• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diagram ringkasan: Pengembangan Civic Engagement melalu

Dalam dokumen Pengembangan Keterlibatan Warga Negara C (Halaman 117-151)

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

Bagan 7 Diagram ringkasan: Pengembangan Civic Engagement melalu

101

Keterbatasan akan dana dan harapan ada donatur yang siap membantu tersebutlah, yang mempengaruhi sekaligus mendorong mengapa sang proyek owner melaksanakan penggalangan dana melalui crowdfunding. Sementara itu, kesinambungan organisasi dari rekruitmen juga bisa didapat oleh organisasi yang berkampanye untuk penggalangan dana proyek crowdfundingnya. Orang bisa semakin mengenal organisasi tersebut bergerak pada bidang apa, dengan kata lain crowdfunding juga berfungsi sebagai media pemasaran. Pengakuan dari PAP mengenai hal tersebut:

“Kelebihan crowdfunding pun bisa membuat Isbanban lebih viral di sosial media dan caranya pun mudah untuk mahasiswa. Dan dalam hal keadministrasian terkait pendanaan juga cenderung lebih rapih.”

Dan terkait harapan tersebut, ternyata terbukti kemudian, masih dengan PAP ia berkata:

“Banyak orang yang terjaring dan tertarik ingin menjadi volunteer Isbanban, jumlahnya sekitar 30-50 orang. Mereka mengetahui Isbanban dari kitabisa dan semua social media yang re- share proyek crowdfunding kita di kitabisa. Lalu (untuk tindak lanjutnya) mereka ditempatkan di berbagai chapter yang dimiliki Isbanban.”

Dalam diagram diatas, terlihat Crowdfunding Experience (pengalaman ber-crowdfunding) sebagai core category atau phenomenon dalam penelitian kali ini. Mempelajari kategori dasar yang terdiri dari berbagai aktivitas dan proses untuk menjelaskan secara komprehensif dari fenomena tersebut. Sementara bisa terlihat pula dalam condition atau kondisi spesifik yang mempengaruhi strategi terdapat lingkungan yang suportif, dalam hal ini sekilas telah terjelaskan oleh pembahasan sebelumnya mengenai dukungan dari berbagai pihak. Melihat kembali pembahasan tersebut bahwa sangat pentingnya bentuk dukungan yang diberikan pada project owner tersebut. Dukungan bisa dimulai dengan diberinya kesempatan untuk melakukan kegiatan, memberi akses sampai menjadi donatur. Bentuknya yang dimulai dari moril sampai material dirasa cukup membantu, terutama dalam menopang strategi selanjutnya.

Sementara itu kondisi lainnya ialah bekal pengetahuan, untuk memulai proyek crowdfunding tentu perlu pengetahuan mengenai bagaimana cara dan bagaimana ia bekerja. Pengetahuan tersebut bisa didapat dari kelas, pengakuan dari PAP mengenai hal tersebut

“Pada mata kuliah kewirausahaan sosial, saya diperkenalkan kitabisa oleh dosen. Beliau mengatakan bahwa website ini untuk mendanai proyek-proyek sosial. Dan saya pun baru tahu mengerti istilah crowdfunding saat saya mencoba untuk apply project ke kitabisa.com”

Informasi awal mengenai crowdfunding sangat diperlukan, tanpa hal tersebut tidak mungkin mereka dapat melakukan serangkaian proses penggalangan dana tersebut. Informasi didapatkan di kelas ataupun dengan mencarinya di internet. Tentu contoh proyek dan keberhasilannya bisa kita lihat dari platform internasional seperti Indiegogo dan Kickstarter. Bahkan untuk pengembangan dan awal tujuan platform Kitabisa berdiri ialah berbekal informasi tentang keberhasilannya di tingkat internasional, AFT mengatakan

“Dengan mencoba konsep yang sudah established terlebih dahulu seperti Kickstarter dan Indiegogo, sedangkan di Indonesia baru ada wujudkan, maka dengan angle sosial kita adopsi modelnya, adaptasi ke konsep lokal, disitulah kitabisa.com ini hadir. Mengapa angle sosial yang kami ambil? Karena sosial yang paling gampang dicerna orang. Ada anak muda yang bersemangat dan punya ide, orang bisa membantu. Selama ini mungkin orang mengenal dengan bantuan sedekah, infaq, shodaqoh dan zakat. Ini lebih kepada empowerment, young people need change. Itu angle yang coba saya dorong.”

Dari motivasi tersebut di atas, entah itu platform atau sampai proyeknya, pengalaman menggalang dana online (crowdfunding experiences) bisa berlanjut ke tahap strategi.

Di sisi lain ada Intervening conditions atau kondisi umum kontekstual yang mempengaruhi strategi. Diantaranya kemampuan atau skills dan melek teknologi. Kedua hal ini menjadi kondisi kontekstual dalam proyek crowdfunding pada penelitian kali ini. Hal tersebut terkait

103

dengan wilayah crowdfunding yang ada di dunia online dan offline, kecakapan pemanfaatan teknologi menjadi krusial dalam hal ini. Kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh project owner mempengaruhi tingkat kesuksesan sebuah proyek. Bagaimana ia bisa mengemas konten kampanye, bagaimana ia melakukan kampanye dan bagaimana pula ia menindaklanjuti para calon donatur yang sudah tertarik untuk berdonasi. Mengemas video yang menyentuh, narasi yang persuasif dan sentimentil (Lihat gambar 9) tentu memerlukan skills yang mumpuni.

Mengenai strategi, disimpulkan bahwa kategori-kategori yang disebutkan dalam tabel kolom Strategy, yaitu tindakan spesifik atau interaksi yang dihasilkan dari fenomena inti, yang antara lain isinya: Pemberian pengalaman, Kampanye Online & Offline, Membuka jaringan dan kesempatan, dan Hubungan resiprokal, dapat dilakukan untuk pengembangan sekaligus dukungan untuk mengembangkan muatan- muatan civic engagement dalam proyek crowdfunding. Tentu dalam data yang didapat dari proyek Bantu Baca, empat strategi diatas ditemukan, karena locus nya yang berada pada organisasi sosial nirlaba dan subyeknya yaitu volunteer yang didominasi oleh mahasiswa lintas jurusan. Pemberian pengalaman dilakukan oleh PAP semenjak para volunteer bergabung di Isbanban. Mereka diberi kepercayaan untuk mengajar, walau pada awalnya mereka tidak percaya diri atas kemampuannya dalam mengajar. Selanjutnya yaitu dengan melakukan kampanye Online dan Offline, dalam hal ini semua volunteer Isbanban terlibat dalam proyek Bantu Baca. Membuka jaringan dan kesempatan lebih pada otoritas kampus atau fakultas, seperti diceritakan oleh MRP, bahwa dirinya diberikan akses dan kesempatan untuk melakukan publikasi proyek bantu Baca tersebut. Dan Hubungan resiprokal yang telah dibahas sebelumnya dalam pembahasann relasi civic engagement dan social responsibility diperkuat sesuai dimensi dan keperluan masing-masing untuk mengembangkan dan memaksimalkan keberhasilan.

Dan terakhir, mengenai consequences yaitu hasil yang didapat setelah menjalankan strategi, yang terdiri dari Aktif, Kontributif, Kreatif, Mandiri, Bertanggung jawab, dan Berkomitmen. Sebagian temuan tersebut telah dikaji atau dibahas pada temuan sebelumnya, unsur psikologis lebih banyak terlihat sebagai hasil setelah strategi tersebut dilaksanakan. Walau hal tersebut terjadi secara gradual semenjak keterlibatan pertama mereka di Isbanban.

5.1.2. Hasil Pengembangan

Pengembangan konsep dan norma keterlibatan warga negara bertujuan untuk mencari, menggali dan menemukan potensi-potensi yang dapat menunjang kondisi sosial-kultural dalam kehidupan mahasiswa. Pengembangan konsep dan norma keterlibatan warga negara dalam PKn di masyarakat bertujuan untuk menemukan sebuah sarana untuk mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh, ke dalam kehidupan yang tentu dapat mewarnai kombinasi ilmu pengetahuan, kemampuan, nilai dan motivasi untuk melakukan perubahan sosial. Sesuai dengan pengakuan dari para partisipan, yang hampir semuanya setuju dengan pendapat bahwa dengan melakukan aksi relawan yang didukung pula dengan penggalangan dana online, mereka lebih bsa mengaktualisasikan diri mereka, mengimplementasikan diri mereka dan membuat hidupnya lebih bermakna.

Proses menyemarakkan keterlibatan mahasiswa dengan menggandeng elemen online tentu saja menjadi suatu upaya agar norma ini dapat dirasakan dan dilaksanakan oleh para digital native yang kini sedang berstatus sebagai mahasiswa. Aktivisme ini dilakukan dengan menghubungkan dunia online dengan dunia nyata, teori dengan praktek dan akses finansial dengan kebutuhan akan dana bagi terselenggara dengan baiknya aktivitas sosial mahasiswa. Kampanye online ataupun kampanye offline di dunia nyata menjadi satu kesatuan untuk proyek penggalangan dana ini. Selain itu, isu yang diangkat untuk penggalangan dana juga terkait dengan permasalahan di dunia nyata, masalahnya benar-benar eksis di lapangan. Misalkan seperti isu yang diangkat oleh Isbanban dalam proyek Bantu Baca, mereka mengangkat tema pendidikan dengan fokus pada sarana belajar,

105

seperti buku, alat tulis dan pengajaran dengan permainan di taman baca yang mereka miliki. Mengingat beberapa tempat di wilayah Banten cukup sulit aksesnya, maka hal tersebut berdampak pada sulitnya sarana untuk belajar. Maka, Isbanban dengan konsep taman bacanya mencoba untuk menjawab permasalahn ini. Dan dengan crowdfunding mereka mencoba untuk mengisi kekurangan sarana dan prasana untuk menunjang aksi sosial mereka dan mencoba merubah keadaan.

Keterlibatan warga negara yang sebelumnya hanya terbatas pada wilayah akademik dan kurikuler dengan instrumennya masing-masing. Diantaranya innstrumen tersebut berupa Kuliah Kerja Nyata, orientasi mahasiswa baru, service learning, dsb. Kini, dengan pengembangan yang diteropong dari sisi lain sosiologis masyarakat, yaitu ranah online membawa kita pada dimensi baru aksi sosial. Crowdfunding tidak sekedar menggalang dana secara online, tetapi juga menjadi media diseminasi informasi aksi sosial. Hal tersebut terbukti bahwa rekognisi terhadap aksi dari Isbanban semakin muncul dan menyebar karena dimensi online mempunyai coraknya tersendiri dalam menyebarluaskan informasi, yaitu secara cepat dan sesuai target. Oleh karena itu, saat proyek crowdfunding selesai, selain mereka mendapatkan dana, mereka juga mendapatkan volunteer-volunteer baru yang tertarik dengan program mereka, sehingga penyebaran aksi sosial ini bisa semakin meluas dan semakin besar.

C. PEMBAHASAN PENELITIAN

1. Eksistensi Crowdfunding, Civic Engagement dan Social Responsibility pada kalangan mahasiswa

1.1.Eksistensi Crowdfunding pada kalangan mahasiswa

Sebagai pembahasan pertama, pertanyaan mengenai eksistensi ini terkait erat dengan keberlanjutan kajian atas topik yang dikaji pada penelitian kali ini. Tentu asumsi-asumsi muncul di awal penelitian ini dicetuskan. Tetapi sekedar asumsi saja tidak cukup untuk menunjang tingkat presisi yang tinggi. Maka peneliti merasa bahwa perihal eksistensi ini pun harus dikaji secara serius untuk menemukan bukti empirik yang bisa dipertanggung jawabkan dan

bisa menunjang keseluruhan pertanyaan penelitian maupun rumusan masalah dalam penelitian ini.

Dari temuan penelitian, membuktikan bahwa crowdfunding eksis di kalangan mahasiswa. Hasil ini sesuai dengan ekspektasi sebelumnya, bahwa memang crowdfunding telah dikenal dan ada (eksis) di kalangan mahasiswa. Sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Paykacheva (2014), ia meneliti mengenai apakah customer engagement principal bisa digunakan untuk menambah potensi kesuksesan untuk kampanye crowdfunding. Ia mendapatkan sample populasinya dari mahasiswa game development di Kaajani University of Applied Science, menurutnya “not only as it is convenient to reach, but also as the sample would include hardcore gamers, who rather probably have experience in crowdfunding campaigns participation”. (Paykacheva , 2014, hal. 21). Ia melibatkan mereka yang mempunyai pengalaman berkampanye crowdfunding.

Tidak hanya pada penelitian Paykacheva saja yang mengidentifikasikan eksistensi dan keterlibatan mahasiswa pada proyek crowdfunding, tetapi keterangan mengenai mahasiswa yang terlibat dalam proyek crowdfunding juga telah disinggung pada penelitiannya Rahayu (2013), pada bagian temuan penelitiannya tersebut, mahasiswa disebutkan aktif membantu kampanye crowdfunding, ataupun sebagai donatur.

Jika melihat kembali definisi dari crowdfunding yang merupakan proses meminta masyarakat umum untuk menyediakan atau memberi sumbangan untuk modal awal sebuah usaha baru. (Steinberg & DeMaria, 2012). Penyebutan masyarakat umum membawa pemahaman bahwa mahasiswa pun masuk pada kategori ini, tidak ada eksklusivitas pada proyek- proyek crowdfunding. Hal tersebut diperkuat juga oleh laporan World Bank (2013) yang berjudul Crowdfunding’s Potential for the Developing World, yang mendefinisikan crowdfunding sebagai fenomena yang dimediasi secara sosial dan mengandalkan sebagian besar pada kepercayaan intrinsik orang menempatkan pada sambungan bersama di jaringan sosial, afinitas

107

masyarakat, dan pada peringkat dari orang lain, misalnya situs utama terpercaya.

Dunia volunteer yang dekat dengan istilah dan peran donasi membawa crowdfunding donation-based menjadi lumbung dana alternatif serta potensial untuk kegiatan kerelawanan mereka. Mahasiswa ini biasanya mengisi kegiatannya dengan bervolunteer di luar aktivitas akademik. Belum lagi, tipe crowdfunding donation-based merupakan salah satu bidang terbesar dalam menggalang dana pada proyek crowdfunding, walau begitu ia tetap kategori yang paling lambat pertumbuhannya. (Crowdsourcing.org, 2012)

Sisi organisasi volunteer dibahas lebih jauh oleh Schneider (2007) yang mempelajari hubungan civic engagement dan social capital dalam kegiatan nirlaba berbasis komunitas. Dalam artikel ini mengidentifikasi tiga macam organisasi dimana Civic engagement dan social capital berfungsi berbeda: organisasi citywide civic-engagement, community-based civic institutions, dan social-capital organizations. Ia menyarankan bahwa partisipasi dalam agensi pelayanan sosial melalui volunteering or donations memang tidak selalu memberi petunjuk pada Civic Engagement yang menjadi lebih baik. Semua tiga jenis organisasi menunjukkan bahwa meskipun social capital atau modal sosial dan Civic Engagement dapat terjadi beriringan. Dari studi ini kita bisa melihat relasi yang lebih komprehensif pada volunteer, donasi dan mahasiswa. Satu sama lain berjalan seiringan sesuai dengan kondisi yang diharapkan.

Pada hasil observasi serta kalkulasi dengan data yang berasal dari website kitabisa.com, telah didapatkan data bahwa mahasiswa mempunyai keterlibatan sekitar 37%, dan itu merupakan keterlibatan paling tinggi, sedangkan jenis proyek yang paling banyak dilaksanakan di kitabisa.com ialah yang berjenis sosial dengan capaian 71%. Selaras dengan hasil penelitian lainnya, yang menunjukkan bahwa platform yang menggunakan sistem donasi / reward-based dengan tingkat keberhasilan yang lebih daripada yang lain dengan tingkat keberhasilan 54%. (Willems, 2013)

Jika bisa menyimpulkan bahwa crowdfunding telah eksis pada kalangan mahasiswa, maka diharapakan adanya penelitian yang mengkaji apakah itu relasi crowdfunding dengan mahasiswa, ataupun bagaimana cara mahasiswa berkampanye crowdfunding yang efektif, ataupun melihat crowdfunding sebagai sarana untuk menyupply para enterpreneur muda dari kalangan akademisi. Hal ini sangat penting, jika melihat bahwa Indonesia memerlukan lebih banyak enterpreneur, entah itu social enterpreneur ataupun usaha mandiri lainnya. Karena negeri yang demokratis, diisi oleh komponen warga yang siap untuk bersaing.

1.2.Eksistensi Civic Engagement pada kalangan mahasiswa

Seperti halnya pembahasan mengenai eksistensi crowdfunding, kali ini pembahasan mengenai civic engagement juga bertujuan agar studi ini bisa berlanjut, karena secara empirik, civic engagement eksis di kalangan mahasiswa. Maka jika dilihat dari hasil temuan penelitian di atas menunjukkan, bahwa setiap individu yang tergabung pada organisasi Isbanban, melakukan kontribusinya dengan kemampuan yang berbeda tiap individu, pengetahuan yang dimanfaatkan juga berbeda tiap individu, dari motivasi dan nilai-nilai yang dibawa juga berbeda. Hal itu selaras dengan penelitian dari Swaner (2011), ia meneliti bahwa youth civic engagement yang ada di New York City telah bekerja dan mengalami isomorfisma organisasi yang telah memberikan kontribusi untuk menjadi medan homogenisasi. Karena hal ini, telah terjadi perpindahan tujuan dimana organisasi telah melakukan pekerjaan menjadi kurang fokus pada peningkatan dan dukungan dialog sipil di kalangan pemuda, tentu karena lebih banyak perhatian yang harus dibayarkan untuk melaporkan kepada penyandang dana mengenai hasil yang tidak terkait. Dengan mengungkap strategi advokasi, kunci yang telah dibuat oleh beberapa kelompok pemuda berhasil dalam mempengaruhi kebijakan, penelitian berharap untuk mendorong kembali pada perpindahan tujuan. Adanya kemiripan dan keselarasan dengan temuan penelitian ini, bahwa para volunteer di Isbanban mengisi perannya sesuai dengan

109

kemampuan dan pengetahuan masing-masing, dan untuk homogenisasi pada corak pendidikan di Isbanban, para volunteer yang berbeda jurusan itu memiliki titik temu untuk berbagi di kegiatan tersebut.

Masih terkait dengan keragaman pengalaman, partisipasi dan civic engagement pada sebuah organisasi. Bowmans (2011) juga meneliti tentang partisipasi dalam demokrasi dan civic engagement. Ia mencari mengenai hubungan secara keseluruhan antara adanya keberagaman pengalaman di perguruan tinggi dan civic engagement. Selain itu ia juga mengkaji mengenai signifikansi variasi dalam hubungan lintas studi. Hasil penelitian ini yaitu menunjukkan bahwa keberagaman pengalaman berhubungan dengan peningkatan perilaku kewargaan, niat perilaku dan perilaku, dan besarnya efeknya lebih besar untuk interaksi interpersonal dengan keragaman ras daripada untuk kurikuler dan ko-kurikuler keberagaman pengalaman.

Keragaman pengalaman, kemampuan, dan motivasi tersebut menjadi warna dalam civic engagement. Melihat kembali definisinya, Civic engagement means working to make a difference in the civic life of our communities and developing the combination of knowledge, skills, values and motivation to make that difference. It means promoting the quality of life in a community, through both political and nonpolitical processes. (Ehrlich, 2000) Maka kondisi yang terdapat pada temuan penelitian cukup memberikan bukti empirik bahwa komponen-komponen dalam civic engagement terpenuhi, khususnya komponen “the combination of knowledge, skills..”.

Adapun sektor lainnya dari Civic Engagement, yaitu social change, juga ditemukan dari temuan di lapangan. Isbanban yang bergerak pada sektor pendidikan melakukan gerakan membuat taman baca di beberapa pelosok daerah Banten. Hal tersebut terjadi karena, akses pendidikan sangat sulit untuk beberapa wilayah, maka Isbanban membawa perubahan sekaligus memecahkan masalah yang ada, yaitu dengan mendirikan taman baca di sana. Adapun definisi yang selaras dengan bukti empirik ini seperti “individual and collective actions designed to identify and address issues of public concern” (Carpini & Keeter, 1996). Definisi ini secara tegas menukik pada aktivitas

untuk menangani permasalahan publik. Khususnya dalam hal ini publik Banten itu sendiri.

Lebih luas lagi, Maraley membagi sektor Civic Engagement tersebut menjadi empat bagian (Adler & Goggin, 2005), yaitu: Civic engagement as community service, yaitu civic engagement diartikan sebagai tugas dan kewajiban individu untuk merangkul dengan tanggung jawab kewarganegaraan untuk secara aktif berpartisipasi, secara individu atau bersama dengan orang lain, dalam kegiatan pelayanan sukarela yang memperkuat masyarakat setempat. Bagian ini memberi nafas untuk partisipan penelitian dari Isbanban untuk memperkuat kembali identitasnya sebagai pelayan masyarakat. Civic engagement as collective action, yaitu civic engagement diartikan sebagai kegiatan di mana orang-orang datang bersama- sama dalam peran mereka sebagai warga negara. Disini seorang individu, melalui tindakan kolektif, mempengaruhi masyarakat sipil yang lebih besar. Untuk hal ini, Isbanban mengkoordinir pemuda dari seluruh penjuru Banten untuk bersama-sama berkontribusi untuk wilayah pendidikan di wilayah pesolok. Selanjutnya, Civic engagement as political involvement, yaitu civic engagement diartikan sebagai upaya individu dengan tindakan kolektif untuk memecahkan masalah melalui proses dan jalan politik dimana melibatkan partisipasi aktif dan kepemimpinan dalam kehidupan publik. Untuk hal ini, belum ditemukan gerakan politik yang dilakukan oleh Isbanban pada wilayah lokal ataupun nasional. Mungkin hanya tingkat pemerintahan kecil seperti RT/RW dan desa. Terakhir, Civic engagement as social change yaitu civic engagement diartikan sebagai partisipasi dalam kehidupan masyarakat dalam rangka untuk membantu membentuk masa depan dengan perubahan sosial. Seperti dibahas sebelumnya, bahwa Isbanban mendirikan taman baca di pelosok Banten untuk melakukan perubahan sosial, yaitu dengan membangun gerakan literasi dan memberi pendidikan untuk anak-anak di kawasan yang kesulitan akses untuk mendapatkan sarana pendidikan yang memadai.

111

1.3.Eksistensi Social Responsibility pada kalangan mahasiswa Social Responsibility merupakan komponen yang bersifat psikologis dalam penelitian ini. Sesuai dengan pendapat Wray-Lake (2010), yang menyebutkan social responsibility bisa dioperasionalkan sebagai nilai, kepercayaan dan kebiasaan. Indikasi-indikasinya pun bisa dideteksi melalui wawancara dan aktivitas yang dapat dianalisis dan direfleksikan. Pembahasan ini masih ada pada tahap mencari tahu, memahami dan menganalisis mengenai eksistensi, dalam hal ini eksistensi Social Responsibility pada kalangan mahasiswa yang tergabung pada proyek crowdfunding Bantu Baca oleh Isbanban.

Ada sedikit kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rohani (2013), ia meneliti mengenai LSM yang menjaga lingkungan sebagai bentuk tanggung jawab warga negara dalam community civics bagi pemecahan masalah sosial melalui LSM yang ada di kota Pontianak untuk masyarakat umumnya sebelum diberikan pembinaan masih bersifat rendah, tetapi setelah mendapatkan pembinaan maka timbul rasa tanggung jawab pada diri mereka, sedangkan untuk masyarakat yang ikut dalam LSM peduli lingkungan tanggung jawabnya sudah tergolong tinggi. Mengenai pengidentifikasian social responsibility terdapat kesamaan. Ada pula penelitian yang membahas mengenai pembelajaran PKn dan karakter tanggung jawab (social responsibility) di lingkungan sekolah (Dianti, 2014; Fitriyadi, 2014). Walau ada kesamaan mengenai indikasi-indikasi pra ataupun pasca kegiatan, kajian Dianti dan Fitriyadi tersebut masih terbatas pada kajian civic responsibility, The Eco Foundation (2012) menyebutkan bahwa tanggung jawab warga negara dapat mencakup partisipasi dalam pemerintahan, rumah ibadah, relawan dan keanggotaan asosiasi sukarela. Tindakan tanggung jawab sipil dapat ditampilkan dalam advokasi untuk berbagai penyebab, seperti politik, ekonomi, sipil, lingkungan atau masalah mutu hidup.

Temuan penelitian menyebutkan adanya dua sisi dalam social responsibility yang diidentifikasikan pada mahasiswa, yaitu social responsibility sebagai motivasi, dan social responsibility sebagai efek.

Mengutip kembali Borba (2008) yang menyebutkan karakteristik mereka yang memiliki social responsibility, antara lain: a) Mereka dikendalikan pedoman moral dalam diri mereka yang mengarahkan mereka berbuat baik terhadap orang lain. b) Dalam melakukan apa pun mereka tidak mengharapkan balasan. c) Mereka takut mendapat hukuman jika tidak berbuat baik atau tidak diterima lingkungan. d) Mereka simpatik bersikap baik karena mereka peduli dengan perasaan dan kebutuhan orang lain. Karakter tersebutlah yang menjadi indikator dalam melihat aspek ini untuk keperluan menganalisis dan menyebutkan kondisi nyata tentang eksistensi kondisi psikologis ini

2. Model-Model Keterlibatan pada Proyek Crowdfunding

a. Bentuk Keterlibatan dan Dukungan Pada Proyek Crowdfunding Dalam Latar Civic Engagement

Pembahasan kali ini berangkat dari asumsi bahwa rekognisi dan dukungan dari berbagai pihak dalam civic engagement benar diperlukan adanya. Mempersiapkan iklim yang kondusif dan masyarakat yang supportive menjadi

Dalam dokumen Pengembangan Keterlibatan Warga Negara C (Halaman 117-151)