• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH TIPE KEPRIBADIAN & DUKUNGAN SOSIAL TERHADAP SUBJECTIVE WELL BEING (SWB) MAHASISWA PERANTAU UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH TIPE KEPRIBADIAN & DUKUNGAN SOSIAL TERHADAP SUBJECTIVE WELL BEING (SWB) MAHASISWA PERANTAU UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA"

Copied!
193
0
0

Teks penuh

(1)

i

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Psikologi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)

Oleh :

MEILITA JAMILAH 109070000135

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

ii JAKARTA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Psikologi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi (S.Psi) Oleh : MEILITA JAMILAH 109070000135 Di Bawah Bimbingan: Pembimbing I Pembimbing II

Dra. Diana Mutiah, M.Si Ilmi Amalia, M.Psi

NIP.196710291996032001 NIP.198210142011012005

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(3)

iii

TERHADAP SUBJECTIVE WELL-BEING MAHASISWA PERANTAU UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 27 September 2013. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S1) pada Fakultas Psikologi.

Jakarta, 27 September 2013 Sidang Munaqasyah

Dekan / Ketua Wakil Dekan/ Sekretaris

Jahja Umar Ph.D Dra. Fadhilah Suralaga M.Si NIP. 19470521 198003 1 001 NIP. 19561223 198303 2 001

Anggota :

Mulia Sari Dewi M.Si, Psi Dra. Diana Mutiah M.Si

NIP.197805022008012026 NIP.196710291996032001

Ilmi Amalia M.Psi NIP.198210142011012005

(4)

iv Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Meilita Jamilah S

NIM : 109070000135

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “PENGARUH TIPE KEPRIBADIAN & DUKUNGAN SOSIAL TERHADAP SUBJECTIVE WELL-BEING MAHASISWA PERANTAU UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA” adalah benar merupakan karya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam menyusun penyusunan karya tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam penyusunan karya ini ini telah dicantumkan sumber pengutipannya dalam daftar pustaka. Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan undang-undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan dari karya orang lain.

Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebaik-baiknya.

Jakarta, 30 September 2013 Yang Menyatakan,

Meilita Jamilah S NIM. 109070000135

(5)

v MOTTO :

“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan” (Q.S: Al – Insyiraah: 5)

“Everybody dies but not everybody really life so live the life meaningfully”

Persembahan:

Allah SWT, My Almighty God The Prophet Muhammad SAW Karya sederhana ini kuberikan untuk Mama & Papa tersayang, Keluargaku Teman – temanku, Dosenku, kampusku

(6)

vi A) Fakultas Psikologi

B) September 2013 C) Meilita Jamilah

D) Pengaruh Tipe Kepribadian & Dukungan Sosial Terhadap Subjective Well-Being Mahasiswa Perantau UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

E) Xiv + 146 Halaman + Lampiran

F) Mahasiswa perantau yang berada jauh dari keluarga dan kampung halaman mengalami berbagai perubahan dalam kehidupannya sehingga rentan menimbulkan berbagai masalah. Berbagai masalah yang dihadapi dapat mempengaruhi mahasiswa dalam merasakan kebahagiaan. Carr (2004) menyetarakan kebahagiaan dengan istilah subjective well being. Subjective well being adalah evaluasi kognitif individu terhadap kepuasan hidupnya dan evaluasi afektif terhadap emosinya. Individu dikatakan memiliki subjective well being yang tinggi jika mereka merasa puas dengan kondisi hidup mereka, sering merasakan emosi positif dan jarang merasakan emosi negatif. (Diener & Lucas, 1999). Banyak faktor yang mempengaruhi subjective well being, diantaranya tipe kepribadian, dukungan sosial dan pendapatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada pengaruh tipe kepribadian dan dukungan sosial terhadap subjective well-being mahasiswa perantau. Sampel berjumlah 230 orang yang diambil dengan teknik non probability sampling. Analisa data pada penelitan ini menggunakan metode Statistic Multiple Regression Analysis pada taraf signifikansi 0.05.

Hasil penelitian ini menyatakan bahwa ada pengaruh yang signifikan tipe kepribadian, dukungan sosial dan pendapatan terhadap subjective well being. Hasil uji hipotesis minor yang menguji signifikansi tiap independent variable (extraversion, agreeableness, neuoriticism, openness, conscientiousness, kerekatan emosional, integrasi sosial, adanya pengakuan, ketergantungan yang dapat diandalkan, bimbingan kesempatan untuk mengasuh dan income) terhadap dependent variable, diperoleh lima koefisien regresi yang signifikan pengaruhnya terhadap subjective well being yaitu extraversion, neuroticism, adanya pengakuan, kesempatan mengasuh dan income. Hasil penelitian juga menunjukkan proporsi varians dari subjective well being yang dijelaskan oleh seluruh independent variable adalah sebesar 67,1%, sedangkan sisanya 32,9% dipengaruhi oleh variable lain diluar penelitian ini.

(7)

vii

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah, dan kasih sayang yang diberikan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan kesungguhan dan kerja keras. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita semua, Rasulullah Muhammad SAW berikut keluarga dan sahabat-sahabatnya.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis telah melibatkan banyak pihak yang secara langsung maupun tidak telah menberikan kontribusi nyata bagi penulis. Banyak sekali pelajaran dan hikmah yang penulis dapatkan baik selama penyusunan skripsi, maupun selama kuliah di Fakultas Psikologi. Oleh karena itu, dengan segala ketulusan hati, penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada:

1. Bapak Jahja Umar, Ph. D., Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta seluruh pembantu dekan dan jajaran dekanat lainnya yang telah memfasilitasi pendidikan mahasiswa dalam rangka menciptakan lulusan berkualitas.

2. Ibu Dra. Zahrotun Nihayah, M.Si, pembimbing akademik yang telah memberikan dukungan.

3. Ibu Dra. Diana Mutiah, M.Si dan Ilmi Amalia, M.Psi, dosen pembimbing skripsi yang dengan kesabaran dan kesungguhan telah memberikan banyak saran dan kritik kepada penulis selama masa penyusunan skripsi ini. Terima kasih atas waktu yang berharga untuk membimbing dan memberikan masukan.

(8)

viii penulis.

5. Orang tua dan saudara - saudaraku tersayang, Mama Nuraini dan Papa Rustam Effendy Samosir, Bang Rony, Kak Niki, Kak Inu, Najwa dan Zahra yang tak pernah putus memberikan semangat, selalu penuh cinta, kasih dan sayang, perhatian, pengertian dan dukungan baik moril maupun materiil. Terima kasih atas alunan do’a pada setiap sujudnya. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kasih sayang, ampunan dan berkahnya kepada kami sekeluarga. 6. Keluarga besar Alm. ST. Samosir dan Alm. Usman yang selalu memberikan

dukungan dan doa.

7. Para responden penulis yang telah bersedia memberikan informasi dan mengisi angket penelitian sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian ini dengan hasil yang maksimal.

8. Teman - teman di Psikoche kelas C angkatan 2009 yang menjadi keluarga baruku dan memberikan kesan indah selama perkuliah ini. Terima kasih atas ilmu, kenangan, semangat, pelajaran hidup serta pengalaman yang tak terlupakan bersama kalian.

9. Sahabat tersayang Hana, Njen dan Tika yang telah memberikan begitu banyak bantuan nyata dalam penelitian ini. Terimakasih untuk diskusi, berbagi cerita dan menjadi motivator bagi penulis baik selama perkuliahan maupun selama penulis melaksanakan penelitian.

(9)

ix kesah, dan memberi saran kepada penulis.

11. Sahabat – sahabat terbaik sejak kecil, Ibal, Ewin, Uul, Dewi, Ai, Iwan, Triana, Uci, Dani, Oi, Femi, Idena, Iin, Kindi dan Lizty yang selalu berbagi tawa, cerita serta pelajaran hidup.

12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah ikut berkontribusi terhadap penelitian ini.

Penelitian ini tidak akan berarti tanpa kehadiran dan kontribusi dari seluruh pihak yang telah peneliti sebutkan. Penulis sangat berharap penelitian ini dapat memberi manfaat kepada siapa saja yang membaca, serta menjadi kontribusi nyata dalam kajian ilmu psikologi. Penulis juga berharap masukan dan kritik yang membangun dari para pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan di masa yang akan datang.

Jakarta, 30 September 2013

(10)

x

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

MOTO DAN PERSEMBAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN... xiv

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Pembatasan Masalah ... 9

1.3 Rumusan Masalah ... 10

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1Tujuan penelitian ... 11

1.4.2Manfaat penelitian 1.4.2.1 Manfaat teoritis ... 11

1.4.2.2 Manfaat praktis ... 12

1.5 Sistematika Penelitian ... 13

BAB 2 KAJIAN TEORI 2.1 Subjective Well Being 2.1.1 Definisi subjective well being ... 14

2.1.2 Dimensi subjective well being ... 15

2.1.2.1 Dimensi kognitif subjective well being ... 16

2.1.2.2 Dimensi afektif subjective well being ... 17

2.1.3 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Subjective Well Being .... 20

2.1.4 Pengukuran Subective well being ... 26

2.2 Tipe Kepribadian Big Five ... 27

2.2.1 Trait - trait tipe kepribadian big five ... 28

2.2.2 Pengukuran tipe kepribadian... 31

2.3 Dukungan Sosial 2.3.1 Definisi dukungan sosial ... 31

2.3.2 Dimensi dukungan sosial ... 32

2.3.3.Sumber – sumber dukungan sosial ... 36

2.3.4.Pengukuran dukungan sosial... 36

2.4 Faktor Demografis income ... 37

2.5 Mahasiswa Perantau ... 38

2.6 Kerangka Berpikir ... 38

2.7 Hipotesis Penelitian 2.7.1 Hipotesis mayor ... 42

(11)

xi

3.1 Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan sampel ... 44

3.2 Variabel Penelitian ... 45

3.3 Definisi Operasional... 45

3.4 Instrumen Pengumpulan Data... 46

3.5 Uji Validitas Instrumen Penelitian ... 52

3.5.1 Uji validitas alat ukur subjective well being ... 54

3.5.1.1 Uji validitas alat ukur kognitif ... 54

3.5.1.2 Uji Validitas Alat Ukur Afektif ... 57

3.5.2 Uji Validitas Alat Ukur Kepribadian 3.5.2.1Uji Validitas Alat Ukur Kepribadian Extraversion ... 59

3.5.2.2 Uji Validitas Alat Ukur Kepribadian Agreeableness ... 62

3.5.2.3 Uji Validitas Alat Ukur Kepribadian Neuroticism ... 64

3.5.2.4 Uji Validitas Alat Ukur Kepribadian Openness ... 66

3.5.2.5 Uji Validitas Alat Ukur Conscientiousness ... 68

3.5.3 Uji Validitas Alat Ukur Dukungan Sosial ... 70

3.5.3.1 Dukungan Sosial Kerekatan Emosional ... 70

3.5.3.2 Dukungan Sosial Integrasi Sosial ... 72

3.5.3.3 Dukungan Sosial Adanya Pengakuan ... 74

3.5.3.4 Dukungan Sosial Ketergantungan yang Diandalkan .... 76

3.5.3.5 Dukungan Sosial Bimbingan ... 78

3.5.3.6 Dukungan Sosial Kesempatan Untuk Mengasuh ... 80

3.6 Prosedur Pengumpulan Data ... 82

3.7 Metode Analisis Data ... 82

BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Subjek ... 86

4.2 Deskripsi Hasil Penelitian ... 89

4.2.1 Kategorisasi skor variabel penelitian... 90

4.3 Uji Hipotesis Penelitian ... 93

4.3.1 Analisis regresi variabel penelitian ... 93

4.3.2 Pengujian proporsi varians tiap independen variabel ...100

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI & SARAN 5.1 Kesimpulan ...106 5.2 Diskusi ...107 5.3 Saran ...112 5.3.1 Saran teoritis ...112 5.3.2 Saran praktis ...113 DAFTAR PUSTAKA ...115 Lampiran

(12)

xii

Tabel 3.1 Blue Print Alat Ukur Satisfacton with life scale

Tabel 3.2 Blue Print Alat Ukur Positive Affect Negative Affect Schedule

Tabel 3.3 Blue Print Alat Ukur International Personality Item Pool (IPIP) Big 5 Tabel 3.4 Blue print Social Provisions Scale

Tabel 3.5 Muatan Faktor Item Dimensi Kognitif Subjective Well Being Tabel 3.6 Muatan Faktor Item Dimensi Afektif Subjective Well Being Tabel 3.7 Muatan faktor tipe kepribadian extraversion

Tabel 3.8 Muatan faktor tipe kepribadian agreeableness Tabel 3.9 Muatan faktor tipe kepribadian neuroticism Tabel 3.10 Muatan faktor tipe kepribadian openness

Tabel 3.11 Muatan faktor tipe kepribadian conscientiousness

Tabel 3.12 Muatan faktor kerekatan emosional (emotional attachment) Tabel 3.13 Muatan faktor integrasi sosial (social integration)

Tabel 3.14 Muatan faktor adanya pengakuan (reanssurance of worth)

Tabel 3.15 Muatan faktor ketergantungan yang diandalkan (reliable reliance) Tabel 3.16 Muatan faktor bimbingan (guidance)

Tabel 3.17 Muatan faktor kesempatan mengasuh (opportunity for nurturance) Tabel 4.1 Distribusi subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin

Tabel 4.2 Distribusi subjek penelitian berdasarkan usia Tabel 4.3 Distribusi subjek penelitian berdasarkan income Tabel 4.4 Distribusi subjek penelitian berdasarkan asal daerah Tabel 4.5 Norma skor variabel

Tabel 4.6 Kategorisasi skor tiap variabel Tabel 4.7 Tabel R square

Tabel 4.8 Tabel Anova Tabel 4.9 Koefisien Regresi

(13)

xiii

Gambar 1 Path Diagram Subjective Well Being (Kognitf) Gambar 2 Path Diagram Subjective Well Being (Afektif) Gambar 3 Path Diagram Tipe Kepribadian (Extraversion) Gambar 4 Path Diagram Tipe Kperibadian (Agreeableness) Gambar 5 Path Diagram Tipe Kepribadian (Neuroticism) Gambar 6 Path Diagram Tipe Kepribadian (Openness)

Gambar 7 Path Diagram Tipe Kepribadian (Conscientiousness) Gambar 8 Path Diagram Dukungan Sosial (Kerekatan Emosional) Gambar 9 Path Diagram Dukungan Sosial (Integrasi Sosial) Gambar 10 Path Diagram Dukungan Sosial (Adanya Pengakuan)

Gambar 11 Path Diagram Dukungan Sosial (Ketergantungan Yang Diandalkan) Gambar 12 Path Diagram Dukungan Sosial (Bimbingan)

(14)

xiv Lampiran 1 Surat izin penelitian

Lampiran 2 Syntax & path diagram uji validitas Lampiran 3 Angket penelitian

(15)

1 1.1Latar Belakang Masalah

Di Indonesia banyak orang melanjutkan pendidikan di luar daerah tempat tinggalnya agar mendapatkan fasilitas pendidikan yang lebih memadai daripada di daerah asalnya. Hal ini disebabkan belum meratanya penyebaran sarana pendidikan di Indonesia baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Secara kuantitas, belum meratanya sarana pendidikan di Indonesia dapat dilihat dari jumlah universitas yang ada pada masing – masing pulau di Indonesia. Di Pulau Sumatera terdapat 27 perguruan tinggi negeri (PTN), di Pulau Jawa terdapat 33 PTN, di Pulau Bali dan Nusa Tenggara terdapat 9 PTN, di Pulau Kalimantan terdapat 10 PTN, di Pulau Sulawesi terdapat 13 PTN sedangkan di Pulau Papua dan Maluku hanya terdapat 5 PTN. Dari segi kualitas, kita dapat melihat bahwa PTN yang masuk ke dalam jajaran 100 kampus terbaik di Asia versi Webometrics periode Februari 2013 semua berada di Pulau Jawa. UGM berada di peringkat 70, ITB menempati rangking 81 dan UI di posisi 95 (east timor forum, 2013).

Banyak siswa yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia melanjutkan pendidikan tingginya di Pulau Jawa. Salah satu universitas yang menjadi tujuan untuk melanjutkan pendidikan tinggi adalah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada tahun 2012, jumlah mahasiswa perantau yang sedang menempuh pendidikan strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah berjumlah 13492 orang. Jumlah tersebut adalah mahasiswa yang berasal dari 197 kabupaten dan kota di luar Jabodetabek (Puskom Uin Jakarta, 2012). Mahasiswa – mahasiswa yang berasal dari

(16)

berbagai daerah di Indonesia ini biasanya tinggal di rumah – rumah kos, asrama, atau rumah kontrakan. Mereka yang memiliki karakteristik seperti diatas disebut mahasiswa perantau. Kata perantau disini memiliki makna seorang individu yang melanjutkan pendidikan di luar daerah asal mereka, dengan pergi ke daerah lain untuk mencari ilmu.

Dari hasil wawancara singkat yang penulis lakukan kepada beberapa mahasiswa perantau di Fakultas Psikologi UIN Jakarta, masalah yang dikeluhkan adalah adanya beberapa perubahan dalam kehidupan mereka yang menuntut mereka untuk beradaptasi. Mereka harus beradaptasi terhadap lingkungan pergaulan yang baru, norma – norma yang baru, beradaptasi terhadap gaya bicara dan gaya berpikir teman – teman baru. Contohnya adalah pengalaman mengenai perubahan gaya bicara yang dialami oleh seorang mahasiswi asal Medan. Ia mengatakan bahwa biasanya ia berbicara dengan “aku” dan “kamu”. Namun lingkungan pergaulan barunya menuntut ia untuk berbicara “lo” dan “gue”. Ia mengaku banyak kata – kata yang memiliki arti yang berbeda antara daerah asalnya dan di Jakarta contohnya kata “kali” di Medan, menjadi “banget” di Jakarta, kata “kereta” menjadi “motor”, dst. Hal serupa juga dialami oleh seorang mahasiswi asal Wonosobo yang mengaku bahwa ia butuh waktu untuk menghilangkan logat Jawanya yang kental karena ia sering diejek teman – teman yang berasal dari Jakarta.

Mahasiswa perantau juga mengalami perubahan norma. Contohnya adalah mahasiswa yang berasal dari sebuah daerah yang masih mengedepankan semangat kekeluargaan dan gotong royong, ketika berhadapan dengan sebuah lingkungan yang berbeda atau cenderung individualis tentunya menjadi semacam pertentangan budaya

(17)

(Nazar & Agustina, 2010). Perubahan lainnya yang dialami adalah perubahan dalam gaya hidup. Mahasiswa perantau dituntut untuk mampu mengatur waktu untuk belajar, hidup mandiri, mengatur keuangan yang diberikan secara terbatas setiap bulannya dan mengatur waktu untuk berbagai kegiatan dan tugas yang harus dikerjakan.

Masalah lain yang sering dihadapi mahasiswa perantau yang tinggal jauh dari keluarga adalah rasa rindu kepada keluarga dan kampung halaman. Saat merasa rindu dengan orang tua, mahasiswa perantau hanya bisa memandang wajah orang tuanya dari foto, mendengar suara mereka dari ujung telefon, namun tidak bisa memeluk mereka, dan mencium tangannya seperti saat di kampung halaman. Selain itu mahasiswa perantau juga sering mengalami masalah keterbatasan keuangan saat mereka kehabisan uang sebelum akhir bulan. Mahasiswa yang tinggal di rumah orang tua bisa langsung meminta pada orang tua. Tapi, ketika berada di perantauan, ada rasa segan meminta uang pada orang tua karena mereka telah mengirim uang tiap bulan (Halamandaris & Power dalam Leontopoulou & Trivia, 2012; Nazar & Agustina, 2010).

Kehidupan mahasiswa perantau yang penuh dinamika tersendiri ini dapat mempengaruhi mahasiswa dalam merasakan kebahagiaan. Carr (2004) mengatakan bahwa kebahagiaan dapat disetarakan dengan istilah subjective well-being. Menurut pendapat Diener dan Lucas (1999) subjective well-being adalah evaluasi individu tentang kehidupannya, termasuk penilaian kognitif terhadap kepuasan hidupnya serta penilaian afektif terhadap emosinya. Seseorang dikatakan memiliki subjective

(18)

well-being yang tinggi jika mereka merasa puas dengan kondisi hidup mereka, sering merasakan emosi positif dan jarang merasakan emosi negatif. Subjective well being dapat diketahui dari ada atau tidaknya perasaan bahagia (Diener & Lucas, 1999).

Pada penelitiannya Diener (2005) menunjukkan orang yang bahagia adalah orang yang sukses di banyak bidang kehidupan dan kesuksesannya sebagian disebabkan oleh kebahagiaannya. Orang yang bahagia lebih sosial, altruistik, aktif, lebih menyukai dirinya sendiri dan orang lain, memiliki tubuh dan sistem imun yang kuat, dan memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah lebih baik. Selain itu, memiliki mood yang menyenangkan sehingga dapat meningkatkan pemikiran kreatif.

Subjective well being pada mahasiswa menjadi penting untuk diteliti karena memiliki pengaruh terhadap banyak aspek psikologi. Salah satunya dengan prestasi akademik. Pada saat individu memiliki subjective well being yang tinggi maka ia mampu mencapai prestasi akademik yang lebih tinggi pula (Quinn & Duckworth, 2007; Antonio, 2005). Russell (2008) menyimpulkan bahwa subjective well being memiliki pengaruh yang positif terhadap kinerja (work performance) dan kepuasan kerja. Artinya semakin tinggi subjective well being, maka semakin tinggi pula kinerja (work performance) dan kepuasan kerja. Penelitian yang dilakukan oleh Soini, Aro & Niemivirta (2007) menyimpulkan bahwa subjective well being memiliki pengaruh positif dengan self-improvement (pengembangan diri) serta achievement goal orientation. Artinya semakin tinggi subjective well being, maka semakin tinggi pula self-improvement (pengembangan diri) serta achievement goal orientation.

(19)

Penelitian yang dilakukan oleh Leontopoulou dan Trilivia (2012) dengan menggunakan 312 sampel dari mahasiswa Universitas Greek menyimpulkan bahwa character strength dan kesehatan mental berhubungan positif dengan subjective well being. Kesehatan mental bukan hanya sekedar bebas dari gangguan tetapi lebih kepada perasan sehat, sejahtera dan bahagia (well being), ada keserasian antara pikiran, perasaan, perilaku, dapat merasakan kebahagiaan dalam sebagian besar kehidupannya serta mampu mengatasi tantangan hidup sehari - hari. Sementara itu Savelkoul, Witte dan Borne (2000) menyimpulkan ada hubungan positif coping, dukungan sosial dan subjective well being pada penderita penyakit rematik. Hasil ini senada dengan penelitian yang dilakukan Worsch, Amir dan Miller (2011) yang menyimpulkan bahwa ada pengaruh positif subjective well being terhadap goal adjustment capacities dan coping pada caregiver (pengasuh) yang memiliki anggota keluarga dengan gangguan mental.

Faktor – faktor yang mempengaruhi subjective well being antara lain adalah: harga diri (self esteem), kepribadian, optimisme, dukungan sosial, pengaruh masyarakat dan budaya serta faktor demografis seperti jenis kelamin, usia, status pernikahan dan pendapatan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kepribadian merupakan salah satu prediktor subjective well being yang paling konsisten (Diener & Lucas, 1999; Diener, Lucas dan Oishi, 2005).

Kepribadian adalah dimensi perbedaan individu terhadap kecenderungan yang menunjukkan pola konsisten dari pikiran, perasaan, dan tindakan. Teori kepribadian yang akan digunakan pada penelitian ini adalah tipe kepribadian Big Five. Tipe kepribadian Big Five adalah suatu pendekatan yang digunakan dalam psikologi untuk

(20)

melihat kepribadian manusia melalui trait yang tersusun dalam lima buah domain. Lima trait kepribadian tersebut adalah extraversion, agreeableness, neuoriticism, openness, conscientiousness (Costa & McCrae dalam Feist & Feist, 2009).

Penelitian yang dilakukan oleh Schimmack, Oishi, Radhakrishnan, Dzokoto, Ahadi (2002) menyimpulkan bahwa budaya dan kepribadian memiliki pengaruh yang signifikan terhadap life satisfaction yang merupakan dimensi dari subjective well being. Penelitian ini menunjukkan bahwa extraversion dan neuroticism memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan openness, agreeableness dan conscientiousness. Hasil yang sama juga disimpulkan Libran (2006) yang menyatakan bahwa neuroticism mempengaruhi subjective well being sebesar 44% sedangkan extraversion sebesar 8%. Hasil serupa juga diperoleh dari penelitian Diener, Oishi dan Lucas (2003) yang menyimpulkan bahwa extraversion, neuroticism dan self esteem berpengaruh terhadap tingkat subjective well being individu.

Hasil penelitian Gutierrez dkk (2004) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kepribadian dan subjective well being khususnya extraversion dan neuroticism namun agreeableness merupakan prediktor subjective well being yang tidak signifikan. Hasil yang berbeda ditunjukkan penelitian yang dilakukan oleh DeNeve & Cooper (1998) menunjukkan bahwa agreeableness dan conscientiousness berhubungan dengan pengukuran subjective well being sedangkan openness memiliki korelasi yang paling kecil dengan subjective well being. Penelitian yang dilakukan Siedlecki, Salthouse, Oishi, & Jeswani (2013) menunjukkan bahwa extraversion, agreeableness dan openness tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan subjective well being. Perbedaan hasil penelitian ini membuat penulis tertarik untuk

(21)

menguji pengaruh kepribadian terhadap subjective well being dengan menggunakan subjek penelitian yang berbeda dari peneltian – penelitian sebelumnya.

Selain kepribadian, dukungan sosial juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap subjective well being (Ratelle, Simard & Guay, 2012; Savelkoul, Witte dan Borne, 2000; Taylor, Chatters, Hardison, & Riley, 2001; Siedlecki, Salthouse, Oishi, & Jeswani, 2013). Sarafino (1998) mengatakan bahwa dukungan sosial adalah rasa nyaman, perhatian , penghargaan atau bantuan yang didapatkan seseorang dari orang lain baik dari individu maupun kelompok. Weiss (dalam Cutrona & Russell, 1987) menyebutkan bahwa ada enam komponen dukungan sosial yaitu kerekatan emosional (emotional attachment), integrasi sosial (social integration), adanya pengakuan (reanssurance of worth), ketergantungan yang dapat diandalkan (reliable reliance), bimbingan (guidance) dan kesempatan untuk mengasuh (opportunity for nurturance).

Hasil yang berbeda dengan penelitian – penelitian sebelumnya ditunjukkan oleh Uchida, dkk. (2008). Uchida dkk (2008) menyatakan tidak ada hubungan antara dukungan sosial dan well being pada budaya Eropa Amerika. Perbedaan hasil ini mendorong penulis untuk menguji pengaruh dukungan sosial terhadap subjective well being di budaya Indonesia yaitu dengan menggunakan subjek penelitian mahasiswa perantau. Penulis tertarik untuk meneliti pengaruh dukungan sosial terhadap subjective well being pada mahasiswa perantau karena penelitian sebelumnya melakukan pada subjek penelitian yang berbeda. Gatari (2008) yang mengambil subjek penelitian ibu bekerja menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara perceived social support dengan subjective well-being pada ibu bekerja. Penelitian yang dilakukan Huda (2010) pada subjek laki – laki dan perempuan berusia

(22)

28 sampai 40 tahun yang belum menikah menyimpulkan bahwa terdapat kontribusi dukungan sosial terhadap kepuasan hidup, afek positif dan afek negatif.

Selain kepribadian dan dukungan sosial, faktor demografis seperti income juga memiliki hubungan dengan subjective well being. Income adalah hasil kerja dan usaha yang dilakukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Penulis tertarik untuk mengukur pengaruh income terhadap subjective well being karena salah satu permasalahan utama yang disampaikan oleh mahasiswa perantau adalah masalah keuangan. Mereka mengaku bahwa diakhir bulan biasanya mereka harus berhemat atau kadang berhutang karena uang yang dikirimkan oleh orang tuanya sudah menipis.

Penelitian yang dilakukan oleh Calvo dkk (2012) di 142 negara menghasilkan kesimpulan terdapat tingginya tingkat social trust dan dukungan sosial berhubungan dengan subjective well being. Hubungan ini menjadi lebih kuat pada negara – negara yang memiliki penghasilan menengah keatas. Diener, Tay dan Oishi (2011) juga menunjukkan hasil bahwa pendapatan memiliki hubungan dengan subjective well being meski tidak terlalu kuat. Cramm, Moller dan Nieboer (2011) juga menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara social capital, kesehatan, status perkawinan dan tingkat pendapatan pada masyarakat Grahamstown, Afrika Selatan.

Berbagai fenomena dan penelitian mengenai subjective well being yang telah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya inilah yang menyebabkan peneliti merasa terdorong untuk melakukan penelitian yang tentang pengaruh tipe kepribadian big five dan dukungan sosial terhadap subjective well being pada mahasiswa perantau.

(23)

1.2Pembatasan Masalah

Penelitian ini terkait dengan pengaruh tipe kepribadian big five dan dukungan sosial terhadap subjective well being pada mahasiswa perantau yang definisinya adalah sebagai berikut:

1. Subjective well being didefinisikan sebagai evaluasi individu terhadap pengalaman hidupnya, yang terdiri dari evaluasi kognitif dan afeksi. Evaluasi ini meliputi penilaian emosional terhadap berbagai kejadian yang dialami dan penilaian kognitif terhadap kepuasan hidup (Diener & Lucas, 1999).

2. Tipe kepribadian Big Five adalah suatu pendekatan yang digunakan dalam psikologi untuk melihat kepribadian manusia melalui trait yang tersusun dalam lima buah domain. Lima traits kepribadian tersebut adalah extraversion, agreeableness, neuoriticism, openness, conscientiousness (Costa & McCrae, dalam Feist & Feist, 2009).

3. Sarafino (1998) mengatakan bahwa dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan atau bantuan yang diperoleh individu dari orang lain (individu maupun kelompok). Aspek – aspek dukungan sosial yang dikemukakan oleh Weiss (dalam Cutrona & Russell, 1987) terdiri dari kerekatan emosional (emotional attachment), integrasi sosial (social integration), adanya pengakuan (reanssurance of worth), ketergantungan yang dapat diandalkan (reliable reliance), bimbingan (guidance) dan kesempatan untuk mengasuh (opportunity for nurturance).

4. Income adalah hasil kerja dan usaha yang dilakukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam penelitian ini pendapatan yang dimaksud adalah uang

(24)

yang dimiliki subjek tiap bulannya baik yang berasal dari kiriman orang tua maupun yang diperoleh dari hasil bekerja.

5. Mahasiswa perantau adalah mahasiswa yang melanjutkan pendidikan di luar daerah asal mereka, dengan pergi ke daerah lain untuk mencari ilmu (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2000). Dalam penelitian ini mahasiswa perantau adalah mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berasal dari luar daerah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) yang saat ini tinggal di kosan, asrama atau kontrakan.

1.3Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan, maka dalam penelitian ini, permasalahan tentang pengaruh antara tipe kepribadian dan dukungan sosial terhadap subjective well being mahasiswa perantau UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dapat disampaikan dalam bentuk pertanyaan – pertanyaan sebagai berikut:

a. Apakah ada pengaruh tipe kepribadian terhadap subjective well being mahasiswa perantau UIN Syarif Hidayatullah Jakarta?

b. Apakah ada pengaruh dukungan sosial terhadap subjective well being mahasiswa perantau UIN Syarif Hidayatullah Jakarta?

c. Apakah ada pengaruh income terhadap subjective well being mahasiswa perantau UIN Syarif Hidayatullah Jakarta?

d. Apakah ada pengaruh bersama tipe kepribadian, dukungan sosial dan income terhadap subjective well being mahasiswa perantau UIN Syarif Hidayatullah Jakarta?

(25)

1.4Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1Tujuan penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

a. Mengukur pengaruh tipe kepribadian terhadap subjective well being mahasiswa perantau UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

b. Mengukur pengaruh dukungan sosial terhadap subjective well being mahasiswa perantau UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

c. Mengukur pengaruh income terhadap subjective well being mahasiswa perantau UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

d. Mengukur pengaruh bersama tipe kepribadian, dukungan sosial dan income terhadap subjective well being mahasiswa perantau UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

1.4.2 Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis seperti penjelasan berikut ini.

1.4.2.1Manfaat teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wawasan ilmu pengetahuan psikologi, khususnya pada bidang psikologi pendidikan, psikologi positif serta bidang psikologi sosial dan psikologi perkembangan. Penelitian ini juga dapat mengembangkan teori dukungan sosial, kepribadian dan subjective well being.

(26)

1.4.2.2Manfaat praktis

a. Diharapkan dapat mengoptimalkan fungsi orang – orang terdekat individu (anak, saudara, teman, dll) sebagai sumber dukungan sosial utama dalam membantu mahasiswa perantau menjalani kehidupan sebagai mahasiswa. Sehingga mahasiswa dapat terhindar dari hal – hal negatif, mendapatkan subjective well being yang baik dan lebih optimal dalam mengembangkan diri dan meraih prestasi.

b. Memberikan informasi kepada orang – orang yang berada disekitar mahasiwa perantau seperti keluarga dan teman, dengan tujuan mengembangkan pemahaman mengenai subjective well being pada mahasiswa perantau.

c. Diharapkan dapat meningkatkan minat para peneliti lain untuk melakukan penelitian lebih lanjut dan mendalam, atau melakukan penelitian baru yang berhubungan dengan subjective well being dan mahasiswa perantau.

(27)

1.5Sistematika Penelitian

Proposal penelitian ini terdiri dari lima bagian. BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini membahas latar belakang penelitian, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Pada bagian pendahuluan akan dijelaskan garis besar penelitian secara umum.

BAB II : LANDASAN TEORI

Bab ini akan membahas dasar-dasar teori yang digunakan untuk mendukung penelitian yang akan dilakukan, yaitu teori mengenai subjective well being, kepribadian, dukungan sosial dan pendapatan yang merupakan variabel dalam penelitian ini serta dilengkapi dengan kerangka berpikir.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan penjelasan mengenai populasi dan sampel penelitian, variabel penelitian, definisi operasional, alat ukur yang digunakan, prosedur penelitian dan teknik analisis data.

BAB IV : HASIL PENELITIAN

Bab ini membahas kesimpulan dari penelitian yang dilakukan dan juga akan dijelaskan bagaimana temuan yang didapat dari hasil penelitian tersebut.

BAB V : KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

Bab ini membahas kesimpulan atas hasil penelitian serta saran-saran yang terkait dengan penelitian ini hingga diharapkan dapat berguna untuk penelitian selanjutnya.

(28)

14

LANDASAN TEORI

2.1 Subjective Well Being

2.1.1 Definisi subjective well being

Subjective well being dapat diartikan sebagai penilaian individu terhadap kehidupannya yang meliputi penilaian kognitif mengenai kepuasan hidup dan penilaian afektif mengenai mood dan emosi seperti perasaan emosional positif dan negatif (Eddington dan Shuman, 2008).

Subjective well being didefinisikan oleh Diener, Lucas & Oishi (2005) sebagai evaluasi kognitif dan afektif individu terhadap hidupnya. Subjective well being merupakan konsep yang mencakup tingginya kepuasan hidup, rendahnya tingkat afek negatif dan tingginya tingkat afek positif. Definisi lain subjective well being dari Russell (2008) adalah persepsi individu terhadap kehidupannya atau pandangan subjektif individu terhadap pengalaman hidupnya.

Subjective well being dapat diartikan sebagai penilaian individu terhadap kehidupannya yang meliputi penilaian kognitif mengenai kepuasan hidup dan penilaian afektif mengenai mood dan emosi (Diener & Lucas, 1999). Menurut Shin & Jhonson (dalam Diener, 2009) subjective well being didefinisikan

(29)

sebagai penilaian global kualitas hidup individu menurut kriteria yang telah dipilih individu tersebut.

Berdasarkan pengertian – pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa subjective well being adalah penilaian subjektif yang diberikan oleh individu mengenai kehidupannya meliputi penilaian mengenai kepuasan hidup dan emosi. Untuk penelitian ini, penulis memakai definisi dari Diener dan Lucas (1999), yaitu: “evaluasi individu tentang kehidupannya, termasuk penilaian kognitif terhadap kepuasan hidupnya serta penilaian afektif terhadap emosinya”. Definisi ini dipilih karena lebih menggambarkan komponen – komponen yang akan digunakan untuk mengukur subjective well being dalam penelitian ini.

2.1.2 Dimensi – dimensi subjective well being

Dimensi subjective well being dapat dibagi menjadi dua yaitu penilaian kognitif dan penilaian afektif. Penilaian kognitif adalah penilaian individu mengenai kepuasan hidup sedangkan penilaian afektif adalah penilaian individu terhadap mood dan emosi yang sering dirasakan dalam hidup (Diener, Suh, Lucas dan Smith, 1999). Berikut ini adalah pembahasan lebih lanjut mengenai kedua dimensi tersebut.

(30)

2.1.2.1 Dimensi kognitif subjective well being

Dimensi kognitif dari subjective well being adalah evaluasi terhadap kepuasan hidup individu. Evaluasi tersebut dapat dikategorikan menjadi evaluasi umum (global) dan evaluasi khusus (domain tertentu) (Diener, et.al, 1999). Berikut adalah penjelasan lebih lanjut mengenai kedua penilaian tersebut.

a. Evaluasi terhadap kepuasan hidup secara global, yaitu evaluasi individu terhadap kehidupannya secara menyeluruh. Penilaian umum ini merupakan penilaian individu yang bersifat reflektif terhadap kepuasan hidupnya (Diener, 2005). Kepuasan hidup secara global dimaksudkan untuk merepresentasikan penilaian individu secara umum. Kepuasan hidup secara global didasarkan pada proses penilaian dimana individu mengukur kualitas hidupnya dengan didasarkan pada satu set kriteria yang unik yang mereka tentukan sendiri. Secara lebih spesifik, kepuasan hidup secara global melibatkan persepsi individu terhadap perbandingan keadaan hidupnya dengan standar unik yang mereka miliki.

b. Evaluasi terhadap kepuasan domain tertentu, yaitu penilaian yang dibuat individu dalam mengevaluasi domain atau aspek tertentu dalam kehidupannya, seperti kesehatan fisik dan mental, pekerjaan, rekreasi, hubungan sosial, kehidupan dengan pasangan hidup dan kehidupan dengan keluarga (Diener, 2005).

(31)

Kedua dimensi tersebut tidak sepenuhnya terpisah. Evaluasi global dan evaluasi terhadap domain tertentu memiliki keterkaitan satu sama lain. Dalam melakukan penilaian mengenai kepuasan hidup secara umum, individu kemungkinan besar akan menggunakan informasi mengenai kepuasan pada salah satu aspek hidup yang dianggap paling penting. Evaluasi terhadap kepuasan hidup secara global merupakan refleksi dari persepsi individu terhadap hal – hal yang ada di dalam hidupnya, ditambah dengan bagaimana kultur mempengaruhi pandangan hidup positif individu.

2.1.2.2 Dimensi afektif subjective well being

Menurut Diener, et.al (1999) dimensi afektif subjective well being merefleksikan peristiwa yang terjadi di dalam hidup individu. Dengan meneliti tipe – tipe dari reaksi afektif yang ada, seorang peneliti dapat memahami cara individu mengevaluasi kondisi dan peristiwa di dalam hidupnya. Secara umum dimensi afektif subjective well being dapat dikategorikan menjadi evaluasi terhadap keberadaan afek – afek positif dan evaluasi terhadap keberadaan afek – afek negatif. Larsen dan Diener (1992) dan Averill (dalam Carr, 2004) menjelaskan bahwa afek positif adalah kombinasi hal yang sifatnya membangkitkan (arousal) dan hal yang sifatnya menyenangkan (pleasantness) dan emosi yang termasuk didalamnya antara lain aktif, siap sedia dan senang. Afek negatif adalah kombinasi hal yang sifatnya membangkitkan (arousal)

(32)

dan hal yang sifatnya tidak menyenangkan (unpleasantness) dan didalamnya terdapat emosi seperti cemas, sedih, dan ketakutan.

a. Evaluasi terhadap keberadaan afek positif

Carr (2004) menjelaskan afek positif sebagai dimensi dimana terdapat perasaan yang nyaman dengan intensitas yang beragam. Afek – afek positif merepresentasikan emosi yang bersifat menyenangkan, seperti cinta atau kasih sayang. Afek – afek positif dianggap sebagai bagian dari subjective well being karena afek – afek tersebut merefleksikan reaksi individu terhadap sejumlah peristiwa dalam hidup yang menunjukkan bahwa hidup berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan (Diener, 2005).

Larsen dan Diener (dalam Carr, 2004) mengatakan bahwa afek positif adalah kombinasi dari hal yang sifatnya membangkitkan (arousal) dan hal yang bersifat menyenangkan (pleasantness). Afek – afek positif yang tinggi terjadi ketika individu merasakan energi yang tinggi, konsentrasi penuh, dan keterlibatan yang menyenangkan. Sementara itu, afek – afek positif yang rendah terjadi ketika individu mengalami kesedihan dan kelelahan (Watson, Clark & Tellegen, 1988). Afek positif dapat membuat individu lebih menikmati pekerjaan, hubungan dengan orang lain, bahagia dalam pekerjaan dan percintaan meningkatkan afek positif. Afek positif mendorong individu untuk mendekatkannya pada situasi yang menyenangkan dan bermanfaat seperti makanan, tempat berlindung,

(33)

dan mencari pasangan. Afek positif dapat ditingkatkan dengan melakukan kegiatan fisik sehari – hari, tidur yang cukup, bersosialisasi dengan teman dekat dan bekerja keras untuk mencapai tujuan yang memiliki nilai (Watson, et.al, 1988).

b. Evaluasi terhadap keberadaan afek negatif

Afek negatif merepresentasikan mood dan emosi yang tidak menyenangkan dan merefleksikan respon negatif yang dialami individu sebagai reaksinya terhadap kehidupan, kesehatan, keadaan dan peristiwa yang mereka alami (Diener, 2005).

Afek – afek negatif merupakan kombinasi dari hal – hal yang bersifat membangkitkan (arousal) dan hal – hal yang bersifat tidak menyenangkan (unpleasantness). Afek – afek negatif yang tinggi akan muncul ketika individu merasakan kemarahan, kebencian, jijik, rasa bersalah, ketakutan dan kegelisahan. Sementara itu, afek – afek negatif yang rendah akan muncul ketika individu merasakan ketenangan dan kedamaian (Watson, et.al, 1988).

Afek – afek negatif memang dibutuhkan dan seharusnya terjadi agar hidup dapat berfungsi secara optimal. Salah satu fungsi dari afek negatif adalah mengarahkan kepada perilaku menghindar yang berguna untuk menjauhkan individu dari situasi yang berbahaya. Namun afek – afek negatif yang terlalu sering terjadi atau terjadi secara berkepanjangan merupakan

(34)

indikasi bahwa individu memiliki penilaian yang buruk terhadap kehidupannya. Pengalaman merasakan afek – afek negatif secara berkepanjangan akan menghambat individu untuk bertingkah laku secara efektif dalam kehidupan sehari – hari. Dengan demikian, individu merasa bahwa hidupnya tidak menyenangkan (Diener, 2005).

Individu dideskripsikan mempunyai subjective well being yang tinggi apabila ia menilai kepuasan hidupnya tinggi dan merasakan afek positif lebih sering dibandingkan afek negatif (Diener & Lucas, dalam Ryan & Deci, 2001).

2.1.3 Faktor – faktor yang mempengaruhi subjective well being

Berbagai hasil penelitian dan literatur telah menghasilkan sejumlah variabel yang dianggap sebagai prediktor subjective well being yang signifikan. Prediktor – prediktor yang dimaksud adalah harga diri (self esteem), kepribadian, optimisme, dukungan sosial, pengaruh masyarakat dan budaya, proses kognitif, serta faktor demografis seperti jenis kelamin, usia, status pernikahan dan pendapatan. Berikut ini adalah pembahasan secara lebih spesifik untuk masing – masing prediktor diatas.

a. Harga diri (self esteem)

Menurut Eddington dan Shuman (2008) harga diri berhubungan kuat secara positif di budaya barat. Harga diri (self esteem) yang tinggi akan membuat individu memiliki beberapa kelebihan, termasuk pemahaman mengenai arti

(35)

dan nilai hidup (Ryan dan Deci, 2001). Hubungan yang kuat antara harga diri (self esteem) dan subjective well being tidak ditemukan secara konsisten di beberapa negara, terutama di negara – negara penganut sistem kolektif seperti di Cina. Di negara – negara tersebut, otonomi dan tuntutan pribadi dianggap tidak lebih penting daripada kesatuan keluarga dan sosial sehingga harga diri (self esteem) menjadi prediktor subjective well being yang kurang penting (Eddington & Shuman, 2008).

b. Kepribadian

Dua trait kepribadian yang ditemukan paling berhubungan dengan subjective well being adalah extraversion dan neuroticism (Diener & Lucas, 1999). Extraversion mempengaruhi afek positif sedangkan neuroticism mempengaruhi afek negatif. Para peneliti berpendapat bahwa extraversion dan neuroticism paling berhubungan dengan subjective well being karena kedua traittersebut mencerminkan temperamen seseorang.

Sejumlah hasil penelitian menemukan bahwa tipe kepribadian ekstroversi merupakan salah satu prediktor subjective well being yang paling signifikan (DeNeve & Cooper, 1998; Diener & Lucas, 1999; Schimmack et.al, 2002). Menurut Watson & Clark (dalam Diener & Lucas, 1999), trait lain dalam model kepribadian “the big five trait factors” yaitu agreeableness, conscientiousness, dan openness to experience menunjukkan hubungan yang lebih lemah dengan subjective well being. Seidlitz (dalam Diener & Lucas, 1999) mengatakan bahwa hubungan tersebut lebih lemah

(36)

karena trait tersebut terbentuk dari reward oleh lingkungan, dan bukannya oleh reaktivitas faktor biologis terhadap lingkungan.

c. Optimisme

Individu yang memiliki optimisme terhadap masa depan cenderung merasa lebih bahagia dan lebih puas dengan kehidupan (Diener et.al, 1999). Schaier dan Carver (dalam Eddington & Shuman, 2008) menyatakan optimisme sebagai kecenderungan untuk berharap hasil yang menyenangkan pada kehidupan seseorang. Secara spesifik, mereka yang mempercayai bahwa dirinya akan mendapat hasil yang positif, lebih mungkin untuk meraih tujuannya. Diener et.al (1996) menyatakan optimisme berkorelasi dengan pengukuran subjective well-being seperti kepuasan hidup, afek menyenangkan, dan afek tidak menyenangkan.

Scheier dan Carver (1993) meninjau penemuan yang menunjukkan bahwa optimisme membantu menjaga tingkat subjective well-being ketika menghadapi stressor. Fakta menunjukkan bahwa optimisme cenderung mendorong individu untuk menggunakan mekanisme coping yang fokus pada masalah, mencari dukungan sosial, dan menekankan aspek positif dari situasi yang sulit (Carver et al, 1986). Individu yang berpikir positif menggunakan bentuk coping yang lebih efektif (dalam Eddington & Shuman, 2008).

(37)

d. Dukungan sosial

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa dukungan sosial memiliki hubungan dengan dukungan sosial (Savelkoul et.al, 2000; Siedlecki et.al, 2013; Taylor et.al, 2001). Menurut Diener dan Selligman (2002) dukungan sosial merupakan prediktor subjective well being. Orang – orang yang memperoleh dukungan sosial yang memuaskan melaporkan bahwa mereka lebih sering merasa bahagia dan lebih sedikit merasakan kesedihan. Hal ini karena pemikiran bahwa individu memiliki tempat bersandar ketika mereka membutuhkan akan membuat individu merasa nyaman dan hal ini akan berkontribusi pada afek positif yang dirasakan individu. Tingginya afek positif yang dirasakan individu menunjukkan tingginya subjective well being yang dimiliki individu tersebut. Menurut Campbell (dalam Taylor et.al, 2001) hadirnya orang – orang yang memberikan dukungan sosial akan meningkatkan kemampuan individu dalam menghadapi stress sehingga memapu menghasilkan tingkat subjective well being yang lebih tinggi.

e. Pengaruh masyarakat dan budaya

Diener, Oishi dan Lucas (2003) mengemukakan bahwa perbedaan subjective well being dapat terjadi karena perbedaan kekayaan negara. Negara yang kaya dinilai dapat membentuk subjective well being yang tinggi pada penduduknya karena negara yang kaya cenderung menghargai hak asasi manusia, memberikan angka harapan hidup yang lebih panjang dan lebih demokratis.

(38)

Perbedaan juga dapat disebabkan oleh budaya. Diener, Suh, Oishi dan Shao (dalam Wirtz, Chiu, Diener & Oishi, 2009) mengatakan bahwa norma budaya lebih mempengaruhi afek positif daripada afek negatif. Di dalam sebuah budaya yang meanggap ekspresi hal – hal positif sebagai sesuatu yang tidak baik, individu cenderung melaporkan tingkat afek positif yang lebih rendah daripada individu yang tumbuh di dalam budaya yang menganggap ekspresi hal – hal positif sebagai sesuatu yang wajar. Afek positif lebih dipengaruhi oleh lingkungan karena lebih bersifat sosial.

f. Faktor demografis

Diener, Lucas dan Oishi (2005) mengatakan bahwa efek faktor demografis (misalnya jenis kelamin, umur, status pernikahan, pendapatan) terhadap subjective well being biasanya kecil. Berikut adalah penjelasan mengenai faktor demografis yang mempengaruhi subjective well being.

a. Jenis kelamin dan umur

Diener, Lucas dan Oishi (2005) menyatakan bahwa jenis kelamin dan umur berhubungan dengan subjective well being, namun efek tersebut kecil. Pernyataan tersebut diperkuat oleh hasil penelitian Diener dan Suh (dalam Diener et al, 2005) yang menunjukkan bahwa perempuan memiliki tingkat subjective well being yang relatif sama dengan laki – laki.

(39)

b. Status pernikahan

Pengaruh status pernikahan terhadap subjective well being dipengaruhi kuat oleh kebudayaan setempat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam kultur individualis, pasangan yang tidak menikah tetapi tinggal bersama (cohabiting) diketahui merasa lebih bahagia daripada pasangan menikah atau seseorang yang tidak memiliki pasangan. Sebaliknya dalam kultur kolektivis, pasangan yang menikah diketahui merasa lebih bahagia daripada pasangan yang belum menikah tetapi tinggal bersama atau seseorang yang tidak memiliki pasangan (Diener, Gohm, Suh, Oishi dalam Diener, et al, 2005).

Banyak peneliti yang percaya pernikahan berhubungan dengan subjective well being karena pernikahan sebagai kekuatan melawan kesulitan hidup. Pernikahan memberikan dukungan emosional dan finansial yang menghasilkan kondisi positif subjective well being (Eddington & Shuman, 2008)

c. Pendapatan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan memiliki hubungan yang konsisten dengan subjective well being dalam analisis pada skala negara. Hal ini disebabkan negara yang lebih makmur memiliki demokrasi yang lebih baik dan lebih menghargai persamaan. Dalam analisis pada skala individu, perbedaan pendapatan dalam selang waktu tertentu hanya memberikan pengaruh yang kecil terhadap subjective well being (Diener, et al, 2005). Alasan pendapatan tidak

(40)

terlalu kuat pengaruhnya terhadap subjective well being karena kebanyakan orang yang memiliki pendapatan lebih tinggi harus menghabiskan waktu lebih banyak untuk bekerja dan memiliki sedikit waktu untuk bersenang – senang dan berhubungan sosial (Diener & Diener, 2009).

2.1.4 Pengukuran subjective well being

Sebagian besar alat ukur yang digunakan untuk mengukur subjective well being mengasumsikan bahwa kebahagiaan dan kepuasan hidup dapat disusun dalam sebuah kontinum mulai dari “sangat bahagia” sampai dengan “sangat tidak bahagia”. Salah satu skala yang memiliki nilai reliabilitas yang tinggi dan paling sering digunakan adalah Satisfaction with Life Scale (Diener, Emmons, Larsen & Griffin, 1985) untuk mengukur nilai individu mengenai kepuasan hidupnya dan Positive Affect Negative Affect Schedule (Clark, Watson & Tellegen, 1988) untuk mengukur tingkat afek positif dan afek negatif individu pada satu waktu.

Peneliti menggunakan alat ukur yang diadaptasi dari Satisfactionwith Life Scale (SWLS) dan Positive Affect Negative Affect Schedule (PANAS) karena menurut peneliti skala tersebut sesuai untuk penelitian ini. Selain itu juga karena Satisfaction with Life Scale (SWLS) dan Positive Affect Negative Affect Schedule (PANAS) memiliki validitas dan reliabilitas yang baik (Pavot & Diener, 2004; Gatari, 2008).

(41)

2.2. Tipe Kepribadian Big Five

Pada tahun 1930-an, Allport dan Odbert untuk pertama kalinya meneliti mengenai sifat manusia, kemudian dilanjutkan oleh Cattell pada tahun 1940-an dan oleh Tupes, Christal dan Norman pada tahun 1960-an. Pada akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an, Costa dan McCrae juga meneliti hal yang sama yaitu mengenai sifat dari kepribadian (Feist & Feist 2009). Dalam masa tersebut, Costa dan McCrae awalnya hanya terfokus pada dua dimensi utama, yaitu neuroticism dan extraversion. Tidak lama setelahnya, Costa dan McCrae menemukan faktor ketiga yang mereka sebut dengan keterbukaan pada pengalaman (openness to experience). Hampir semua studi awal Costa dan McCrae hanya terfokus pada ketiga dimensi ini. Pada tahun 1981 Lewis Goldberg muncul sebagai orang pertama yang menggunakan istilah “Big Five” untuk mendeskripsikan temuan dari analisis faktor atas sifat kepribadian. Akhirnya pada tahun 1985, Costa dan McCrae mulai melaporkan studi pada lima faktor kepribadian.

Kepribadian big five adalah suatu pendekatan yang digunakan dalam psikologi untuk melihat kepribadian manusia melalui trait yang tersusun dalam lima buah dimensi kepribadian yang telah dibentuk dengan menggunakan analisis faktor. Lima dimensi trait kepribadian tersebut terdiri dari extraversion, agreeableness, neuroticism, openness dan conscientiousness.

(42)

2.2.1 Trait – trait dalam tipe kepribadian big five

Trait merupakan suatu pola tingkah laku yang relatif menetap secara terus menerus dan konsekuen yang diungkapkan dalam satu deretan keadaan. Trait mengacu pada perbedaan individu dalam berperilaku, konsistensi perilaku sepanjang waktu, dan stabilitas perilaku pada berbagai situasi (Feist & Feist, 2009). Pada penelitian ini, kepribadian dilihat berdasarkan The Big Five Personality yang dikembangkan oleh Costa dan McCrae. Trait-trait dalam domain-domain dari Big Five Personality Costa dan McCrae (dalam Feist & Feist, 2009) adalah sebagai berikut:

a. Extraversion

Faktor ini merupakan dimensi yang penting dalam kepribadian, dimana extraversion ini dapat memprediksi banyak tingkah laku sosial. Dimensi ini menilai kuantitas dan intensitas interaksi interpersonal, level aktivitasnya, kebutuhan untuk didukung, kemampuan untuk berbahagia dan menikmati hidup (Costa & McCrae dalam Pervin & John, 2001). Individu dengan skor extraversion yang tinggi cenderung penuh perhatian, ceria, aktif berbicara, senang berkumpul, selalu bersemangat, bahagia, menyenangkan dan penuh kasih sayang. Individu yang memiliki skor extraversion rendah cenderung cuek, pendiam, penyendiri, serius, pasif dan tidak mempunyai cukup kemampuan dalam mengekspresikan emosinya.

(43)

b. Agreeableness

Agreeableness menilai kualitas orientasi individu dengan kontinum mulai dari lemah lembut sampai antagonis didalam berpikir, perasaan dan perilaku (Costa & McCrae dalam Pervin & John, 2001). Individu dengan skor agreeableness yang tinggi cenderung mudah percaya pada orang lain, murah hati, suka menolong, mudah menerima dan baik hati. Individu yang memiliki skor agreeableness yang rendah cenderung penuh curiga, pelit, tidak ramah, mudah kesal dan mudah mengkritik orang lain.

c. Neuroticism

Trait ini menilai kestabilan dan ketidakstabilan emosi, mengidentifikasi kecenderungan individu apakah mudah mengalami stres, mempunyai ide-ide yang tidak realistis, mempunyai coping response yang maladaptif (Costa & McCrae dalam Pervin & John, 2001). Individu dengan skor neuroticism yang tinggi cenderung mudah menjadi cemas, temperamental, mengasihani diri, sangat sadar akan dirinya sendiri, emosional, rapuh, rentan terhadap gangguan yang berkaitan dengan stress, dan peka pada kritik. Individu yang memiliki skor neuroticism rendah biasanya tenang, tidak emosional dan puas terhadap dirinya.

d. Openness

Openness menilai bagaimana individu menggali sesuatu yang baru dan tidak biasa, usaha secara proaktif mencari pengalaman baru dan penghargaan individu terhadap pengalaman itu sendiri (Costa & McCrae dalam Pervin & John, 2001). Individu yang secara konsisten mencari pengalaman yang

(44)

berbeda dan bervariasi akan memiliki skor yang tinggi pada keterbukaan terhadap pengalaman. Sebagai contoh, mereka menikmati mencoba jenis makanan baru di sebuah restoran atau mereka tertarik mencari restoran yang baru dan menarik. Sebaliknya, mereka yang tidak terbuka kepada pengalaman hanya akan bertahan dengan hal – hal yang tidak asing, yang mereka tahu akan mereka nikmati. Individu yang memiliki karakteristik skor openness yang tinggi cenderung kreatif, orisinil, imajniatif, penuh rasa penasaran, terbuka, berpandangan luas, dan individu yang memiliki minat yang besar, sedangkan individu yang memiliki skor openness rendah biasanya konvensional, rendah hati, konservatif dan tidak terlalu penasaran terhadap sesuatu.

e. Conscientiousness

Conscientiousness menilai kemampuan individu dalam hal pengorganisasian, baik mengenai ketekunan dan motivasi dalam mencapai tujuan. Sebagai lawannya conscientiousness menilai apakah individu tersebut tergantung, malas dan tidak rapi (Costa & McCrae dalam Pervin dan John, 2001). Individu yang memiliki karakteristik conscientiousness dengan skor yang tinggi biasanya orang yang terorganisir dengan baik dan teratur dalam setiap pekerjaan, pekerja keras, disiplin, bertanggung jawab, tekun dan berambisi pada tujuannya, sebaliknya individu yang memiliki skor conscientiousness yang rendah cenderung tidak memiliki tujuan yang jelas, tidak teratur, kurang dapat dipercaya, teledor dalam bekerja, dan lebih mudah menyerah saat menemui kesulitan dalam mengerjakan sesuatu.

(45)

2.2.2 Pengukuran tipe kepribadian big five

Kepribadian big five diukur dengan mengadaptasi skala International Personality Item Pool (IPIP) Big Five Factor yang dibuat pada tahun 1992 oleh Goldberg (dalam Goldberg et.al, 2006). Skala ini terdiri dari 50 item pernyataan yang diadaptasi sehingga memiliki empat rentang pilihan jawaban. Pada kepribadian big five terdapat lima variabel yaitu: extraversion, agreeableness, conscientiousness dan openness yang masing – masing variabel terdapat 10 item (5 favorable dan 5 unfavorable).

Peneliti menggunakan alat ukur yang diadaptasi dari International Personality Item Pool (IPIP) Big Five Factor karena menurut peneliti skala tersebut sesuai untuk penelitian ini. Selain itu juga karena International Personality Item Pool (IPIP) Big Five Factor memiliki validitas dan reliabilitas yang baik (Socha, et al., 2010; Guenole & Chernyshenko, 2005).

2.3. Dukungan Sosial

2.3.1. Definisi dukungan sosial

Menurut Rietschlin (dalam Taylor, 2006) dukungan sosial didefinisikan sebagai informasi dari orang lain bahwa individu itu dicintai, diperhatikan, berharga dan bagian dari sebuah jaringan komunikasi yang merupakan kewajiban dari orang tua, pasangan, keluarga, teman dan komunitas sosial. Ketika dihadapkan pada masalah, individu dengan tingkat dukungan sosial yang tinggi akan lebih sedikit merasakan stress dan mampu melakukan coping dengan baik (Taylor, 2006).

(46)

Sarafino (1998) mengatakan bahwa dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan atau bantuan yang diperoleh individu dari orang lain, dimana orang lain disini dapat diartikan sebagai individu perorangan atau kelompok. Beberapa ahli Cobb, 1976; Gentry and Kobasa, 1984; Wallston, Alagna and Devellis, 1983; Wills, 1984 (dalam Sarafino, 1998) menyatakan bahwa individu yang memperoleh dukungan sosial akan meyakini individu dicintai, dirawat, dihargai, berharga dan merupakan bagian dari lingkungan sosialnya.

Dukungan sosial dapat berupa pemberian infomasi, bantuan tingkah laku, ataupun materi yang didapat dari hubungan sosial akrab yang dapat membuat individu merasa diperhatikan, bernilai, dan dicintai. Dukungan sosial yang diterima dapat membuat individu merasa tenang, diperhatikan, timbul rasa percaya diri dan kompeten (Taylor, 2006). Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan atau bantuan yang diperoleh individu dari orang lain, baik dari perorangan atau kelompok.

2.3.2 Dimensi dukungan sosial

Weiss (dalam Cutrona & Russell, 1987) menyebutkan bahwa terdapat enam kebutuhan (provisions) yang harus dipenuhi agar seseorang dapat merasa didukung secara cukup. Menurut Weiss enam kebutuhan tersebut yaitu: kerekatan emosional (emotional attachment), integrasi sosial (social integration), adanya pengakuan (reanssurance of worth), ketergantungan yang

(47)

dapat diandalkan (reliable reliance), bimbingan (guidance) dan kesempatan untuk mengasuh (opportunity for nurturance).

a. Kerekatan emosional (emotional Attachment)

Yaitu adanya perasaan kedekatan secara emosional kepada orang lain yang memberikan rasa nyaman. Jenis dukungan sosial semacam ini memungkinkan individu memperoleh kerekatan (kedekatan) emosional sehingga menimbulkan rasa aman, tentram dan damai bagi yang menerima. Individu yang mendapatkan dukungan sosial berupa kasih sayang bersikap lebih tenang dan tidak gegabah dalam menghadapi permasalahan. Sumber dukungan kasih sayang adalah dari orang – orang terdekat individu contohnya biasa diperoleh dari pasangan hidup, anggota keluarga, teman dekat dan individu lain yang memiliki hubungan yang harmonis.

Bentuk kasih sayang yang bisa didapatkan oleh remaja perantau antara lain: mendapat penghiburan dari orang – orang terdekat ketika mengalami permasalahan, orang – orang terdekat mampu memahami dan bersikap baik terhadap kondisi mahasiswa perantau, orang – orang terdekat memberikan perhatian ketika mahasiswa perantau sedang sakit, dan orang – orang terdekat mampu memahami perasaan mahasiswa perantau.

b. Integrasi sosial (Social Integration)

Merujuk pada perasaan memiliki minat, kepedulian, dan aktivitas rekreasi yang sama. Individu memiliki perasaan menjadi bagian dari kelompok, tempat berbagi minat, perhatian serta melakukan kegiatan yang menyenangkan bersama – sama.

(48)

Bentuk integrasi sosial mahasiswa perantau diantaranya: orangtua memberi kesempatan pada mahasiswa perantau untuk tetap memiliki peran dalam memutuskan permasalahan dalam keluarga walaupun mahasiswa perantau tinggal jauh dari keluarga, orang – orang terdekat selalu siap untuk membantu dan mencurahkan perhatian kepada mahasiswa perantau, mahasiswa perantau memiliki kesempatan untuk berbagi suka dan duka dengan orang – orang terdekat.

c. Adanya pengakuan atau penghargaan (Reassurance of Worth)

Yaitu adanya pengakuan dari orang lain terhadap kompetensi, keterampilan dan nilai yang dimiliki individu. Mahasiswa mendapat pengakuan atas kemampuan dan keahliannya serta mendapat penghargaan dari orang lain atau lembaga. Sumber dukungan sosial semacam ini dapat berasal dari keluarga, lembaga / organisasi atau universitas dimana mahasiswa kuliah. Contoh bentuk penghargaan dan pengakuan yang diberikan kepada mahasiswa perantau misalnya, orang tua atau lembaga memberi apresiasi atas perilaku positif atau prestasi mahasiswa perantau, keluarga mampu memberikan respon positif terhadap pendapat mahasiswa perantau, orang tua tetap memberikan kepercayaan kepada mahasiswa perantau.

d. Ketergantungan yang dapat diandalkan (reliable reliance)

Yaitu adanya keyakinan bahwa ada orang lain yang dapat diandalkan untuk membantu penyelesaian masalah. Pada dukungan sosial reliable reliance ini individu mendapatkan kepastian atau jaminan bahwa individu dapat mengharapkan orang lain untuk membantu dalam semua keadaan.

(49)

Mahasiswa perantau merasakan jaminan yang pasti bahwa orang lain akan membantunya dalam setiap keadaan.

Bentuk ketergantungan yang dapat diandalkan pada mahasiswa perantau misalnya, mahasiwa perantau mampu terbuka untuk bercerita baik suka maupun duka dengan orang tua, mahasiswa perantau memiliki tempat untuk bergantung dan meminta bantuan ketika menghadapi masalah, ada orang lain yang memberikan motivasi positif pada mahasiswa perantau.

e. Bimbingan (Guidance)

Yaitu adanya seseorang yang memberikan nasehat atau informasi. Dukungan sosial jenis ini adalah berupa adanya hubungan kerja atau pun hubungan sosial yang memungkinkan mahasiswa perantau mendapatkan informasi, saran atau nasihat yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan dan mengatasi permasalahan yang dihadapi. Jenis dukungan sosial ini dapat bersumber dari orang tua, dosen, teman, figur yang dituakan.

f. Kesempatan untuk membantu (Opportunity for Nurturance)

Suatu aspek penting dalam hubungan interpersonal adalah perasaan dibutuhkan oleh orang lain. Dengan adanya kesempatan untuk membantu, mahasiswa perantau merasa dirinya dibutuhkan dan penting bagi orang lain sehingga individu dapat merasa berharga dan bernilai. Bentuk kesempatan mahasiswa perantau untuk membantu misalnya teman memberikan kepercayaan untuk membantu memberikan solusi permasalahan yang dihadapi, orang tua mampu terbuka kepada mahasiswa perantau mengenai permasalahan yang terjadi.

(50)

2.3.3 Sumber – sumber dukungan sosial

Sumber – sumber dukungan sosial banyak diperoleh individu dari lingkungan sekitarnya. Sumber dukungan sosial merupakan aspek yang penting untuk diketahui dan dipahami. Dengan pengetahuan dan pemahaman tersebut, individu akan tahu pada siapa individu akan mendapatkan dukungan sosial yang sesuai dengan situasi dan keinginannya yang spesifik, sehingga dukungan sosial memiliki makna yang berarti. Sarafino (1998) mengatakan bahwa dukungan sosial dapat diperoleh dari berbagai sumber yang berbeda, yaitu: suami atau isteri, keluarga, rekan kerja, dokter ataupun komunitas organisasi.

2.3.4. Pengukuran dukungan sosial

Peneliti dalam penelitian ini mengadaptasi skala yang dikembangkan oleh Cutrona dan Russell (1987) yang dikenal dengan Social Provision Scale. Weiss (dalam Cutrona & Russell, 1987) menyebutkan bahwa terdapat enam kebutuhan (provisions) yang harus dipenuhi agar seseorang dapat merasa didukung secara cukup. Menurut Weiss enam kebutuhan tersebut yaitu: kerekatan emosional (emotional attachment), integrasi sosial (social integration), adanya pengakuan (reanssurance of worth), ketergantungan yang dapat diandalkan (reliable reliance), bimbingan (guidance) dan kesempatan untuk mengasuh (opportunity for nurturance). Peneliti menggunakan alat ukur yang diadaptasi dari Social Provision Scale karena menurut peneliti skala tersebut sesuai untuk penelitian ini. Selain itu juga karena Social Provision

(51)

Scale telah teruji memiliki validitas dan reliabilitas yang baik (Rizwan & Syed, 2010).

2.4 Faktor Demografis Income

Income adalah hasil kerja dan usaha yang dilakukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa income memiliki hubungan yang konsisten dengan subjective well being dalam analisis pada skala negara. Namun, dalam analisis pada skala individu, perbedaan income dalam selang waktu tertentu hanya memberikan pengaruh yang kecil terhadap subjective well being (Diener, Lucas dan Oishi, 2005).

Alasan income tidak terlalu kuat pengaruhnya terhadap subjective well being karena kebanyakan orang yang memiliki income lebih tinggi harus menghabiskan waktu lebih banyak untuk bekerja dan memiliki sedikit waktu untuk bersenang – senang dan berhubungan sosial (Diener & Diener, 2009). Hasil berbeda ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan Cramm, Moller dan Nieboer (2011) yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara social capital, kesehatan, status perkawinan dan tingkat income pada masyarakat Grahamstown, Afrika Selatan. Dalam penelitian ini income yang dimaksud adalah uang yang dimiliki subjek tiap bulannya baik yang berasal dari kiriman orang tua maupun yang diperoleh dari hasil bekerja.

(52)

2.5. Mahasiswa Perantau

Mahasiswa perantau adalah mahasiswa yang melanjutkan pendidikan di luar daerah asal mereka, dengan pergi ke daerah lain untuk mencari ilmu (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2000). Banyak orang melanjutkan pendidikannya di luar daerah tempat tinggalnya agar mendapatkan fasilitas pendidikan yang lebih memadai daripada di daerah asalnya. Mahasiswa – mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia ini biasanya tinggal di rumah – rumah kos, asrama, atau rumah kontrakan. Mereka yang memiliki karakteristik seperti diatas yang disebut mahasiswa perantau.

Mahasiswa perantau yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mahasiswa yang berasal dari luar daerah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok,Tangerang, Bekasi) yang tinggal rumah – rumah kos, asrama, atau rumah kontrakan.

2.6Kerangka Berpikir

Mahasiswa perantau menghadapi berbagai masalah antara lain adalah berbagai perubahan dalam kehidupan mereka seperti norma – norma yang baru, yang menuntut mereka untuk beradaptasi, rasa kangen kepada keluarga, masalah keterbatasan keuangan, mengatur waktu untuk belajar, dan hidup mandiri.

Kehidupan mahasiswa perantau yang penuh dinamika tersendiri ini dapat mempengaruhi mahasiswa dalam merasakan kebahagiaan. Alan Carr (2004) mengatakan bahwa kebahagiaan dapat disetarakan dengan istilah subjective well-being.Menurut pendapat Diener, Lucas dan Oishi (1999) subjective well-being adalah evaluasi individu terhadap pengalaman hidupnya, yang terdiri dari evaluasi

Gambar

Tabel 4.7  Tabel R square
Tabel 4.9  Koefisien regresi  Model  Unstandardized  Coefficients  Standardized Coefficients  t  Sig

Referensi

Dokumen terkait

Kemudian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menambah fakultas baru, yaitu Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (Program Studi Kesehatan Masyarakat) berdasarkan surat keputusan

merasa tertarik untuk meneliti dengan judul “ Gaya Berbusana Muslim Sebagai Manivestasi Prilaku Sosial Keagamaan Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”.. Pembatasan dan

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Pengaruh Status Identitas Terhadap Agresivitas pada Mahasiswa Fakultas Psikologi UIN syarif Hidayatullah Jakarta ” adalah

Skripsi yang berjudul “Perbedaan Tingkat Religiusitas Pada Mahasiswa Fakultas Keagamaan Dan Non Keagamaan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” telah diujikan dalam sidang

Hampir separoh dari dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (40,90 %) memberikan umpan balik agar UIN atau Fakultas mengadakan pelatihan pembuatan

Imam Subchi, MA, selaku Ketua Pusat Puslitpen LP2M UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan panduan penelitian lebih sistematis dan terarah.. Semoga hasil penelitian ini

Subarja, M.Pd., Alamat : Bagian Akuntansi Dan Pelaporan Keuangan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tangerang Selatan, Banten, 15412 Kewarganegaraan : Indonesia Jenis Ciptaan :

Sistem Pendeteksi Kebocoran Gas dan Kualitas Udara di Laboratorium Pendidikan Kimia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta by Nenny Anggraini Submission date: 27-Jun-2019 07:29PM UTC+0700