• Tidak ada hasil yang ditemukan

PUJAN KAPAT MASYARAKAT TENGGER NGADISARI

Tradisi Entas-Entas

Deskripsi Tradisi Entas-Entas

Entas-Entas adalah sebuah prosesi upacara adat kematian masyarakat Tengger. Dalam tradisi Jawa biasa disamakan dengan acara nyewu (upacara seribu hari setelah kematian) meskipun pelaksanaannya tidak tepat di hari keseribu setelah kematian. Jika dalam tradisi masyarakat Hindu Bali dinamakan Ngaben (upacara pembakaran mayat). Hanya saja jika dalam masyarakat Bali yang dibakar adalah kerangka orang yang sudah meninggal, maka dalam tradisi masyarakat Tengger yang dibakar adalah petra, sebuah boneka yang dibuat dari kumpulan daun-daunan, ilalang dan bunga. Petra ini menjadi tempat bagi roh orang-orang yang sudah meninggal yang akan dientas.

Entas-Entas berasal dari kata “entas”(dalam Bahasa Jawa), yang berarti “mengangkat” dalam Bahasa Indonesia. Upacara ini dilakukan untuk menyucikan atman (roh orang yang sudah meninggal), sebab roh itu datang suci maka kembali suci (“sukma sarira disucikan” menurut istilah mereka). Sebagaimana yang diceritakan Dukun Adat Desa Ngadisari Bapa k Sutomo bahwa atman disucikan agar lepas dari karma (perbuatan) yang sudah dilakukan. Setiap orang selalu mendapat karmapala (buah dari perbuatan), sehingga harus diadakan upacara untuk ngilangi rereged sukere (menghilangkan kotoran) dan menyempurnakan kematian orang yang sudah meninggal agar lebih cepat mencapai nirwana (surga). Masyarakat Tengger meyakini bahwa balasan yang diterima orang yang sudah meninggal sesuai dengan perbuata n yang dilakukannya selama hidup di dunia. Namun sebagai keluarga yang masih hidup memiliki kewajiban untuk membantu leluhurnya (keluarga yang sudah meninggal) agar dapat mempercepat jalannya mencapai nirwana. Istilah mereka adalah “nyuwargaen” (“nyuwargakno” dalam Bahasa Jawa atau “membahagiakan” dalam Bahasa Indonesia) orang yang sudah meninggal. Masyarakat Tengger memiliki kepercayaan bahwa atman sebelum

dientas akan berkumpul di suatu tempat yang bernama “kutugan”13, terletak di bawah dekat pintu masuk ke kawasan laut pasir yang disebut Lawang Sari14. Atman akan terus menunggu sampai ada keluarga yang melakukan upacara Entas- Entas. Setelah diadakan upacara Entas-Entas maka roh leluhur dipercaya akan mendapatkan tempat yang baru, keluar dari daerah kutugan. Perjalanan mencapai nirwana tersebut digambarkan juga akan melewati lautan pasir dan penggambaran nirwana bagi mereka adalah kawah Gunung Bromo, sehingga kawah Bromo yang diyakini sebagai manifestasi dari padmasana, yang mereka sebut sebagai “pelinggih” (singgasana) dari Hyang Widhi ini menjadi tempat yang paling sakral dan diagungkan bagi Masyarakat Tengger.

Waktu untuk melaksanakan upacara Entas-Entas tidak harus pas seribu hari setelah kematian, tapi tergantung kemampuan dari pihak keluarga yang aka n melaksanakannya. Biasanya pelaksanaan upacara Entas -Entas ini dilakukan bersama -sama dengan upacara yang lain, seperti upacara Praswala Gara (perkawinan), khitanan, upacara ruwatan, dll. Upacara ini termasuk upacara hajatan keluarga sehingga segala macam persiapan dilakukan oleh pihak yang punya hajat dibantu dengan para bethek, yaitu orang-orang yang membantu proses persiapan seperti sinoman dalam tradisi Jawa. Bethek ini biasanya terdiri dari keluarga dan tetangga dekat.

Tempat pelaksanaan upacara Entas-Entas dapat dilakukan di mana saja, tidak ada ketentuan yang pasti, biasanya dilakukan sesuai dengan besar kecilnya acara yang digelar. Ada beberapa lingkup upacara Entas-Entas, yaitu: alit (kecil), sederhana dan radi ageng (agak besar), mereka tidak menyebut besar meskipun pada prakteknya biasanya berlangsung secara besar-besaran dengan adanya hiburan berupa tayub atau ludruk. Sedangkan untuk hiburan wayang tidak pernah dilakukan karena mereka masih meyakini kesakralan kawasan Tengger yang melarang dia dakannya acara wayang dalam bentuk apapun. Sebab hal itu akan meyebabkan terjadinya bencana jika dilanggar, karena kawasan Tengger dianggap sebagai tempat tinggal (kayangan) bagi para dewa-dewa yang biasa diceritakan

13

Masyarakat Tengger meyakini jika keluarga yang hidup belum melakukan upacara Entas-Entas, maka atman akan tetap menunggu di tempat tersebut. Jika Entas -Entas dilakukan lebih dari sekali, maka atman akan dapat berpindah ke beberapa tempat.

14

Lawang sari juga merupakan tempat sakral bagi masyarakat Tengger. Menurut keyakinan mereka tempat ini merupakan pintu masuk ke alam lain.

dalam dunia pewayangan. Upacara Entas-Entas dapat dilakukan di rumah sendiri atau menyewa Balai Desa jika membutuhkan tempat yang lebih luas.

Prosesi Pelaksanaan Tradisi Entas-Entas

Pelaksanaan upacara Entas-Entas secara umum dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: resik, saat pelaksanaan dan wayon.

Resik (dilakukan pada satu hari sebelum hari Pelaksanaan)

Resik berasal dari bahasa Jawa yang berarti “bersih”, yaitu upacara yang dilakukan sebagai persiapan sebelum pelaksanaan upacara Entas -Entas. Tujuan dari resik adalah untuk menyucikan roh yang akan dientas dan semua yang terlibat dalam upacara, baik yang punya hajat, keluarga, tempat makanan, tempat memasak maupun semua bahan-bahan yang dipakai dalam upacara agar terhindar dari gangguan roh-roh jahat. Biasanya dilakukan pada satu hari sebelum pelaksanaan. Tempat pelaksanaan resik adalah di tempat yang akan dipakai untuk pelaksanaan upacara Entas-Entas.

Jenis-jenis tamping (sesajen) yang dipakai dalam upacara resik ini adalah:

1. Gedang ayu.

Berupa pisang dua tangkep (dua sisir) dengan jenis dan jumlah yang sama dan diberi jambe (pinang) dan kapur sirih. Jambe berwarna kuning, kapur berwarna putih dan gambir berwarna merah. Tiga warna ini melambangkan Tri Murti, sedangkan sirih melambangkan tempat.

2. Ajang malang. 3. Dandanan resik.

4. Dandanan banyu/ andhek -andhek.

Tamping ini terdiri dari telur dan gedang ayu (pisang dua sisir yang diberi kapur sirih).

5. Dandanan masu. 6. Gubahan klakah.

Tamping ini terdiri dari: beras satu tempeh (semacam loyang yang terbuat dari anyaman bambu) sebanyak tiga kg, pisang dua tangkep (dua sisir), gubahan (berisi bunga kenikir, bunga tanalayu/ edelways dan daun putihan),

macam-macam kue (terdiri dari pipis, juadah, ketan dan wajik), rokok, jambe ayu/ jambe suruh (pinang sirih), uang kertas sebanyak Rp 3.000,- dan kemenyan sebanyak dua bungkus.

7. Mbedhudhuk.

Tamping ini berisi kelapa satu butir, gula satu kg, beras satu kg, tumpeng, pisang, jambe ayu (pinang yang diberi kapur sirih), ayam panggang setengah matang, penganggo (pakaian), ketan dan telur satu butir.

Makna dari tamping ini adalah:

1) Ayam melambangkan kendaraan para dewa.

2) Tumpeng melambangkan ketinggian ilmu atau tempat suci. 3) Pisang melambangkan kemakmuran.

4) Pakaian merupakan lambang dari pakaian para roh yang dientas. 8. Nyuruh agung.

Tamping ini terdiri dari kelapa, daun pisang, gula, daun sirih dan pinang. 9. Dandanan banyu masu.

Tamping ini terdiri dari pisang satu tangkep, tumpeng, ayam panggang, kue yang terdiri dari pipis (seperti kue nagasari tapi terbuat dari tepung jagung putih), juadah (seperti kue tetel tapi terbuat dari tepung jagung putih dan ketan), wajik yang terbuat dari beras ketan.

10. Kulak, terdiri dari potongan bambu satu ruas (bumbung) yang berisi beras dan lawe (uang sebanyak Rp 1.000,- yang dibungkus daun lontar dan diikat pakai tali sumbu). Maknanya sebagai uang saku dan bekal makanan bagi roh yang akan dientas.

Sedangkan pada malam hari sebelum pelaksanaan, di rumah Wong Sepuh biasanya dilakukan pembuatan petra. Petra adalah boneka yang dibuat dari kumpulan alang-alang, daun, bunga yang dirangkai dengan cara tertentu, diikat dengan menggunakan tali branding. Fungsinya dalam upacara-upacara adat masyarakat Tengger adalah sebagai pelinggih atman/ tempat yang digunakan untuk menempatkan arwah orang yang sudah meninggal yang diundang dalam acara tersebut. Dalam upacara Entas-Entas, petra digunakan sebagi pelinggih atman yang akan dientas.

Petra selalu digunakan dalam berbagai upacara adat yang mengundang roh para leluhur. Maksudnya adalah untuk menghormati mereka yang sudah meninggal sekaligus meminta do’a restu agar keluarga yang masih hidup tetap dalam keadaan bahagia dan sejahtera. Bentuk petra dalam berbagai upacara sama, kecuali petra yang digunakan dalam upacara Entas -Entas. Perbedaannya adalah petra dalam upacara Entas-En tas menggunakan daun pampung yang digunakan sebagai simbol tubuh bagian bawah. Selain itu ada semacam kesakralan daun pampung, dimana daun ini pohonnya hanya boleh ditanam oleh Wong Sepuh, pada hari tertentu dan menggunakan mantra tertentu dalam menanamnya . Di daerah penelitian hanya dijumpai beberapa pohon saja di tempat tertentu, yaitu: 1. Daun pampung di daerah tegalan yang ditanam oleh Wong Sepuh Ngadisari

Bapak Ponito (Pak Dul), berjumlah satu batang pohon.

2. Daun pampung di daerah Guyangan, Cemoro La wang yang ditanam oleh Wong Sepuh pendahulu, berjumlah dua batang pohon.

3. Daun pampung di dekat rumah penduduk (sebelah barat Hotel Cemara Indah), Dusun Cemoro Lawang yang ditanam oleh Wong Sepuh terdahulu, berjumlah satu batang pohon.

Bahan-bahan dalam pembuatan petra, adalah:

1. Daun Nyangkuh, maknanya adalah agar nyangkuh (cocok), untuk melengkapi. 2. Janur, maknanya adalah nur.

3. Bunga kenikir, maknanya kencenge pikir (lurusnya pikiran).

4. Alang-alang, maknanya ngalang-alangi sambi kala, maksudnya sebagai penghalang terhadap segala bahaya.

5. Bambu petung, untuk sujen (mirip tusuk sate tapi ada pegangan di bagian bawah untuk menahan tusukan) , makna bambu petung adalah sebagai simbol dari tulang.

6. Bambu tali/ pring tali/ tutus (branding), maknanya sebagai kancing/ penutup. 7. Daun pampung (khusus digunakan pada petra untuk upacara Entas-Entas).

Makna daun pampung adalah sebagai simbol dari bagian tubuh bagian bawah. 8. Tana layu (edelweys), maknanya adalah mandape wahyu (turunnya wahyu).

Proses Pembuatan Petra

1. Daun nyangkuh sebanyak dua lembar untuk membungkus batang alang-alang, dimana batang alang-alang ini berjumlah 20 batang yang masing-masing dipotong sepanjang 20 cm.

2. Setelah itu pada bagian bawah daun dilipat dan diikat dengan tali branding. 3. Janur yang sudah dilubangi empat buah dilekatkan di bagian bawah menutupi

lipatan daun nyangkuh dengan posisi lubang berada di bagian atas. Kemudian janur bagian bawah diikat dengan tali branding. Ikatan tali berada di bagian belakang janur.

4. Bunga edelweys dan kenikir dirangkai (masing-masing satu potong edelweys dan satu potong kenikir) sebanyak lima buah diikatkan dengan tali branding di atas janur. Posisi ikatan yaitu: satu pasang rangkaian bunga di atas sebelah tengah, kemudian dua rangkaian di bawahnya dan dua rangkain lagi di bawahnya diatur agak menyebar. Sehingga posisi rangkaian bunga paling atas berada di tengah-tengah.

5. Membuat lipatan dari daun nyangkuh sekitar satu sampai dua lembar, lipatan berbentuk persegi panjang. Bentuk lipatan terbagi menjadi dua bagian yang disatukan, kemudian diikat dengan tali branding di tengahnya.

6. Lipatan daun nyangkuh tadi ditusuk dengan sujen. Sujen ini ditusukkan pada rangkaian di poin nomor 4 di atas.

7. Maka jadilah petra yang biasa digunakan untuk bebagai upacara yang mengundang arwah leluhur.

8. Sedangkan untuk petra pada upacara Entas-Entas menggunakan rangkaian daun pampung dan bunga tana layu. Rangkaian tersebut terdiri dari 12 tangkai daun pampung dan empat batang bunga tanalayu yang dirangkai membentuk segiempat dan diikat dengan tali branding.

9. Tidak menggunakan lipatan daun nyangkuh tapi menggunakan rangkaian daun pampung dengan edelweys atau tana layu. Rangkaian bunga tanalayu (edelweys) dan daun pampung ditusuk dari bagian dalam sehingga bagian luar rangkaian daun tersebut berada di atas.

Hari Pelaksanaan

Pada hari pelaksanaan upacara Entas-Entas, sebelum acara dimulai ada beberapa persiapan dan tamping yang harus disediakan, yaitu:

1. Maron, berjumlah sebanyak roh yang akan dientas ditambah satu sebagai pekalan (tempat kala dari para roh yang dientas). Maron ini diisi dengan: rokok satu batang, uang sebanyak Rp 3.000,- atau besarnya tergantung keinginan yang punya hajat. Kemudian di dalam maron inilah petra dari roh yang akan dienta s didudukkan.

2. Layah/ cobek, sebanyak maron yang digunakan, diisi dengan lauk pauk dan kue sebanyak tujuh macam atau berjumlah ganjil.

3. Tumpeng berisi nasi, lauk ayam panggang setengah matang, pisang dan ketan satu pincuk (bungkusan daun pisang).

4. Kebaseng, yaitu daun pisang yang berisi bunga merah dan putih. 5. Kulak, berisi beras, lawe dan nama orang yang akan dientas. 6. Gedang ayu.

7. Tumpeng panca warna, berupa tumpeng kecil dari nasi yang diberi warna putih, merah, kuning, hijau dan hitam.

8. Tumpeng pras. 9. Ajang Malang.

10. Air prasen, air ini khusus diambil dari sumber Semanik, yaitu sumber air yang dianggap sebagai sumber air pertama di daerah tersebut.

11. Prapen, tempat untuk membakar kemenyan.

12. Genta, terbuat dari kuningan yang akan dibunyikan bersamaan saat membaca mantra Pangentas dalam prosesi upacara Entas-Entas. Tujuannya untuk mengusir roh jahat yang akan mengganggsu perjalanan roh yang dientas menuju nirwana.

13. Kotak alat, berisi gunting, benang dan jarum dua buah serta dupa. 14. Sayur satu kuali, dimaksudkan sebagai bekal dari roh yang akan dientas. 15. Jumput (cinde panca warna/ selendang), berasal dari sutra kuno yang

memiliki lima warna dan dipakai oleh dukun saat pelaksanaan upacara Entas- Entas.

16. Dandanan adang, yang ter diri dari: anglo, kuali satu buah dengan tutupnya (biasa disebut langkak), maron dua buah, sendok sayur (eros), beras satu tompo (bakul nasi), sayur satu kuali, buah jarak kering yang telah dikupas dan ditusuk pakai bambu (seperti tusukan sate) jumlahnya tidak ditentukan, air sumber Semanik satu jurigen, kipas, sendok nasi (enthong) dan kukusan kecil (tanggi).

Prosesi pelaksanaan Entas-Entas adalah sebagai berikut:

1. Mekakat, yang menandai pembukaan upacara Entas -Entas. Merupakan pembacaan mantra pembuka yang dibaca oleh dukun.

2. Setelah itu prosesi inti upacara Entas-Entas, dalam hal ini Dukun membacakan mantra khusus Entas-Entas yang bernama mantra Pembaron berisi delapan bab, yaitu:

1) Setaben (asal kata tabe). Tujuannya adalah untuk menghormati para roh leluhur/ atman yang datang, dapat berarti juga sebagai ucapan selamat datang.

2) Pangentase, dapat berarti penyempurnaan/ mengembalikan asal-usul. Tujuannya adalah sebagai penyucian awal sebelum dientas.

3) Tatasing karayunan, artinya tuntas/ tidak ada yang ke tinggalan. Tujuannya adalah atman diangkat dari alam maya ke alam kasuwargan (alam surga).

4) Pujo limbang, berasal dari kata pujo yang berarti pinujo (memuji) dan limbang berarti keutamaan, sehingga dapat diartikan memuji keutamaan. Tujuannya adalah menyucikan sukma sarira dan raga sarira (sukma dan raga). Dalam istilah bahasa Jawa asal liro soko bumi baliko marang bumi (asal dari bumi/ tanah kembali ke tanah, dengan kata lain diharapkan dapat kembali ke asal).

5) Lukat alit, berarti ngruwat (menghilangkan sengkala) yang kecil. Tujuannya adalah untuk menghilangkan tri molo (tiga sengkala), yaitu: lara raga (sakit badan), lara geng (sakit besar) dan lara wigeno (sakit batin).

6) Pujo susah, berarti memuji yang kesusahan. Tujuannya adalah saling mengikhlaskan antara yang meninggal dengan keluarga yang ditinggal,

agar yang meninggal dapat kembali ke asalnya. Menurut istilah dalam bahasa Jawa adalah sing mati lalio marang kang urip, sing urip lalio marang kang mati (yang mati melupakan yang hidup, yang hidup melupakan yang mati).

7) Pujo geni, berarti memuji Sang Hyang. Tujuannya adalah untuk melebur raga atman agar kembali ke asal-usulnya. Dimana unsur alam untuk penglebur adalah air dan api.

8) Pangruwatan, berarti meruwat (menghilangkan sengkala). Tujuannya adalah ngruwat kala (suasana) dan ngruwat kama salah (wiji/ benih yang salah) atau yang tidak berwujud, sedangkan yang berwujud sebagai manusia dinamakan kama sejati yang akan dientas.

3. Setelah pembacaan mantra selesai, Dukun membakar ujung rambut petra, pekalan dan para pemangku roh. Tujuannya adalah untuk menandai bahwa mereka telah dientas.

4. Dukun melubangi kain putih di atas para pemangku roh satu persatu, pekalan dan petra dengan jarum jahit, maksudnya adalah untuk mengeluarkan segala sengkala dari para leluhur yang dientas.

5. Bebek putih nucuk, itik putih ini memakan beras yang ada di atas kepala para pemangku roh. Maksudnya adalah untuk menghilangkan dan membersihkan segala sengkala yang masih menempel agar para leluhur kembali kepada kesucian.

6. Ayam putih nucuk, ayam putih ini memakan beras di atas kepala para pemangku roh. Tujuannya sama dengan bebek yaitu menghilangkan segala sengkala yang masih tersisa.

7. Mbedhol, yaitu mengangkat petra dari maron. Maksudnya adalah mengakhiri upacara dan meletakkan petra kembali ke tempat undangan roh sebelum dibakar. Mengangkat petra ini harus berhati-hati, tidak boleh menggunakan tangan saja namun memakai kukusan (alat untuk menanak nasi jaman dulu), sebab petra tersebut berisi roh yang suci.

8. Setelah itu Dukun membaca mantra di pintu masuk yang menandai berakhirnya upacara yang diikuti dengan pemecahan kelapa muda oleh Legen

(pembantu Dukun). Tujuannya adalah sebagai ungkapan syukur atas terlaksananya upacara Entas -Entas.

9. Petra yang sudah selesai dalam upacara Entas-Entas tersebut kemudian dibawa ke tempat pedanyangan untuk dilakukan pembakaran. Petra ini dibawa oleh para keluarga dengan digendhong memakai selendang, sebab petra ini sangat sakral dan merupakan manifestasi dari leluhur yang telah tiada. Setelah sampai di pedanyangan, pakaian petra yang merupakan pakaian leluhur selama masih hidup dilepas dan petra dibakar oleh Wong Sepuh (pembantu Dukun) sampai habis menjadi abu. Tujuan pembakaran adalah agar roh para leluhur dapat segera mendapatkan tempat yang lebih baik.

Wayon (penutupan hajatan pada waktu malam hari)

Merupakan upacara penutupan sebagai akhir dari semua upacara yang telah dilakukan. Tujuan dari wayon adalah sebagai ucapan rasa syukur atas terselenggaranya upacara Entas-Entas dan diharapkan para leluhur yang diundang kembali ke asalnya serta tidak mengganggu keluarga yang masih hidup. Wayon dilaksanakan pada malam hari di hari pelaksanaan sekitar pukul 19.00 sampai 20.00 WIB di tempat pelaksanaan upacara Entas-Entas. Acara ini dipimpin ole h Wong Sepuh yang didampingi oleh yang punya hajat dan disaksikan oleh dukun dan para perangkat desa.

Pada acara ini hanya Wong Sepuh dan yang punya hajat saja yang diwajibkan menggunakan pakaian adat, sedangkan Dukun dan lainnya hanya berpakaian biasa. Pelaksanaannya dilakukan dengan pembacaan mantra wayon

Gambar 9 A.Petradigendhong dibawa ke pedanyangan dengan selendang ; B. Pembakaran petra di pedanyangan oleh Wong Sepuh

oleh Wong Sepuh di depan beberapa tamping yang berupa gedang ayu, suruh ayu dan kue selama 15 menit yang didahului dengan pembakaran kemenyan. Semua yang hadir hanya menyaksikan dengan diam dan mengawasi sambil sesekali menerangkan maksudnya dengan suara yang dipelankan dan mempersilahkan penulis untuk mengambil gambarnya secara dekat. Hanya para laki-laki yang berada dalam ruangan tempat acara wayon dilakukan, sedangkan para perempuan biasanya hanya berkumpul di dapur atau di ruangan yang lain.

Upacara Praswala Gara (Perkawinan)

Praswala Gara berasal dari kata pras (mengepras/memangkas), wala (lare/anak) dan gara (rabi/kawin). Yaitu suatu upacara perkawinan menurut adat masyarakat Tengger yang juga bertujuan untuk menghilangkan sengkala/ kesialan. Upacara perkawinan ini memiliki rangkaian urutan sebagai berikut: 1. Upacara Temu Pengantin.

Upacara temu pengantin ini memakai sarana/ pitrahan berupa:

Pertama, berupa beras, gula dan pisang dijadikan satu tempat yang bernama pras sengkala yang intinya menghilangkan kala -kala dari mempelai laki-laki dan perempuan.

Kedua, berupa gandik, batu panjang, beras, uang kepeng, daun beringin, air suci dicampur bunga, kue tetel dan telor. Makna dari macam-macam pitrahan tersebut adalah;

1) Gandik melambangkan perempuan. 2) Batu panjang melambangkan laki-laki.

3) Beras merupakan lambang kebutuhan orang hidup.

4) Uang kepeng memiliki arti bahwa suami harus bertanggung jawab untuk mencari kebutuhan istri.

5) Daun beringin merupakan lambang pengayoman, jadi seorang suami harus mengayomi istri dan seorang istri harus mengayomi suami.

6) Air suci merupakan lambang dari mempelai berdua, jadi mempelai laki- laki dan perempuan masih suci.

7) Tetel melambangkan kekeluargaan (rukun damai).

Jadi secara umum upacara temu pengantin adalah mempersatukan antara mempelai laki-laki dan perempuan. Prosesi temu pengantin yang pertama adalah ibu dari mempelai putra disambut oleh ibu dari mempelai putri yang memberikan daun sirih dan kapur (suruh ayu). Setelah itu rombongan dipersilahkan masuk dan diadakan acara penerimaan berupa menginjak telor oleh mempelai putra dan pembersihan dengan air suci yang dilakukan oleh mempelai putri. Makna dari prosesi ini adalah bahwa kedua mempelai masih suci. Setelah itu semua rombongan dipersilahkan untuk duduk dan dilakukan acara pasrah pengantin.

2. Pasrah Pengantin.

Pasrah Pengantin adalah salah satu rangkaian dari temu pengantin masyarakat Tengger yang berupa serah terima pengantin dari keluarga mempelai putra kepada keluarga mempelai putri. Pihak mempelai putra diwakili oleh Legen, sedangkan pihak mempelai putri diwakili oleh orang yang biasanya juga mantan Legen, karena dialog yang harus dihafal cukup panjang. Dalam serah terima pengantin ini terjadi sebuah dialog yang terjadi antara kedua wakil dari masing-masing pengantin dengan menggunakan bahasa Jawa. Keduanya duduk saling berhadapan dengan disaksikan oleh keluarga kedua mempelai. Inti serah terima ini adalah menyerahkan pengantin putra kepada keluarga pengantin putri. Dialog yang terjadi dilakukan begitu cepat karena panjangnya dialog tersebut di beberapa daerah dialog tersebut dilagukan, sehingga membuat para hadirin lainnya tidak merasa jenuh dan menjadi daya tarik tersendiri. Dialog pasrah pengantin ini secara lengkap dapat dilihat pada lampiran 12.

3. Upacara di Peturan Pengantin.

Upacara ini dilakukan di peturan/ kamar pengantin dengan sarana berupa tumpeng, ayam dan macam-macam kue. Maksud upacara ini adalah saat masuk kamar pengantin agar kedua mempelai tidak diganggu oleh buta kala. Istilah mereka kaki kolo ngintip/ kaki ketika mengintip disuruh makan sesaji agar tidak mengganggu kedua pengantin.

4. Upacara Walagara (Penyaksian/ dulitan).

Upacara ini dilaksanakan setelah upacara di peturan pengantin. Sarana yang dibutuhkan adalah: tumpeng kecil empat biji, ayam panggang dua buah, kue secukupnya, bunga, air suci, gedang ayu dan setel sirih pinang, gambir