• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara self-esteem dengan subjective well-being karyawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara self-esteem dengan subjective well-being karyawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta"

Copied!
156
0
0

Teks penuh

(1)

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)

Disusun oleh :

SUSI HANDAYANI BR. LUBIS NIM: 106070002186

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)

v

“H ai jiwa yang tenang. K embalilah kepada Tuhan-M u dengan

hati yang puas lagi diridho-N ya. M aka masuklah ke dalam jemaah

hamba-hamba-K u, dan masuklah ke dalam surga-K u”.

(Q S. A l-Fajr : 27-30)

“Engkau yang tulus hidup dan bekerja sepenuhnya dalam kebaikan,

akan dibangunkan ruangan yang indah di hatimu, yang didalamnya

tergemakan firman Tuhan, agar engkau menyampaikan berita

gembira dari-N ya, dan meneruskan tuntunan dari U tusan-N ya,

untuk kebahagiaan sesamamu dan kelestarian alam, agar engkau

terpelihara dalam indahnya kebahagiaan dan kesejahteraan”.

(5)

vi

Sebuah Dedikasi

K arya ini kupersembahkan unt uk Ayah & M amak t ercint a,

Sungguh pencapaian ananda ini t idak akan pernah sebanding

dengan segala pengorbanan yang telah Ayah & M amak berikan.

Terimakasih at as cint a dan kasih sayangnya sert a doa

yang selalu terucap unt uk ananda.

sert a Adik-adikku tersayang, yang selalu menyayangiku dengan

sepenuh hat i, dan selalu memberikan dukungan

(6)

vii B) Mei 2011

C) Susi Handayani Br. Lubis

D) Hubungan antara Self-esteem dengan Subjective Well-being Karyawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

E) XVII + 94 Halaman + 19 Lampiran

F) Penelitian ini berusaha melihat hubungan antara self-esteem dengan subjective well-being pada Karyawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Self-esteem

merupakan sikap individual, baik positif atau negatif terhadap dirinya sebagai suatu totalitas. Sementara subjective well-being merupakan evaluasi kognitif dan afektif seseorang tentang hidupnya.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Peneliti menggunakan alat ukur satisfaction with life scale oleh Diener dengan angka reliabilitas 0,87 dan self esteem scale oleh Morris Rosenberg dengan angka reliabilitas 0,82. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 134 orang yang merupakan karyawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Analisis pada penelitian ini menggunakan uji korelasi pada taraf signifikansi 0,05. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa self-esteem memiliki koefisien korelasi positif yang signifikan, artinya semakin tinggi self-esteem yang dimiliki maka akan semakin tinggi subjective well-being karyawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kemudian hasil analisis selanjutnya menggunakan uji regresi yang menunjukkan bahwa usia, tingkat pendidikan dan masa kerja memiliki pengaruh yang signifikan terhadap subjective well-being. Adapun jenis kelamin, status pernikahan, pekerjaan (jabatan dan golongan) serta pendapatan tidakmemiliki pengaruh yang signifikan terhadap subjective well-being.

Dari hasil penelitian ini dapat disarankan bahwa dalam penelitian selanjutnya hal yang perlu diperhatikan adalah pengadministrasian alat ukur, serta sampel penelitian yang lebih besar, agar mendapatkan gambaran responden yang sesungguhnya dan hasil penelitian yang lebih baik.

(7)

viii B) May 2011

C) Susi Handayani Br. Lubis

D) The correlation between employee’s Subjective Well-being and Self-esteem of Syarif Hidayatullah Islamic State University

E) XVII + 94 pages + 19 attachment

F) The purpose of this research is to seek the correlation between employee’s Subjective Well-being and Self-esteem of Syarif Hidayatullah Islamic State University. Subjective well-being is defined as a person’s cognitive and affective evaluations of his or her life. While Self-esteem is defined as the individual’s positive or negative attitude toward the self as a totally.

The approach used in this research was quantitative method. This research used satisfaction with life scale by Diener with reliability 0,87 and self esteem scale by Morris Rosenberg with reliability 0,82. The participants of this research were 134 employees of Syarif Hidayatullah Jakarta Islamic State University.

The analysis on this research was correlation test on significance rate 0.05. The research shows that self-esteem had significantly positive coefficient correlation. It means that subjective well-being will get high score if self-esteem increase. Furthermore, by using regression test the research shows that age, educational level, and work period have significant effect towards subjective well-being. While sex, marriage status, job position, and income have no significant effect towards subjective well-being.

The suggestion for next researcher is the administration measurement and larger sample in order to get more real respondent and better result of research.

(8)

ix

Syukur Alhamdullilah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena berkat kekuasaan dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam terlimpahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW serta pengikutnya sampai akhir zaman.

Terselesaikannya skripsi ini sebenarnya juga tidak luput dari bantuan pihak luar, oleh karena itu, izinkanlah penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Jahja Umar, Ph.D, Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ibu Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si, Pembantu Dekan I, beserta seluruh jajaran dekanat lainnya, yang selalu berusaha menciptakan lulusan-lulusan Fakultas Psikologi yang berprestasi dan berkualitas.

2. Bapak Abdul Rahman Shaleh, M.Si. Dosen Pembimbing satu, yang selalu sabar memberikan solusi-solusi cerdas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penelitian, berdiskusi, memberi masukan yang sangat berarti, dan memberi semangat kepada penulis. Terimakasih atas keikhlasannya untuk meluangkan waktu di sela-sela kesibukan dengan jadwal bapak yang begitu padat walaupun penulis tahu bahwa bapak sangat lelah namun bapak tetap mau menerima penulis dengan senyum yang begitu ramah untuk melakukan bimbingan kendatipun itu sangat menyita jam istirahat bapak.

3. Ibu Liany Luzvinda, M.Si. Dosen pembimbing dua, yang telah memberikan masukan yang bermanfaat dan sangat berarti yang berkaitan dengan penelitian sehingga sangat membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Terimakasih telah meluangkan waktu di sela-sela kesibukan ibu dalam mengurus si kecil yang masih membutuhkan banyak perhatian dari ibu.

(9)

x

bermanfaat untuk penulis maupun untuk orang lain dalam kehidupan bermasyarakat.

6. Staff bagian Akademik, Umum, dan Keuangan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak berjasa baik itu dari segi waktu maupun tenaga kepada Mahasiswa Psikologi UIN Jakarta dan khususnya kepada Penulis.

7. Teristimewa, Mamak yang berhati lembut dan berjiwa tegar yang rela mengeluarkan keringat demi pendidikan dan kebahagiaan anak-anaknya walaupun dengan kondisi badan yang mudah sakit serta Ayah yang berwatak tegas serta keras yang rela bekerja keras demi menghidupi keluarganya dan yang selalu mengajarkan betapa pentingnya memiliki jiwa yang tegar, mandiri dan berhati besar. Skripsi ini adalah sebuah dedikasi sederhana atas pengabdian ananda kepada Ayah dan Mamak tercinta.

8. Adikku Asmin yang selalu mengalah yang rela menunda masuk kuliah demi kelulusan kakaknya terlebih dahulu karena faktor menurunnya ekonomi keluarga serta adikku Julhan yang selalu ingin menjadi orang yang melebihi kemampuan kakaknya.

9. Uda dan Nanguda yang juga sangat membantu penulis di akhir-akhir masa penulisan skripsi baik itu membantu dalam hal fisik maupun psikis, nenek,

Tobang, Semua Tulang dan Nantulang, etek, sepupu-sepupu serta keluarga yang telah mendukung dan mendoakan penulis.

10.Teman-teman rekan kerja di Metro TV dan di LP3ES yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang selalu memberikan arti sebuah kebersamaan dalam

team kerja, memberikan kebahagiaan serta dukungannya kepada penulis. 11.Teman-temandi Federasi Olahraga Mahasiswa (FORSA) serta Senpai-senpai

(10)

xi

12.Sahabat-sahabatku tersayang (Hasnah, Sarah, Kori, Bima, Ali, Bambang, Ayu, Nur, Sunu, Ade, Kak Ipul, Uda Anif) serta teman-teman yang lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terimakasih untuk persahabatan yang indah ini. Semoga Allah selalu menjaga persaudaraan dan kasih sayang kita dan mengumpulkan kita dalam keadaan yang baik. Kalian keluarga kedua yang Allah kirimkan untuk selalu menemaniku baik itu dalam “tawa” maupun “tangis” disaat orang tua serta saudara-saudaraku jauh di seberang sana. Persahabatan yang indah ini tidak akan pernah terlupakan sampai kapanpun. 13.Seluruh jajaran staff dan karyawan Biro AUK bagian Ortala dan Kepegawaian

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah banyak membantu penulis baik disaat KKL maupun dalam pengumpulan data penelitian serta telah menganggap penulis sebagai bagian dari keluarga Ortala dan Kepegawaian. 14.Teman-teman angkatan 2006 khususnya kelas A yang selalu smart dalam

bepikir dan berdiskusi, serta angkatan dibawah penulis, terimakasih atas kebersamaan dan pembelajaran yang begitu indah selama ini. Semua kenangan indah yang telah kita lalui bersama tidak akan pernah terlupakan. 15.Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, karena dukungan moral

serta pengertian mereka penulis bisa menyelesaikan laporan ini.

Hanya asa dan doa yang penulis panjatkan kepada semua pihak yang membantu penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangatlah diharapkan untuk menyempurnakan skripsi ini.

Akhir kata, besar harapan penulis semoga skripsi ini memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi siapa saja yang membaca.

Jakarta, Mei 2011

(11)

xii

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...12

1.5. Sistematika Penulisan...13

BAB II KAJIAN PUSTAKA ...14

2.1. Subjective Well-being ...14

2.1.1. Definisi ...14

2.1.2. Komponen-komponen Subjective Well-being ...15

2.1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Subjective Well-being ...21

2.2. Self-esteem ...31

2.2.1. Definisi ...31

2.2.2. Karakteristik Self-esteem ...32

2.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self-esteem ...35

(12)

xiii

BAB IV ANALISA HASIL PENELITIAN ...53

4.1. Gambaran Umum Responden...53

4.2. Deskripsi Hasil Penelitian ...62

4.3. Kategorisasi Berdasarkan Penyebaran Skor Responden ...62

4.3.1. Kategorisasi Skor Subjective Well-being ...62

4.3.2. Kategorisasi Skor Self-Esteem ...63

(13)

xiv

Tabel 4.1 Gambaran Umum Responden Berdasarkan Usia ...53

Tabel 4.2 Gambaran Umum Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir ...54

Tabel 4.3 Gambaran Umum Responden Berdasarkan Status Pernikahan ...55

Tabel 4.4 Gambaran Umum Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ...55

Tabel 4.5 Gambaran Umum Responden Berdasarkan Golongan ...56

Tabel 4.6 Gambaran Umum Responden Berdasarkan Jabatan ...57

Tabel 4.7 Gambaran Umum Responden Berdasarkan Unit Kerja ...58

Tabel 4.8 Gambaran Umum Responden Berdasarkan Masa Kerja ...59

Tabel 4.9 Gambaran Umum Responden Berdasarkan Gaji/Pendapatan Perbulan 60 Tabel 4.10 Gambaran Umum Responden Berdasarkan Penghasilan Tambahan ...61

Tabel 4.11 Deskripsi Umum Skor Penghitungan Statistik Skala Self-esteeem dan Subjective Well-being ...62

Tabel 4.12 Penyebaran Skor skala Subjective Well-being ...63

Tabel 4.13 Penyebaran skor skala Self-esteem ...64

Tabel 4.14 Korelasi Subjective Well-being dengan Self-esteem ...65

(14)

xv

Tabel 4.32 Model Summary ...76

Tabel 4.33 Anova(b)...77

Tabel 4.34 Model Summary ...77

Tabel 4.35 Anova ...78

Tabel 4.36 Model Summary ...78

(15)

xvi Lampiran 1 Surat Izin Penelitian Lampiran 2 Alat Ukur Penelitian

Lampiran 3 Output Uji Validitas dan Reliabilitas Try Out Subjective Well-being

Lampiran 4 Output Validitas dan Reliabilitas Try Out Self-esteem

Lampiran 5 Output Uji Validitas dan Reliabilitas (Field Study) Subjective Well-being

Lampiran 6 Output Uji Validitas dan Reliabilitas (Field Study) Self-esteem

Lampiran 7 Output Regresi Self-esteem dengan Subjective Well-being

Lampiran 8 Regresi Umum Skor Perhitungan Statistik Skala Self-esteem dan

Subjective Well-being

Lampiran 9 Output Regresi Usia dengan Subjective Well-being

Lampiran 10 Output Regresi Jenis Kelamin dengan Subjective Well-being

Lampiran 11 Output Regresi Status Pernikahan dengan Subjective Well-being

Lampiran 12 Output Regresi Pendapatan dengan Subjective Well-being

Lampiran 13 Output Regresi Pendapatan Tambahan dengan Subjective Well-being

Lampiran 14 Output Regresi Pekerjaan (Jabatan, Golongan, dan Masa Kerja) dengan Subjective Well-being

Lampiran 15 Output Regresi Tingkat Pendidikan dengan Subjective Well-being

Lampiran 16 Output Regresi Pengaruh Variabel Self-esteem, Usia, Pendapatan, dan Masa Kerja terhadap Subjective Well-being

(16)

xvii

(17)

1

Bab ini akan membahas mengenai latar belakang masalah penelitian, pembatasan masalah, rumusan permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penelitian.

1.1 Latar Belakang Masalah

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang merupakan salah satu universitas Islam terkemuka di Indonesia memiliki komitmen menciptakan sumber daya insani yang cerdas, kreatif, dan inovatif. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta berkeinginan memainkan peranan optimal dalam kegiatan learning, discoveries, and angagement hasil-hasil riset kepada masyarakat. Komitmen tersebut merupakan bentuk tanggung jawab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam membangun sumber insani bangsa yang mayoritas adalah Muslim. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ingin menjadi sumber perumusan nilai keislaman yang sejalan dengan kemodernan dan keindonesiaan. Oleh karena itu, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menawarkan studi-studi keislaman, studi-studi sosial, politik, dan ekonomi serta sains, dan teknologi modern—termasuk kedokteran—dalam perspektif integrasi ilmu. Motto ini pertama kali disampaikan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, dalam pidato Wisuda Sarjana ke-67 tahun akademik 2006-2007 (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008).

(18)

baik untuk para peserta didik agar terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas serta tidak menutup kemungkinan bahwa lulusan UIN Syarif Hidayatullah juga mampu menciptakan lapangan kerja sendiri sehingga mampu mengurangi jumlah pengangguran.

Perkembangan zaman yang cepat jika tidak diiringi dengan peningkatan jumlah lapangan kerja dapat menyebabkan banyak pengangguran. Minimnya lapangan kerja ini membuat para pencari kerja harus berkompetensi. Disinilah peran dari kemampuan pencari kerja tersebut. Pencari kerja yang memiliki skill

baik dapat dengan mudah memperoleh pekerjaan sedangkan mereka yang tidak memiliki skill yang tidak baik harus bersusah payah untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai. Namun hal ini bertentangan dengan berbagai fakta yang terjadi dimana banyak pekerja yang telah memiliki pekerjaan baik resign dari perusahaan tempat ia bekerja.

(19)

penghasilannya bekerja di Perusahaan Swasta, namun Bapak P memilih resign

dari perusahaan swasta tersebut karena faktor usia yang semakin bertambah. Bapak P merasa bangga dan nyaman bekerja di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta karena berbasis islam, lingkungannya yang enak, dan satu iman artinya beragama muslim semua. Karena mempunyai basic islam maka frekuensi untuk berbuat curang lebih minim, berbeda halnya dengan instansi umum atau instansi pemerintahan lainnya, mereka saling berlomba untuk mendapatkan harta yang banyak dan tidak jarang dengan jalan yang curang, itu yang membuat Bapak P lebih merasa nyaman dan puas bekerja di Instansi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (hasil wawancara, 06 Mei 2011).

Contoh lain Seperti yang dipaparkan oleh bapak S yang telah bekerja di DEPAG (Departemen Agama) dari tahun 1980 hingga sekarang, atau dengan kata lain sudah bekerja selama 30 tahun. Bapak S menuturkan bahagia bekerja di DEPAG karena selama ini beliau bisa mendapatkan penghasilan yang cukup sehingga dapat membiayai keluarga, serta dapat membantu orang yang membutuhkan jasa, terlebih lagi sangat merasa senang jika mendapat dinas keluar kota karena dapat mengenal kota lain (hasil wawancara, 14 Agustus 2010). Apakah penyebab dari fenomena-fenomena tersebut?

(20)

Istilah psychological well-being didefinisikan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bradburn (1969, dalam Ryff, 1989). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bradburn untuk meneliti perubahan sosial pada level makro (perubahan yang terjadi akibat tekanan politik, urbanisasi, pekerjaan dan pendidikan), serta rujukan Bradburn pada buku terkenal karangan Aristotle, Nicomachean Ethics, ia menerjemahkan psychological well-being menjadi

happiness (kebahagiaan). Dalam Nicomachean Ethics dijelaskan bahwa tujuan tertinggi yang ingin diraih individu adalah kebahagiaan. Kebahagiaan berdasarkan pendapat Bradburn berarti adanya keseimbangan antara afek positif dan afek negatif (Ima, 2007).

Well-being itu terbagi dalam dua yaitu subjektif well-being dan objektif well-being. Subjektive well-being adalah evaluasi-evaluasi kognitif dan afektif seseorang dalam hidupnya. Evaluasi-evaluasi tersebut terdiri dari reaksi-reaksi emosi yang dijadikan sebagai penilaian kognitif dalam kepuasan dan pemenuhan. Maka subjektif well-being adalah sebuah konsep luas yang terdiri dari pengalaman emosi yang menyenangkan, level negatif mood yang rendah, dan kepuasan hidup yang tinggi. (Ed Diener, Richard E. Lucas & Shigero Oishi, 2005).

Istilah subjective well-being didefinisikan sebagai evaluasi kognitif dan afektif seseorang tentang hidupnya yang meliputi penilaian emosional terhadap berbagai kejadian yang dialami yang sejalan dengan penilaian kognitif terhadap kepuasan dan pemenuhan hidup. Seseorang dikatakan memiliki subjective

(21)

seringkali merasakan emosi positif dan jarang merasakan emosi negatif. (Diener dan Larsen, 1984; Edington, 2005 dalam Arbiyah, Nurwiyanti & Oriza, 2008).

Sedangkan teori objective well-being biasanya didukung oleh daftar persyaratan yang harus dipenuhi orang untuk menjalani kehidupan yang baik, suatu kebutuhan universal dan tidak berbeda di antara masyarakat. Teori

subjective well-being mendasari gagasan kesejahteraan psikologis atau well-being

pada fakta bahwa “orang-orang diperhitungkan untuk menilai yang terbaik dengan kualitas secara keseluruhan dalam hidup mereka, dan strategi bertanya dengan berterus terang tentang well-being mereka (Frey and Sutzter, 2002:405 dalam Royo & Jackeline, 2005).

Objective well-being berhubungan dengan kepuasan akan kebutuhan dasar.

Seperti untuk karakteristik rumah, hal yang perlu dipertimbangkan berkaitan dengan air minum yang bagus, listrik dan kebersihan. Sedangkan dalam hal hubungannya dengan pendidikan seperti frekuensi hadir sekolah, tipe sekolah, lokasi sekolah, model transport yang digunakan dan berapa lama jarak yang ditempuh (Royo & Jackeline, 2005).

(22)

Subjektive well-being terkait dengan rasa puas seseorang akan kondisi hidupnya, seringkali seseorang merasakan emosi positif dan jarang merasakan emosi negatif. Banyak orang yang merasa puas dengan penghasilan yang didapat sehingga dapat merasakan kesenangan dan ketenangan dalam hidupnya, namun ada juga yang merasa tidak pernah puas dengan penghasilan yang didapat, sehingga tidak dapat merasakan kesenangan dan ketenangan dalam hidupnya.

Selain fenomena-fenomena di atas terdapat juga berbagai penelitian tentang subjective well-being misalnya oleh Ed Diener dan Carol Diener pada tahun 1996 dalam laporan penelitiannya yang meneliti tentang sebagian besar orang bahagia. Dalam penelitian ini peneliti bertanya kepada orang yang mempunyai kesempatan untuk melaporkan secara lisan seberapa bahagia atau puas mereka. Pertanyaan yang diberikan bertujuan untuk melihat fakta siapa yang lebih atau kurang bahagia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar orang merasa puas dengan pernikahannya, pekerjaannya, dan waktu luang yang dimiliki.

(23)

Demikian pula, temuan Campbell, Converse, dan Rogers (1976) menyimpulkan bahwa efek dari variabel-variabel demografis di subjective well-being

berpengaruh kecil pada kesejahteraan subjektif. Peneliti lain menunjukkan bahwa kesejahteraan terutama ditentukan oleh sifat daripada situasi kehidupan eksternal (Costa & McCrae, 1980, 1984; Costa, McCrae, & Zonderman, 1987; Diener, Sandvik, Pavot, & Fujita, 1992 dalam Eunkook Suh, Ed Diener, & Frank Fujita, 1996).

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Nurul Arbiyah, Fivi Nurwianti Imelda, dan Ika Dian Oriza, pada tahun 2008, dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan istrumen data berbentuk kuesioner dengan jumlah partisipan 231 orang yang memiliki karakteristik penduduk miskin (pendapatan perkapita perbulan kurang atau sama dengan Rp. 187.942). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara bersyukur dengan subjective well-being. Penelitian ini dapat melihat hubungan bersyukur dengan subjective well-being, sehingga pembaca lebih bisa melihat kelebihan diri yang dimilikinya agar bisa bersyukur (Arbiyah, Nurwiyanti & Oriza, 2008).

Berdasarkan fenomena dan beberapa penelitian mengenai subjective well-being yang telah dilakukan oleh sebagian peneliti baik di luar maupun di dalam negeri inilah yang menyebabkan peneliti merasa terdorong untuk melakukan penelitian yang berhubungan dengan subjective well-being.

(24)

konstruk lain seperti self-esteem (Diener, Richard E. Lucas, & Shigehiro Oishi dalam C. R. Snyder dan Shane J. Lopez, 2005).

Wilson tahun 1967 memperlihatkan bahwa faktor psikologis dan demografi berhubungan dengan subjective well-being. Faktor psikologis terdiri dari self-esteem, kebahagiaan (happiness), mood, kepribadian, dan IQ. Sedangkan faktor demografi terdiri dari umur, pendidikan, jenis kelamin, agama, status, gaji, kesehatan, dan kebudayaan (culture) (C. R Synder dan Shane J. Lopez, 2005).

Self-esteem sendiri menurut Coopersmith (dalam Ling dan Dariyo, 2000),

menyatakan bahwa self-esteem atau harga diri adalah penilaian yang dibuat seseorang, dan biasanya tetap, tentang dirinya, hal itu menyatakan sikap menyetujui atau tidak menyetujui, dan menunjukkan sejauhmana orang menganggap dirinya mampu, berarti, sukses dan berharga. (Ratna Maharani Hapsari, tanpa tahun).

Self-esteem sangat memegang peranan penting dalam kehidupan

seseorang. Bahkan menurut Diener masyarakat dalam negara-negara yang individualistik mendasari hidup mereka dengan penilaian kepuasan hidup pada tingkat perasaan tingginya self-esteem. (Diener dan Diener, 1995 dalam Synder dan Lopez, 2005).

Oleh karena itu individu sangat diharuskan untuk mempunyai self-esteem

(25)

pada diri individu dan rendahnya afek negatif serta kepuasan hidup dalam domain kehidupan.

Kaitan self-esteem dengan subjective well-being, menurut Campbell (dalam Wangmuba, 2009) menemukan bahwa self-esteem merupakan prediktor yang paling penting untuk kesejahteraan subjektif. Self-esteem yang tinggi membuat seseorang memiliki beberapa kelebihan termasuk pemahaman mengenai arti dan nilai hidup. Hal itu merupakan pedoman yang berharga dalam hubungan interpersonal dan merupakan hasil alamiah dari pertumbuhan seseorang yang sehat (Ryan & Deci, 2001). Studi telah menunjukkan bahwa orang yang dilaporkan memiliki self-esteem yang tinggi biasanya menggunakan lebih banyak proses peningkatan diri (Sedikides dalam Wangmuba, 2009; Widyatys, 2010).

Rosenberg, Schooler, Schoenbach dan Rosenberg (1995) menguraikan bahwa global self-esteem menjadikan sikap positif atau negatif pada individu ke arah kesempurnaan diri, yang mana berhubungan erat dengan kesejahteraan psikologis atau psychological well-being secara keseluruhan (Swenson, 2003).

Di kehidupan sehari-hari khususnya pada karyawan tentu kita banyak menemukan seseorang yang selalu ingin mengembangkan dirinya melalui pengalaman-pengalaman baru dalam hal peningkatan kualitas diri, sehingga karyawan bisa lebih produktif dan efektif dalam pekerjaannya. Hal ini tidak akan dapat terwujud jika individu atau karyawan tersebut mempunyai tingkat self-esteem yang rendah.

(26)

lembaga pendidikan tinggi terkemuka dalam mengintegrasikan aspek keilmuan, keislaman dan keindonesiaan. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta telah menjadi jendela keunggulan akademis Islam Indonesia (window of academic exellence of Islam in Indonesia) dan barometer perkembangan pembelajaran, penelitian, dan kerja-kerja sosial yang diselenggarakan kaum Muslim Indonesia dalam berbagai bidang ilmu. Dalam kerangka memperkuat peranannya tersebut UIN Syarif Hidayatullah Jakarta berkomitmen untuk mengembangkan diri sebagai Universitas Riset (Research University) dan Universitas Kelas Dunia (World Class University) (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008).

Dengan demikian, untuk mencapai komitmen tersebut tentunya perlu produktivitas dan kreativitas karyawan yang tinggi dan efektif. Karena untuk menjadi Universitas Riset dan Universitas kelas Dunia yang mengintegrasikan aspek keilmuan, keislaman dan keindonesiaan bukanlah hal yang mudah, semua membutuhkan strategi dan sistem kerja yang tepat. Oleh karena itu, karyawan perlu memiliki rasa self-esteem yang tinggi agar tujuan dan komitmen yang telah dibuat oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dapat tercapai.

Hal ini dijelaskan oleh Tjahjono tahun 2005, self-esteem yang rendah menyebabkan tujuan perusahaan menjadi terhambat karena karyawannya menjadi kurang efektif dan produktif, self-esteem yang tinggi memang tidak mudah untuk dimiliki karena self-esteem tidak dibawa sejak lahir tetapi memerlukan proses (Ratna Maharani Hapsari, tanpa tahun).

Adapun karena fenomena dan hasil penelitian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: “Hubungan antara Self-esteem dengan Subjective Well-being Karyawan UIN Syarif Hidayatullah

(27)

1.2 Pembatasan Masalah

Penelitian ini terkait dengan hubungan antara self-esteem dengan subjective well-being pada karyawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang definisinya adalah sebagai berikut:

1. Subjective well-being

Subjective well-being didefinisikan sebagai evaluasi kognitif dan afektif seseorang tentang hidupnya. Evaluasi ini meliputi penilaian emosional terhadap berbagai kejadian yang dialami yang sejalan dengan penilaian kognitif terhadap kepuasan dan pemenuhan hidup. (Diener, Lucas, Oishi dalam C. R Synder dan Shane J. Lopez, 2005). Skor subjective well-being

didapat dari skala satisfaction with life scale oleh Diener.

2. Self-esteem

Menurut Morris Rosenberg (dalam Flynn, 2001) definisi self-esteem

adalah sikap individual, baik positif atau negatif terhadap dirinya sebagai suatu totalitas. Skor self-esteem didapat dari skala self esteem scale oleh Morris Rossenberg.

1.3 Rumusan Permasalahan

Dalam penelitian ini, permasalahan tentang hubungan antara self-esteem dengan

subjective well-being pada karyawan, dapat disampaikan dalam bentuk

pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

(28)

2. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara usia, jenis kelamin, status pernikahan, pendapatan atau gaji, pekerjaan (terkait dengan jabatan, golongan dan masa kerja), dan tingkat pendidikan dengan subjective well-being pada karyawan?

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.4.1 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui adanya hubungan yang signifikan antara self-esteem

dengan subjective well-being pada karyawan.

2. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan antara usia, jenis kelamin, status pernikahan, pendapatan atau gaji, pekerjaan/posisi/jabatan, dan tingkat pendidikan dengan subjective well-being pada karyawan.

1.4.2 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:

1.4.2.1 Manfaat Teoritis

Mengembangkan ilmu pengetahuan Psikologi, khususnya psikologi industri organisasi dan psikologi klinis, tentang hubungan antara self-esteem dengan

subjective well-being pada karyawan, dan diharapkan dapat menambah

(29)

1.4.2.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat luas, khususnya kepada pihak UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengenai self-esteem dan subjective well-being yang dimiliki karyawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta agar dapat dijadikan sebagai sumber-sumber dalam pengambilan keputusan agar dapat merancang kegiatan dan kebijakan yang positif serta pelatihan self-esteem yang sesuai bagi karyawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

1.5 Sistematika Penelitian

Penelitian ini dibagi menjadi beberapa bahasan seperti yang akan digambarkan berikut ini:

BAB I Pendahuluan: latar belakang masalah, identifikasi masalah dalam penelitian, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian dan sistematika penelitian.

BAB II Kajian pustaka: sub bab subjective well-being serta variabel yang menjadi model analisis, sub bab self-esteem serta variabel yang menjadi model analisis, sub bab kerangka berpikir, dan hipotesis BAB III Metode penelitian: metode pengumpulan data dan metode analisis data BAB IV Hasil Penelitian: analisis deskriptif, uji hipotesis

(30)

14

Dalam bagian ini, peneliti akan menjelaskan teori yang digunakan dalam penelitian ini. Adapun teori-teori yang akan dijelaskan adalah teori subjective well-being dan teori self-esteem serta kerangka teori dan hipotesis penelitian.

2.1 Subjective Well-being

Sejak dahulu, manusia memikirkan tentang hal yang membuat hidup yang baik (good life). Upaya untuk menjawab pertanyaan mengenai hidup yang baik terus menerus dilakukan oleh peneliti. Salah satu komponen yang utama dari hidup yang baik adalah kebahagiaan (happiness). Sayangnya sukar untuk menentukan satu definisi kebahagiaan. Hal ini dikarenakan kebahagiaan bisa merujuk ke banyak arti seperti rasa senang (pleasure), kepuasan hidup, emosi positif, hidup bermakna, atau bisa juga merasakan kebermaknaan (contentment). Oleh karenanya, beberapa peneliti lebih memilih menggunakan “subjective well-being” dibandingkan kebahagiaan. Diener mendefinisikan subjective well-being sebagai sebuah kombinasi afek positif (ketiadaan afek negatif) dan kepuasan hidup pada umumnya. Dan selanjutnya, Diener menggunakan istilah subjective well-being

sebagai sinonim dari kebahagiaan (C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2007).

2.1.1 Definisi

(31)

merasakan emosi positif dan jarang merasakan emosi negatif. subjective well-being sendiri adalah kondisi yang cenderung stabil sepanjang waktu dan sepanjang rentang kehidupan (Diener dan Larsen, 1984, dalam Edington, 2005).

Diener, Lucas, Oishi (2005) mendefinisikan subjective well-being sebagai berikut:

Subjective well-being is defined as a person’s cognitive and affective evaluations of his or her life. These evaluation include emotional reactions to events as well as cognitive judgement of satisfaction and fulfillment” (p:63)

Istilah subjective well-being didefinisikan sebagai evaluasi kognitif dan afektif seseorang tentang hidupnya. Evaluasi ini meliputi penilaian emosional terhadap berbagai kejadian yang dialami yang sejalan dengan penilaian kognitif terhadap kepuasan dan pemenuhan hidup. Definisi dari Diener tersebut akan digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini.

2.1.2 Komponen-komponen Subjective Well-being

Subjective well-being tersusun dari beberapa komponen utama, termasuk

(32)

dalam komponen afektif, sementara kepuasan hidup dan domain kepuasan termasuk ke dalam komponen kognitif.

Komponen-komponen utama kemudian direduksi ke dalam beberapa elemen khusus. Afek positif meliputi kegembiraan, keriangan hati, kesenangan, kebahagiaan hati, kebanggaan, afeksi, dan kebahagiaan. Afek negatif meliputi munculnya perasaan bersalah, malu, kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran, kemarahan, stress, depresi, dan rasa iri. Kepuasan hidup dikategorikan melalui kepuasan terhadap hidup saat ini, kepuasan dengan masa lalu, dan kepuasan dengan masa depan. Kepuasan ranah kehidupan muncul terhadap pekerjaan, keluarga, waktu, kesehatan, keuangan, dirinya sendiri, dan kelompoknya (Eddington & Shuman, 2005). Berikut ini adalah penjelasan untuk tiap-tiap komponen yang membentuk subjective well-being.

2.1.2.1 Afek Positif dan Afek Negatif

Emosi atau mood, yang keduanya diberi label afek, mencerminkan penilaian seseorang terhadap peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya (Diener, 2000).

(33)

Lucas, Diener dan Suh (1996, dalam Diener, Lucas, & Oishi, 2005) mendemonstrasikan bahwa item yang banyak dari skala kepuasan hidup, perasaan senang (pleasant affect), dan perasaan tidak senang (unpleasant affect) membentuk faktor-faktor yang bisa dipisahkan satu sama lain.

Dalam hal ini, afek memiliki dimensi frekuensi dan intensitas. Dimensi frekuensi merupakan keseluruhan jumlah predominasi afek positif dan afek negatif. Afek positif dan afek negatif bersifat independen, meskipun demikian beberapa penelitian menunjukkan bahwa keduanya berkorelasi negatif. Semakin sering seseorang merasakan salah satu afek, semakin rendah frekuensi afek lain yang dirasakannya. Dimensi intensitas mengacu pada kuat lemahnya afek yang dirasakan oleh seseorang. Hal inilah yang menjelaskan mengapa kedua afek yang independen ini muncul secara bersamaan.

Diener (1991, dalam Diener, Scollon, & Lucas, 2003) menyatakan dalam penelitian-penelitian well-being, sebaiknya menggunakan frekuensi dalam meneliti mengenai afek positif dan negatif. Alasannya, karena well-being

(34)

2.1.2.2 Kepuasan Hidup (Life Satisfaction)

Kepuasan hidup yang sering kali disebut dengan istilah penilaian kehidupan secara global (Diener, Scollon, & Lucas, 2003), merefleksikan penilaian individu bahwa kehidupannya ini berjalan dengan baik. Setiap individu dapat menelaah kondisi kehidupannya sendiri, menimbang pentingnya kondisi-kondisi tersebut, dan kemudian mengevaluasi kehidupannya ke dalam skala memuaskan dan tidak memuaskan. Evaluasi global semacam ini disebut sebagai penilaian kognitif atas kepuasan hidup. Dikatakan demikian karena penilaian ini membutuhkan proses kognitif.

Beberapa penelitian memfokuskan diri pada bagaimana penilaian ini dibuat. Umumnya individu tidak menguji semua aspek kehidupan mereka dan menimbangnya secara tepat. Mungkin karena proses semacam ini sukar, kebanyakan orang menggunakan berbagai cara singkat dalam menghasilkan penilaian kepuasan. Secara spesifik, orang menggunakan informasi yang menonjol saat melakukan penilaian (Schwarz & Strack, 1999, dalam Diener, Scollon, & Lucas, 2003).

(35)

informasi yang tetap sama dari waktu ke waktu. Di dalam banyak kasus, orang cenderung menggunakan informasi yang relevan dan stabil, yang pada akhirnya akan menghasilkan penilaian kepuasan yang stabil dan bermakna (Diener, Scollon & Lucas, 2003).

Pada saat membuat penilaian kepuasan hidup, seseorang juga menggunakan sumber-sumber informasi lain, diantaranya perbandingan dengan standar-standar yang penting (Diener, Scollon, & Lucas, 2003). Campbell et al. (dalam Diener, Scollon, & Lucas, 2003) menyatakan bahwa individu melihat pada domain yang penting dalam hidup dan membandingkan domain kehidupan ini dengan berbagai standar pembanding, misalnya situasi yang mereka alami di masa lalu, keadaan di lingkungan sekitar mereka masa kini, ataupun harapan akan sesuatu di masa depan.

Kepuasan hidup digunakan sebagai salah satu cara mengukur well-being

karena dengan cara ini peneliti dapat menangkap well-being dalam bentuk luas dari sudut pandang partisipan itu sendiri (Diener, 1991, dalam Diener, Scollon, & Lucas, 2003). Selain itu, keuntungan dari melihat kepuasan hidup sebagai ukuran

well-being adalah karena tipe pengukuran ini menangkap sensasi secara global akan well-being dari perspektifnya sendiri.

2.1.2.3Kepuasan Terhadap Ranah Kehidupan (Domain Satisfaction)

Komponen selanjutnya yang termasuk dalam model hirarki subjective well-being

(36)

berat yang diberikan pada tiap domain, dapat bervariasi bagi setiap orang. Diener et al. (2002, dalam Diener, Scollon, Lucas, 2003) menemukan bahwa orang-orang yang bahagia cenderung menitikberatkan domain-domain terbaik dalam kehidupan mereka, sedangkan orang-orang yang tidak bahagia cenderung lebih menitikberatkan pada domain-domain terburuk dalam kehidupan mereka. Karena itu, kepuasan ranah kehidupan tidak hanya dapat mencerminkan bagian-bagian komponen dari sebuah penilaian kepuasan hidup, tetapi juga dapat menyediakan informasi yang unik mengenai keseluruhan well-being seseorang.

Ketika mengkonstruksikan penilaian kepuasan hidup secara global (life

satisfaction), seseorang menelaah berbagai domain dalam kehidupannya

(kesehatan, kehidupan, keluarga, pekerjaan, dan kehidupan sosial), menimbang pentingnya domain-domain tersebut, dan kemudian mengumpulkan sejumlah penilaian tadi untuk memperoleh keseluruhan evaluasi dari kepuasan hidupnya. Jadi, life satisfaction dihasilkan melalui proses heuristik. Individu tidak memiliki kemampuan untuk menggabungkan dan mengagregasi sederet domain kehidupan.

Kepuasan ranah kehidupan akan menjadi penting bagi para peneliti yang tertarik akan pengaruh well-being pada area tertentu. Sebagai contoh, jika peneliti ingin mengetahui peningkatan well-being pekerja, kepuasan terhadap pekerjaan dapat memberikan pengukuran yang lebih sensitif dibanding yang dihasilkan oleh

(37)

global, skor yang didapat dari kepuasan ranah kehidupan juga menyediakan informasi lebih detail tentang aspek tertentu dalam kehidupan seseorang yang berjalan dengan baik atau buruk (Diener, Scollon, & Lucas, 2003).

2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Subjective Well-being

Wilson (1967 dalam Diener, Lucas, & Oishi, 2005) menyatakan bahwa faktor kepribadian dan faktor demografis memiliki hubungan dengan subjective well-being. Ia menyatakan bahwa orang yang bahagia adalah seorang yang muda, sehat, berpendidikan, berpenghasilan bagus, ekstrovert, optimis, religious, telah menikah dengan self-esteem yang tinggi, memiliki semangat kerja, memiliki cita-cita, pada kedua jenis kelamin dan berbagai variasi inteligensi.

Deneve dan Cooper (1998, dalam Diener, Lucas, dan Oishi, 2003) mengidentifikasi 137 trait kepribadian yang berhubungan dengan subjective well-being adalah extraversion dan neurotism. Costa dan McCrae (dalam Diener, Lucas, & Oishi, 2003) menemukan bahwa extraversion memprediksikan afek yang menyenangkan dan neuroticism memprediksikan afek tidak menyenangkan dalam periode sepuluh tahun. Sementara itu, trait lain dalam model kepribadian “the big five trait faktor”, yaitu agreeableness, conscientiousness, dan openness

to experience menunjukkan hubungan yang lebih lemah dengan SWB (Watson &

Clark dalam Diener, Lucas, & Oishi, 2003).

(38)

berhubungan dengan subjective well-being; (b) efeknya biasanya kecil; dan (c) banyak orang cukup bahagia, karena itu, faktor demografis cenderung membedakan antara orang yang cukup bahagia dan yang sangat bahagia. (Diener et al, 1999, dalam Diener, Lucas, & Oishi, 2005).

Penelitian berikutnya juga menggambarkan bahwa faktor demografis memperlihatkan bahwa pendapatan, religion dan personality adalah afek-afek yang mempengaruhi subjective well-being. (Robert Biswas-Diener & Ben dean, 2007).

Berikut ini akan dipaparkan variabel-variabel demografis yang mempengaruhi subjective well-being seseorang.

2.1.3.1 Usia

Penelitian menunjukkan bahwa kepuasan hidup seringkali meningkat atau paling tidak menetap seiring meningkatnya usia (Herzog & Rodgers, 1981; Horley & Lavery, 1995; Larson, 1978; Okun, Haring, & Witter, 1983, dalam Eddington & Shuman, 2005). Usia berhubungan dengan subjective well-being, tapi efeknya sangat kecil, dan tergantung kepada komponen subjective well-being yang diukur (Diener, Lucas, dan Oishi, 2005). Sebagai contoh, pada sampel dari 40 negara, Diener dan Suh (1998, dalam Diener, Lucas, & Oishi, 2005) menemukan bahwa meskipun afek menyenangkan menurun sepanjang usia, kepuasan hidup dan afek tidak menyenangkan menunjukkan sedikit perubahan.

(39)

dalam kepuasan hidup di seluruh umur menunjukkan kemampuan orang untuk beradaptasi dengan kondisi mereka. Penurunan pendapatan dan pernikahan terjadi di seluruh kelompok usia dewasa, namun, kepuasan hidup stabil. Beberapa peneliti telah menyarankan bahwa temuan ini berfungsi sebagai bukti bahwa orang menyesuaikan kembali tujuan mereka dengan bertambahnya usia mereka (Campbell et al, 1976;. Rapkin & Fischer, 1992). Melanjutkan dengan garis pemikiran ini, Ryff (1991) menemukan orang dewasa yang lebih tua menunjukkan lebih dekat antara ideal dan persepsi diri sebenarnya dibandingkan dengan orang-orang muda (Eddington & Shuman, 2005).

2.1.3.2 Jenis Kelamin

Jenis kelamin berhubungan dengan subjective well-being, tapi efeknya sangat kecil, dan tergantung kepada komponen subjective well-being yang diukur (Diener, Lucas, dan Oishi, 2005). Pada penelitian yang melibatkan 40 negara, Lucas dan Gohn (dalam Diener, Lucas, & Oishi, 2005) menemukan bahwa perbedaan subjective well-being antar jenis kelamin hanyalah kecil, dengan perempuan menunjukkan afek tidak menyenangkan dan afek menyenangkan yang lebih besar.

(40)

negara dan menemukan perbedaan jenis kelamin yang sangat kecil dalam kepuasan hidup dan kebahagiaan (Eddington & Shuman, 2005).

Temuan lain yang menarik dalam jenis kelamin dan literatur subjective

well-being adalah wanita melaporkan lebih berafek negatif dan depresi

(41)

peristiwa-peristiwa buruk, tetapi juga menciptakan peluang untuk tingkat intens kebahagiaan atas peristiwa yang baik (Eddington & Shuman, 2005).

2.1.3.3 Status Pernikahan

Hubungan positif antara status pernikahan dengan subjective well-being secara konsisten ditemukan dalam penelitian internasional (Diener, Gohm, Suh, & Oishi, 1998 dalam Eddington & Shuman, 2005). Survey berskala besar ini mengindikasikan bahwa orang-orang yang menikah lebih sering merasa bahagia dibandingkan dengan orang-orang yang tidak pernah menikah, bercerai, atau berpisah. Status pernikahan dan subjective well-being berhubungan secara signifikan meskipun usia dan pendapatan dikontrol (Glenn & Weaver, 1979; Gove, Hughes, & Style, 1983, dalam Eddington & Shuman, 2005). Lee, Seccombe, & Shehan (1991, dalam Eddington & Shuman, 2005) meneliti perbedaan antara orang-orang yang menikah dan tidak menikah sejak 1972 sampai 1989 dan menemukan bahwa orang-orang yang menikah, baik pria maupun wanita, secara konsisten lebih bahagia dibanding orang-orang yang tidak menikah. Diener, dkk (1998, dalam Eddington & Shuman, 2005) menemukan bahwa pernikahan menawarkan keuntungan yang lebih besar bagi pria atau wanita dalam hal emosi positif, tapi tidak dalam kepuasan hidup. Lebih jauh lagi, terdapat bukti-bukti bahwa orang-orang yang bahagia memiliki kecendrungan untuk menikah, keuntungan pernikahan itu sendiri bisa meningkatkan subjective

well-being (Mastekaasa, 1995 dalam Eddington & Shuman, 2005). Meskipun

(42)

Sadarjoen (2005) dalam bukunya menyebutkan bahwa setiap individu membawa satu set kebutuhan akan hubungan dan harapan. Dengan harapan, pasangan perkawinannya kelak akan mampu memuaskan dirinya, paling tidak sebagian dari kebutuhannya tersebut. Peluang bagi terciptanya relasi yang memuaskan tersebut ditentukan oleh beberapa aspek di bawah ini:

1. Sejauh mana pasangan perkawinan mampu memenuhi kebutuhan pasangan masing-masing.

2. Sejauh mana kebebasan dari hubungan yang mereka ciptakan memberi peluang bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan harapan-harapan yang mereka bawa sebelum perkawinan terlaksana.

2.1.3.4 Pendapatan

Secara umum, korelasi yang rendah namun signifikan antara pendapatan dengan

(43)

Tetapi apabila kebutuhan dasar telah terpenuhi, peningkatan pendapatan atau kekayaan hanya sedikit berpengaruh terhadap kebahagiaan.

2.1.3.5 Pekerjaan

Menurut Argyle (2001, dalam Carr, 2004), status pekerjaan berhubungan dengan kebahagiaan, dimana orang-orang yang bekerja cenderung lebih bahagia dibandingkan dengan orang-orang yang tidak bekerja, dan orang-orang yang bekerja dalam bidang professional dan terlatih cenderung lebih bahagia jika dibandingkan dengan orang-orang yang bekerja dalam bidang yang tidak terlatih. Pekerjaan berhubungan dengan subjective well-being karena pekerjaan menawarkan stimulasi yang optimal bagi seseorang untuk menemukan kesenangan, hubungan sosial yang positif, dan rasa identitas dan makna (Csikszentmihalyi, 1990; Scitovsky, 1976, dalam Eddington & Shuman, 2005). Orang-orang yang tidak bekerja memiliki stress yang lebih tinggi, rendahnya kepuasan hidup, dan angka bunuh diri yang tinggi bila dibandingkan dengan orang-orang yang bekerja.

2.1.3.6 Tingkat Pendidikan

(44)

well-being pada individu dengan pendapatan rendah dan di Negara miskin (Campbell, 1981; Diener et al., 1993; Veenhoven, 1994). dalam suatu kasus sebelumnya pendidikan menciptakan waktu luang lebih luas didalam sumber-sumber kebahagiaan yang lain, dan dalam kasus yang terakhir status sosial disampaikan melalui pendidikan. di Amerika Serikat Pengaruh pendidikan pada SWB menjadi lemah dari waktu ke waktu. Campbell (1981) mencatat bahwa pada tahun 1957, 44% dari lulusan perguruan tinggi dilaporkan yang sangat senang dibandingkan dengan 23% dari mereka yang tidak sekolah tinggi, sedangkan pada tahun 1978, persentase yang sesuai adalah 33 dan 28 persen (Eddington & Shuman, 2005).

Sejalan dengan hal tersebut, Diener et al., (1999, dalam Carr, 2004) menyatakan bahwa tingkat pendidikan berkorelasi positif dengan kebahagiaan dan hubungan ini kuat pada kelompok berpendapatan rendah pada Negara-negara berkembang dan populasi pada Negara miskin.

2.1.4 Pengukuran Subjective Well-being

Subjective well-being telah diukur dengan berbagai macam cara dalam berbagai penelitian. Tidak ada satu skala yang secara khusus digunakan secara umum atau lebih baik dari pada skala yang lain. Banyak skala yang ada menggunakan satu item dengan kategori respon yang berbeda-beda. Dengan menggunakan sudut pandang psikometri, pengukuran yang didasarkan dengan satu item cenderung sederhana, tapi juga memiliki kegunaan yang nyata (Andrews &Robinson, 1991).

(45)

dengan multi item. Skala dengan multi item, dalam beberapa pengukuran, secara umum memiliki validitas dan/atau reabilitas yang lebih tinggi karena error dalam pengukuran yang mungkin terjadi dalam skala satu item, paling tidak, bisa dikurangi dengan adanya item-item yang lain. Selain itu, dengan skala multi item, bisa didapatkan informasi yang lebih luas tentang komponen-komponen yang menyusun subjective well-being (Andrews & Robinson, 1991).

Ukuran subjective well-being harus mengambil dari perspektif responden sendiri. Untuk alasan ini, kebanyakan studi dari subjective well-being telah mengandalkan langkah-langkah konstruksi self-report. Namun, ada banyak alasan untuk berhati-hati dalam menafsirkan hasil yang hanya didasarkan pada ukuran evaluasi diri. Beberapa orang tampak lebih bahagia daripada yang lain hanya karena mereka menggunakan angka yang lebih tinggi dalam skala respon atau karena mereka ingin menjadi baik di mata eksperimen. Jadi, meskipun self-report

memainkan peran sentral dalam penelitian subjective well-being, mereka harus dilengkapi dengan teknik pengukuran untuk mendapatkan pemahaman lengkap konstruksi (Diener, Scollon & Lucas, 2003).

(46)

dalam fenomena kehidupan. Oleh karena itu, jika fokus penelitian adalah untuk mendapatkan well-being dengan ukuran relatif yang dapat diandalkan dan valid serta tidak dapat menggabungkan berbagai indikator self-report, maka untuk dapat menilai konstruksi ini dapat menggunakan ukuran single-item. Tentu saja, langkah beberapa komponen akan meningkatkan keandalan dan tingkat cakupan (Diener, Scollon & Lucas, 2003).

Ada sejumlah pengukuran yang dapat diandalkan konstruksi valid well-being (lihat MacKay, 1980, Larsen et al 1985;. Andrews dan Robinson, 1991;. Stone, 1995, Lucas et al, Dalam pers untuk review.). Sebagian besar dari ukuran satu atau lebih dari struktur well-being menggunakan elemen dengan validitas item yang jelas. Sebagai contoh, skala kepuasan hidup dapat meminta responden sejauh mana mereka setuju dengan pernyataan seperti: "Saya puas dengan hidup saya" atau "dalam banyak hal, hidup saya mendekati ideal" (al Diener et. , 1985 dalam Diener, Scollon & Lucas, 2003).

(47)

2.2 Self-esteem

2.2.1 Definisi

Menurut Morris Rosenberg (dalam Flynn, 2001) definisi self-esteem adalah sikap individual, baik positif atau negatif terhadap dirinya sebagai suatu totalitas.

Mruk (2006) menjelaskan bahwa Rosenberg telah memperkenalkan cara lain dalam mendefinisikan self-esteem yaitu sebagai suatu rangkaian sikap individu tentang apa yang dipikirkan mengenai dirinya berdasarkan persepsi perasaan, yaitu suatu perasaan tentang “keberhargaan” dirinya atau sebuah nilai sebagai seseorang.

Sedangkan menurut Coopersmith (dalam Heatherton & Wyland, 2003)

self-esteem adalah penilaian pribadi terhadap keberhargaan dirinya yang

diekspresikan dalam sikap yang berpegang teguh pada prinsip pribadi. Self-esteem

mengekspresikan sikap penerimaan atau penolakan, yang mengindikasikan tingkat kepercayaan individu terhadap dirinya akan kapasitas, signifikansi, kesuksesan dan keberhargaan.

Teori self-esteem dan pengukurannya mengandung makna asumsi kebudayaan dan gender. Dengan kata lain, implikasinya yaitu self-esteem adalah suatu karakteristik individual yang mana seluruh manusia memilikinya dan secara berkesinambungan berusaha untuk selalu memperbaikinya (Flynn, H.K., 2001).

(48)

persetujuan atau pertidak setujuan dari diri kita, mengenai diri kita dan prilaku kita.

Sedangkan menurut Branden (1995) self-esteem adalah sebuah disposisi untuk memberikan pengalaman kepada seseorang untuk menguasai secara kompeten dengan dasar tantangan hidup dan berguna bagi kebahagiaan.

Dari berbagai pengertian dari self-esteem di atas, maka dapat disimpulkan bahwa self-esteem adalah sikap individual, baik positif atau negatif terhadap dirinya dimana seluruh manusia memilikinya guna untuk melihat betapa berharganya dirinya sebagai manusia.

Adapun teori dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pengertian self-esteem dari teori Morris Rosenberg.

2.2.2 Karakteristik Self-esteem

Self-esteem bukanlah sifat atau aspek tunggal saja, melainkan sebuah kombinasi dari beragam sifat dan perilaku. Dalam bukunya, Maximum Self-esteem, Minchiton (1995) menjabarkan tiga aspek self-esteem, yaitu perasaan mengenai diri sendiri, perasaan terhadap hidup serta perasaan dalam kaitannya dengan orang lain.

a. Perasaan Mengenai Diri Sendiri

(49)

2) Menghormati diri sendiri. Individu memiliki self-respect dan keyakinan yang dalam bahwa dirinya penting, kalaupun bukan bagi orang lain, setidaknya bagi dirinya sendiri. Individu dengan self-esteem yang akan merasa kasihan dan memaafkan dirinya sendiri; menyukai dirinya sendiri dengan ketidaksempurnaan yang dimiliki.

3) Menghargai keberhargaan dirinya. Individu tidak terpengaruh dengan pendapat orang lain mengenai dirinya. Individu tidak merasa lebih baik bila dipuji dan tidak merasa lebih buruk jika dirinya dihina oleh orang lain. Perasaan baik mengenai dirinya tidak bergantung pada keadaan kondisi luar atau sesuatu yang akan atau telah dilakukan.

4) Memegang kendali atas emosi diri sendiri. Individu merasa terbebas dari perasaan yang tidak menyenangkan atas rasa bersalah, rasa marah, rasa takut, dan kesedihan. Emosi umum yang paling kuat terjadi adalah rasa bahagia karena individu merasa senang dengan dirinya dan kehidupannya. (Minchinton, 1995:21).

b. Perasaan terhadap Hidup

(50)

2) Memegang kendali atas diri sendiri. Individu yang memiliki self-esteem

yang tinggi tidak berusaha untuk mengendalikan orang lain atau situasi yang ada. Sebaliknya, Ia akan dengan mudah menyesuaikan diri dengan keadaan (Minchinton, 1995:23).

c. Perasaan dalam Kaitannya dengan Orang Lain

1) Menghormati orang lain. Individu menghormati hak-hak orang lain sebagaimana mereka berada, melakukan seperti yang mereka pilih, dan hidup seperti mereka selama mereka juga menunjukkan rasa hormat atau kesopanan yang sama kepada dirinya dan orang yang lain. Individu dengan

self-esteem yang tinggi tidak memaksa nilai-nilai atau keyakinannya pada orang lain.

2) Memiliki toleransi terhadap orang lain. Individu dengan self-esteem tinggi akan menerima kekurangan orang lain, fleksibel, dan bertanggung jawab dalam hubungannya dengan orang lain. Individu memandang semua orang memiliki keberhargaan yang sama dan layak untuk dihormati. Ia menghormati kebutuhan dirinya serta mengakui kebutuhan orang lain (Minchinton, 1995:25).

Menurut Coopersmith (1967) self-esteem memiliki beberapa tingkatan, yaitu:

(51)

2. Tingkatan sedang, mempunyai penilaian tentang kemampuan, harapan-harapan dan kebermaknaan dirinya bersifat positif, sekalipun lebih moderat. Mereka memandang dirinya lebih baik daripada kebanyakan orang, tetapi tidak sebaik penilaian individu dengan harga diri tinggi.

3. Tingkatan rendah, pada umumnya kurang percaya pada dirinya sendiri dan enggan untuk menyatakan diri dalam suatu kelompok, terutama bila mereka mempunyai gagasan-gagasan baru dan kreatif. Mereka kurang berhasil dalam hubungan antar pribadi dan kurang aktif dalam masalah-masalah sosial.

2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self-esteem

Teori self-esteem oleh Rosenberg bersandarkan pada dua faktor (dalam Flynn, 2001), yaitu:

1. Gambaran penilaian

Manusia berkomunikasi tergantung pada keadaan yang terlihat dari perspektif orang lain. Pada proses sewaktu berperan menjadi orang lain. Pada proses sewaktu berperan menjadi orang lain, maka kita menjadi sadar bahwa kita adalah objek perhatian, persepsi dan evaluasi orang lain.

2. Perbandingan sosial

Perbandingan sosial ini menekankan bahwa self-esteem adalah “salah satu bagian suatu konsekuensi hasil perbandingan mereka sendiri dengan orang lain dan perolehan evaluasi diri, baik yang positif maupun yang negatif”.

2.2.4 Dimensi Self-esteem

(52)

1. Rosenberg memulai dengan menunjukkan bahwa pemahaman self-esteem

sebagai fenomena suatu sikap diciptakan dengan kekuatan sosial dan kebudayaan.

2. Study mengenai self-esteem ini dihadapkan pada masalah-masalah tersendiri. Salah satunya yaitu refleksitas self, yang mengandung arti bahwa evaluasi diri lebih kompleks daripada evaluasi objek-objek eksternal lain karena self terlibat dalam mengevaluasi self itu sendiri.

3. Self-esteem ini merupakan sikap yang menyangkut keberhargaan individu sebagai seseorang yang dilihat sebagai sebuah variabel yang sangat penting dalam tingkah laku karena self-esteem itu sendiri bekerja untuk atau melawan kita dalam situasi tertentu.

2.3 Kerangka Berpikir dan Hipotesis

2.3.1 Kerangka Berpikir

Rosenberg, Schooler, Schoenbach dan Rosenberg (1995, dalam Swenson, 2003) mendeskripsikan bahwa global self-esteem yang merupakan sikap individual, baik positif atau negatif terhadap dirinya sebagai suatu totalitas sangat berhubungan erat dengan psychological well-being (Swenson, 2003).

Selanjutnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum self-esteem berhubungan dengan subjective well-being (tingginya kepuasan hidup, tingginya afek positif, serta rendahnya afek negatif) khususnya pada budaya individualistis. (Diener & Diener, 1995 dalam Diener & Schimmack, 2003).

(53)

memiliki rasa kepuasaan hidup yang tinggi dibandingkan dengan orang yang memiliki self-esteem yang rendah.

Tingginya self-esteem merujuk pada tingginya estimasi individu atas nilai, kemampuan, dan kepercayaan yang dimilikinya. Self-esteem yang rendah melibatkan penilaian yang buruk akan pengalaman masa lalu dan pengharapan yang rendah bagi pencapaian masa depan.

Orang dengan harga diri atau self-esteem tinggi memiliki sifat positif terhadap dirinya. Mereka merasa puas dan menghargai diri sendiri, yakin bahwa mereka mempunyai sejumlah kualitas baik, dan hal-hal yang patut dibanggakan.

(54)

Subjective well-being mengacu pada bagaimana orang menilai kehidupan mereka, dan termasuk beberapa variabel seperti kepuasan hidup dan kepuasan perkawinan, kurangnya depresi, kegelisahan, suasana hati dan emosi positif.

Seseorang dikatakan telah memiliki subjective well-being tinggi jika ia mengalami kepuasan hidup dan sering gembira, dan sedikit pengalaman yang tidak menyenangkan seperti jarang emosi kesedihan dan kemarahan. Sebaliknya, seseorang dikatakan telah memiliki subjective well-being rendah jika ia tidak puas dengan kehidupan, sedikit pengalaman sukacita dan kasih sayang, dan sering merasa emosi negatif seperti kemarahan atau kecemasan.

Bagan 2.2

Kerangka Berpikir

Usia

Jenis Kelamin

Status Pernikahan

Pendapatan/ Gaji

Pekerjaan/posisi/jabatan

Tingkat Pendidikan

Self-esteem

(55)

2.3.2 Hipotesis Penelitian

1. Ada hubungan yang signifikan antara self-esteem dengan subjective well-being

pada karyawan.

2. Ada pengaruh yang signifikan antara usia terhadap subjective well-being pada karyawan.

3. Ada pengaruh yang signifikan antara jenis kelamin terhadap subjective well-being pada karyawan.

4. Ada pengaruh yang signifikan antara status pernikahan terhadap subjective well-being pada karyawan.

5. Ada pengaruh yang signifikan antara pendapatan atau gaji terhadap subjective well-being pada karyawan.

6. Ada pengaruh yang signifikan antara pekerjaan (terkait dengan jabatan, golongan dan masa kerja) terhadap subjective well-being pada karyawan. 7. Ada pengaruh yang signifikan antara tingkat pendidikan terhadap subjective

well-being pada karyawan.

8. Ada pengaruh yang signifikan antara self-esteem, usia, pendapatan dan masa kerja secara bersama-sama terhadap subjective well-being pada karyawan?

2.3.3 Hipotesis Nihil

1. Tidak ada hubungan yang signifikan antara self-esteem dengan subjective well-being pada karyawan.

2. Tidak ada pengaruh yang signifikan antara usia terhadap subjective well-being

(56)

3. Tidak ada pengaruh yang signifikan antara jenis kelamin terhadap subjective well-being pada karyawan.

4. Tidak ada pengaruh yang signifikan antara status pernikahan terhadap

subjective well-being pada karyawan.

5. Tidak ada pengaruh yang signifikan antara pendapatan atau gaji terhadap

subjective well-being pada karyawan.

6. Tidak ada pengaruh yang signifikan antara pekerjaan (terkait dengan jabatan, golongan dan masa kerja) terhadap subjective well-being pada karyawan. 7. Tidak ada pengaruh yang signifikan antara tingkat pendidikan terhadap

subjective well-being pada karyawan.

(57)

41

Bab ini menjelaskan tentang metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian. Terdiri dari beberapa subbab, berikut ini adalah penjelasan dari masing-masing subbab.

3.1Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengetahui hubungan antara self-esteem

dengan subjective well-being karyawan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Untuk membahas permasalahan ini penulis menggunakan pendekatan kuantitatif sebab pada data akhir akan dianalisis dengan menggunakan perhitungan statistik.

Sedangkan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode korelasional. Pengukuran dengan korelasi ini digunakan untuk menentukan besarnya arah hubungan antara satu variabel dengan variabel lain (Sevilla, 1993). Hal ini sesuai dengan tujuan dari penelitian ini, yaitu bertujuan untuk melihat hubungan antara Independent Variabel (IV) dengan Dependent Variabel (DV). Yaitu hubungan antara self-esteem dengan subjective well-being

(58)

3.2 Populasi dan Sampel

3.2.1 Populasi

Menurut Sugiyono (2010), populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakter tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.

Gay (dalam Sevilla, 2006) mendefinisikan populasi sebagai kelompok dimana peneliti akan mengeneralisasikan hasil penelitiannya. Sedangkan menurut Kerlinger seperti yang dikutip Sevilla bahwa populasi adalah keseluruhan anggota, kejadian, atau objek-objek yang telah ditetapkan dengan baik. Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah karyawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjumlah 134 orang.

3.2.2 Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel

Sugiyono (2010) mendefinisikan sampel sebagai bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi yang akan diteliti. Sebagaimana menurut Kerlinger (2006) bahwa untuk memperkecil suatu galat atau error, sebaiknya digunakan sampel besar. Sedangkan berdasarkan penjelasan Sevilla untuk penelitian, ukuran minimum yang ditawarkan Gay, bahwa untuk penelitian korelasi diambil minimal 30 sampel (Sevilla dkk, 2006).

(59)

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah menggunakan teknik

sampling insidental, yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan/insidental bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, bila dipandang orang yang kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber data. Teknik tersebut termasuk dari jenis nonprobability

sampling, dimana teknik pengambilan sampel ini tidak memberikan peluang yang

sama bagi setiap unsur (anggota) populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel (sugiyono, 2009).

3.3 Variabel Penelitian

Variabel adalah konstruk (constructs) atau sifat yang akan dipelajari (Kerlinger, dalam Sevilla dkk, 2006). Variabel pada penelitian ini terdiri dari variabel bebas (Independent Variabel) dan variabel terikat (Dependent Variabel). Adapun

independent variabel dalam penelitian ini adalah self-esteem sedangkan

Dependent Variabel dalam penelitian ini adalah subjective well-being.

3.3.1 Definisi Konseptual Variabel

a. Self-esteem di definisikan oleh Morris Rosenberg adalah sikap individual, baik positif atau negatif terhadap dirinya sebagai suatu totalitas.

(60)

3.3.2 Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional (Subjective well-being) adalah skor yang diperoleh dari jawaban subjek atas hasil pengukuran dengan alat tes Satisfaction With Life Scale

dari Diener yang terdiri dari 5 item.

Definisi operasional (self-esteem) adalah skor yang diperoleh dari jawaban subjek atas hasil pengukuran dengan alat tes Self-esteem Scale oleh Morris Rosenberg yang terdiri dari 10 aitem.

3.4 Pengumpulan Data

3.4.1 Metode Pengumpulan Data

Adapun metode pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner. Kuesioner merupakan pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan tertulis kepada responden untuk dijawab (Sugiyono, 2010).

3.4.2 Instrumen Penelitian

Instrument penelitian adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati (Sugiyono, 2010). Peneliti menggunakan skala sebagai instrument pengumpulan data. Dalam penelitian ini, terdapat tiga skala, yaitu isian demografis subjek, skala self esteemScale oleh Morris Rosenberg, dan skala subjective well-being yang menggunakan skala satisfaction with life scale

oleh Diener.

1. Isian Biodata Demografis Subjek

Gambar

Tabel 4.2 Gambaran Umum Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir
Tabel 4.3 Gambaran Umum Responden Berdasarkan Status Pernikahan
Tabel 4.5 Gambaran Umum Responden Berdasarkan Golongan
Tabel 4.6 Gambaran Umum Responden Berdasarkan Jabatan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kemudian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menambah fakultas baru, yaitu Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (Program Studi Kesehatan Masyarakat) berdasarkan surat keputusan

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara self esteem dengan subjective well being pada siswa smk. Hal ini berarti semakin

Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan : (1) Ada hubungan positif yang sangat signifikan antara self esteem dengan subjective well being pada siswa

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan mahasiswa Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tentang makanan berserat, mengetahui gambaran sikap

Hampir separoh dari dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (40,90 %) memberikan umpan balik agar UIN atau Fakultas mengadakan pelatihan pembuatan

Sedangkan untuk UIN Syarif Hidayatullah Jakarta diharapkan senantiasa berusaha untuk mewujudkan diri sebagai universitas yang mempunyai tanggung jawab sosial yang tinggi

Imam Subchi, MA, selaku Ketua Pusat Puslitpen LP2M UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan panduan penelitian lebih sistematis dan terarah.. Semoga hasil penelitian ini

Sistem Pendeteksi Kebocoran Gas dan Kualitas Udara di Laboratorium Pendidikan Kimia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta by Nenny Anggraini Submission date: 27-Jun-2019 07:29PM UTC+0700