• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II FILIPINA DALAM ASEAN OPEN SKY POLICY

3.2 Analisis Proses Ratifikasi MAAS oleh Filipina

3.2.2 Dinamika Level Domestik

Setalah para Senat Filipina telah menjalankan tugasnya di level 1 atau level internasional, Senat tersebut kembali ke kelompok mereka untuk melanjutkan prosedur dari implementasi perjanjian MAAS ini. Proses perundingan dengan masing-masing konstituen inilah yang disebut Robert Putnam sebagai levek II atau level domestik. Ratifikasi pada perjanjian MAAS oleh ASEAN Open Sky memerlukan prosedur pemungutan suara formal di Level II dengan syarat suara dua pertiga dari Senat Filipina untuk meratifikasi perjanjian.

Aktor-aktor di Level II menurut Robert Putnam dapat mewakili agen birokrasi, kelompok kepentingan, kelas sosial, atau bahkan opini publik.

Dalam menjalankan prosesnya, Filipina pada level domestik tentu tidak akan terlepas dari kendala. Kendala domestik pada pembuat kebijakan tidak hanya bergantung pada jumlah kelompok di dalam negeri dan manfaat nasionalnya, tetapi juga relatif terhadap koalisi dan pro terhadap koalisi yang ada. Pendekatan two-level-games menunjukkan bahwa Filipina dapat memperoleh pengaruh dalam beberapa cara yang paling mendasar seperti mengeksploitasi kebebasannya untuk bertindak secara mandiri dalam win-set domestik. Selama Senat Filipina masih tetap dalam win-set, maka negara tersebut masih dapat memanipulasi ketentuan perjanjian yang tepat. Yang menjadi pola tertentu dari faktor-faktor dalam proses ratifikasi MAAS pada level domestik ini lain ialah ideologi ekonomi, tekanan kelompok kepentingan, dan juga struktur lembaga perwakilan yang membentuk perjanjian tentang beberapa perdagangan dan tindakan moneter yang saling menguntungkan.

Jika mencoba meneliti dengan melakukan pembandingan, Filipina dan Indonesia memiliki alasan serupa dalam keengganan untuk meratifikasi protokol-MAAS dan keengganan untuk sepenuhnya meliberalisasi pasar penerbangan. Indonesia, dengan 29 bandara internasionalnya, dan Filipina, dengan 10 bandara internasionalnya, adalah dua negara teratas dengan jumlah gateway internasional terbanyak. Sebaliknya, negara-negara seperti Singapura dan Brunei Darussalam masing-masing hanya memiliki satu gateway. Ketidakseimbangan dalam ukuran pasar penerbangan domestik antara negara-negara anggota ASEAN ini

menjelaskan keengganan pemerintah Filipina untuk meratifikasi semua Protokol MAAS.

Filipina juga memiliki infrastruktur bandara yang kurang baik pada jaringan bandara masing-masing, terutama di gateway utama yang padat di ibukota Filipina. Solusi dari permasalahan tersebut tampaknya bukan berupa penambahan jalur landasan penerbangan karena kemacetan di landasan pacu NAIA akan tetap menjadi penghalang yang akan menjadi permasalahan baru. Sehingga jika terjadi penerimaan MAAS di tahun 2015, tetap tidak akan mencegah Filipina atau melemahkan penerbangan Filipina dari penggunaan bandara internasional di kota-kota di luar Manila karena tidak akan ada penerbangan tambahan di NAIA. Mengejar liberalisasi sektor transportasi udara akan menghasilkan peningkatan persaingan di antara maskapai. Oleh karena itu, pemerintah Filipina mempertimbangkan untuk memperkenalkan reformasi kebijakan di industri transportasi udara (liberalisasi) untuk mencapai pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut juga membuktikan bahwa pihak domestik berperan besar dalam proses mencapai kesepakatan internasional.

Senat Filipina sangat menentukan win-set yang didasarkan pada tiga faktor yaitu preferensi dan koalisi anggota legislatif, prosedur voting untuk ratifikasi kesepakatan, dan strategi negosiator dalam bernegosiasi di level internasional ini. Dua dari tiga faktor tersebut mengarahkan negosiator untuk berfokus pada negosiasi di tingkat kedua yakni negosiasi internal. Hal ini menunjukkan bahwa penting bagi seorang negosiator untuk terlebih dahulu mengetahui apa tujuan yang ingin dicapai, preferensi pribadi negosiator, dan preferensi aktor domestik sehingga mampu mencapai keberhasilan dalam negosiasi.

Filipina telah membenarkan keputusannya dengan merujuk pada kekurangan slot pendaratan dan lepas landas dan kemacetan landasan pacu keseluruhan di Bandara Internasional Ninoy Aquino, Manila pusat. Dalam hal ini, preferensi pemerintah Filipina adalah meliberalisasi akses ke bandara alternatif di Clark. Memang, akses ke Clark telah sepenuhnya terbuka untuk operator dari negara-negara ASEAN lainnya selama beberapa tahun. Sementara kepedulian pemerintah Filipina terhadap kemacetan di Ninoy Aquino International dapat dipahami, ada banyak kekuatan dalam argumen bahwa hak lalu lintas dan slot bandara adalah masalah yang terpisah. Dengan demikian, kurangnya slot di bandara seharusnya tidak mencegah negara-negara anggota meratifikasi perjanjian ASEAN untuk meliberalisasi hak akses pasar dan memberi sinyal dukungan untuk komitmen integrasi pasar ASEAN. Menghubungkan slot dengan hak akses juga merupakan preseden negatif karena mendorong pemerintah untuk menggunakan kemacetan dan kurangnya slot sebagai alasan untuk menunda kepatuhan mereka pada komitmen regional.

a) Melindungi National Interest

Bagi Filipina, salah satu tujuan dari kepentingan nasional dari negaranya adalah untuk memperluas hubungan ekonomi dan diplomatik tanpa melupakan kenyataan bahwa ada ancaman alami dan buatan manusia terhadap kesejahteraan nasional Filipina. Sangat penting bagi perencana keamanan dan pertahanan Filipina untuk mengetahui dengan jelas apa yang sedang dipertahankan dan dijaga oleh pemerintah Filipina. Untuk mencapainya, hubungan diplomatik Filipina harus ditandai dengan keterlibatan konstruktif yang memaksimalkan keuntungan bersama. Inilah sebabnya mengapa pemerintah Filipina dituntut untuk memiliki kebijakan luar negeri yang independen agar dapat mencapai hubungan yang setara dengan negara lainnya namun tetap menjaga aliansi.

Dalam proses ratifikasi perjanjian internasional MAAS, salah satu yang menjadi fokus utama pemerintah Filipina ialah tentang integritas teritorial (Weatherbee, 1987). National interest yang terkait dengan teritorial Filipina menandakan bahwa wilayah Filipina berada dibawah kendali efektif pemerintah. Pemerintah juga bertugas untuk memastikan bahwa wilayah nasional Filipina tidak dapat diganggu-gugat. Sebagian besar perjanjian transportasi udara internasional menetapkan bahwa maskapai penerbangan dari negara tertentu diizinkan untuk beroperasi pada rute tertentu. Kedaulatan dari sistem transportasi udara adalah hal yang penting karena ada kecenderungan menuju liberalisasi maskapai penerbangan yang menjadi bisnis berbasis internasional, sehingga peraturan internasional dirasa menjadi kurang ketat. Namun beberapa negara yang mengejar perjanjian Open Skies, masih memberlakukan persyaratan kepemilikan yang ketat. Seperti perjanjian MAAS yang menegaskan kembali ketentuan standar

tentang keselamatan dan keamanan. Oleh karena itu, pihak yang terkait harus memiliki sertifikat kelayakan udara yang sah, setidaknya sama dengan standar minimum yang ditetapkan oleh Konvensi Chicago tentang Penerbangan Sipil.

Dalam keamanan penerbangan, pihak-pihak yang terkait akan menegaskan kembali kewajiban mereka untuk melindungi keamanan penerbangan sipil terhadap tindakan melanggar hukum. Mereka harus bertindak sesuai dengan konvensi keamanan penerbangan utama yang diadopsi oleh ICAO. Hal tersebut membuktikan bahwa perjanjian-perjanjian yang dikeluarkan oleh ASEAN Open Sky juga mengatur pihak-pihak yang terkait untuk bertindak sesuai dengan ketentuan keamanan penerbangan yang ditetapkan oleh ICAO. Jelas bahwa harmonisasi peraturan keselamatan dan manajemen wilayah udara diperlukan untuk memfasilitasi efisiensi regional. Mengingat berbedanya tingkat keterikatan negara anggota ASEAN terhadap kedaulatan negara, akan terlalu dini untuk membentuk lembaga terpusat yang bertanggung jawab atas implementasi masalah-masalah keselamatan, keamanan dan keadaulatan negaranya masing-masing.

Alasan dari kebijakan keamanan nasional adalah untuk meletakkan dasar dan menyediakan kerangka kerja yang meningkatkan lingkungan yang kondusif dalam mencapai perdamaian, keamanan untuk kesejahteraan rakyat Filipina. Tujuan dan sasaran keamanan nasional yang teridentifikasi ini mampu memberikan keuntungan bagi perekonomian Filipina. Jika Filipina secara substansial menangani masalah kebijakan keamanan nasional, maka harus dilengkapi dengan tindakan responsif dan proaktif dari masyarakat dan pemerintahan Filipina.

b) Alasan Standarisasi Bandara

Filipina telah membenarkan keputusannya dengan merujuk pada kekurangan slot pendaratan dan lepas landas dan keseluruhan kemacetan landasan pacu di Bandara Internasional Ninoy Aquino (NAIA), Manila. Dalam hal ini, preferensi pemerintah Filipina adalah meliberalisasi akses ke bandara alternatif di Clark. Memang, akses ke Clark telah sepenuhnya terbuka untuk operator dari negara-negara ASEAN lainnya selama beberapa tahun. Namun kepedulian pemerintah Filipina terhadap kemacetan di bandara NAIA dapat dipahami dikarenakan ada banyak kekuatan dalam argumen bahwa hak lalu lintas dan slot bandara adalah masalah yang terpisah. Dengan demikian, kurangnya slot di bandara seharusnya tidak mencegah negara-negara anggota meratifikasi perjanjian ASEAN untuk meliberalisasi hak akses pasar dan memberi sinyal dukungan untuk komitmen integrasi pasar ASEAN. Menghubungkan slot dengan hak akses juga merupakan preseden negatif karena mendorong pemerintah untuk menggunakan kemacetan dan kurangnya slot sebagai alasan untuk menunda kepatuhan mereka pada komitmen regional.

Namun, untuk mendapatkan manfaat sepenuhnya dari efek positif ASEAN-SAM, Filipina harus mempercepat upayanya dalam meningkatkan infrastruktur bandara. Agar dapat menarik lebih banyak investor ke ASEAN dan ke Filipina secara khusus, perbaikan infrastruktur yang sangat dibutuhkan harus dilakukan untuk memastikan Perjalanan lintas batas yang dapat diandalkan dan nyaman yang akan memiliki efek katalitik pada lingkungan bisnis di negara tersebut. Secara singkat, dapat dijelaskan bahwa dengan lonjakan permintaan penerbangan yang diharapkan, infrastruktur masih belum memadai.

Infrastruktur bandara yang kurang baik di Filipina adalah tantangan terbesar bagi Filipina. Gambar dibawah ini menunjukkan bahwa Filipina memiliki kualitas infrastruktur udara terburuk walaupun memiliki jumlah kursi yang tersedia per kilometer per minggu lebih tinggi daripada Brunei, Kamboja, dan Vietnam.

Tabel 3.4. Grafik infrastruktur layanan udara negara anggota ASEAN

Source : WEF Index (2012-2013)

Seperti yang disebutkan sebelumnya, dibutuhkan investasi infrastruktur yang substansial dari pemerintah Filipina agar dapat memperoleh manfaat dari liberalisasi. Investasi akan melibatkan rehabilitasi bandara yang ada, peningkatan kapasitas bandara yang macet, pembangunan lapangan udara baru di bandara baru, serta pemasangan fasilitas navigasi udara yang akan memungkinkan waktu malam hari atau operasi dengan visibilitas rendah. Presiden Filipina pada saat itu, Aquino, melaporkan bahwa pemerintahnya telah menyisihkan anggaran untuk pembangunan infrastruktur yang memungkinkan terbentuknya gateway yang secara khusus bertujuan meningkatkan akses wisatawan ke berbagai tujuan wisata di Filipina.

c) Air Freight Services

Permasalahan kargo udara kurang sensitif terhadap identitas nasional namun Filipina telah meliberalisasi sektor kargo mereka terlebih dahulu (dalam MAFLAFS), menghapus ketentuan angkutan barang dari layanan penumpang, serta menghapus pembatasan di gateway. Hal ini dilakukan karena kargo tidak hanya merupakan sebuah masalah yang dapat diselesaikan oleh satu negara saja, namun dibutuhkan langkah negosiasi dan ilmu-ilmu hubungan internasional lainnya. Permasalahan kargo udara juga tertulis didalam freedom of air ke-8 dan ke-9 seperti yang telah disebutkan di dalam BAB 2 penelitian ini. Pelayanan kargo udara sangat sensitif untuk negara-negara besar dengan basis domestik yang besar. Di Filipina tidak ada maskapai asing yang dapat melakukan penerbangan domestik dan sebagian besar pemerintah lebih memilih untuk mempertahankan status quo sehingga tujuan ASEAN-SAM jadi tampak begitu sederhana.

Dokumen-dokumen awal ASEAN seperti RIATS juga telah menetapkan tenggat waktu untuk meliberalisasi sektor angkutan udara. Ini dianggap sebagai komponen yang sama pentingnya dari upaya integrasi ekonomi regional, mengingat sifat orientasi ekspor dari ekonomi ASEAN. Untuk satu hal, pemerintah Filipina tampak tidak begitu memperhatikan tentang bagaimana ekspor mereka tiba di tujuan, selama kargo diangkut secara efisien. Pada saat yang sama, hanya ada sedikit keterikatan terkait dengan pengangkutan kargo meskipun layanan angkutan udara juga dapat dapat mengurangi masalah kemacetan bandara. Karena alasan ini, Filipina cenderung enggan ketika memberikan hak kebebasan ketiga, keempat, kelima dan bahkan ketujuh untuk operasi kargo penerbangan asing di dalam protokol MAAS.

Dokumen terkait