• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.2. Self-esteem

2.2.4. Dimensi Self-esteem

Berikut adalah pandangan Morris Rosenberg terhadap dimensi self-esteem (dalam Mruk, 2006):

1. Rosenberg memulai dengan menunjukkan bahwa pemahaman self-esteem

sebagai fenomena suatu sikap diciptakan dengan kekuatan sosial dan kebudayaan.

2. Study mengenai self-esteem ini dihadapkan pada masalah-masalah tersendiri. Salah satunya yaitu refleksitas self, yang mengandung arti bahwa evaluasi diri lebih kompleks daripada evaluasi objek-objek eksternal lain karena self terlibat dalam mengevaluasi self itu sendiri.

3. Self-esteem ini merupakan sikap yang menyangkut keberhargaan individu sebagai seseorang yang dilihat sebagai sebuah variabel yang sangat penting dalam tingkah laku karena self-esteem itu sendiri bekerja untuk atau melawan kita dalam situasi tertentu.

2.3 Kerangka Berpikir dan Hipotesis

2.3.1 Kerangka Berpikir

Rosenberg, Schooler, Schoenbach dan Rosenberg (1995, dalam Swenson, 2003) mendeskripsikan bahwa global self-esteem yang merupakan sikap individual, baik positif atau negatif terhadap dirinya sebagai suatu totalitas sangat berhubungan erat dengan psychological well-being (Swenson, 2003).

Selanjutnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum self-esteem berhubungan dengan subjective well-being (tingginya kepuasan hidup, tingginya afek positif, serta rendahnya afek negatif) khususnya pada budaya individualistis. (Diener & Diener, 1995 dalam Diener & Schimmack, 2003).

Dari penjelasan Rosenberg dan hasil penelitian dari Diener tersebut menunjukkan bahwa self-esteem berhubungan dengan well-being atau kesejahteraan psikologis. Orang yang memiliki self-esteem yang tinggi akan lebih

memiliki rasa kepuasaan hidup yang tinggi dibandingkan dengan orang yang memiliki self-esteem yang rendah.

Tingginya self-esteem merujuk pada tingginya estimasi individu atas nilai, kemampuan, dan kepercayaan yang dimilikinya. Self-esteem yang rendah melibatkan penilaian yang buruk akan pengalaman masa lalu dan pengharapan yang rendah bagi pencapaian masa depan.

Orang dengan harga diri atau self-esteem tinggi memiliki sifat positif terhadap dirinya. Mereka merasa puas dan menghargai diri sendiri, yakin bahwa mereka mempunyai sejumlah kualitas baik, dan hal-hal yang patut dibanggakan.

Selain self-esteem, faktor-faktor demografis seperti usia, jenis kelamin, status pernikahan, pendapatan, pekerjaan dan tingkat pendidikan juga memegang peranan penting dalam hal kesejahteraan psikologis atau subjective well-being. Contohnya, sebagian hasil penelitian menyebutkan bahwa orang yang menikah, baik pria maupun wanita, secara konsisten lebih bahagia dibanding orang-orang yang tidak menikah (Lee, Seccombe, & Shehan (1991, dalam Eddington & Shuman, 2005), dan Diener, dkk (1998, dalam Eddington & Shuman, 2005) menemukan bahwa pernikahan menawarkan keuntungan yang lebih besar bagi pria atau wanita dalam hal emosi positif, tapi tidak dalam kepuasan hidup. Lebih jauh lagi, terdapat bukti-bukti bahwa orang-orang yang bahagia memiliki kecendrungan untuk menikah, keuntungan pernikahan itu sendiri bisa meningkatkan subjective well-being (Mastekaasa, 1995 dalam Eddington & Shuman, 2005).

Subjective well-being mengacu pada bagaimana orang menilai kehidupan mereka, dan termasuk beberapa variabel seperti kepuasan hidup dan kepuasan perkawinan, kurangnya depresi, kegelisahan, suasana hati dan emosi positif.

Seseorang dikatakan telah memiliki subjective well-being tinggi jika ia mengalami kepuasan hidup dan sering gembira, dan sedikit pengalaman yang tidak menyenangkan seperti jarang emosi kesedihan dan kemarahan. Sebaliknya, seseorang dikatakan telah memiliki subjective well-being rendah jika ia tidak puas dengan kehidupan, sedikit pengalaman sukacita dan kasih sayang, dan sering merasa emosi negatif seperti kemarahan atau kecemasan.

Bagan 2.2 Kerangka Berpikir Usia Jenis Kelamin Status Pernikahan Pendapatan/ Gaji Pekerjaan/posisi/jabatan Tingkat Pendidikan Self-esteem Subjective well-being

2.3.2 Hipotesis Penelitian

1. Ada hubungan yang signifikan antara self-esteem dengan subjective well-being

pada karyawan.

2. Ada pengaruh yang signifikan antara usia terhadap subjective well-being pada karyawan.

3. Ada pengaruh yang signifikan antara jenis kelamin terhadap subjective well-being pada karyawan.

4. Ada pengaruh yang signifikan antara status pernikahan terhadap subjective well-being pada karyawan.

5. Ada pengaruh yang signifikan antara pendapatan atau gaji terhadap subjective well-being pada karyawan.

6. Ada pengaruh yang signifikan antara pekerjaan (terkait dengan jabatan, golongan dan masa kerja) terhadap subjective well-being pada karyawan. 7. Ada pengaruh yang signifikan antara tingkat pendidikan terhadap subjective

well-being pada karyawan.

8. Ada pengaruh yang signifikan antara self-esteem, usia, pendapatan dan masa kerja secara bersama-sama terhadap subjective well-being pada karyawan?

2.3.3 Hipotesis Nihil

1. Tidak ada hubungan yang signifikan antara self-esteem dengan subjective well-being pada karyawan.

2. Tidak ada pengaruh yang signifikan antara usia terhadap subjective well-being

3. Tidak ada pengaruh yang signifikan antara jenis kelamin terhadap subjective well-being pada karyawan.

4. Tidak ada pengaruh yang signifikan antara status pernikahan terhadap

subjective well-being pada karyawan.

5. Tidak ada pengaruh yang signifikan antara pendapatan atau gaji terhadap

subjective well-being pada karyawan.

6. Tidak ada pengaruh yang signifikan antara pekerjaan (terkait dengan jabatan, golongan dan masa kerja) terhadap subjective well-being pada karyawan. 7. Tidak ada pengaruh yang signifikan antara tingkat pendidikan terhadap

subjective well-being pada karyawan.

8. Tidak ada pengaruh yang signifikan antara self-esteem, usia, pendapatan dan masa kerja secara bersama-sama terhadap subjective well-being pada karyawan.

41

Bab ini menjelaskan tentang metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian. Terdiri dari beberapa subbab, berikut ini adalah penjelasan dari masing-masing subbab.

3.1Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengetahui hubungan antara self-esteem

dengan subjective well-being karyawan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Untuk membahas permasalahan ini penulis menggunakan pendekatan kuantitatif sebab pada data akhir akan dianalisis dengan menggunakan perhitungan statistik.

Sedangkan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode korelasional. Pengukuran dengan korelasi ini digunakan untuk menentukan besarnya arah hubungan antara satu variabel dengan variabel lain (Sevilla, 1993). Hal ini sesuai dengan tujuan dari penelitian ini, yaitu bertujuan untuk melihat hubungan antara Independent Variabel (IV) dengan Dependent Variabel (DV). Yaitu hubungan antara self-esteem dengan subjective well-being

3.2 Populasi dan Sampel

Dokumen terkait