• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunikasi dan Perubahan Kebudayaan

Kata “kebudayaan” berasal dari bahasa sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak kata “buddhi” yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal”. Istilah culture atau ”budaya” kembali pada kumpulan pengetahuan, bahasa, perilaku, ritual-ritual, adat kebiasaan, gaya hidup, sikap, kepercayaan dan adat istiadat yang berhubungan dan menunjukkan suatu identitas khusus dari suatu kelompok masyarakat dalam kurun waktu tertentu.

Ada beberapa definisi tentang kebudayaan menurut para ahli. Seorang antropolog E.B. Tylor yang dikutip oleh Soekanto (1990) memberikan definisi kebudayaan sebagai sesuatu yang kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan lain kemampuan- kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dengan perkataan lain, kebudayaan mencakup kesemuanya yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola -pola perilaku yang normatif. Artinya, mencakup segala cara-cara atau pola -pola berfikir, merasakan atau bertindak.

Soemardjan dan Soemardi yang dikutip oleh Soekanto (1990) merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat. Rasa yang meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti yang luas. Di dalamnya termasuk misalnya saja agama, ideologi, kebatinan, kesenian dan semua unsur yang merupakan hasil ekspresi jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat. Cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berfikir orang-orang yang hidup bermasyarakat

yang antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan. Cipta berwujud teori murni, maupun yang telah disusun untuk langsung diamalkan dalam kehidupan masyarakat. Rasa dan cinta dinamakan pula kebudayaan rohaniah (spiritual atau immaterial culture). Semua rasa, karya dan cipta dikuasai oleh karsa orang-orang yang menentukan kegunaannya agar sesuai dengan kepentingan sebagian atau dengan seluruh masyarakat.

Menurut Koentjaraningrat (1994) kebudayaan berarti keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu. Kebudayaan merupakan cara berlaku yang dipelajari, kebudayaan tidak tergantung dari transmisi biologis atau pewarisan melalui unsur genetis.

Geertz yang dikutip oleh Sobur (2004) mengatakan bahwa kebudayaan adalah sebuah pola dari makna-makna yang tertuang dalam simbol-simbol yang diwariskan melalui sejarah. Kebudayaan adalah sebuah sistem dari konsep-konsep yang diwariskan dan diungkapkan dalam bentuk-bentuk simbolik melalui mana manusia berkomunikasi, mengekalkan dan memperkembangkan pengetahuan tentang kehidupan ini dan bersikap terhadap kehidupan ini. Rumusan kebudayaan Geertz ini lebih menitikberatkan pada simbol, yaitu bagaimana manusia berkomunikasi lewat simbol. Di satu sisi, simbol terbentuk melalui dinamisasi interaksi sosial, merupakan realitas empiris, yang kemudian diwariskan secara historis, bermuatan nilai-nilai; dan di sisi lain simbol merupakan acuan wawasan, memberi “petunjuk” bagaimana warga budaya tertentu menjalani hidup, media sekaligus pesan komunikasi dan representasi realitas sosial.

Haviland (1985) yang dikutip oleh Endraswara (2003) bahwa ada empat ciri khas kebudayaan. Pertama, kebudayaan adalah milik bersama. Ciri semacam ini sering diteruskan sampai pemahaman bahwa kebudayaan adalah milik publik. Kedua, kebudayaan adalah hasil belajar. Semua kebudayaan adalah hasil belajar, bukan warisan biologis. Proses penerusan budaya dari generasi ke generasi berikutnya melalui proses enkulturasi. Ketiga, kebudayaan didasarkan pada lambang. Keempat, budaya merupakan kesatuan integratif. Kebudayaan tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan sebuah paket makna.

Menurut Mulyana (2001) budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat dan berkenaan dengan cara manusia hidup. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok. Budaya memiliki beberapa karakteristik, yaitu: budaya itu kompleks dan bertahap, budaya itu subjektif, budaya berubah sepanjang waktu serta budaya sebagian besar tidak nyata dan abstrak.

Semua unit sosial memba ngun sebuah budaya. Dalam suatu hubungan interpersonal antara dua orang, mereka memiliki sebuah kebiasaan bersama yang dikembangkan dalam suatu waktu. Mereka membangun sebuah adat kebiasaan, pola bahasa, ritual-ritual dan adat istiadat yang dikembangkan dalam pola hubungan yang memiliki sebuah karakter tersendiri.

Kelompok membangun sebuah budaya sendiri, demikian juga organisasi juga memiliki budaya sendiri. Seringkali mereka punya pola-pola khusus, seperti dalam hal berpakaian, tata ruang, gaya pertemuan, pola pikir, gaya bicara, gaya kepemimpinan dan sebagainya. Budaya yang lebih beragam dan kompleks biasa diasosiasikan dengan sebuah masyarakat atau negara. Sehingga istilah ”budaya” lebih umum dipakai untuk menyebut berbagai karakteristik yang meliputi ba hasa, ritual, pola perilaku dan adat istiadat. Budaya yang dibangun dari masing-masing unit sosial tersebut sangat khas dan memiliki karakter yang spesifik. Budaya memiliki beberapa fungsi yang sangat penting khususnya dalam perspektif komunikasi, yaitu: menghubungkan individu yang satu dengan yang lain; melengkapi identitas umum yang mendasar dan menciptakan konteks interaksi dan negosiasi diantara para anggota.

Banyak pendapat para sarjana tentang unsur -unsur kebudayaan. Herskovits yang dikutip oleh Soekanto (1990) mengajukan empat unsur pokok kebudayaan, yaitu:

1. Alat-alat teknologi. 2. Sistem ekonomi. 3. Keluarga.

4. Kekuasaan politik.

Malinowski yang terkenal sebagai salah seorang pelopor teori fungsional dalam antropologi, sebagaimana yang dikutip oleh Soekanto (1990) menyebut unsur-unsur pokok kebudayaan sebagai berikut:

1. Sistem norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat di dalam upaya menguasai alam sekelilingnya.

2. Organisasi ekonomi.

3. Alat-alat dan lembaga atau petugas pendidikan; dimana keluarga merupakan lembaga pendidikan yang utama.

4. Organisasi kekuatan.

Antropolog C Kluckhohn yang dikutip oleh Koentjaraningrat (1994) menyimpulkan adanya tujuh unsur universal yang merupakan isi dari semua kebudayaan yang ada di dunia ini, yaitu:

1. Sistem religi dan upacara keagamaan. 2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan. 3. Sistem pengetahuan.

4. Bahasa. 5. Kesenian.

6. Sistem mata pencaharian hidup. 7. Sistem teknologi dan peralatan.

Ketujuh unsur universal tersebut mencakup seluruh kebudayaan makhluk manusia dimanapun dan menunjukkan ruang lingkup dari kebudayaan serta isi dari konsepnya. Setiap unsur universal kebudayaan tersebut memiliki tiga wujud, yaitu:

1. Wujud idiil (pola bersikap), yaitu kompleks gagasan dan nilai-nilai.

2. Wujud aktivitas (pola kelakuan), yaitu suatu kompleks tindakan berpola (terorganisasi, terstruktrur) dari manusia dalam masyarakat.

3. Wujud fisik (pola sarana/kebendaan), yaitu benda-benda hasil karya manusia. Wujud pertama adalah idiil dari kebudayaan. Sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada di dalam kepala -kepala atau dengan perkataan lain, dalam alam pikiran dari warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup. Kalau warga masyarakat tadi menyatakan gagasan

mereka itu dalam tulisan, maka lokasi dari kebudayaan idiil sering berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat yang bersangkutan.

Kebudayaan idiil dapat disebut adat tata-kelakuan, atau secara singkat adat dalam arti khusus, atau adat-istiadat dalam bentuk jamaknya. Sebutan tata- kelakuan itu, maksudnya menunjukkan bahwa kebudayaan idiil itu biasanya juga berfungsi sebagai tata -kelakuan yang mengatur, mengendali dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Dalam fungsi itu secara lebih khusus lagi adat terdiri dari beberapa lapisan, yaitu dari yang paling abstrak dan luas sampai yang paling konkret dan terbatas. Adat dapat dibagi lebih khusus dalam empat tingkat, yaitu: (1) tingkat nilai-budaya; (2) tingkat norma- norma; (3) tingkat hukum dan (4) tingkat aturan khusus.

Tingkat adat yang pertama adalah lapisan yang paling abstrak dan luas ruang lingkupnya. Tingkat ini adalah ide -ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat. Konsepsi-konsepsi serupa biasanya bersifat kabur, tetapi walaupun demikian, atau justru karena kabur dan tidak rasional, biasanya berakar dalam bagian emosional dari alam jiwa manusia. Tingkat ini dapat disebut sistem nilai-budaya. Jumlah nilai-budaya tingkat pertama dalam suatu kebudayaan bia sanya tidak banyak.

Tingkat adat yang kedua dan lebih konkret adalah sistem norma. Norma - norma itu adalah nilai-nilai budaya yang sudah terkait kepada peranan-peranan tertentu dari manusia dalam masyarakat. Tingkat adat yang ketiga dan yang lebih konkret lagi adalah sistem hukum (baik hukum adat maupun hukum tertulis). Selanjutnya tingkat adat yang keempat adalah aturan-aturan khusus yang mengatur aktivitas-aktivitas yang amat jelas dan terbatas ruang lingkupnya dalam kehidupan masyarakat. Itulah sebabnya aturan-aturan khusus ini amat konkret sifatnya dan banyak diantaranya terkait dalam sistem hukum. Contohnya adalah peraturan lalu lintas. Contoh dari aturan khusus yang tidak tersangkut ke dalam sistem hukum adalah aturan sopan-santun.

Wujud kedua dari kebudayaan sering disebut sistem sosial, mengenai kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas- aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan serta bergaul satu sama lain,

yang dari detik ke detik, dari hari ke hari dan dari tahun ke tahun selalu mengikuti pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata -kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia-manusia dalam suatu masyarakat, maka sistem sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto dan didokumentasi.

Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik dan memerlukan keterangan banyak. Karena merupakan seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas, perbuatan dan karya semua manusia dalam masyarakat, maka sifatnya paling konkret dan berupa benda -benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat dan difoto. Misalnya adalah pabrik baja, benda -benda yang besar dan indah seperti bangunan candi atau pula benda-benda kecil seperti kain batik atau bahkan kancing baju.

Setiap kebudayaan mempunyai sifat hakikat yang berlaku umum bagi semua kebudayaan dimanapun juga. Sifat hakikat kebudayaan tersebut adalah: 1. Kebudayaan terwujud dan tersalurkan lewat perilaku manusia.

2. Kebudayaan telah ada terlebih dahulu mendahului lahirnya suatu gene rasi tertentu dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan. 3. Kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya. 4. Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-kewajiban,

tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan-tindakan yang dilarang dan tindakan-tindakan yang diizinkan.

Sifat hakikat kebudayaan adalah ciri setiap kebudayaan, akan tetapi bila seseorang hendak memahami sifat hakikatnya yang esensial, terlebih dahulu harus memecahkan pertentangan-pertentangan yang ada di dalamnya, yaitu (Soekanto, 1990):

1. Di dalam pengalaman manusia, kebudayaan bersifat universal, akan tetapi perwujudan kebudayaan mempunyai ciri-ciri khusus yang sesuai dengan situasi maupun lokasinya.

2. Kebudayaan bersifat stabil disamping juga dinamis dan setiap kebudayaan mengalami perubahan-perubahan yang kontinyu. Setiap kebudayaan pasti mengalami perubahan atau perkembangan-perkembangan, hanya kebudayaan yang mati saja yang bersifat statis.

3. Kebudayaan mengisi serta menentuka n jalannya kehidupan manusia, walaupun hal itu jarang disadari oleh manusia sendiri. Gejala tersebut secara singkat dapat diterangkan dengan penjelasan bahwa walaupun kebudayaan merupakan atribut manusia, namun tidak mungkin seseorang mengetahui dan meyakini seluruh unsur kebudayaannya.

Kebudayaan dimaksudkan sebagai hadirnya seperangkat nilai-nilai dan norma yang menjadi pedoman atau acuan perilaku bagi warga pendukungnya. Nilai secara umum berkaitan dengan segala sesuatu tentang yang baik atau yang buruk. Nilai dalam kajian ilmu sosial (nilai sosial) dapat didefinisikan sebagai suatu kesadaran dan emosi yang relatif lama hilangnya terhadap suatu obyek, gagasan atau orang (dikutip oleh Sulaeman, 1998 dari Bertrand). Norma merupakan standar-standar tingkah laku yang berfungsi sebagai kerangka patokan (frame of reference). Perangkat normatif ini ditanamkan pada individu-individu (baru) pendukungnya melalui proses sosialisasi. Cara yang demikian ini pada gilirannya mereka mampu menjalin dan mengembangkan interaksi dengan orang- orang lain dalam suatu pola makna tertentu yang konstan. Kebudayaan semacam ini biasa disebut sebagai kebudayaan non-material.

Kebudayaan juga dapat dilihat dari aspek material, dalam hal ini benda- benda fisik buatan manusia. Benda -benda tersebut dibuat dengan tujuan dan makna tertentu. Misalnya buku, artefak, pakaian, masjid, komputer dan sebagainya adalah sebutan-sebutan yang mempunyai makna khusus.

Berdasarkan uraian di atas, kebudayaan dapat dipahami dalam beberapa rumusan. Pertama, kebudayaan sebagai suatu kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan lain kemampuan yang diperoleh manusia selaku anggota masyarakat, meliputi semua pola berpikir, merasakan dan bertindak. Kedua, kebudayaan adalah sesuatu yang superorganik, artinya berada di atas sesuatu badan. Kebudayaan diturunkan dari generasi-generasi dan tetap akan hidup terus, walaupun orang-orang yang menjadi anggota masyarakat senantiasa silih berganti disebabkan kelahiran dan kematian. Ketiga, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan cara mempelajarinya (Kolopaking, 2003).

Setiap kebudayaan pasti mengalami perubahan. Kingsley Davis yang dikutip oleh Soekanto (1990) berpendapat bahwa perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagiannya, yaitu: kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan seterusnya, bahkan perubahan dalam bentuk serta aturan-aturan organisasi sosial. Dalam kehidupan sehari-hari acapkali tidak mudah untuk menentukan letak garis pemisah antara perubahan sosial dan perubahan kebudayaan. Sebab tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan dan sebaliknya tidak mungkin ada kebudayaan yang tidak menjelma dalam suatu masyarakat. Walaupun secara teoritis dan analitis pemisahan antara pengertian-pengertian tersebut dapat dirumuskan, namun di dalam kehidupan nyata, garis pemisah tersebut sukar dapat dipertahankan. Perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan mempunyai satu aspek yang sama yaitu kedua -duanya bersangkut-paut dengan suatu penerimaan cara-cara baru atau suatu perbaikan dalam cara suatu masyarakat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

Perubahan yang terjadi di dalam masyarakat pada umumnya menyangkut hal-hal yang kompleks, artinya perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu mengenai: nilai- nilai sosial, perikelakuan, organisasi susunan lembaga -lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan sebagainya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perubahan sosial menunjukkan pada perubahan fenomena sosial di berbagai bidang tingkat kehidupan manusia, mulai dari tingkat individual, masyarakat hingga tingkat dunia.

Perubahan kebudayaan dapat dibedakan ke dalam beberapa bentuk, yaitu: a. Perubahan lambat dan perubahan cepat.

Perubahan– perubahan yang memerlukan waktu lama dan rentetan- rentetan perubahan kecil ya ng saling mengikuti dengan lambat, dinamakan evolusi. Pada evolusi perubahan terjadi dengan sendirinya tanpa rencana atau kehendak tertentu. Perubahan kebudayaan yang berlangsung dengan cepat dan menyangkut dasar -dasar atau sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat (yaitu lembaga -lembaga kemasyarakatan) lazimnya dinamakan revolusi.

Unsur-unsur pokok revolusi adalah adanya perubahan yang cepat dan perubahan tersebut mengenai dasar-dasar atau sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat.

b. Perubahan kecil dan perubahan besar.

Agak sulit untuk merumuskan masing-masing pengertian tersebut di atas, karena batas-batas pembedaannya sangat relatif. Sebagai pegangan dapatlah dikatakan bahwa perubahan-perubahan kecil adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang tidak membawa pengaruh langsung atau berarti bagi masyarakat.

c. Perubahan yang dikehendaki (intended-change) atau perubahan yang direncanakan (planned-change) dan perubahan yang tidak dikehendaki (unintended-change) atau perubahan yang tidak direncanakan (unplanned- change).

Perubahan yang dikehendaki atau direncanakan merupakan perubahan yang diperkirakan atau yang direncanakan terlebih dahulu oleh fihak-fihak yang hendak mengadakan perubahan masyarakat. Perubahan yang tidak dikehendaki atau yang tidak direncanakan, merupakan perubahan-perubahan yang terjadi tanpa dikehendaki, berlangsung di luar jangkauan pengawasan masyarakat dan dapat menyebabkan timbulnya akibat-akibat sosial yang tidak diharapkan masyarakat.

Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan kebudayaan dapat bersumber dari dalam atau dari luar masyarakat. Sumber yang berasal dari dalam masyarakat adalah: bertambah atau berkurangnya penduduk, penemuan-penemuan baru, pertentangan atau konflik masyarakat dan terjadinya pemberontakan atau revolusi. Sedangkan sumber-sumber perubahan yang berasal dari luar masyarakat tersebut adalah: sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik yang ada di sekitar manusia (gempa, bencana alam, banjir dan lain-lain), peperangan dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain.

Faktor-faktor yang mendorong jalannya perubahan yang terjadi antara lain (Soekanto, 1990):

a. Kontak dengan kebudayaan lain. b. Sistem pendidikan formal yang maju.

c. Sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan-keinginan untuk maju. d. Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang (deviation), yang

bukan merupakan delik.

e. Sistem terbuka lapisan masyarakat (open stratification). f. Penduduk yang heterogen.

g. Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu. h. Orientasi ke masa depan.

i. Nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki hidupnya.

Faktor-faktor yang menghalangi terjadinya perubahan adalah: a. Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain.

b. Perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat. c. Sikap masya rakat yang sangat tradisional.

d. Adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat atau vested interests.

e. Rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan. f. Prasangka terhadap hal-hal baru atau asing atau sikap yang tertutup. g. Hambata n-hambatan yang bersifat ideologis.

h. Adat atau kebiasaan.

i. Nilai bahwa hidup ini pada hakikatnya buruk dan tidak mungkin diperbaiki (Soekanto, 1990).

Saluran-saluran perubahan kebudayaan (avenue or channel of change) merupakan saluran-saluran yang dilalui oleh suatu proses perubahan. Umumnya saluran-saluran tersebut adalah lembaga -lembaga kemasyarakatan dalam bidang pemerintahan, ekonomi, pendidikan, agama, rekreasi dan seterusnya. Lembaga kemasyarakatan mana yang menjadi titik tolak, tergantung pada cultural focus masyarakat pada suatu masa yang tertentu.

Semenjak dilahirkan manusia sudah mempunyai naluri untuk hidup berkawan. Hal ini disebabkan manusa mempunyai hasrat yang kuat dalam dirinya untuk menjadi bagian dari manusia lainnya. Dalam bergaul dengan manusia lainnya dikenal adanya komunikasi. Berbicara mengenai komunikasi, banyak paradigma yang bisa kita maknai. Secara harfiahnya komunikasi merupakan

jalinan yang terjadi dalam sistem sosial dengan berbagai pendukungnya seperti adanya media-media komunikasi yang berkembang saat ini (Soekartawi, 1988). Kata komunikasi atau dalam Bahasa Inggris communication berasal dari bahasa latin communis yang berarti sama, communico, communicatio atau communicare yang berarti membuat sama (to make common). Secara sederhana komunikasi didefinisikan sebagai proses penyampaian pesan dari seseorang kepada orang lain. Menurut Devito (1997) komunikasi mengacu pada pengertian akan suatu tindakan oleh satu orang atau lebih yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise), terjadi dalam konteks tertentu dan ada kesepakatan untuk melaksanakan umpan balik.

Rogers dan Kinchaid (1981) mengatakan bahwa komunikasi adalah suatu proses di mana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam.

Menurut Mulyana (2003) terdapat tiga kerangka pemahaman mengenai komunikasi, yaitu: (1) komunikasi sebagai tindakan satu arah, (2) komunikasi sebagai interaksi, dan (3) komunikasi sebagai transaksi.

Komunikasi Sebagai Tindakan Satu Arah. Pemahaman komunikasi sebagai proses satu arah disebutkan oleh Micheal Burgoon, sebagai “definisi berorientasi sumber” (source oriented definition) yang mengisyaratkan komunikasi sebagai kegiatan yang sengaja dilakukan seseorang untuk meyampaikan rangsangan guna membangkitkan respons orang lain. Konseptualisasi komunikasi sebagai tindakan satu arah ini mengisyaratkan bahwa semua kegiatan komunikasi bersifat persuasif.

Model komunikasi linear merupakan konsep komunikasi yang paling sederhana, yang dimaknai sebagai proses komunikasi sepihak. Pada model ini komunikasi terjadi karena ada seseorang yang menyampaikan pesan kepada orang lain. Pengirim pesan menstimuli sehingga penerima pesan merespon sesuai yang diharapkan tanpa melakukan proses seleksi dan intepretasi lebih lanjut. Kejadian ini sesuai dengan ide dasar pembuatan model linear yang didesain berdasar sistem telepon (model Claude Shanon dan Warren, 1949) dikutip oleh Mulyana (2003), seperti Gambar 1.

Gambar tersebut memperlihatkan bahwa komunikasi yang terjadi bersifat satu arah, yakni dari sumber pesan kepada penerima pesan. Model komunikasi ini lebih tepat digunakan menyampaikan informasi yang lebih bersifat instruksi atau indoktrinasi.

Komunikasi Sebagai Interaksi. Pandangan komunikasi sebagai interaksi ini menyetarakan komunikasi dengan suatu proses sebab akibat atau aksi reaksi yang arahnya bergantian dan lebih dinamis. Komunikasi ini dianggap sedikit lebih dinamis daripada komunikasi satu arah, meskipun masih membedakan para komunikate sebagai komunikator dan komunikan, artinya masih tetap berorientasi sumber, meskipun kedua peran itu dianggap bergantian. Sehingga proses interaksi yang berlangsung pada dasarnya juga masih bersifat mekanis dan statis.

Model interaktif menganggap komunikasi sebagai suatu transaksi yang terjadi antar komunikan yang saling berkontribusi pada terjadinya suatu transaksi walaupun dalam beda peringkat intensitas. Teori ini digambarkan dalam tiga bentuk yaitu: (1) lingkaran tumpang tindih, (2) heliks dan (3) Ziczac. Menurut Schramm (1973) yang dikutip oleh Jahi (1993) lingkaran tumpang tindih mengindikasikan bahwa dalam setiap kegiatan komunikasi akan selalu ditemukan lebih dari dua komunikan dalam suatu situasi komunikasi. Dengan demikian akan ada pada suatu saat sejumlah lingkaran komunikan atau ruang kehidupan yang tumpang tindih.

Model heliks menurut Dance (1967) yang dikutip oleh Jahi (1993)