• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

5.2. Diskusi

Berdasarkan hasil penelitian terbukti bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara self-esteem dengan subjective well-being pada karyawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi self-esteem seseorang, maka akan semakin tinggi pula subjective well-being pada karyawan. Hal ini sesuai dengan teori Rosenberg bahwa secara khusus, global

self-esteem berhubungan dengan well-being atau kesejahteraan psikologis

(Rosenberg et al., 1995).

Menurut Morris Rosenberg (dalam Flynn, 2001) definisi self-esteem

adalah sikap individual, baik positif atau negatif terhadap dirinya sebagai suatu totalitas.

Diener dan Diener (1995) menemukan bahwa self-esteem berkorelasi dengan subjective well-being di 31 negara yang mereka teliti. Bagaimanapun, sedikit banyaknya variasi antar budaya pada hakekatnya sangatlah penting. Self-esteem merupakan elemen yang sangat penting dalam kepuasan hidup dalam kultur individual karena “mengajarkan untuk menyukai diri sendiri, dan melakukan isyarat penyesuaian mental” (Diener an Diener 1995, p. 653 dalam Diener & Suh, 2000).

Sebagian besar (69,4%) karyawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memiliki self-esteem yang sedang dan hanya 15,7% yang memiliki self-esteem

yang tinggi, sedangkan 14,9% karyawan memiliki self-esteem yang rendah berarti bahwa para karyawan cukup dapat bersikap positif atau negatif terhadap dirinya sebagai suatu totalitas.

Dari hasil penelitian dan teori yang ada maka dapat diasumsikan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi self-esteem karyawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta adalah pembentukan karakter dirinya yang dipengaruhi oleh pendidikan dan lingkungan, dimana sebagian besar latar belakang pendidikan karyawan adalah pendidikan yang berbasis agama islam. Selain pendidikan, lingkungan sosial juga berperan dalam pembentukan self-esteem karyawan. Sebagai contoh, masyarakat Indonesia yang sebagian besar adalah mayoritas penduduk islam masih menjunjung tinggi nilai-nilai yang berhubungan dengan agama islam, baik itu yang berhubungan dengan tingkat pendidikan seseorang maupun tempat dimana mereka bekerja (Lembaga atau Instansi berbasis islam). Hal ini merupakan kebanggaan dan kepuasan tersendiri pada individu karyawan.

Kepuasan hidup yang dirasakan oleh karyawan berdasarkan self-esteem

yang dimiliki sesuai dengan yang dirasakan oleh responden yang berinisial AF yang telah bekerja di perusahaan Telkomsel selama 10 bulan, ia mengaku merasa senang bekerja di Telkomsel walaupun dibawah naungan outsourcing, ia menuturkan bahwa ia bertahan kerja karena dengan alasan membutuhkan uang dan AF merasa bahagia karena bisa bekerja, dengan bekerja maka ia akan dijauhkan dari kehinaan (hasil wawancara, 06 Agustus 2010).

Maka dapat diambil kesimpulan bahwa subjective well-being itu tidak hanya dapat dirasakan oleh pegawai yang berbasis pegawai negeri sipil atau PNS saja tetapi subjective well-being juga dapat dirasakan oleh pegawai yang yang bekerja di perusahaan swasta. Namun dibutuhkan penelitian lebih lanjut agar asumsi ini menghasilkan informasi yang lebih akurat dan valid.

Selanjutnya peneliti melakukan analisis terhadap faktor demografi dengan menggunakan regresi berganda antara usia, jenis kelamin, status pernikahan, tingkat pendidikan, pekerjaan (terdiri dari jabatan, golongan dan masa kerja), pendapatan, dan pendapatan tambahan dengan subjective well-being serta pengaruh self-esteem, usia, pendapatan, dan masa kerja secara bersama-sama terhadap subjective well-being. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa variabel jenis kelamin, status pernikahan, dan pekerjaan (terdiri dari jabatan dan golongan) serta pendapatan atau gaji perbulan maupun pendapatan tambahan tidak memberi pengaruh yang signifikan. Sedangkan variabel usia, tingkat pendidikan, masa kerja memberi pengaruh yang signifikan terhadap subjective well-being.

Selanjutnya self-esteem, usia, pendapatan, dan masa kerja secara bersama-sama memberi pengaruh yang signifikan terhadap subjective well-being.

Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa variabel usia pengaruhnya signifikan terhadap subjective well-being. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yang menunjukkan bahwa kepuasan hidup seringkali meningkat atau paling tidak menetap seiring meningkatnya usia (Herzog & Rodgers, 1981; Horley & Lavery, 1995; Larson, 1978; Okun, Haring, & Witter, 1983, dalam Eddington & Shuman, 2005). Begitu juga dengan pendapatnya Diener yang menyatakan bahwa usia berhubungan dengan subjective well-being, tapi efeknya sangat kecil, dan tergantung kepada komponen subjective well-being yang diukur (Diener, Lucas, dan Oishi, 2005).

Dalam ruang lingkup karyawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berada di bawah naungan Departemen Agama, usia cukup memberikan peranan yang penting dalam memperoleh sebuah jabatan yang lebih tinggi. Sebagai contoh, dalam Rancangan Statuta 2002 disebutkan beberapa syarat formal calon Rektor dan Pembantu Rektor UIN, salah satu kriteria yang harus dimiliki oleh keduanya selain masa kerja dan berpendidikan Strata Tiga (S3), kriteria yang lain yang harus dimiliki adalah berusia maksimal 61 tahun. (Azra, 2004).

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat diasumsikan bahwa faktor syarat formal tersebut yang menyebabkan usia berpengaruh signifikan terhadap

subjective well-being karyawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sebagian besar responden adalah berusia 45-50 tahun yaitu berjumlah 22,4%, artinya sebagian besar responden berusia dibawah 61 tahun. Semakin tinggi usia karyawan maka

akan semakin tertutup peluang untuk mendapatkan posisi atau jabatan yang lebih tinggi, sebaliknya, semakin muda usia karyawan maka semakin terbuka peluang untuk mendapatkan posisi atau jabatan yang lebih tinggi. Maka dapat diambil kesimpulan, sebagian besar responden masih memiliki peluang yang besar untuk mendapatkan jabatan yang lebih tinggi, dengan demikian kesempatan untuk mengembangkan diri dengan diiringi tingginya self-esteem yang diperoleh karyawan tersebut juga akan semakin besar. Sehingga karyawan akan memiliki

subjective well-being yang tinggi.

Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa variabel jenis kelamin pengaruhnya tidak signifikan terhadap subjective well-being. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lucas dan Gohn yang melibatkan 40 negara, menemukan bahwa perbedaan subjective well-being antar jenis kelamin hanyalah kecil (dalam Diener, Lucas, & Oishi, 2005).

Kendatipun perbedaan subjective well-being antar jenis kelamin hanyalah kecil, namun tetap saja terdapat perbedaan hasil penelitian dengan yang peneliti lakukan. Hal ini dapat saja disebabkan oleh perbedaan kultur yang ada di Negara Indonesia dengan Negara dimana Lucas dan Gohn melakukan penelitian. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Diener dan Diener (1995) sedikit banyaknya variasi antar budaya pada hakekatnya sangatlah penting. (Diener an Diener 1995, p. 653 dalam Diener & Suh, 2000). Kemudian, Suh berpendapat bahwa tidak hanya melakukan perbedaan subjective well-being dalam kepentingan untuk individual versus kelompok, tapi orang-orang dalam perbedaan budaya

kemungkinan besar menilai kepuasan hidup dalam cara-cara yang berbeda. (Suh et al. 1998, dalam Diener & Suh, 1999).

Perlu diperhatikan bahwa terdapat perbedaan antara budaya di Barat dengan budaya yang ada di Indonesia. Salah satunya adalah yang berhubungan dengan peranan wanita sebagai pengatur rumah tangga dan sebagai pekerja diluar rumah. Peranan wanita sebagai pengatur rumah tangga itu cukup berat. Dalam hal ini ini terdapat relasi-relasi formal dan semacam pembagian kerja (devision of labour): dimana suami terutama sekali bertindak sebagai pencari nafkah, dan istri berfungsi sebagai pengurus rumah tangga; tetapi acap kali juga berperan sebagai pencari nafkah (Kartono, 1992). Di barat, penghasilan atau pendapatan wanita yang bekerja hanya diaplikasikan untuk dirinya sendiri sementara untuk masalah kebutuhan rumah tangga tetap menjadi tanggung jawab suami seutuhnya, sebaliknya budaya di Indonesia sebagian besar istri merupakan pencari nafkah tambahan, sedangkan laki-laki yang berperan sebagai suami adalah pencari nafkah utama (Lubis & Jamil, 2003, dalam tim penulis pusat studi wanita UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003). Artinya pengasilan yang didapat oleh istri merupakan tambahan untuk kebutuhan rumah tangga. Karena sebagian besar responden dalam penelitian ini adalah perempuan yaitu sebesar 53,7%, hal ini juga yang memungkinkan bahwa perbedaan jenis kelamin tidak berpengaruh secara signifikan terhadap subjective well-being.

Begitu juga dengan status pernikahan, hasil penelitian menunjukkan bahwa status pernikahan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap

Diener dkk yang menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara status pernikahan dengan subjective well-being secara konsisten ditemukan dalam penelitian internasional (Diener, Gohm, Suh, & Oishi, 1998 dalam Eddington & Shuman, 2005).

Perbedaan hasil penelitian ini dapat saja disebabkan bahwa para karyawan telah mendapatkan kepuasan hidup dari faktor lain selain dari faktor pernikahan, misalnya saja dari usia, tingkat pendidikan serta self-esteem yang dimilikinya, sehingga status pernikahan tidak begitu berpengaruh terhadap

subjective well-being karyawan tersebut.

Adapun tingkat pendidikan menunjukkan hasil yang signifikan dengan

subjective well-being. Sejalan dengan hal tersebut, Diener et al., (1999, dalam Carr, 2004) menyatakan bahwa tingkat pendidikan berkorelasi positif dengan kebahagiaan dan hubungan ini kuat pada kelompok berpendapatan rendah pada Negara-negara berkembang dan populasi pada Negara miskin. Dalam hal ini, ada kesesuaian antara hasil penelitian yang peneliti lakukan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Diener yaitu ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan subjective well-being yang dalam hal ini peneliti melakukan penelitian di Indonesia yang merupakan Negara berkembang.

Tingkat pendidikan karyawan memegang peranan positif dalam kepuasan hidup. Semakin tinggi pendidikan yang dimiliki karyawan maka semakin bagus kualitas yang dimilikinya dan mampu mengembangkan potensi-potensi yang ada pada dirinya. Selain itu, tingkat pendidikan juga penting dalam jenjang karir. Sebagai contoh, dalam Rancangan Statuta 2002 disebutkan salah

satu kriteria yang harus dimiliki sebagai calon Rektor UIN adalah berpendidikan Strata Tiga (S3) (Azra, 2004). Oleh karena itu, tingkat pendidikan sangatlah penting dalam hubungannya dengan subjective well-being.

Dalam hal pekerjaan yang berhubungan dengan jabatan dan golongan, hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan antara jabatan dan golongan dengan subjective well-being. Pekerjaan disini termasuk didalamnya dari segi jabatan, golongan dan masa kerja pada karyawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Hasil penelitian ini berbeda dengan pernyataan Argyle (2001, dalam Carr, 2004), status pekerjaan berhubungan dengan kebahagiaan, dimana orang-orang yang bekerja cenderung lebih bahagia dibandingkan dengan orang-orang yang tidak bekerja, dan orang-orang yang bekerja dalam bidang profesional dan terlatih cenderung lebih bahagia jika dibandingkan dengan orang-orang yang bekerja dalam bidang yang tidak terlatih. Pekerjaan berhubungan dengan subjective well-being karena pekerjaan menawarkan stimulasi yang optimal bagi seseorang untuk menemukan kesenangan, hubungan sosial yang positif, dan rasa identitas dan makna (Csikszentmihalyi, 1990; Scitovsky, 1976, dalam Eddington & Shuman, 2005). Orang-orang yang tidak bekerja memiliki stress yang lebih tinggi, rendahnya kepuasan hidup, dan angka bunuh diri yang tinggi bila dibandingkan dengan orang-orang yang bekerja. Adanya perbedaan hasil penelitian ini dapat saja terjadi karena sebagian besar responden dalam penelitian ini mempunyai jenis pekerjaan yang tidak berbeda jauh antara responden yang satu dengan respoden yang lainnya. Sehingga menghasilkan

bahwa pekerjaan yang berhubungan dengan jabatan dan golongan pengaruhnya tidak signifikan terhadap subjective well-being.

Berbeda halnya dengan pekerjaan yang berhubungan dengan masa kerja. Masa kerja pengaruhnya signifikan terhadap subjective well-being. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan Csikszentmihalyi (1990) bahwa pekerjaan berhubungan dengan subjective well-being karena pekerjaan menawarkan stimulasi yang optimal bagi seseorang untuk menemukan kesenangan, hubungan sosial yang positif, dan rasa identitas dan makna (Csikszentmihalyi, 1990; Scitovsky, 1976, dalam Eddington & Shuman, 2005).

Semakin lama karyawan bekerja maka stimulasi pekerjaan semakin optimal dalam menemukan kesenangan, hubungan sosial yang positif, dan rasa identitas dan makna. Selain itu, masa kerja juga dapat memberikan peluang bagi karyawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk naik jabatan. Misalnya, dalam Rancangan Statuta 2002 disebutkan bahwa salah satu syarat untuk dapat diangkat menjadi Dekan, salah satu kriteria yang harus dimiliki adalah berstatus sebagai dosen tetap yang telah mengabdi di fakultas “Adab” sekurang-kurangnya 4 tahun (Azra, 2004). Oleh karena itu masa kerja pengaruhnya signifikan terhadap

subjective well-being.

Selanjutnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan atau gaji pengaruhnya tidak signifikan terhadap subjective well-being. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Diener et al, yang menyatakan bahwa korelasi yang rendah namun signifikan antara pendapatan dengan subjective well-being ditemukan pada sampel representative di Amerika

(Diener et al, 1993, dalam Eddington & Shuman, 2005). Tapi pada level individu dan level nasional, perubahan pendapatan sepanjang waktu memiliki efek yang kecil pada subjective well-being. Walaupun demikian, terdapat bukti-bukti mengenai pengaruh pendapatan terhadap subjective well-being .

Dalam hal ini, dapat diasumsikan bahwa pendapatan atau gaji yang diperoleh oleh karyawan di Instansi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta maupun pendapatan tambahan diluar gaji perbulan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta belum bisa memberikan kepuasan hidup secara keseluruhan. Hal ini dapat saja terjadi karena perbedaan budaya yang ada di Indonesia dengan budaya yang ada di Negara lain yang telah melakukan penelitian sebelumnya. Pernyataan ini sesuai dengan pernyataan Suh yang berpendapat bahwa tidak hanya melakukan perbedaan subjective well-being dalam kepentingan untuk individual versus kelompok, tapi orang-orang dalam perbedaan budaya kemungkinan besar menilai kepuasan hidup dalam cara-cara yang berbeda. (Suh et al. 1998, dalam Diener & Suh, 1999). Didalam budaya Indonesia tidak semua orang mendasari kebahagiaan mereka dengan harta yang banyak. Misalnya relevan dengan hasil wawancara dengan Bapak yang berinisial T, yang menyatakan bahwa ia akan cenderung lebih bangga jika mempunyai anak banyak dan dapat menyekolahkan anak-anaknya samapi ke jenjang pendidikan yang tinggi walaupun harta kekayaannya akan berkurang secara drastis, saat anak-anaknya masih sekolah dan kuliah, semua harta kekayaan hampir tidak bersisa sedikitpun, namun setelah semua anak-anaknya berhasil dan sukses rasa lelah selama menyekolahkan anak-anak-anaknya

hilang seketika dan hal tersebut yang membuat Bapak T bangga, bahagia dan puas (hasil wawancara, 18 september 2010).

Kemudian relevan juga dengan fenomena berdasarkan hasil wawancara dengan seorang karyawati McDonald yang berinisial IP yang telah bekerja diperusahaan tersebut selama satu bulan, ia mengaku bahwa ia tidak betah kerja di perusahaan tersebut karena tidak sesuai dengan keinginan hati dan merasa bahwa itu bukanlah bidangnya, walaupun gaji yang menjanjikan dan tunjangan kedepannya yang lumayan besar, ia tetap memilih keluar dari perusahaan tersebut (hasil wawancara, 06 Agustus 2010).

Fenomena tersebut menggambarkan bahwa kepuasan hidup tidak hanya berdasarkan atas gaji atau pendapatan yang didapat. Namun ada berbagai faktor lain yang dapat meningkatkan subjective well-being, seperti afek positif atau afek negatif yang dirasakan oleh masing-masing individu.

Dokumen terkait