• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PENUNDAAN PROSES RATIFIKASI MULTILATERAL AGREEMENT ON AIR SERVICES (MAAS) TAHUN 2015 OLEH FILIPINA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS PENUNDAAN PROSES RATIFIKASI MULTILATERAL AGREEMENT ON AIR SERVICES (MAAS) TAHUN 2015 OLEH FILIPINA"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENUNDAAN PROSES RATIFIKASI

MULTILATERAL AGREEMENT ON AIR

SERVICES (MAAS) TAHUN 2015 OLEH FILIPINA

LAPORAN TUGAS AKHIR

Oleh: Amelia Karlina

106216066

FAKULTAS KOMUNIKASI DAN DIPLOMASI

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

UNIVERSITAS PERTAMINA

2020

(2)
(3)
(4)

ABSTRAK

Amelia Karlina. 106216066. Analisis Penundaan Proses Ratifikasi Multilateral Agreement On Air Services (MAAS) Tahun 2015 oleh Filipina.

Bagi Asia Tenggara, transportasi udara merupakan bagian yang cukup penting karena dianggap mampu memberikan konstribusi besar pada perkembangan ekonomi negara anggota ASEAN (Association of Southeast Asian Nations). Salah satu kontribusi yang dimaksud terlihat pada AEC (ASEAN Economic Community). Oleh AEC tersebut, pemerintahan ASEAN mengimplementasikan kebijakan liberalisasi untuk layanan udara yang juga disebut sebagai ASEAN SAM (ASEAN Single Aviation Market). ASEAN SAM dianggap sebagai tiang utama yang akan meningkatkan konektivitas, pertumbuhan ekonomi dan juga kesejahteraan sosial dari sebuah kawasan. AEC membentuk kebijakan Open Skies yang bertujuan untuk melakukan integrasi dalam bidang transportasi udara, namun hingga saat ini belum bisa diterapkan diseluruh negara anggotanya. Terdapat 3 instrumen di dalam pelaksanaan ASEAN SAM, yaitu MAAS, MAFLAFS dan MAFLPAS. Dari perjanjian-perjanjian tersebut, tidak semua negara anggota ASEAN meratifikasi sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, seperti yang terjadi di Filipina. Di dalam kebijakan ASEAN Open Sky, Filipina gagal meratifikasi Multilateral Agreement on Air Services (MAAS) di tahun 2015. Berbagai faktor dan hambatan yang menjadi alasan Filipina menunda proses ratifikasi tersebut yang kemudian akan menjadi pembahasan utama di dalam penelitian ini melalui pendekatan two-level-games dan kosep national interest. Di dalam pendekatan two-level-games tersebut juga akan dibagi menjadi dua proses, yaitu level domestik dan level internasional dari Filipina.

Kata Kunci : Filipina, ASEAN Open Sky Policy, Ratifikasi, Multilateral Agreement on Air Services (MAAS).

(5)

ABSTRACT

Amelia Karlina. 106216066. Analysis of Philippine Delays in the 2015 Multilateral Agreement on Air Services (MAAS) Ratification Process.

For Southeast Asia, air transportation is an important part because it is considered capable of making a large contribution to the economic development of ASEAN member countries (Association of Southeast Asian Nations). One such contribution is seen at the AEC (ASEAN Economic Community). By the AEC, the ASEAN government implemented a liberalization policy for air services which is also referred to as the ASEAN SAM (ASEAN Single Aviation Market). ASEAN SAM is considered as the main pillar that will improve connectivity, economic growth and also social welfare of a region. The AEC established an Open Skies policy that aims to integrate in the field of air transportation, but to date it has not been able to be implemented in all of its member countries. There are 3 instruments in the implementation of ASEAN SAM, namely MAAS, MAFLAFS and MAFLPAS. From these agreements, not all ASEAN member countries ratified in accordance with the specified time, as happened in the Philippines. In the ASEAN Open Sky policy, the Philippines failed to ratify the Multilateral Agreement on Air Services (MAAS) in 2015. Various factors and obstacles are the reasons for the Philippines to delay the ratification process which will then become the main discussion in this study through a two-level approach. national interest games and concepts. The two-level-games approach will also be divided into two processes, namely the domestic level and the international level.

Keywords : Philippines, ASEAN Open Sky Policy, Ratification, Multilateral Agreement on Air Services (MAAS).

(6)
(7)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

KATA PENGANTAR... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix DAFTAR GAMBAR ... x GLOSARIUM ... xi BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Identifikasi Masalah ... 6 1.3 Pertanyaan Penelitian ... 6 1.4 Studi Pustaka ... 6 1.5 Kerangka Pemikiran... 10

1.5.1 Konsep Two-Level Games ... 10

1.5.2 Teori Kepentingan Nasional (National Interest) ... 15

1.5.3 Skema Kerangka Pemikiran ... 16

1.6 Batasan Penelitian ... 18

1.7 Metode Penelitian ... 18

1.8 Teknik Pengumpulan Data ... 19

1.9 Rencana Pembabakan Tugas Akhir ... 19

1.10 Signifikansi Penelitian ... 21

BAB II FILIPINA DALAM ASEAN OPEN SKY POLICY ... 22

2.1 Prosedur Implementasi Perjanjian Internasional ... 23

2.1.1 Prosedur Implementasi Perjanjian Internasional Filipina ... 24

2.2 Open Sky Policy ... 31

2.2.1 ASEAN Open Sky ... 33

2.2.2 Regulasi ASEAN Open Sky ... 35

2.2.3 Filipipina dalam ASEAN Open Sky ... 37

2.3 Multilateral Agreement on Air Services (MAAS) ... 39

(8)

BAB III RASIONALITAS FILIPINA DALAM MENUNDA MAAS MELALUI

PENDEKATAN TWO-LEVEL-GAMES ... 46

3.1 Keputusan Pemerintah Filipina menunda Ratifikasi MAAS ... 47

3.2 Analisis Proses Ratifikasi MAAS oleh Filipina ... 52

3.2.1 Dinamika Level Internasional ... 56

3.2.2 Dinamika Level Domestik ... 59

3.3 Dampak Penundaan Ratifikasi MAAS Oleh Filipina ... 68

3.3.1 Peluang Lapangan Pekerjaan ... 69

3.3.2 Pengembangan Melalui Industri Pariwisata ... 70

BAB IV PENUTUP ... 72

4.1 Kesimpulan... 72

4.2 Saran ... 75

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Freedom of Air………..22

Tabel 2.2 Tujuan dari RIATS………...40 Tabel 2.3 Protokol-protokol MAAS……….42 Tabel 2.4 Status ratifikasi Multilateral Agreement on Air Services (MAAS)…..44 Tabel 3.1 Contoh status protokol MAAS MAAS (2008-2011)……….…48 Tabel 3.2 Persentase Filipina dalam protokol MAAS………...49

(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Grafik infrastruktur layanan udara negara anggota ASEAN……….59 Gambar 3.2 Persentase pangsa industri pariwisata terhadap PDB Filipina……….63

(11)

GLOSARIUM

Lambang/Singkatan Arti Keterangan

AEC ASEAN Economic Community

ASAM ASEAN Single Aviation Market

ASEAN Assosiation of Southeast Asian Nations

CAB Civil Aeronautics Boards

DFA Department of Foreign Affairs

EO Executive Order

EU-SAM European United Single Aviation Market ICAO International Civil Aviation Organization

KTT Konferensi Tingkat Tinggi

LCC Low Cost Carrier

MAAS Multilateral Agreement on Air Services MAFLAFS

Multilateral Agreement on The Full Liberalization of Air Freight Services

MAFLPAS

Multilateral Agreement on The Full Liberalization of Passenger Air Services

MALIAT

Multilateral Agreement on the Liberalization of International Air Transportation

MEA Masyarakat Ekonomi ASEAN

MOU Memorandum Of Understanding

NAIA Ninoy Aquino International Airport

PAL Philippine Air Lines

RIATS Roadmap for Integration of Air Travel Sector

RUU Rancangan Undang-Undang

(12)
(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Semenjak munculnya Assosiation of Southeast Asian Nations (ASEAN) yang merupakan organisasi regional pada tahun 1967 di Thailand, negara-negara anggota ASEAN telah menempatkan kerja sama ekonomi sebagai salah satu bagian utama yang penting utnuk dikembangkan. Hal tersebut dimulai pada dekade 80-an sampai dengan 90-an, ketika negara-negara di berbagai belahan dunia mulai melakukan berbagai upaya untuk menghilangkan hambatan-hambatan ekonomi. Negara-negara anggota ASEAN juga semakin menyadari bahwa cara terbaik untuk bekerja sama adalah dengan saling membuka perekonomian mereka tdengan tujuan untuk membentuk integrasi ekonomi kawasan. Bentuk kerja sama tersebut diperbincangkan di dalam KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) ke-9 ASEAN di Bali tahun 2003 (Forsyth, 2006: 143), di mana kerjasama ini menyepakati pembentukan komunitas ASEAN.

Salah satu pilar komunitas ASEAN yang dimaksud ialah ASEAN Economic Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Ada sebelas sektor yang diusulkan untuk diintegrasikan dalam AEC, salah satunya adalah sektor transportasi udara (Hew, 2005: 41). Sebelumnya pada tahun 2007, negara-negara anggota ASEAN sepakat untuk melakukan percepatan proses integrasi yang lebih mendalam. Yang menjadi salah satu masalah dalam persiapan ASEAN Economic Community (AEC) ialah kerja sama transportasi ASEAN pada tahun 2015.

(14)

Kerja sama transportasi mengharuskan negara-negara anggota untuk meratifikasi dan menandatangani protokol serta perjanjian yang akan meliberalisasi sektor transportasi di ASEAN. Transportasi yang dimaksudkan di dalam penelitian ini ialah transportasi udara. AEC telah mengidentifikasikan bahwa tahun 2015 adalah batas tenggat waktu untuk mendirikan ASEAN Single Aviation Market (ASAM) atau pasar penerbangan tunggal ASEAN dalam melakukan liberalisasi layanan transportasi udara di kawasan ini. Namun tampaknya tidak semua pemerintah dari negara anggota ASEAN mampu mengikuti perubahan cepat dalam industri penerbangan dan juga infrastruktur serta kendala tenaga kerja. Dalam pengimplementasian ASEAN Single Aviation Market tersebut, terdapat dua elemen utama, yaitu Economic Element dan juga Technical Element. Salah satu akses bagi elemen ekonomi agar mampu meliberalisasi pasar ialah dengan menjalankan kerjasama ASEAN Open Sky Policy.

Sebelum ASEAN menerapkan kebijakan ini, Amerika Serikat dan Uni Eropa adalah negara pertama yang mencetuskan kebijakan langit terbuka ini. AEC memandang Open Skies adalah peluang yang bagus bagi ASEAN, sehingga AEC memberikan gagasan pada tahun 2009 untuk membentuk ASEAN Open Sky Policy yang ditargetkan dapat terbentuk pada tahun 2015 (Setiyanti, 2016: 10). Butuh waktu yang cukup lama bagi negara anggota ASEAN untuk siap menerima perjanjian tersebut karena hingga tahun 2015, Indonesia, Filipina dan Laos masih gagal meratifikasi perjanjian tersebut. Ratifikasi dari perjanjian internasional mungkin tampak demokrasi, batas kerjasama terletak pada kenyataan bahwa negara demokrasi perlu mengamankan mayoritas pemilih di dalam negeri.

(15)

Dalam meratifikasi sebuah perjanjian, negosiator sangat dibutuhkan dalam mewakili dua pihak untuk bertemu dalam mencapai kesepakatan di antara mereka yang tunduk pada batasan bahwa perjanjian internasional harus diratifikasi oleh masing-masing pihak. Para negosiator bisa saja terdiri dari kepala pemerintahan yang mewakili negara-negara. Secara analitis, dapat diuraikan menjadi dua tahap yaitu proses tawar menawar antara negosiator, yang mengarah pada perjanjian internasional (Level I) dan yang kedua ialah diskusi terpisah dalam masing-masing kelompok konstituen tentang apakah akan meratifikasi perjanjian tersebut atau tidak (Level II) . Tahap-tahap ini merupakan bagian dari pendekatan two-level-games (Putnam, 1988: 427).

Dalam pelaksanaan ASEAN Single Aviation Market melalui Open Sky Policy, terdapat tiga instrumen hukum yang telah dibuat. Pertama, Multilateral Agreement on Air Services (MAAS). Di dalam instrumen ini ada dua protokol yang menjamin kebebasan bagi lalu lintas di bandara yang disebutkan secara akurat di dalam aturan tersebut. Kedua protokol tersebut membahas kebebasan lalu lintas di antara semua bandara internasional di kawasan Asia Tenggara. Instrumen selanjutnya yaitu Multilateral Agreement on The Full Liberalization of Air Freight Services (MAFLAFS). Terdapat enam protokol yang tercantum di dalam perjanjian ini. Keenam protokol tersebut menjanjikan jaminan kebebasan lalu lintas udara di sub-region ASEAN, antar sub-region, dan antar ibu kota. Instrumen yang ketiga yaitu Multilateral Agreement on The Full Liberalization of Passenger Air Services (MAFLPAS). Ada dua protokol yang menjadi bagian dari MAFLPAS. Keduanya menjamin lalu lintas udara di antara semua kota yang ada di kawasan Asia Tenggara.

(16)

Beberapa negara anggota ASEAN telah membuat kesepakatan di antara mereka sendiri yang memiliki ruang lingkup lebih sempit. Misalnya, Singapura, Thailand dan Brunei adalah pihak di dalam Perjanjian Multilateral 2004 untuk MAFLPAS. Perjanjian ini mengikuti perjanjian sebelumnya yang diadopsi pada Februari 2004 oleh tiga negara yang sama untuk liberalisasi layanan kargo. Mengenai persyaratan kepemilikan dan kontrol, MALFPAS mempertahankan kepemilikan tradisional dan kontrol efektif' tradisional, yang mengharuskan kepemilikan mayoritas (lebih dari 50%) dan kontrol yang efektif oleh negara yang ditunjuk atau warga negaranya sendiri. (Tan, 2006: 432). Secara terpisah, Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam telah mengadopsi MAAS pada bulan Desember 2003. Dikenal sebagai Perjanjian CLMV (Camboja, Laos, Myanmar dan Vietnam).

Penting untuk dicatat, demi tercapainya Open Sky Policy ini maka diperlukan kesepakatan dari kesepuluh negara ASEAN yang terlibat di dalamnya. Begitu pula dengan instrumen-instrumen yang ada di dalamnya seperti MAAS, MAFLAFS dan MAFLPAS serta protokol implementasinya yang memerlukan proses ratifikasi. Pada bulan November 2008, kesepuluh negara anggota ASEAN mengadopsi MAAS yang mampu membuka jalan bagi liberalisasi industri transportasi udara di kawasan tersebut. Hingga Mei 2014, semua negara anggota telah meratifikasi Protokol MAAS, terkecuali pada Protokol 5 dan 6 belum diratifikasi oleh dua negara, Indonesia dan Filipina. Akan tetapi, tentu saja penerapan kebijakan Open Sky ini tidak akan terlepas dari beberapa halangan dan kendala yang disebabkan adanya negara-negara yang masih belum meratifikasi peraturan yang ditentukan dalam perjanjian perjanjian Open Sky.

(17)

Penerbangan sipil internasional menyumbang 98% dari kedatangan pengunjung internasional ke Filipina, mengangkut 54% nilai ekspor barang dagangan Filipina, dan mengangkut 98% dari pekerja filipina yang merantau. Banyak dari industri ini bergantung pada konektivitas yang diberikan kepada mereka oleh ketersediaan dan frekuensi penerbangan yang terlibat. Peraturan dan kendala yang ditetapkan oleh badan pembuat kebijakan pemerintah dapat memengaruhi pengembalian kegiatan ekonomi dengan memberi insentif kepada mereka (Rodolfo, 2011). Lembaga pemerintah Filipina yang bertanggung jawab atas regulasi ekonomi sektor penerbangan dan difokuskan pada tiga masalah utama, yaitu permasalahan yang ada di Ninoy Aquino International Airport (NAIA), buruknya kinerja pariwisata internasional, dan juga ketidakefisienan di pasar penerbangan domestik Filipina (Manuella, 2009: 36)

Sebelum 1992, Philippine Air Lines (PAL) mendominasi industri penerbangan di Filipina karena memiliki monopoli industri. Selama masa jabatan presiden Filipina pada saat itu, Fidel Ramos, pemerintah Filipina berupaya membongkar monopoli atau mengurangi kekuatan monopoli yang berlaku di sektor-sektor industri penerbangan. Lalu beberapa tahun kemudian, pemerintah Filipina mengubah kebijakan dan mempromosikan Maskapai Penerbangan Internasional. Ini dilakukan melalui penerbitan Executive Order 219 (E.O. 219). E.O. 219 mengubah kebijakan dimana departemen transportasi pemerintah menegosiasikan perjanjian udara. Ini bergeser dari kepentingan Philippine Air Lines sebagai satu-satunya maskapai nasional yang mencerminkan sesuatu yang bernilai bagi Filipina. E.O. merupakan perintah yang mengatur aturan-aturan karakter umum atau permanen dalam implementasi kekuasaan konstitusional.

(18)

1.2 Identifikasi Masalah

Tiap-tiap negara anggora ASEAN memiliki kewajiban untuk patuh terhadapa peraturan dan kebijakan yang dibentuk oleh ASEAN. Salah satu kebijakan yang dimaksud ialah kebijakan ASEAN Open Sky yang didalamnya terdapat beberapa perjanjian yang harus ditandatangani dan diratifikasi oleh negara anggota ASEAN. Perjanjian-perjanjianya antara lain MAAS, MAFLAPS, dan MAFPLAS. ASEAN menargetkan agar seluruh negara anggota dapat mencapai kesepakatan internasional dan meratifikasi perjanjian tersebut tepat pada tahum 20015. Begitu banyaknya kendala yang dihadapi negara anggota ASEAN, membuat mereka harus melakukan penundaan terhadap tenggat waktu yang telah ditentukan, salah satunya ialah Filipina.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Ketika negara anggota ASEAN lainnya telah berhasil meratifikasi beberapa perjanjian tentang layanan udara, lalu ‘Mengapa Filipina melakukan penundaan dalam proses ratifikasi Multilateral Agreement on Air Service (MAAS) pada tahun 2015?

1.4 Studi Pustaka

Sebelum Filipina mengadopsi ASEAN Open Sky Policy, Filipina menganut Pocket Open Sky. Pemerintah Filipina dianggap tidak konsisten dengan sikapnya mengenai masalah liberalisasi karena dianggap lebih memilih untuk mengorbankan kepentingan penumpang atau manfaat ekonomi bagi negara secara

(19)

umum. Pembahasan ini telah dijelaskan oleh Paolo Marco (2014: 89) pada bagian ‘Pocket Open Sky’. Beliau membahas tentang pemerintah Filipina yamg mulai memandang pariwisata sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi terutama di pedesaan yang kurang berkembang dimana sebagian besar tujuan wisata berada. Bertentangan dengan kebijakan pemerintah sebelumnya bahwa pandangan pemerintah berkembang menjadi pandangan yang mendukung pembangunan infrastruktur di daerah yang memiliki potensi wisata yang tinggi. Pemerintah Filipina memutuskan untuk bereksperimen tentang dampak dari Pocket Open Sky. Maka pada Januari 2006, Filipina memutuskan untuk melembagakan kebijakan tersebut di dua bandara internasionanya, yaitu Bandara Internasional Clark dan Bandara Internasional Subic Bay. Ini diwujudkan dalam pemerintah melalui Executif Order 500 (EO 500). Yang perlu diperhatikan ialah kebijakan ini bersifat sepihak dan tidak mengharuskan negara mitra untuk memberikan hak timbal balik kepada perusahaan penerbangan Filipina (Marco, 2014: 96). Hal tersebut tentu menjadi pembeda antara Pocket Open Sky dengan ASEAN Open Sky Policy

Lalu di dalam sebuah artikel dengan sub-bab yang berjudul ‘Is The Philippines Ready For The ASEAN-SAM?’ (2015) menjelaskan tentang resolusi Filipina mengenai masalah kebijakan penerbangan harus diliberalisasi terutama pada kesiapan Filipina dalam menghadapi tantangan kebijakan Open Sky untuk pasar penerbangannya dengan mempertimbangkan dampak liberalisasi kebijakan penerbangan ke pasar domestik Filipina. Sehingga muncul beberapa pertanyaan, seperti: apakah persaingan yang terus meningkat akan baik untuk industri penerbangan Filipina & ekonomi Filipina atau dalam jangka panjang akan menghancurkan industri dengan semua operator lokalnya ditutup sehingga ribuan

(20)

pekerja Filipina menganggur? Apakah perlindungan tersedia untuk memastikan bahwa operator lokal diberi kesempatan yang sama untuk bersaing? Serta bagaimana memastikan bahwa Filipina akan mendapatkan manfaat dari kebijakan penerbangan yang diliberalisasi? Membuat lebih banyak layanan transportasi udara domestik yang diberikan oleh operator nasional dan asing memang dapat meningkatkan daya saing. Namun masih ada keraguan di kalangan pembuat kebijakan mengenai apakah hal yang sama dapat membantu pertumbuhan ekonomi Filipina, mengingat pasar penerbangan domestik Filipina membutuhkan tambahan operator di ranah domestik. Maka dari itu, penting bagi Filipina untuk melihat pengalaman Uni Eropa dalam mengimplementasikan Open Sky.

Berbicara mengenai Uni Eropa, kebijakan Open Sky yang pertama kali muncul ialah European Open Sky. Penulis (Geil, 2005: 25) menjelaskan bahwa berbeda dengan cara ASEAN, dimana liberalisasi ditempuh melalui perjanjian yang diterima dan diratifikasi oleh negara-negara anggota, Uni Eropa memiliki lembaga yang membuat langkah-langkah integrasi transportasi udara memiliki kekuatan hukum otomatis. Namun ini tidak berarti bahwa proses pengesahan EU-SAM (European United Single Aviation Market) berjalan lancar dan cepat. Seperti halnya di ASEAN, prosesnya sangat ditentang oleh beberapa negara anggota. Proses ini memakan waktu enam tahun dimulai pada tahun 1987 dengan paket pertama yang memulai liberalisasi pasar transportasi udara di Uni Eropa dan mencapai puncaknya pada tahun 1992, lalu menjadi efektif pada 1 Januari 1993. (Geil, 2005: 37). Menurut Klaus Geil, hal tersebut merupakan contoh terbesar dunia dan paling sukses dari integrasi pasar regional dan liberalisasi dalam transportasi udara.

(21)

Selain Multilateral Agreement on Air Services (MAAS), penulis lainnya juga pernah membahas tentang MALIAT (Multilateral Agreement on the Liberalization of International Air Transportation) pada tahun 2000 di Amerika Serikat (AS) bersama New Zealand, Singapura, Brunei dan Chili. MALIAT diresmikan pada tanggal 1 Mei 2001 di Washington DC. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya oleh seorang penulis (Neuville, 2008: 35), menurutnya untuk negara-negara ASEAN, meningkatnya persaingan dari Republik Rakyat China dan India telah menciptakan dorongan baru untuk meningkatkan daya saing mereka, termasuk upaya baru untuk meningkatkan layanan dukungan transportasi karena adanya beberapa alasan. Pertama, penurunan tarif telah meningkatkan pentingnya jenis biaya transaksi perdagangan lainnya. Kedua, ASEAN adalah platform ekspor penting untuk barang-barang elektronik yang pasar tujuannya adalah AS, Eropa dan Jepang. Ketiga, karena pariwisata memiliki hubungan yang erat dengan pengembangan sektor penerbangan, sehingga meningkatnya permintaan untuk perjalanan udara telah semakin meningkatkan pentingnya layanan udara dan pengembangan bandara di setiap negara anggota ASEAN.

Lalu Alan Khee-Jin Tan (2013: 92) di dalam sub-bab ASEAN-China Air Transport Agreement tersebut menjelaskan bahwa Single Aviation Market merupakan pekerjaan yang berisiko. Dalam jangka panjang, kelemahan ini berpotensi menciptakan hambatan bagi daya saing maskapai-maskapai ASEAN dibandingkan dengan maskapai lain dari luar kawasan. Secara khusus, konsekuensi dari kegagalan untuk memalsukan liberalisasi intra-ASEAN sepenuhnya menjadi jelas ketika ASEAN sebagai suatu kelompok mengadakan perjanjian dengan berbagai negara dari non-ASEAN (Tan, 2013: 93).

(22)

1.5 Kerangka Pemikiran

1.5.1 Konsep Two-Level Games

Di dalam buku Putnam yang berjudul ‘Diplomacy and domestic politics: the logic of two-level games’, beliau menjelaskan bahwa untuk mencapai kesepakatan internasional harus melalui dua level yang berbeda. Level I adalah bagaimana proses negosiasi dilakukan dalam perundingan internasional, sedangkan level II adalah bagaimana negosiasi dilakukan dengan pihak domestik untuk mencapai hasil yang diinginkan bagi keduanya. Pada akhirnya, hasil yang diinginkan para perwakilan dari kesepakatan internasional tersebut menjadi win-sets yang akan menjadi nilai tawar dalam Two-level games. Win-sets tersebutakan menjadi penentu dalam keberhasilan proses negosiasi. Proses ratifikasi negosiasi juga melalui two-level games ketika dalam negosiasi level I telah mencapai kesepakatan antar pihak, maka proses ratifikasi tersebut dibawa pada level II, dimana tuntutan domestik harus dipenuhi. Pihak perwakilan dapat membatalkan proses ratifikasi yang berarti pada batalnya kesepakatan pada level I apabila hasil kesepakatan tidak memuaskan bagi pihak domestik. Hal tersebut juga membuktikan bahwa pihak domestik berperan besar dalam proses mencapai kesepakatan internasional.

Untuk mencapai keberhasilan negosiasi terdapat dua level yang harus dilalui oleh para negosiator, yaitu level I yaitu level internasional dan level II atau level domestik. Dalam level internasional, negosiator sangat berperan penting terutama dalam menentukan peluang kemenangan dalam win-sets yang dimilikinya. Ketika berada dalam level II terdapat banyak tahap yang harus dilalui untuk mencapai keberhasilan sebuah kesepakatan internasional. Seperti yang

(23)

dijelaskan Putnam (1988: 460) dalam “Diplomacy and Domestic Politics: The Logic of Two-Level Games”. Dalam tahap ratifikasi perjanjian dibutuhkan persetujuan dari kesepakatan domestik. Secara kronologis pembuatan perjanjian internasional dilakukan dengan cara prosedur normal, yaitu : perundingan, penandatanganan, lalu ratifikasi. Ratifikasi biasanya dibuat oleh kepala negara yang kemudian diteruskan dengan pertukaran nota ratifikasi diantara negara-negara peserta perjanjian. Dalam proses sebelum ratifikasi perjanjian terdapat dua kegiatan, yaitu : pembentukan kehendak negara melalui hukum konstitusinya, lalu pernyataan kehendak dalam rangka hubungan internasional sesuai dengan praktek diplomatik yang berlaku (Rosmi, 2002: 31).

Dari perspektif twolevel-games, lembaga eksekutifnya adalah ‘negosiator’ yang terlibat dalam beberapa bentuk negosiasi internasional yang pada akhirnya para negosiator tersebut perlu mendapatkan persetujuan dalam negeri pada tahap ratifikasi, persyaratan ratifikasi ini menyediakan hubungan penting antara tingkat internasional dan domestik. Secara singkat, two-level-games merupakan metafora untuk interaksi domestik-internasional. Untuk kasus ratifikasi MAAS ini, masing-masing pihak diwakili oleh seorang kepala negosiator yang berusaha untuk mencapai kesepakatan yang akan menarik konstituennya. Agar lebih mudah, dapat diurai secara analitis menjadi dua tahap sebagai berikut:

1) tawar menawar antara negosiator, yang mengarah ke perjanjian tentatif; disebut sebagai Level I.

2) diskusi terpisah dalam masing-masing kelompok konstituen tentang apakah akan meratifikasi perjanjian; disebut sebagai Level II.

(24)
(25)

Pada skema diatas, terlihat bahwa negosiasi di Level II akan menentukan posisi awal untuk negosiasi Level I. Sebaliknya, kebutuhan untuk ratifikasi Tingkat II pasti akan mempengaruhi perundingan Tingkat I. Bahkan, harapan penolakan di Level II dapat membatalkan negosiasi di Level I tanpa tindakan formal di Level II. Dalam banyak negosiasi, proses dua tingkat mungkin berulang, karena negosiator mencoba perjanjian yang mungkin dan menyelidiki pandangan konstituen mereka. Dalam kasus-kasus yang lebih rumit, pandangan konstituen sendiri dapat berevolusi selama negosiasi. Namun demikian, persyaratan bahwa perjanjian Tingkat I mana pun, pada akhirnya, harus diratifikasi pada Tingkat II, memaksakan hubungan teoretis yang krusial antara kedua tahapan tersebut.

Melihat dari dua kegiatan tersebut, ratifikasi mempunyai pengertian, yaitu persetujuan legislatif atau parlemen sebelum diratifikasi oleh badan eksekutif berdasarkan konstitusi negara masing-masing. Ratifikasi diselenggarakan oleh lembaga eksekutif sesudah persetujuan parlemen. Dalam ratifikasi, lembaga eksekutif sebagai suatu badan yang mewakili suatu negara berhadapan dengan negara-negara peserta perjanjian lainnya. Pernyataan kehendak suatu negara tercantum dalam dokumen ratifikasi (instrument of ratification) yang ditandatangani oleh kepala negara atau badan eksekutif, selanjutnya dokumen dipertukarkan antara negara yang satu dengan negara peserta perjanjiannya. Jadi ratifikasi dalam arti internasional adalah suatu kegiatan berupa pertukaran atau penyimpanan dokumen ratifikasi, sejak tanggal pertukaran dokumen tersebut sehingga lahirlah kewajiban-kewajiban internasional sebagai efek dari ratifikasi (Tuma, 1984).

(26)

Robert Putnam di dalam pendekatan two-level-games nya membagi proses negosiasi ke dalam dua tahap. Tahap pertama dianalogikan sebagai proses tawar-menawar antar negosiator (antar perwakilan negara) yang mengarah pada sebuah kesepakatan sementara. Lalu tahap kedua ialah fase rasionalisasi, dimana para negosiator berdiskusi dengan negara asalnya untuk memutuskan apakah perjanjian internasional yang dimaksud dapat diratifikasi atau tidak. Singkat, pada tahap kedua ini konstituen domestik di masing-masing negara memutuskan, secara formal ataupun tidak, untuk meratifikasi dan mengimplementasikan persetujuan ratifikasi.

Dalam kerangka two-level-games, kendala paling mendasar pada perwakilan negara adalah ukuran win-set, yang pada gilirannya tergantung pada sejumlah faktor domestik, termasuk distribusi koalisi domestik, sifat lembaga perwakilan, dan strategi domestik yang digunakan oleh perwakilan negara. Pendekatan two-level-games mengasumsikan bahwa koalisi domestik terbentuk atas dasar penilaian biaya dan manfaat relatif dari alternatif yang dinegosiasikan dengan status quo, dan bahwa dasar penilaian ini tetap konstan selama analisis. Setiap negara diasumsikan memiliki 'win-set', yang didefinisikan sebagai set perjanjian potensial yang akan diratifikasi oleh perwakilan negara terhadap status quo dari 'no-agreement'. Yang lebih menarik lagi adalah perwakilan negara akan mengadopsi strategi untuk membentuk kembali win-set domestik. Sementara preferensi yang mendasari kelompok-kelompok domestik mengasumsikan win-set mencerminkan banyak karakteristik lain yang relevan dari pemerintahan domestik, termasuk sifat lembaga, informasi, dan pola mobilisasi dan keterkaitan isu.

(27)

1.5.2 Teori Kepentingan Nasional (National Interest)

Bagi Filipina, ruang gerak yang dimiliki oleh suatu bangsa akan berubah menjadi kontrol dari sebuah negara sehingga kepentingan nasional patut untuk dinomersatukan. Kepentingan nasional Filipina mewujudkan tujuan dan ambisi negara seperti ekonomi, militer, atau budaya. Konsep ini penting dalam hubungan internasional yang ditunjukkan dalam kebijakan dan pelaksanaan, didasarkan pada serangkaian nilai seperti meritokrasi, keadilan, kehormatan, integritas, dan kebebasan yang penting bagi pemerintahan Filipina atau identitas nasional Filipina (Jackson, 2009: 89).

Kepentingan nasional Filipina ialah memperluas hubungan ekonomi dan diplomatik tanpa melupakan kenyataan bahwa ada ancaman alami dan buatan manusia terhadap kesejahteraan nasional Filipina. Filipina membutuhkan investasi penting dalam pertahanan sipil dan nasional untuk mengembangkan sarana yang melibatkanberbagai pihak. Kepentingan nasional Filipina yang dimaksud antara lain: untuk mengembangkan kekuatan pada masing-masing wilayah; untuk menahan dan memitigasi risiko terhadap hak fundamental masyarakat Filipina; dan untuk hidup dalam iklim perdamaian abadi dan kemakmuran berkelanjutan. (Anthonius, 2011: 163). Kepentingan dan prioritas nasional Filipina harus berbasis risiko yang terdiri dari risiko mengancam kelangsungan hidup nasional, risiko mengancam keamanan nasional tetapi bukan kelangsungan hidup nasional, risiko yang memengaruhi kesejahteraan nasional tetapi tidak keseluruhan keamanan dan kelangsungan hidupnya. Untuk mencapai kepentingan nasional, hubungan diplomatik harus ditandai dengan keterlibatan diplomasi preventif untuk meminimalkan risiko konflik yang membahayakan masyarakat Filipina.

(28)

1.5.3 Skema Kerangka Pemikiran

ASEAN Open Sky Policy

Multilateral Agreement on Air Services

Except : Philippines

Faktor-faktor Pihak yang

penghambat berpengaruh

(29)

Proses ratifikasi dalam sebuah perjanjian internasional tentu berkaitan dengan politik negosisasi atau yang disebut juga sebagai diplomasi domestik internasional. Menurut Robert Putnam (1988), politik negosiasi internasional merupakan konsep dari teori two-level-games. Di dalam ranah domestik, politik negosiasi internasional diibaratkan seperti melegalkan kebijakan yang menguntungkan. Sedangkan dalam ranah internasional, negara memaksimalkan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan domestik dan meminimalkan langkah perkembangan dari luar negeri. Pendekatan two-level-games dimulai dengan mengasumsikan bahwa perwakilan dari sebuah negara biasanya mencoba melakukan dua hal sekaligus dikarenakan mereka berupaya memanipulasi politik domestik dan memanipulasi politik internasional secara bersamaan.

Pendekatan two-level-games merupakan perundingan internasional yang berupaya untuk melakukan negosiasi antar negara. Pendekatan ini juga mengakui bahwa kebijakan domestik dapat digunakan untuk mempengaruhi hasil negosiasi internasional dan langkah-langkah internasional semata-mata ditujukan untuk mencapai tujuan domestik. Ini membedakan pendekatan two-level-games dari pendekatan lainnya, di mana dua rangkaian kendala yang berupa kepentingan domestik dan perundingan internasional harus seimbang sesuai dengan sistem pemerintahan Filipina yang memiliki prinsip check and balances. Di dalam kerangka two-level-games, terdapat dua macam hasil yang mungkin terjadi, yaitu:

1) keberhasilan atau kegagalan dalam mencapai kesepakatan 2) distribusi keuntungan dan kerugian.

(30)

1.6 Batasan Penelitian

Batasan penelitian digunakan untuk membatasi agar penelitian tetap berada dalam jalurnya sehingga tidak melampaui yang bukan topiknya. Di dalam penelitian kali ini, peneliti akan menelusuri lebih lanjut akan faktor-faktor yang menghambat sebuah perjanjian internasional. Perjanjian internasional yang dimaksud ialah Multilateral Agreement on Air Services (MAAS). Selain itu penulis akan mencoba mencari kebijakan mengenai air service lainnya di Filipina sehingga dapat mengetahui pihak-pihak yang terkait dan yang memiliki pengaruh di dalam perjanjian tersebut. Penulis akan berfokus pada tahun 2015 saja dimana pada tahun tersebut merupakan target yang telah disetujui bagi seluruh negara anggota ASEAN untuk meratifikasi berbagai perjanjian internasional di dalam ASEAN Open Sky Policy dengan menggunakan pendekatan two-level-games dan konsep national interest.

1.7 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analisis dengan menggunakan pendekatan metode kualitatif. Dalam penelitian kualitatif, peneliti juga menjadi instrumen utama di dalam penelitian tersebut. Yang berarti penulis dituntut untuk mempunyai wawasan yang cukup luas untuk menganalisis serta mengkonstruksi objek yang diteliti (Iskandar, 2009: 11). Pada penelitian ini penulis membentuk suatu gambaran yang cukup kompleks dengan meneliti kata-kata. Sehingga dapat menjabarkan suatu keadaan atau fenomena yang terjadi saat ini dengan menggunakan prosedur ilmiah untuk menjawab masalah secara aktual. (Sugiyono, 2005: 2).

(31)

1.8 Teknik Pengumpulan Data

Salah satu komponen utama dalam penelitian adalah proses pengumpulan data. Pada penelitian kali ini, penulis mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis dengan cara membaca literatur, tulisan, maupun dokumen yang dianggap penulis dapat membantu proses pembentukan penelitian ini. Analisis dokumentasi dilakukan untuk mengumpulkan data yang bersumber dari arsip dan dokumen yang berada ditempat penelitian atau berada diluar tempat penelitian yang ada hubungannya dengan penelitian tersebut. Teknik dokumentasi ini juga bisa dikatakan sebagai metode pengumpulan data yang tidak ditujukan langsung kepada subjek penelitian, jenis pengumpulan data yang meneliti berbagai macam dokumen yang berguna untuk bahan analisis. Dokumen dibedakan menjadi dua, yakni: dokumen primer dan juga dikumen sekunder. Dokumen primer merupakan dokumen yang ditulis oleh pihak yang langsung mengalami suatu peristiwa, sedangkan dokumen sekunder merupakan dokumen yang ditulis berdasarkan laporan dari pihak lain (Abdurrahman, 2016:104).

1.9 Rencana Pembabakan Tugas Akhir

a) Bab I

Pada bab awal ini, peneliti mencoba menjelaskan secara ringkas akan keseluruhan permasalahan penelitian yang terjadi pada bagian abstrak yang kemudian akan terdapat kata kunci di dalamnya. Lalu peneliti akan menyampaikan latar belakang permasalahan kurang lebih 1500 kata. Di dalam latar belakang akan diceritakan secara runtun bagaimana permasalahan tersebut bisa terjadi yang mencakup tanggal kejadian, serta fakta-fakta lainnya sehingga

(32)

timbul pertanyaan besar yang akan dirangkum dalam rumusan masalah. Dengan begitu, peneliti akan mampu menunjukan tujuan serta manfaat. Namun peneliti harus membuktikan bahwa penelitian ini memiliki sifat ‘novelty and distiction’ yang berarti bahwa penelitian ini memiliki pembaharuan serta perbedaan-perbedaan dari penelitian-penelitian sebelumnya yang akan dibuktikan di dalam literatur review. Kemudian peneliti akan menjelaskan bagaimana penulis menjawab pertanyaan penelitian melalui metodologi yang terdiri atas teoritical framework, jangkauan penelitian, metode penelitian, serta sistematika penulisan.

b) Bab II

Pada bab ini, penulis mencoba menjelaskan objek kajian berupa prosedur yang digunakan oleh Filipina dalam mencapai sebuah kesepakatan internasional maupun dalam meratifikasi perjanjian internasional. Tak hanya itu, penulis juga menjelaskan lebih dalam lagi akan permasalahan ASEAN Open Sky Policy khususnya bagi Filipina. Lalu di akhir bab 2, penulis akan menjabarkan status ratifikasi dari perjanjian MAAS.

c) Bab III

Penulis mencoba menganalisis lebih dalam akan objek kajian penelitian dan berusaha untuk mengaitkannya dengan teori atau konsep yang telah disebutkan di dalam Bab I. Sepeti keputusan pemerintah Filipina Filipina dalam melakukan penundaan proses ratifikasi perjanjian MAAS serta menjabarkan secara terperinci akan proses ratifikasinya baik dalam level internasional maupun level domestiknya. Tak penulis juga menyinggung dampak apa saja yang terjadi dari penundaan yang dilakukan oleh pemerintah Filipina tersebut.

(33)

d) Bab IV

Berisikan kesimpulan dan saran dari pembahasan yang telah dilakukan oleh peneliti dari bab-bab sebelumnya sehingga dapat memberikan gambaran bagi peneliti selanjutnya. Hasil penelitian dan saran dari rumusan masalah juga disertakan di dalam bab 4 ini.

1.10 Signifikansi Penelitian

Dengan menganalisis proses penundaan ratifikasi Filipina dalam MAAS, diharapkan dapat memberi informasi dan menjadi bahan kajian bagi para pemerhati fenomena hubungan internasional perihal kebijakan suatu negara terhadap proses perjanjian internasional. Penulis menekankan adanya novelty and distinction penelitian ini dari penelitian-penelitian sebelumnya dan diharapkan dapat memberi kontribusi terhadap ilmu pengetahuan, terutama dalam hubungan internasional sehingga membuat para pembaca mampu melihat dari berbagai sudut pandang terhadap isu yang sedang atau telah terjadi.

(34)

BAB II

FILIPINA DALAM ASEAN OPEN SKY POLICY

Sebelum memasuki penjelasan tentang MAAS, penulis terlebih dahulu menjabarkan apa-apa saja yang terdapat pada Freedom of Air atau hak istimewa yang satu negara berikan kepada negara lain yang melakukan kegiatan di wilayah udara yang berdaulat di negara tersebut. karena freedom of air sangat erat kaitannya dengan layanan udara internasional.

Tabel 2.1. Freedom of Air

Freedom of Air Keterangan

1st freedom untuk pesawat negara A untuk terbang melebihi wilayah negara B

2nd freedom untuk pesawat negara A untuk membuat berhenti teknis di wilayah negara B

3rd freedom ntuk pesawat negara A untuk naik penumpang dan kargo di negara A dan menurunkan mereka di negara B

4th freedom untuk pesawat dari negara A untuk memulai penumpang dan kargo di negara B dan menurunkan mereka di negara A

5th freedom untuk pesawat dari negara A, dari layanan yang berasal dari negara A, untuk memulai penumpang dan kargo di negara B dan menurunkan mereka di negara C

6th freedom untuk pesawat dari negara A untuk naik penumpang dan kargo di negara B, mengalihkan mereka melalui negara A, dan menurunkan mereka di negara C

7th freedom untuk pesawat negara A untuk memulai dan menurunkan penumpang dan kargo antara negara B dan negara C tanpa berhenti di negara A

8th freedom untuk pesawat terbang negara A, dari layanan yang berasal dari negara A, untuk memulai penumpang dan kargo di negara B dan menurunkan mereka di titik lain di negara B

9th freedom untuk pesawat dari negara A, dari layanan yang berasal dari negara B, untuk memulai dan menurunkan penumpang dan kargo antara dua titik di dalam negara B

(35)

2.1 Prosedur Implementasi Perjanjian Internasional

Perjanjian internasional diadakan antara anggota masyarakat internasional yang juga merupakan instrumen yang tidak dapat lepas dari kegiatan diplomasi sebuah negara dengan negara lain. Agar dapat disebut perjanjian internasional, sebuah perjanjian harus diadakan oleh subjek hukum internasional. Sebelum sebuah perjanjian internasional dapat diimplemantasikan oleh seluruh negara anggota, maka setiap pihak yang terkait harus mengikuti beberapa prosedur, seperti perundingan, penandatangan dan ratifikasi (Kusumaatmaja, 1996: 43).

Perundingan terjadi ketika terdapat suatu masalah atau konflik yang harus diselesaikan oleh beberapa pihak terkait, sehingga ditemukannya kesepakatan antar semua pihak. Diadakannya perundingan tak lebih untuk bertukar pandangan tentang masalah-masalah, seperti politik, ekonomi, penyelesaian sengketa atau pendirian lembaga-lembaga internasional. Setelah para pihak bersepakat untuk mengadakan perundingan maka masing-masing negara menunjuk perwakilan dari setiap pihak untuk dapat bertemu dan mengadakan perundingan. Kepala Negara bertanggung jawab akan terselenggaranya suatu perundingan. Tetapi dalam praktek diplomatik jarang sekali Kepala Negara ikut dalam perundingan.

Setelah ditemui kesepakatan antara semua pihak yang berunding, maka proses selanjutnya adalah penandatangan. Penandatangan merupakan proses hukum dimana hasil perundingan atau protokol-protokol yang ada didalamnya telah disetujui oleh semua pihak. Hal ini tentu berbeda jika dibandingkan dengan masa monarki Eropa, apabila telah ditandatangani teks perjanjian itu maka negara penandatangan akan terikat pada treaty. Jika berdasarkan kesepakatan (traktat) awal harus diratifikasi maka penandatangan hanya berarti perwakilan tiap negara

(36)

telah menyetujui teks perjanjian dan bersedia menerimanya serta akan meneruskan kepada pemerintah yang berhak untuk menerimanya atau menolak traktat tersebut (Lord, 1967: 429). Para delegasi meneruskan naskah perjanjian tersebut kepada pemerintahnya untuk meminta persetujuan. Untuk itu, dibutuhkan penegasan oleh pemerintah yang bersangkutan setelah mereka mempelajari dan setelah diajukan kepada Parlemen sebagai bukti layak atau tidaknya untuk diratifikasi di negara tersebut.

2.1.1 Prosedur Implementasi Perjanjian Internasional Filipina

Kerja sama transportasi ASEAN adalah masalah utama dalam persiapan untuk ASEAN Economic Community pada tahun 2015. Kerja sama transportasi mengharuskan negara-negara anggota untuk meratifikasi dan menandatangani protokol dan perjanjian yang akan meliberalisasi sektor transportasi di ASEAN. Ada kebutuhan besar untuk perhatian pembuat kebijakan terhadap masalah kekurangan infrastruktur bandara dan keterbatasan lainnya. Filipina sangat membutuhkan sistem transportasi udara yang sangat efisien mengingat kondisi geografis kepulauannya, sehingga tujuannya untuk memiliki hubungan yang lebih baik, lebih efisien, dan lebih kuat dengan pasar regional dan global. Prosedur perjanjian internasional Filipina tidak berbeda jauh dengan prosedur perjanjian internasional pada umumnya yang juga telah disebutkan sebelumnya oleh penulis. Antara lain :

(37)

a) Negosiasi

Negosiasi dapat dilakukan langsung oleh kepala negara tetapi kepala negara bisa juga memberikan tugas ini kepada perwakilannya yang sah. Perwakilan ini diberikan mandat yang dikenal sebagai kekuatan penuh, yang mereka perlihatkan kepada negosiator lain pada awal diskusi formal. Merupakan praktik standar bagi salah satu pihak untuk menyerahkan rancangan perjanjian yang diusulkan, yang kemudian menjadi dasar negosiasi berikutnya. Negosiasi mungkin singkat atau berlarut-larut, tergantung pada masalah yang terlibat, bahkan mungkin negosiasi tersebut akan gagal jika para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan tentang poin-poin yang dipertimbangkan.

Di Filipina, fase negosiasi proses pembuatan perjanjian pada dasarnya dilakukan dan dikendalikan oleh cabang Eksekutif pemerintah melalui Departemen Luar Negeri dan masing-masing instansi pemerintah yang terlibat. Setelah proposal perjanjian diterima oleh Pemerintah, Departemen Luar Negeri ditugaskan untuk menentukan apakah perjanjian tersebut merupakan perjanjian atau perjanjian eksekutif. Kepala Eksekutif (Executive Order), melalui rekomendasi dari Sekretaris DFA (Department of Foreign Affairs), yang menunjuk orang-orang yang akan terdiri dari delegasi Filipina dan departemen-departemen, yang akan dilibatkan dan dikonsultasikan dalam negosiasi. Berdasarkan EO 459 (Magallona, 2007: 50), lembaga utama dalam negosiasi perjanjian harus mengadakan rapat anggota panel sebelum dimulainya negosiasi untuk tujuan menetapkan parameter posisi negosiasi dari panel. Tidak ada penyimpangan dari parameter yang disepakati harus dilakukan tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan anggota panel negosiasi. Panel negosiator biasanya terdiri

(38)

dari beberapa individu dari berbagai lembaga pemerintah yang merupakan pakar teknis dan nara sumber di bidang spesialisasi tertentu. Sebuah perjanjian, yang memiliki efek luas pada berbagai industri, dapat melibatkan beberapa kelompok kerja teknis. Kelompok kerja teknis akan bertemu dan menguraikan posisi Filipina dan mewujudkan posisi ini secara tertulis. Idealnya, posisi Filipina harus sesuai dengan kebijakan yang diuraikan, tujuan pembangunan dan target pemerintah dan secara umum mengejar kepentingan Filipina. Selama proses negosiasi, negosiator dari masing-masing Negara Pihak akan bertemu dan berdiskusi untuk sampai pada pengaturan yang saling menguntungkan.

Di dalam setiap tahap yang dilakukan, para negosiator haruslah sangat waspada dalam melihat setiap ketentuan khusus. Sebelum menyetujui ketentuan tertentu, negosiator tersebut harus menyetujuinya hanya setelah berkonsultasi dengan negosiator lain dan mengevaluasi apakah itu sesuai dengan posisi Filipina yang diuraikan. Dalam masalah yang sangat penting atau sangat penting, konsultasi publik harus dilakukan untuk dapat menentukan dampak keseluruhannya pada industri yang terpengaruh atau pihak-pihak yang akan berprasangka. Negosiator selain sebagai ahli harus kuat, tegas dan tegas dalam mengejar posisi Filipina. Ketidaksepakatan di antara para negosiator mengenai ketentuan-ketentuan tertentu juga normal, tetapi beberapa negosiator yang berpengalaman telah menyempurnakan seni memasukkan ketentuan dalam bagian yang tidak terduga atau mengulangi ketentuan yang ditolak untuk membuatnya tampak dapat diterima.

(39)

Dalam beberapa keadaan, beberapa negosiator akan mengajukan ketentuan validitas yang meragukan . Pada saat-saat seperti itu ketika negosiator dari pihak lain sudah cukup lelah atau lelah karena menghabiskan berjam-jam menghabiskan waktu untuk analisis teks, interpretasi dan revisi. Setelah draf terakhir perjanjian tercapai, akan dikirim ke kantor Kepala Eksekutif yang akan menandakan persetujuannya. Jika ia menyetujui perjanjian, ia akan meneruskannya ke Kantor Sekretaris Eksekutif, yang pada gilirannya, akan membuktikan, keaslian dan kebenaran teks yang ditandatangani atau diratifikasi. Kantor Sekretaris Eksekutif menerima teks dalam bentuk akhir mereka tetapi dapat mengesampingkan perjanjian ini dengan alasan luas itu bertentangan dengan Konstitusi, hukum atau kebijakan publik, secara umum.

b) Penandatangan

Jika dan ketika negosiator akhirnya memutuskan persyaratan perjanjian, hal yang sama dibuka untuk ditandatangani. Langkah ini terutama dimaksudkan sebagai sarana untuk mengotentikasi instrumen dan untuk tujuan melambangkan itikad baik para pihak; tetapi, secara signifikan, itu tidak menunjukkan persetujuan akhir dari negara dalam kasus-kasus di mana ratifikasi perjanjian diperlukan. Dokumen tersebut biasanya ditandatangani sesuai dengan alternat, yaitu masing-masing dari beberapa negosiator diizinkan untuk menandatangani terlebih dahulu pada salinan yang akan ia bawa pulang ke negaranya sendiri.

(40)

c) Ratifikasi

Ratifikasi, yang merupakan langkah selanjutnya, adalah tindakan formal yang olehnya suatu negara menegaskan dan menerima ketentuan-ketentuan perjanjian yang disimpulkan oleh perwakilannya. Tujuan ratifikasi adalah untuk memungkinkan negara-negara yang berkontrak untuk memeriksa perjanjian itu lebih dekat dan memberi mereka kesempatan untuk menolak diikat olehnya jika mereka menemukannya bertentangan dengan kepentingan mereka. Karena alasan inilah sebagian besar perjanjian dibuat tunduk pada pengawasan dan persetujuan departemen pemerintah selain dari yang dinegosiasikan. Ratifikasi pada umumnya dianggap sebagai tindakan eksekutif, yang dilakukan oleh kepala negara atau pemerintah, sesuai kasusnya, melalui mana penerimaan formal terhadap traktat diproklamirkan.

Suatu Negara dapat menyediakan di dalam Undang-Undang nasionalnya tentang proses ratifikasi suatu perjanjian internasional. Seperti yang terjadi dalam kasus Filipina ini, persetujuan Filipina untuk terikat oleh perjanjian dapat dinyatakan dengan proses ratifikasi ketika sebuah perjanjian itu mengatur ratifikasi tersebut (contohnya MAAS), sebaliknya ditetapkan bahwa negara-negara yang berunding sepakat bahwa ratifikasi harus disyaratkan; perwakilan negara telah menandatangani perjanjian yang harus diratifikasi; atau niat Negara untuk menandatangani perjanjian yang harus diratifikasi muncul dari kekuatan penuh perwakilannya, atau diungkapkan selama negosiasi. Dalam yurisdiksi Filipina, kekuasaan untuk meratifikasi berada di tangan Presiden, seperti yang diyakini secara umum, di badan legislatif. Peran Senat Filipina terbatas hanya untuk memberi atau menahan persetujuan untuk ratifikasi perjanjian MAAS ini.

(41)

d) Pertukaran instrumen ratifikasi

Biasanya juga menandakan efektivitas perjanjian kecuali tanggal yang berbeda telah disepakati oleh para pihak. Ketika ratifikasi disahkan dan tidak ada klausul efektif yang termaktub dalam perjanjian, instrumen dianggap efektif pada saat penandatanganannya. Dalam yurisdiksi Filipina, agar perjanjian itu berlaku dan efektif, itu harus disetujui oleh Senat. Proses persetujuan perjanjian oleh Senat mengikuti prosedur di bawah Konstitusi 1987 tentang pengesahan undang-undang. Aturan semacam itu merupakan tambahan oleh Aturan Senat. Proses selangkah demi selangkah perjanjian perjanjian dibahas di bawah ini. Awalnya, Presiden, melalui surat kepada Senat, mentransmisikan kepada Senat Instrumen Ratifikasi dan teks perjanjian yang diratifikasi untuk persetujuan berdasarkan Sec. 21, Seni. VII Konstitusi. Presiden mentransmisikan hal yang sama dengan bertindak melalui Sekretaris Eksekutif, yang dirinya membuat surat pengesahan kepada Senat. Senat menerima perjanjian melalui Tagihan Legislatif dan Layanan Indeks yang juga menerbitkan abstrak dari perjanjian. Pada awal setiap Sesi Senat, Sekretaris Senat melaporkan semua tagihan, mengusulkan resolusi Senat, dan korespondensi dari cabang-cabang lain pemerintah, dan hal-hal lain yang termasuk dalam Orde Bisnis. Seperti RUU biasa, perjanjian internasional mengalami tiga pembacaan.

Dalam bacaan pertama, hanya judul dan nomor yang dibaca. Judulnya biasanya bertuliskan "Persetujuan dalam Ratifikasi (perjanjian atau perjanjian internasional)” dengan Nomor Resolusi Senat yang diusulkan. Setelah itu, perjanjian tersebut dirujuk ke Komite Hubungan Luar Negeri. Jika perjanjian itu menyangkut Komite lain, itu juga dirujuk ke Komite lain untuk pertimbangan

(42)

bersama dan rekomendasi mereka. Sebagai ilustrasi, Perjanjian Pasukan Kunjungan juga dirujuk ke Komite Pertahanan Nasional. Jika perjanjian itu menyangkut hampir semua atau semua Komite Senat, itu disebut apa yang disebut Komite Seluruh. Misalnya, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dirujuk ke Komite Utuh. Peran Komite adalah mempelajari dan menganalisis perjanjian. Itu membuat konsultasi untuk studi dan makalah posisi. Itu melakukan audiensi publik dan mempertimbangkan kesaksian publik. Hasil akhir dan rekomendasi dipersiapkan lalu disimpan dalam bentuk laporan komite. Laporan komite diajukan dengan Bills and Index, yang kemudian memasukkannya ke dalam Kalender Bisnis untuk bacaan kedua.

Pada awal pembacaan kedua, Senator-Sponsor dari perjanjian mendukung laporan komite ke Dewan melalui pidato sponsor. Selama pembacaan kedua, perjanjian akan dibuka untuk debat umum dan amandemen. Pada akhir debat, anggota Senat akan memberikan suara. Jika disetujui oleh Senat, RUU tersebut akan beralih ke pembacaan ketiga. Komite Hubungan Luar Negeri akan mendokumentasikan tindakan apa pun yang diambil dalam bentuk Usulan Resolusi. Resolusi yang Diusulkan harus dicetak oleh RUU dan Indeks, dan dibagikan kepada setiap Senator tiga (3) hari sebelum pembacaan ketiga. Setelah tiga hari sejak distribusi resolusi dengan traktat yang dilampirkan padanya, Resolusi yang Diusulkan akan diajukan untuk pemungutan suara nominal. Perjanjian itu akan dianggap disetujui jika 2/3 dari Senator memberikan suara untuk persetujuannya. Resolusi Senat yang menyetujui ratifikasi perjanjian kemudian diadopsi. Resolusi Senat yang diadopsi dibawa ke Sekretaris Senat, yang kemudian mengirimkan salinannya kepada Sekretaris Luar Negeri.

(43)

Meskipun Kepala Eksekutif adalah satu-satunya otoritas dalam pembuatan perjanjian, tetapi tetap merupakan kebijakan Negara bahwa rakyat dan organisasi memiliki hak untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan. Organisasi merujuk pada serikat pekerja, organisasi petani, kaum miskin kota, koperasi, kelompok hak asasi manusia, kelompok agama, dan juga asosiasi pemilik tanah dan pengusaha. Peran Negara, dengan memberlakukan undang-undang, akan menjadi fasilitasi belaka dari mekanisme konsultasi, dan bukan penciptaannya, karena mekanisme konsultasi sudah beroperasi tanpa tindakan Negara oleh hukum. Ini harus mengikuti bahwa dalam semua negosiasi yang dilakukan oleh Presiden Filipina untuk mengadakan perjanjian internasional, adalah tugas pemerintah untuk mengungkapkan kepada rakyat, bahkan tanpa yang terakhir menuntut, semua tindakannya, tetapi selalu dibatasi oleh kondisi yang ditentukan oleh hukum.

2.2 Open Sky Policy

Salah satu bentuk kerja sama transportasi udara yang kini banyak terjadi di tiap antar negara adalah open skies, secara singkat tujuannya adalah untuk meliberalisasi jasa transportasi udara antar negara yang di dalamnya terdapat sekumpulan aspek kebijakan dan perjanjian yang dilakukan secara berbeda. Hal tersebut berdampak pada melonggarnya peraturan-peraturan dalam industri jasa transportasi udara (Kusumaningrum, 2014: 9). Open Sky merupakan suatu wujud perjanjian yang memiliki tujuan penyamarataan kesempatan terhadap setiap negara anggota yang terikat dengan meminimalisir Intervensi pemerintah. Strategi open skies ini dapat dilakukan secara bilateral, regional, maupun multilateral.

(44)

Secara khusus, open skies mendorong terjadinya kompetisi yang makin ketat antara maskapai-maskapai penerbangan, memungkinkan maskapai-maskapai dari negara ketiga untuk dapat melayani rute-rute yang ada diantara dua negara dan memberi keleluasaan bagi para maskapai untuk mengembangkan rute-rute dan jaringan layanan yang ingin maskapai-maskapai tersebut pilih (Forshyt, 2006: 152). Inisiatif untuk meliberalisasi penuh pasar transportasi udara melalui perjanjian open skies sesungguhnya pertama kali datang dari Amerika Serikat dengan Uni Eropa pada tahun 1979 yang kemudian menjadi inisiatif untuk melakukan kerja sama open skies ke berbagai belahan dunia termasuk ke ASEAN. Kebijakan ini pada dasarnya merupakan keinginan Pemerintah untuk tidak lagi ikut campur tangan dalam bisnis penerbangan dan mengurangi regulasi di bidang tersebut, kecuali yang berkaitan dengan safety dan security (Mahmud, 2012: 61).

Ada banyak perjanjian bilateral Open Skies dan beberapa perjanjian regional. Beberapa perjanjian Open Skies regional telah menghasilkan liberalisasi atau integrasi substansial. Secara signifikan, pengaturan ini tidak muncul sebagai hasil dari negara-negara yang menegosiasikan perjanjian open skies, melainkan diberlakukan oleh otoritas pusat, sebagai konsekuensi dari perjanjian yang mereka tandatangani ketika bergabung dengan Komunitas. Open Skies telah bekerja dengan baik secara keseluruhan di Eropa. Tidak ada ketidakstabilan yang berlebihan dan ada kompetisi yang jauh lebih besar, terutama dari maskapai berbiaya rendah yang sekarang memiliki pangsa pasar yang penting (Forshyt, 2006: 153).

Dasar pemikiran utama dari Open Skies Policy adalah ekonomi. Tak hanya itu, Open Sky Policy juga berakar dari ASEAN Single Aviation Market yang

(45)

merupkan program dari AEC, jadi tidak heran jika salah satu tujuan dari kebijakan langit terbuka tersebut adalah untuk menyeimbangkan perekonomian di negara anggota ASEAN. Ketika diterapkan secara efektif dan ketika berfungsi sesuai dengan aturannya, Open Skies akan menghasilkan manfaat ekonomi secara keseluruhan untuk negara-negara yang berpartisipasi dalam perjanjiannya. Lalu yang menjadi permasalahan ialah tidak semua pesertanya mampu menaati perjanjian Open Skies sebelum kebijakan tersebut diterapkan dan diimplementasikan. Hal tersebut disebabkan dikarenakan tidak semua negara yang terlibat di dalam Open Skies memiliki tingkat perkembangan ekonomi dan kemampuan penerbangan yang sama.

2.2.1 ASEAN Open Sky

Eropa cukup relevan untuk kawasan ASEAN, tetapi perlu diakui bahwa terdapat beberapa poin penting yang tampak berbeda, seperti kebijakan Open Skies. Di Eropa, liberalisasi didorong oleh otoritas pusat dan ditegakkan oleh pengadilan pusat tetapi hal ini tidak terjadi di ASEAN, negara-negara ASEAN belum menyepakati perjanjian-perjanjian yang mengharuskan mereka untuk menerapkan kebijakan Open Sky. Tak hanya itu, sebagian besar maskapai penerbangan di Eropa memiliki tingkat produktivitas yang sebanding dan menghadapi biaya input yang sama. Dengan demikian mereka ditempatkan dengan baik untuk bersaing satu sama lain. Sebaliknya, ada penyebaran luas di tingkat produktivitas penerbangan ASEAN. Akibatnya, beberapa maskapai di kawasan ASEAN jauh lebih kompetitif dari segi biaya. Lalu, di sebagian besar negara-negara Eropa, pendapatan per kapita tinggi dan ada pasar pariwisata yang

(46)

berkembang dengan baik. Namun sebaliknya, di kawasan ASEAN hanya ada beberapa negara dengan pendapatan yang cukup tinggi untuk menghasilkan pariwisata yang substansial (Forshyt, 2006: 160). Industri penerbangan di ASEAN cukup beragam namun para pemimpin ASEAN memutuskan untuk memasukkan pengembangan kebijakan Open Skies sebagai bidang kerja sama dalam Rencana Aksi untuk Transportasi dan Komunikasi (1994-1996). Pada tahun berikutnya, para Menteri Transportasi ASEAN (ATM) sepakat untuk melakukan kerja sama dalam Pengembangan Kebijakan Layanan Transportasi Udara dan merupakan langkah bertahap menuju Open Sky Policy di ASEAN. Tujuan tersebut telah ditegaskan kembali dalam Visi ASEAN 2020.

Proposal untuk rezim open skies yang efektif untuk ASEAN telah diperdebatkan sejak 1995 oleh para pemimpin ASEAN yang diadakan di Bangkok, Thailand. Disana para pemimpin mendiskusikan dalam konteks yang lebih besar dari integrasi ekonomi di semua sektor melalui harmonisasi kebijakan perdagangan dan investasi. Dalam hal ini, transportasi udara merupakan salah satu dari 12 sektor prioritas yang ditunjuk untuk integrasi ekonomi di ASEAN. Ini adalah komponen penting dalam usulan pembentukan AEC yang ditargetkan pada tahun 2015 (Monash, 2004). Pada November 2004, pertemuan Menteri Transportasi Udara ASEAN ke-10 di Phnom Penh mengadopsi Rencana Aksi untuk Integrasi dan Liberalisasi Transportasi Udara ASEAN 2005-2015. Rencana Aksi tersebut menetapkan tanggal target 2015 untuk mencapai rezim 'ASEAM Open Sky'. Berikut identifikasi tujuan dan tenggat waktu (ASEAN, 2004) :

(47)

a) Untuk layanan angkutan udara (kargo), liberalisasi signifikan pada 2006, dan liberalisasi penuh pada 2008

b) Untuk layanan penumpang terjadwal, penerbangan kebebasan ketiga dan keempat tanpa batas untuk semua titik yang ditunjuk dalam sub-wilayah ASEAN sebelum 2005, dan untuk setidaknya dua titik yang ditunjuk di setiap negara antara subregional ASEAN pada tahun 2006;

c) Lalu lintas kebebasan kelima tanpa batas antara titik yang ditunjuk dalam sub-wilayah ASEAN pada tahun 2006 dan setidaknya dua titik yang ditunjuk di setiap negara antara subregional ASEAN pada tahun 2008;

d) Penerbangan kebebasan ketiga dan keempat tanpa batas antara ibu kota pada 2008 e) Penerbangan kebebasan kelima tanpa batas untuk ibukota pada tahun 2010.

2.2.2 Regulasi ASEAN Open Sky

Untuk menjadi kawasan yang memiliki gagasan untuk mengimplemntasikan Open Sky Policy, tentu dibutuhkan beberapa pengambilan serangkaian opsi kebijakan individual. Opsi kebijakan yang dimaksud antara lain menghapus kontrol investasi dan kepemilikan; mengizinkan banyak penunjukan; menghapus kontrol kapasitas rute; dan pembatasan di gateway (pintu masuk). Opsi kebijakan tersebut merupakan perubahan yang kemungkinan memiliki dampak terbesar pada cara kerja pasar penerbangan. Opsi kebijakan lainnya adalah: pembatasan tarif santai; memberikan kebebasan ke-5, baik di dalam maupun di luar ASEAN; mengizinkan operasi kebebasan ke-7; piagam liberalisasi; meningkatkan persaingan pasar; liberalisasi kargo; mengizinkan cabotage domestik; menghapus pembatasan penanganan di darat; dan menghapus

(48)

melakukan pembatasan bisnis. Opsi-opsi ini dapat diimplementasikan pada keseluruhan basis ASEAN (Laplace & Latge-Roucolle, 2016: 3721).

Perjanjian open sky umumnya mencakup beberapa ketentuan yang mengikat negara-negara anggota ASEAN , antara lain: (Forshyt, 2004: 10)

a) Pasar Terbuka / Open Market. Perjanjian Open Skies ditandai dengan pengabaian seluruhnya atau sebagian pada pembatasan yang berkaitan dengan rute, jumlah maskapai penerbangan yang ditunjuk, kapasitas, frekuensi dan jenis pesawat yang dapat dioperasikan

b) Level Playing Field. Perjanjian Open Skies mencakup ketentuan yang memungkinkan maskapai penerbangan yang berdomisili di negara-negara yang merupakan pihak dalam perjanjian untuk bersaing secara adil dan setara. Misalnya, operator mungkin bebas mendirikan kantor penjualan di negara-negara yang menandatangani perjanjian.

c) Harga / Pricing. Perjanjian Open Skies memungkinkan operator fleksibilitas harga yang jauh lebih besar daripada Perjanjian Layanan Udara (ASA) tradisional yang mereka gantikan. Biasanya, biasa dapat dianulir hanya jika kedua pemerintah sepakat dan kemudian hanya jika persyaratan tertentu dapat dipenuhi.

d) Pengaturan Pemasaran Koperasi / cooperative marketing arrangement. Operator diizinkan untuk masuk ke dalam pengaturan pembagian kode atau penyewaan dengan maskapai penerbangan dari negara-negara yang merupakan pihak dalam perjanjian

(49)

e) Penyelesaian Sengketa / dispute resolution. Perjanjian Open Skies mencakup prosedur untuk menyelesaikan perbedaan yang mungkin timbul dalam perjanjian mata uang

f) Pasar Piagam / charter market. Perjanjian Open Skies mencakup ketentuan yang membebaskan pasar piagam

g) Keselamatan dan Keamanan / Safety and Security. Pemerintah negara pihak pada umumnya sepakat untuk mematuhi standar keselamatan dan keamanan penerbangan yang telah disepakati.

h) Hak Kargo Kebebasan ke-7 / Optional 7th Freedom Of Cargo Right. Beberapa Perjanjian Open Skies memungkinkan maskapai penerbangan dari negara anggota untuk mengoperasikan layanan kargo murni antara negara anggota lain dan negara ketiga, tanpa bersikeras berhenti di negara asal perusahaan pengangkutan kargo.

2.2.3 Filipina dalam ASEAN Open Sky

Di Filipina, reformasi dalam industri perlahan-lahan diperkenalkan pada tahun 1995. Namun demikian, ada persepsi yang berkembang bahwa layanan transportasi udara Filipina, khususnya layanan transportasi udara internasional, belum membaik. Negara-negara ASEAN berbeda dalam kebijakan mereka mengenai kepemilikan dan kontrol. Seperti Filipina yang mengizinkan orang asing untuk berinvestasi dalam maskapai penerbangan, mengendalikan kepentingan diberikan kepada warga negara dari negara yang bersangkutan. Begitu pula dengan beberapa perjanjian ASEAN Open Sky yang mengizinkan maskapai penerbangan dari negara lain untuk mengoperasikan layanan domestik. Namun banyak perjanjian Open Skies tidak membebaskan pasar penerbangan

(50)

domestik. Masalah akses ke pasar penerbangan domestik negara-negara anggota dapat menjadi masalah penting jika ASEAN bergerak menuju pasar penerbangan tunggal. Karena penghapusan cabotage tidak penting untuk kebijakan open skies yang dinegosiasikan. Secara umum, pasar penerbangan domestik negara-negara ASEAN dicadangkan untuk maskapai penerbangan yang berdomisili di negara asal. Kami mencatat bahwa beberapa negara ASEAN telah menderegulasi penerbangan domestik. Misalnya, Filipina yang telah meliberalisasi pasar penerbangan domestiknya. Masuk dan keluar tunduk pada kebijakan yang ditetapkan dalam E.O. 219 pada tahun 1995. E.O. 219 membayangkan liberalisasi progresif industri penerbangan secara umum. Investor asing dapat berinvestasi dalam penerbangan domestik di negara-negara ASEAN tertentu. Sebagai contoh, partisipasi asing diperbolehkan di Filipina, tetapi dibatasi oleh 60% ketentuan domestik, partisipasi asing 40% konstitusional.

Di dalam ASEAN Open Sky, Filipina, khususnya transportasi udara domestik Filipina, pembatasan rute dan frekuensi domestik dihilangkan dan begitu pula kontrol pemerintah pada tarif dan biaya sebagai berikut:

a) Minimal dua operator di setiap rute harus didorong. Rute yang saat ini dilayani oleh satu operator harus terbuka untuk entri bagi operator tambahan.

b) Biaya penerbangan harus dideregulasi untuk rute yang dioperasikan oleh lebih dari satu maskapai penerbangan.

E.O. 219 mengisyaratkan masuknya maskapai baru di industri. Ketentuan E.O. 219 di atas menjadikan industri udara Filipina sebagai industri yang digerakkan oleh pasar. Sedangkan untuk transportasi udara internasional Filipina,

Gambar

Tabel 2.1 Freedom of Air………………………………………………………..22  Tabel 2.2 Tujuan dari RIATS…………………………………………………...40  Tabel 2.3 Protokol-protokol MAAS…………………………………………….42  Tabel 2.4 Status ratifikasi Multilateral Agreement on Air Services (MAAS)…..44  Tabel 3.1 Contoh s
Gambar 3.1 Grafik infrastruktur layanan udara negara anggota ASEAN……….59  Gambar 3.2  Persentase pangsa industri pariwisata terhadap PDB Filipina…………….63
Tabel 2.1. Freedom of Air
Tabel 2.3. Protokol-protokol MAAS
+7

Referensi

Dokumen terkait

Basis genetik yang luas perlu tetap dipertahankan bahkan dikembangkan, sebab bukan saja untuk mempertahankan sifat yang telah ada te tapi untuk memperoleh sifat baru yang

Dengan adanya program Mari Menabung yang dilaksanakan pada Jumat, 2 Agustus 2019 dan 3 Agustus 2019 di posko KKN Pende, Banjarharjo, Brebes dengan rangkaian

Boy, kids, you know, they just grow up so fast.. So I heard that you were

Keputusan Panitera Mahkamah Agung Rl Nomor : 002A/SK/PAN/I/2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2012 tentang Biaya Proses

Menyusun teks prosedur, lisan dan tulis, dalam bentuk manual terkait penggunaan teknologi dengan memperhatikan fungsi sosial, struktur teks, dan unsur kebahasaan, secara

Kegiatan pengabdian masyarakat berupa pelatihan daring dengan tema Mendesain Aktivitas Pembelajaran Daring yang Menarik” telah memberikan kontribusi yang cukup

Pengarsipan dan pengelolaan surat masuk yang berjalan untuk saat ini di Kantor DISPORA Provinsi Kalimantan Tengah, hanya Sub Bagian Umum saja yang telah

Secara geografis, ruang adalah seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup bagi makhluk hidup baik manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan