• Tidak ada hasil yang ditemukan

di Tempat Asalnya

Dalam dokumen Majalah Desa Medkeu Jan Feb 2015 (Halaman 54-56)

S

aya memulai pencarian makanan enak dari Pasar Atas, Bukittinggi. Di pasar yang sudah ada sejak tahun 1858 ini dijajakan aneka rupa makanan tradisional. Macam-macam keripik dan jajanan pasar dipajang untuk menarik minat pembeli. Di bagian belakang Pasar Atas terdapat sebuah los yang diisi penjual nasi kapau. Saya datang bertepatan dengan jam makan

siang. Hampir semua warung dijejali pengunjung yang sedang bersantap siang.

Kuliner minang memiliki beragam variasi, masakan kapau misalnya. Masakan tradisional ini berasal dari nagari Kapau, salah satu nagari atau desa yang ada di Kabupaten Agam yang terletak tak jauh dari Bukittinggi. Sedikit berbeda dengan nasi padang yang biasa disajikan dengan daun singkong rebus dan sambal cabai hijau, nasi kapau disajikan bersama gulai nangka dan daun kol berkuah santan kental. Bumbu rempah pada masakan kapau lebih kuat dan spicy.

Saya menjatuhkan pilihan pada Warung Nasi Kapau Kapau Hajah Meh. Sang pemilik menggelar masakannya di meja bersusun. Macam-macam lauk ditaruh dalam baskom di meja tersebut. Pembeli tinggal menunjuk lauk yang ingin dicicipi. Hajah Meh yang berdiri di belakang meja akan menuangkan lauk MediaKEUaNgaN

Teks Adhi Kurniawan Ampiang dadiah. Foto Adhi Kurniawan Gulai itiak lado mudo. Susunan masakan warung nasi kapau.

Dengan

mencari tahu

tradisi lokal

tentang suatu

masakan,

kita bisa lebih

mengapresiasi

apa yang

terhidang di

hadapan kita.

tersebut menggunakan sendok sayur bergagang panjang ke piring pembeli.

Pembeli kadang bingung hendak memilih lauk karena begitu banyaknya menu yang tersedia. Sebut saja rendang daging dan rendang ayam, gulai ikan, gulai tunjang atau kikil kaki sapi, dendeng dan teri balado, hingga pangek ikan. Dari daftar tersebut, menurut saya yang paling istimewa adalah gulai tambunsu. Masakan ini terbuat dari adonan telur ayam yang dimasukkan ke dalam usus sapi yang diikat kedua ujungnya. Bahan tersebut lantas direbus bersama kuah gulai yang kaya bumbu hingga matang. Selain bahan dasar dan proses memasaknya yang unik, citarasa gulai tambunsu ini sungguh tiada duanya.

Keesokan harinya petualangan kuliner berlanjut ke sekitar Ngarai Sianok. Tepat di tepi lembah ini ada sebuah rumah makan sederhana yang menyediakan gulai itiak lado mudo. Gulai daging bebek muda yang dilumuri cacahan cabai hijau ini merupakan hasil modiikasi sang pemilik warung, Ibu Nuraini, dari resep tradisional masakan ala Koto Gadang. Gulai dibuat lebih pedas dan tidak menggunakan santan agar citarasa dagingnya lebih segar. Dalam mengolah gulainya, Ibu Nuraini hanya memilih bebek muda berumur enam bulan untuk mendapatkan daging yang empuk. Daging direbus selama satu hari semalam hingga tekstur daging lebih lembut sekaligus menghilangkan bau amisnya serta pedasnya cabai meresap.

Benar saja. Pedasnya gulai itiak lado mudo

ini benar-benar nendang. Keringat mengucur deras saat saya menyantapnya bersama sepiring nasi putih hangat. Untuk mengurangi rasa pedas saya berulang kali menambahkan irisan mentimun segar. Masakan ini memang cocok dinikmati di Bukittinggi yang berhawa sejuk.

Tidak hanya ragam makanan, ranah minang memiliki kekayaan kuliner berupa minuman tradisional yang tidak bisa didapatkan di tempat lain. Selain bahan dasar yang susah diperoleh, pengolahan minuman ini juga memerlukan keterampilan khusus.

Ampiang dadiah adalah minuman yang banyak dijual di pasar-pasar tradisional. Bahan utama minuman ini adalah dadiah, yaitu susu kerbau yang difermentasi dan disimpan dalam tabung bambu. Hasil fermentasi ini kental seperti bubur sumsum dan rasanya asam sedikit gurih. Dadiah disajikan bersama ketan kukus yang disebut ampiang, es serut, dan gula merah cair. Di Pasar Atas saya mencoba mencicipi

ampiang dadiah. Namun rupanya lidah saya kurang cocok dengan minuman ini. Satu dua suap sudah cukup bagi saya.

Dalam perjalanan pulang dari Lembah Harau di Payakumbuh menuju Bukittinggi saya kehujanan. Saya menepikan motor dan berteduh di sebuah kedai dengan tulisan Dangau Kawa di depannya. Kedai ini menyediakan minuman hangat yang disebut teh daun kawa. Minuman ini terbuat dari daun kopi atau dalam bahasa setempat disebut daun kawa.

Saat kolonial Belanda menerapkan tanam paksa di Sumatera Barat, petani tidak diperbolehkan memiliki biji kopi. Semua hasil panen harus disetorkan kepada pemerintahan kolonial. Saat itu harga jual biji kopi di Eropa sedang tinggi. Untuk dapat merasakan nikmatnya aroma kopi meski tidak memiliki biji kopi, kaum pribumi menyiasatinya dengan membuat minuman dari daun kopi.

Daun kopi dipetik dan dijepit menggunakan bilah bambu lalu diasap di atas perapian selama beberapa hari. Setelah benar-benar kering, daun diremas hingga hancur menjadi serbuk. Serbuk tersebut dimasukkan ke dalam ruas bambu dan ditutup dengan ijuk untuk menyaring air panas yang diseduhkan ke dalamnya. Setelah mengendap dan pekat, kawa daun siap disajikan. Kawa daun biasanya dicampur dengan bahan lain untuk menambahkan variasi rasa. Dangau kawa yang saya singgahi menyediakan tiga rasa, yaitu kawa original, kawa telur, dan kawa susu. Saya memesan segelas kawa susu sembari menunggu hujan reda.

Menikmati kuliner tidak melulu tentang makanan enak atau minuman nikmat saja. Dengan mencari tahu tradisi lokal tentang suatu masakan, mempelajari sejarah di balik penciptaan suatu minuman, atau berbincang dengan sang

masterchef tentang proses memasaknya, kita bisa lebih mengapresiasi apa yang

terhidang di hadapan kita. Tidak salah jika saya katakan kuliner Indonesia patut kita syukuri dan banggakan.

Selebriti

Sensasi Imajinasi

Dalam dokumen Majalah Desa Medkeu Jan Feb 2015 (Halaman 54-56)

Dokumen terkait