bisa menjalani kehidupan dengan lebih baik saat ini.

4.1.2.9 Faktor Pendukung dan Penghambat Terapi Pendampingan Psikososial

Gustaf hanya memiliki sedikit teman dan itulah yang menyulitkan dirinya untuk mencari pendamping terapi yang mau membantunya. Tapi untungnya Debora bersedia dan menerima Gustaf. Orang tua adalah penghambat emosi utama bagi Gustaf karena tiap memikirkan mereka emosinya akan sangat tersulut luar biasa. Namun untungnya psikiater dan Debora sebagai pendampingnya bisa memberikan afeksi dan dukungan.

Gustaf sudah mengampuni kedua orang tuanya. Beban pikiran dan stres yang menjadi pemicu bipolarnya sudah sedikit menghilang. Kali ini dia memiliki harapan untuk hidup lebih baik dengan memanajemen diri, pikiran dan spiritualitas dengan baik.

4.1.3 Deskripsi Objek Penelitian 3

4.1.3.1 Profil Adolf Oliver Simanjuntak

Pada hari pertama, peneliti awalnya hanya bertemu dengan ibu dari Adolf, Ike Maha. Dikatakan Ike, Adolf masih segan bertemu dengan orang yang baru dikenalnya apalagi bagi orang yang ingin mengetahui masalah gangguan bipolar yang dideritanya. Satu hari peneliti peneliti tidak dapat waktu wawancara dengan Adolf hanya mampu mengobservasi dan mewawancarai keluarganya saja.

Selama proses observasi, peneliti diizinkan menginap di rumah Keluarga Simanjuntak tersebut yang terletak di sebuah perumahan yang cukup elit di Kota Medan. Peneliti sengaja meminta satu kamar dengan Adolf untuk mempermudah interaksi komunikasi. Adolf tidak menolak dan mengizinkan.

Adolf saat ini sedang duduk di bangku kelas XII di salah satu sekolah negeri favorit di Kota Medan. Dia baru saja menyelesaikan Ujian Nasional saat peneliti melakukan observasi. Remaja manis dan lembut kelahiran 1996 ini memang sangat pendiam namun cukup ramah. Aktivitas hariannya adalah belajar untuk persiapan masuk perguruan tinggi negeri dan juga persiapan tes masuk sekolah tinggi di luar negeri yakni Singapura.

Kamarnya penuh dengan poster-poster animasi dari Jepang. Tumpukan komik berjajar di meja belajarnya dengan rapi begitu pula dengan koleksi film-film Jepang dan mandarin yang dia miliki di rak khusus. Adolf adalah seorang otaku yakni sebuah sebutan bagi penggemar animasi atau manga dari Jepang. Selain itu banyak juga gambar-gambar atau komik strip hasil karyanya sendiri yang dia tempel di dinding kamarnya. Begitu artistik. Kamar yang sangat menyenangkan.

Adolf adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakak tertuanya sudah menikah dan menetap di Jakarta sementara kakak keduanya sedang menempuh perkuliahan di Australia. Namun saat ini, di rumahnya sedang tinggal sepupunya yang bernama Theo. Theo adalah mahasiswa semester akhir yang sedang menyelesaikan skripsinya di fakultas ekonomi salah satu perguruan tinggi negeri di kota Medan. Berikut testimoni Theo tentang Adolf.

"Aku sudah tinggal dengan Adolf selama kurang lebih tujuh tahun sejak aku duduk di bangku SMA. Dia sudah seperti adik kandungku sendiri, bahkan aku lebih akrab dengan dia dibanding dengan adik kandungku sendiri di Batam. Adolf orangnya baik dan lembut. Tapi memang sangat pendiam. Kita jarang sekali bisa menebak kondisinya. Aku juga dulu sangat sulit mendekatinya. Aku cerewet sementara dia pendiam. Aku lebih banyak bicara dan dia lebih banyak mendengar. Adolf itu pendengar yang baik dan sangat mudah disukai oleh orang lain."

Diakui Adolf, empat tahun terakhir mereka sudah cukup akrab dan Theo adalah satu-satunya teman berbagi cerita Adolf mengingat Ibunya sangat sibuk mengurusi perusahaannya yang bergerak di bidang asuransi dan ayahnya sudah cerai dengan ibunya saat Adolf berusia baru dua bulan. Saat ini Theo adalah pendamping tunggal, selain dokter, yang memiliki peran besar dalam proses pemulihan bipolar Adolf.

Proses penelitian melalui metode wawancara dan observasi terhadap Adolf dan pendamping dilakukan selama tiga hari, 3-5 Mei 2013.

4.1.3.2 Riwayat Bipolar Disorder

Adolf baru saja didiagnosis mengidap gangguan bipolar pada bulan 15 Januari tahun 2013, dua hari setelah hari ulang tahunnya yang ke-17. Dia didiagnosis mengidap gangguan ini setelah dirawat inap masuk rumah sakit akibat

upaya bunuh dirinya dengan mencoba menabrakan dirinya di tengah jalan protokol Kota Medan. Beruntung dia hanya terserempet dan mengalami luka ringan. Namun tindakannya yang disengaja ini membuatnya harus memeriksakan diri lebih mendalam.

Dari buku harian dan jurnal online (blog) yang ditulis serta gambar-gambar yang dibuat Adolf, Theo menemukan gejala-gejala yang menjelaskan kondisi depresi serta mania sepupu kesayangannya itu. Tulisan-tulisannya selalu berisi kalimat-kalimat kekecewaan, rasa putus asa yang mendalam hingga puisi-puisi yang bertemakan tentang kematian. Semua kalimatnya menunjukkan rasa gelisah dan kecemasan yang begitu mendalam.

Peneliti juga diizinkan untuk membaca beberapa buku hariannya dan mendapati perasaan-perasaan Adolf yang bergejolak seperti luapan amarah, emosi sedih yang berlebihan serta keinginan untuk mati dan dilahirkan kembali dengan sosok yang berbeda. Perasaan-perasaan serta emosi terpendam Adolf tidak hanya terlihat dari tulisannya namun juga dari gambar-gambarnya yang dia buat. Gambar tentang kematian serta bunuh diri serta ilustrasi-ilustrasi menyeramkan penuh darah.

Namun ada yang unik, dalam beberapa kejadian hidupnya kita bisa merasakan perasaan sangat bahagia dan berbunga-bunga yang luar biasa dari Adolf. Tulisan-tulisannya menggambarkan betapa bahagia dan beruntungnya dia hidup di dunia ini. Gambar-gambarnya pun melukiskan sesosok pahlawan bernamakan dirinya yang menjadi penyelamat dunia dan dia terlihat sedang menebarkan cinta kepada setiap manusia. Sangat kontras sekali.

Pada malam ketiga setelah peneliti menginap di kamar Adolf dan selesai membaca buku hariannya, akhirnya Adolf pun mau bercerita dan berharap kisahnya bisa membantu pengidap bipolar lainnya. Dia mulai menceritakan kisahnya dengan tampak masih malu-malu.

"Aku sendiri kurang tahu aku kenapa, tiba-tiba saja aku sering

Dokumen terkait