• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

PERSENTASE (dari total luas

tegalan pada tabel 1)

1. Kubis 1851,1 ton 127 Ha 16.38

2. Kentang 2501 ton 185 Ha 23.86

3. Bawang daun 1248 ton 51 Ha 6.58

4. Ternak sapi pedaging 119

5. Ternak kuda 175

6. Ternak domba 98

Sumber: Monografi Desa Ngadisari, 2005

Kondisi Pemerintahan Desa Ngadisari

Secara administratif Desa Ngadisari termasuk dalam Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo. Desa Ngadisari terbagi menjadi 3 dusun, 3 RW dan 13 RT. Ketiga dusun tersebut adalah: Wonosari, Ngadisari dan Cemoro Lawang. Pemerintahan desa Ngadisari dipimpin oleh seorang Kepala Desa atau Petinggi. Warga masyarakat biasa menyebut kepala desanya dengan sebutan Pak

Tinggi. Dalam melaksanakan tugasnya seorang Petinggi dibantu oleh pamong desa yang terdiri dari: Carik/ sekretaris desa, Kamituwo, Kepetengan, Kebayan dan

Dukun (yang mer upakan staf non formal dari Kepala Desa dan bertanggung jawab pada semua kegiatan adat).

Prioritas pembangunan Pemerintah Desa Ngadisari saat ini adalah: 1. Bidang ekonomi, saat ini telah ada koperasi simpan pinjam yang dapat

dimanfaatkan warga masyarakatnya untuk memenuhi tambahan modal usaha ataupun keperluan lain.

2. Bidang kesehatan, saat ini upaya peningkatan derajat kesehatan penduduk desa Ngadisari terus dilakukan. Upaya yang telah tampak adalah dengan adanya Posyandu Remaja Putri Ibu Juanda dan diadakannya puskesmas keliling setiap satu bulan sekali agar dapat mendeteksi keluhan kesehatan penduduk sejak dini.

3. Bidang Pendidikan saat ini juga mendapat perhatian yang serius dari pemerintah desa Ngadisari khususnya Kepala Desanya. Kesadaran yang tin ggi dari pimpinan desa ini mendorong diadakannya peningkatan pendidikan baik secara formal dengan upaya pembangunan gedung sekolah dan juga secara non formal. Secara non formal yaitu dengan adanya kegiatan Pramuka setiap hari Jum’at yang diikuti oleh anak-anak muda yang telah lulus sekolah namun belum menikah. Selain itu untuk menunjang proses pendidikan di desa Ngadisari tersebut, maka pemerintah desa mengalokasikan dana sebesar satu juta rupiah yang dapat dipinjamkan kepada semua masyarakat yang membutuhkan dana belajar dan dikelola langsung oleh Kepala Desa. Dana ini dapat dipergunakan untuk pemenuhan sarana pendidikan bagi warga yang kurang mampu, seperti pembelian seragam maupun peralatan sekolah. Meskipun sampai sekarang tidak ada warga yang menggunakan dana ini, karena mereka merasa mampu membiayai sendiri.

Masyarakat Tengger Desa Ngadisari Kehidupan Sehari-hari

Kehidupan keseharian masyarakat Tengger Ngadisari tampak dinamis namun bersahaja. Mayoritas penduduknya menggantungkan hidup dari pertanian sayur-mayur. Sedangkan pekerjaan di sektor wisata hanya merupakan penghasilan tambahan, sebab hasil yang didapat bersifat musiman dan tidak dapat dipastikan tergantung ramai tidaknya pengunjung dan biasanya hanya pada hari- hari libur dan hari-hari tertentu, seperti pada saat upacara Kasada, Karo, tahun baru dll. Penghasilan tambahan mereka didapatkan dari nundan11, sopir jeep dan persewaan penginapan. Meskipun sebagai tambahan penghasilan mereka tetap mengelola dengan baik. Buktinya banyak penginapan yang dibangun lebih bagus dari rumah yang mereka tempati, kuda -kuda juga dirawat dengan baik.

Kesederhanaan mereka tampak dari cara berpikir dan cara hidup mereka. Mayoritas masyarakat Tengger Desa Ngadisari sudah merasa tenang saat kebutuhan hidup mereka seperti sandang, pangan dan papan tercukupi. Pekerjaan juga sudah mereka dapatkan di tempat kelahiran tersebut, sehingga sangat jarang ditemukan masyarakat yang merantau untuk bekerja di luar daerahnya. Jika merantau biasanya dilakukan oleh mereka yang meneruskan sekolah/ kuliah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini karena fasilitas pendidikan yang ada di desa Ngadisari hanya sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Bentuk pekerjaan yang umum dijumpai di daerah penelitian adalah bertani. Setiap hari penduduk desa sibuk mengurus tanaman di gaga (sebutan untuk tegalan). Biasanya mereka berangkat dari rumah antara pukul 06.00-08.00 WIB dan pulang ke rumah antara pukul 16.00-17.30 WIB. Semua anggota ikut ambil bagian dalam pekerjaan ini, sehingga tampak kebersamaan diantara mereka. Bahkan peneliti juga pernah menjumpai anak balita yang berusia 5 bulan diajak bekerja di gaga. Selain bekerja merawat tanaman mereka juga mencari rumput untuk makanan ternak dan mencari kayu sebagai bahan bakar, terlebih setelah adanya kenaikan harga BBM menyebabkan peningkatan dalam penggunaan kayu bakar yang dianggap dapat lebih menghemat biaya pengeluaran kebutuhan sehari-

11 Nundan adalah pekerjaan yang dilakukan masyarakat di kawasan wisata Bromo dengan

melakukan persewaan kuda. Pengunjung dapat berjalan-jalan dengan naik kuda di kawasan wisata ini.

hari. Sedangkan rumput selain dipakai untuk makanan ternak pribadi juga dijual kepada tetangga yang membutuhkan dengan harga sekitar Rp 10.000,- per keranjang.

Kondisi Perumahan

Rumah masyarakat Tengger di daerah penelitian mayoritas sudah permanen, rata -rata saling berdekatan antara satu dengan yang lain. Meskipun bukan saudara sering kali ditemui terdapat pintu penghubung antara rumah yang satu dengan rumah yang lainnya. Hal ini dimaksudkan agar proses komunikasi dapat berjalan lebih lancar dan memudahkan untuk saling membantu saat membutuhkan, misalnya jika ada hajatan yang membutuhkan tempat luas maka rumah tetangga dapat dipakai juga. Selain itu dari observasi peneliti diketahui bahwa mayoritas rumah mereka tidak berpagar, hanya ada beberapa yang berpagar tapi tingginya tidak sampai satu meter. Bahan pagar tidak menggunakan pagar besi karena mudah rusak, sebab zat belerang dari Gunung Bromo membuat pagar besi lebih mudah terkena korosi. Model perumahan tanpa pagar tersebut menunjukkan rasa kebersamaan diantara warga masyarakatnya. Selain itu hal tersebut juga menunjukkan sifat keterbukaan masyarakatnya serta adanya rasa saling mempercayai sesama warganya. Masyarakat Ngadisari merasa aman dalam lingkungan mereka dan tidak merasa khawatir akan hak milik mereka, oleh karena itu pembuatan pagar justru dianggap sebagai orang yang khawatir ha rta benda

Gambar 6 Pekerjaan sehari -hari mayoritas Masyarakat Tengger Desa Ngadisari: A. Nundan di kawasan wisata Bromo dan B. Bertani sayur di tegal.

atau miliknya tidak aman karena takut dicuri orang. Hal ini sesuai dengan kondisi daerah tersebut yang dalam tahun-tahun terakhir bebas pencurian dan perampokan. Jika terjadi pencurian, maka sangsi yang dikenakan cukup membuat jera warga, yaitu pencuri diarak keliling kampung dengan membawa hasil curiannya, setelah itu barang curian wajib dikembalikan kepada yang punya. Jika si pencuri tidak bersedia maka sebagai gantinya akan diserahkan ke kantor polisi. Sangsi moral seperti itu pada akhirnya mampu membuat pencuri tidak mengulangi perbuatannya dan keamanan lingkungan tetap terjamin.

Penggunaan Bahasa

Masyarakat Tengger Ngadisari merupakan masyarakat yang letak perumahannya paling dekat dengan tempat wisata Kawah Bromo sehingga interaksinya dengan pihak luar lebih intens dibanding masyarakat Tengger di desa lain. Dalam berkomunikasi mereka biasanya menyesuaikan diri dengan bahasa yang dipakai lawan bicaranya. Jika berbicara dengan orang luar mereka biasa menggunakan bahasa nasiona l (Bahasa Indonesia) atau jika yang ditemui orang Jawa mereka memakai bahasa Jawa seperti pada umumnya, yaitu bahasa Jawanya orang ngare (sebutan yang mereka berikan kepada masyarakat yang tinggal di bawah/ tidak di pegunungan Tengger). Namun jika berbicara dengan sesama warga Tengger daerah sekitar mereka akan menggunakan bahasa keseharian biasa yaitu bahasa Jawa Tengger. Ada sedikit perbedaan bahasa Jawa mereka dengan bahasa Jawa pada umumnya. Jika bahasa Jawa biasa menggunakan akhiran o,

Gambar 7 Lingkungan masyarakat Tengger Ngadisari: A. Model rumah asli Masyarakat Tengger dan B. Lingkungan Desa Ngadisari.

maka mereka menggunakan akhiran a. Sekilas mirip dengan bahasa yang digunakan oleh masyarakat Jawa Timur sekitar Surabaya dan Malang. Namun setelah dicermati ternyata kosakata yang dipakai ada kemiripan dengan bahasa Jawa daerah Banyumas.

Beberapa kosakata bahasa Jawa Tengger dapat dilihat pada tabel di bawah ini dengan kosakata Bahasa Banyumas dan Jawa umum sebagai pembanding.

Tabel 3. Perbandingan kosakata Tengger dengan bahasa Jawa yang lain.

No. Bahasa Tengger Bahasa Jawa Jawa Banyumas Arti

1. Sira Siro Sira Kamu (bias a)

2. Rika Riko Rika Kamu (halus)

3. Teka Teko Teka Datang

4. Ngapa Ngopo Ngapa Ngapain

5. Sega Sego Sega Nasi

6. Paran Opo Paran Apa

9. Ana Ono Ana Ada

10. Nana Nono Nana Tidak ada

11. Isun Kulo Isun Saya (perempuan)

12. Reang Kulo Reang Saya (laki- laki)

Sumber: Wawancara dengan informan, 2005.

Penggunaan Bahasa Jawa Tengger di antara mereka tidak terdapat strata bahasa sebagaimana yang umum dipakai dalam Bahasa Jawa, yang terdapat Bahasa Jawa ngoko (kasar), krama madya (agak halus) dan krama inggil (halus). Bahasa halus yang dipakai biasanya berkaitan dengan penyebutan lawan bicara, seperti kalau dengan orang yang lebih tua atau dengan orang yang dihormati menggunakan kata rika, yang berarti kamu, sedangkan bila menyebut orang yang sebaya atau orang yang lebih muda mereka biasa memakai kata sira.

Penyesuaian diri dalam pengunaan bahasa, yaitu bahasa dengan orang luar Tengger atau dengan orang “dalam” bukan dimaksudkan sebagai sebuah bahasa sandi, namun lebih ke arah adaptasi dan keinginan untuk menghormati lawan bicara. Mereka khawatir orang luar kurang memahami apa yang di maksudkan jika menggunakan Bahasa Jawa Tengger. Apabila ternyata orang luar sudah mengerti dan mampu menggunakan bahasa seperti bahasa mereka, maka akan menimbulkan kedekatan de ngan mereka. Hal ini sebagaimana yang pernah

dialami oleh peneliti ketika pertama kali datang, seperti ada rasa kikuk dan kurang adanya keterbukaan. Meskipun sama -sama orang Jawa ternyata pada awalnya sering terjadi miss understanding antara peneliti dengan informan, sehingga klarifikasi makna/ arti harus sering dilakukan agar tidak terjadi salah paham. Misalnya saat seorang informan mengatakan tiba, peneliti memahaminya sebagai kata “datang”. Ternyata yang dimaksud adalah tibo (dalam bahasa Jawa) yang berarti ”jatuh” dalam Bahasa Indonesia. Selain itu juga saat mereka menunjuk arah dengan menyebut kata ika, awalnya peneliti memahami sebagai penyebutan nama orang. Ternyata yang mereka maksud adalah kata iko (dalam Bahasa Jawa), yang berarti kata penunjuk “it u”, dalam Bahasa Indonesia.

Jika dicermati maka kesamaan bahasa masyarakat Tengger lebih dekat dekat masyarakat Jawa Tengah, khususnya di sekitar Banyumas. Kesamaan ini terjadi akibat kesamaan historis pada jaman dahulu. Menurut analisis penulis asal mula nenek moyang masyarakat Tengger selain berasal dari jaman Majapahit, jauh sebelumnya mereka justru berasal dari jaman Mataram kuno yang berpusat di sekitar Sleman, Banyumas (wilayah Jawa Tengah). Sebab bahasa mereka memiliki kesamaan yang lebih dekat dibanding dengan bahasa Jawa pada umumnya ataupun bahasa Jawa Timuran. Selain itu ditemukannya istilah Tengger pada buku “History of Java” yang merupakan sebuah ungkapan yang dikeluarkan oleh orang Mataram pada saat itu, menunjukkan adanya pengaruh Mataram kuno saat itu. Selain itu dilihat dari kamus Bahasa Jawa, bahasa yang digunakan dalam masyarakat Tengger merupakan rumpun bahasa Jawa kuno. Dimana penyebarannya dianalisis penulis pada saat terjadi pemindahan kekuasaan Mataram kuno ke daerah Kanjuruhan, Malang Jawa Timur yang dilakukan oleh Empu Sendok. Menurut sejarah kepindahan Mataram kuno ini berkaitan dengan adanya bencana alam meletusnya gunung Merapi di Jawa Tengah dan juga adanya konflik da lam keraton. Adanya penyebaran Bahasa Jawa Tengger secara terbatas ini juga diakibatkan selama jaman penjajahan Belanda daerah Tengger terisolasi dengan daerah luar. Dalam perkembangan selanjutnya bahasa yang mereka pakai memiliki perbedaan dengan masyarakat di daerah ngare.

Kalender Tengger

Masyarakat Tengger memiliki kalender sendiri menurut perhitungan mereka untuk menentukan berbagai hal yang berkaitan dengan upacara adat, seperti penentuan hari raya Karo, Kasada, maupun untuk menentukan suatu kegiatan seperti pembangunan rumah, pindah rumah, bepergian,dll. Sebagaimana masyarakat Jawa pada umumnya mereka juga mengenal perhitungan Jawa, sebab perhitungan kalender Tengger berakar pada kalender Jawa yang dibuat oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo dari keraton Mataram. Dimana kalender Jawa memakai landasan tahun barunya sama dengan tahun baru Islam yaitu tahun baru Hijriah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perhitungan kalender Tengger juga memiliki persamaan dengan kalender Hijriah, disamping juga banyak persamaan dengan kalender Jawa, seperti dikenalnya istilah wuku yang sama dengan wuku pada kalender Jawa.

Nama-nama bulan dalam satu tahun perhitungan kalender Tengger ada 12 bulan, yaitu: (1) Kasa; (2) Karo; (3) Katiga; (4) Kapat; (5) Kalima; (6) Kanem; (7) Kapitu; (8) Kawolu; (9) Kesanga; (10) Kasepuluh; (11) Kadesta da n (12)Kasada. Karena ada persamaan perhitungan antara kalender Hijriah, Jawa dan Tengger. Wuku-wuku yang ada pada kalender Tengger sama dengan wuku dalam kalender Jawa yang berjumlah 30, yaitu: Sinta, Landep, Ukir, Kulantir, Tolu, Gumbreg, Wariga, Warigadian, Julungwangi, Sungsang, Dungulan, Kuningan, Langkir, Medangsia, Pujut, Pahang, Kelurut, Merakih, Tambir, Medangkungan, Matal, Uye, Menail, Parangbakat, Bala, Ugu, Wayang, Kulawu, Dukut, dan Watugunung. Sedangkan hari-hari dalam seminggu mereka memiliki istilah yang tidak berbeda dengan hari-hari dalam kalender Jawa, yaitu: Radite (Minggu), Soma (Senin), Anggara (Selasa), Budha (Rabu), Respati (Kamis), Sukra (Jum’at) dan Saniscara (Sabtu).

Penggunaan kalender Tengger ini telah menyebar pada semua masyara kat Tengger yang berada di 4 kabupaten di Jawa Timur, yaitu: Malang, Pasuruan, Probolinggo dan Lumajang. Meskipun tidak semua masyarakat Tengger mampu menghitung hari-hari baik dan buruk menurut kalender Tengger, namun mereka masih mempercayai kebenarannya dan takut jika melanggar. Oleh karena itu semua perhitungan hari baik buruk untuk memulai berbagai kegiatan

diserahkan pada orang yang dianggap mengerti, seperti Kepala Desa Ngadisari, Dukun maupun orang tua yang masih memahami, sebab pada generasi muda tata cara perhitungan seperti itu masih dianggap langka dan biasanya hanya orang- orang yang sudah tua yang memahaminya.

Penggunaan kalender Tengger ini telah meluas di semua kawasan masyarakat Tengger. Pemakaiannya mendapatkan pengawasan dari Dukun Tengger. Sebelum tahun 1945 pertemuan dukun hanya berlangsung satu kali dalam satu tahun di Poten yang membahas masalah persiapan upacara Kasada dan permasalahan yang terjadi di wilayah masing-masing dalam kurun waktu satu tahun. Namun seiring dengan berkembangnya teknologi informasi menyebabkann semakin mudah untuk mengadakan komunikasi dengan semua dukun dalam waktu yang relatif singkat. Sehingga saat ini setidaknya tiga bulan sekali dukun- dukun di Tengger dapat mengadakan pertemuan yang biasanya bertempat di rumah Koordinator Dukun di Desa Ngadas , Kecamatan Sukapura , Kabupaten Probolinggo. Seringkali Koordinator Dukun berkeliling ke tempat dukun-dukun lain. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Bapa k Mujono selaku Koordinator Dukun sekawasan Tengger yang tinggal di Desa Ngadas Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo, yaitu:

“Saat ini saya sering berkeliling mengunjungi dukun-dukun di kawasan Tengger, setidaknya tiga bulan sekali saya mendatangi mereka. Sehingga jika ada permasalahan dapat segera diselesaikan dan dibahas sampai tuntas. Selain itu di 4 kabupaten, yaitu: Malang, Pasuruan, Probolinggo dan Lumajang masing-masing memiliki koordinator daerah untuk memudahkan komunikasi dengan semua Dukun”.

Sumber: Wawancara dengan Koordinator Dukun Tengger, Januari 2006.

Komunikasi yang terjalin antar Dukun saat ini sudah cukup erat, sehingga segala permasalahan yang timbul dapat segera dibahas bersama. Dalam pertemuan tersebut setidaknya satu kali dalam satu tahun ada yang dipakai untuk membahas perhitungan hari-hari besar masyarakat Tengger menurut kalender Tengger. Jika terjadi perbedaan hasil perhitungan antar dukun akan dituntaskan dalam pertemuan tersebut. Saat ini Koordinator Dukun Tengger Bapak Mujono telah mampu menyelesaikan perhitungan dalam penentuan hari-hari besar masyarakat Tengger seperti Kasada, Karo, dll sampai dengan tahun 2020.

Meskipun demikian hasil tersebut harus tetap dicocokkan dan dibahas dalam pertemuan antar dukun agar diperoleh persamaan perhitungan. Jika sudah sesuai maka akan dikeluarkan (dicetak) dan disebarkan ke semua daerah yang masuk dalam kawasan Tengger.

Pakaian Masyarakat Tengger

Secara umum pakaian masyarakat Tengger tidak jauh berbeda dengan masyarakat lain. Pakaian masyarakat Tengger dapat digolongkan menjadi:

1. Pakaian Adat

Pakaian adat ini biasa digunakan dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan adat tradisi dan juga yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan. Pakaian adat ini baik laki-laki maupun perempuan dominan warna hitam, yaitu:

Pakaian laki-laki yang terdiri dari: 1) Atasan baju hitam lengan panjang.

2) Udeng/ ikat kepala, jenis udeng yang dipakai tidak jauh berbeda dengan yang biasa dipakai oleh orang kebanyakan. Bentuknya berupa kain segi empat dengan motif warna biasanya gelap hitam/ biru tua dengan kombinasi warna krem/ putih. Dimana penggunaannya dipakai dengan melingkarkan dan mengikatnya di atas kepala.

3) Bawahan berupa celana dengan warna terserah, biasanya berwarna gelap. 4) Kain sarung motif batik yang dililitkan di atas celana sepanjang 10 cm di

atas lutut.

Pakaian perempuan yang terdiri dari: 1) Atasan berupa kebaya warna hitam.

2) Bawahan berupa sarung atau kain jarit dengan motif dan warna terserah. 3) Kempoh, yaitu selendang warna kuning yang dipakai sebagai ikat pinggang.

Pakaian adat masyarakat Tengger ini dipakai oleh semua golongan masyarakat, mulai dari pimpinan sampai dengan masyarakat biasa. Hanya saja khusus untuk dukun saat memimpin upacara adat ada pakaian tersendiri. Namun jika pada upacara keagamaan dukun juga memakai pakaian adat yang umum seperti yang lain.

Makna dari pengggunaan pakaian adat tersebut, yaitu:

1) Warna hitam berarti ketenangan (dalam Bahasa Jawa dapat dimaknai “anteng”), yang berarti tenang dalam Bahasa Indonesia. Maksudnya adalah tidak neko-neko yang berarti dalam berpikir dan bertindak diharapkan masyarakat Tengger melakukannya dengan wajar/ tidak macam-macam. 2) Warna kuning dapat diartikan sebagai keagungan. Dalam bahasa Jawa ,

kuning berarti “ning” atau “hening”. Maksudnya pikiran masyarakat Tengger diharapkan hening yang tidak jauh berbeda dengan ketenangan. Sebab dalam keheningan hati akan didapatkan ketenangan pikiran.

3) Udeng, dalam Bahasa Jawa berarti “mudeng” atau “paham” dalam Bahasa Indonesia. Diharapkan masyarakat Tengger mampu memahami ajaran leluhur dengan baik.

Pada mulanya dulu penggunaan pakaian adat ini tidak menjadi suatu keharusan bagi masyarakat Tengger dalam mengikuti kegiatan adat. Atas inisiatif Kepala Desa Ngadisari Bapa k Supoyo yang memegang jabatan mulai tahun 1998 akhirnya mulai dirintis penggunaannya secara wajib bagi semua warga desanya. Hal ini dimaksudkan agar tercipta suatu kebersamaan diantara warganya. Selain itu upaya ini juga diharapkan mampu melestarikan adat tradisi mereka. Gagasan semacam ini selalu dikomunikasikan melalui berbagai forum pertemuan dengan warganya. Pa da akhirnya semua lapisan masyarakat dapat menerimanya dengan baik. Sehingga hasilnya dapat dilihat dalam dua sampai tiga tahun terakhir ini setiap upacara adat dan upacara keagamaan di Desa Ngadisari tampak seperti lautan hitam, hal ini lebih mudah dilihat pada hari besar agama Hindu atau upacara adat yang besar seperti Karo dan Kasada. Semua warga masyarakat dari yang tua, muda, besar, kecil, laki-laki dan perempuan, pejabat atau masyarakat biasa berpakaian sama.

Jika upacara adat yang diadakan tersebut berupa upacara pribadi yang hanya melibatkan anggota keluarga, seperti upacara Praswala Gara (perkawinan), upacara khitan, upacara Entas-Entas, dll maka yang diwajibkan memakai pakaian adat adalah yang punya hajat. Sehingga jika kita mengikuti suatu hajatan akan lebih mudah mengenal tuan rumah meskipun berbaur dengan banyak tamu, sebab

pakaian yang digunakan adalah pakaian adat dan biasanya ditambah dengan kaweng dari selendang.

2. Pakaian Keseharian

Pakaian keseharian masyarakat Tengger tidak jauh berbe da dengan warga masyarakat lainnya. Namun ada suatu kebiasaan yang selalu dilakukan, yaitu memakai kaweng. Kaweng adalah sarung atau kain selendang yang dililitkan/ diikatkan dileher. Kaweng yang digunakan masyarakat Tengger ini lebih mirip pakaian luar, sehingga jika waktu keluar rumah belum memakai kaweng serasa memakai pakaian yang belum lengkap. Sebagaimana yang diungkapkan salah seorang informan penelitian sebagai berikut:

“Sampun kulina mbak, lekne mboten ndamel kaweng kaya diwasen bature”

(Sudah kebiasaan mbak, kalau tidak memakai kaweng rasanya seperti dilihat teman/orang lain).

Pada mulanya penggunaan kaweng ini berfungsi sebagai penahan dingin karena kondisi lingkungan yang sangat dingin. Pemakaian kaweng dirasa cukup praktis sebagai pengganti jaket. Selain itu dalam beberapa kesempatan, kaweng dapat dipakai untuk pengganti tas dalam berbelanja, untuk menggendong anak bahkan juga untuk menggendong rumput maupun kayu bakar. Jika ada acara hajatan, kaweng dari selendang biasanya dipakai untuk “nggendhong” (membawa barang bawaan, seperti beras dan gula yang dibawa ke tempat orang yang punya hajat).

Selain kaweng, bagi perempuan juga ada kebiasaan memakai penutup kepala yang disebut kethu, yaitu semacam kain persegi yang dilipat segitiga seperti scraft dan diikat untuk menutup kepala. Biasanya orang dewasa dan orang- orang yang sudah tua selalu menggunakannya, sedangkan anak-anak muda agak jarang kecuali jika sedang bekerja di ladang. Kethu ini pada awalnya digunakan untuk melindungi kepala dari kotoran dan juga untuk penahan dingin. Kebiasaan seperti ini selalu diikuti dari generasi ke generasi sehingga menjadi sebuah tradisi jika tidak memakainya terasa kurang pas dalam berpakaian.

3. Pakaian Khusus untuk Dukun Adat

Seorang Dukun Tengger memiliki pakaian khusus yang selalu dipakai dalam setiap memimpin upacara adat. Pakaian Dukun ini terdiri dari: