• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODOLOGI PENELITIAN A.Jenis Penelitian

B. Hasil Penelitian

3. Dinamika Proses dan Strategi

Data akan dianalisis berdasarkan konsep pada penjabaran yang dilakukan oleh Berry (1999) mengenai tahapan-tahapan dalam proses akulturasi. Akan tetapi, penulis membagi tahapan tersebut menjadi dua kelompok besar yaitu proses akulturasi dan strategi akulturasi. Pembagian ini didasarkan pada rumusan masalah penelitian dan hasil data yang didapat. Oleh karena itu, konsep tahapan-tahapan akulturasi tersebut tidak sepenuhnya diterapkan dalam penyajian analisis data, akan tetapi disesuaikan dan dikembangkan penulis berdasarkan tujuan dan data yang diperoleh.

Proses akulturasi masyarakat Batak di Pontianak seiring berjalannya waktu terus menerus terjadi. Beberapa tema-tema yang didapat dikelompokkan dalam kategorisasi tema yang lebih umum. Kategorisasi ini didasarkan pada keterkaitan atau interkoneksi antar tema. Tema-tema yang lebih umum ini kemudian yang membentuk sebuah tahap akulturasi berdasarkan konsep yang dipaparkan oleh Berry (1999).

a. Proses Migrasi

Perpindahan atau migrasi masyarakat Batak ke Pontianak tidak lepas dari alasan-alasan yang terbentuk dari tujuan-tujuan individu maupun nilai budaya yang dianut oleh masyarakat Batak. Dalam tabel 4. dipaparkan alasan-alasan dari informan bermigrasi ke Pontianak.

Tabel 4.

Alasan migrasi ke Pontianak

Informan 1 (AP) Informan 2 (PSin) Informan 3 (PSih)

-Merasa peluang untuk bekerja lebih besar dibandingkan daerah asal.

-Ingin bekerja untuk dapat melanjutkan pendidikan.

-Informan yang lulusan

SLTA merasa

persaingan kerja bagi lulusan SLTA di Kalimantan masih kecil. -Mempunyai keluarga

yang tinggal di Pontianak.

- Diajak oleh keluarga. - Melanjutkan

pendidikan.

- Di kampung halaman orang tua sudah meninggal.

- Tidak ada yang dapat membiayai untuk melanjutkan

pendidikan.

- Ditakutkan akan terlalu cepat menikah apabila berada dikampung halaman.

- Ditakutkan akan cepat menikah apabila tidak sekolah.

-Melanjutkan pendidikan. -Diajak oleh keluarga. -Orang tua di kampung

halaman sudah

meninggal dunia.

Dari tabel diatas dapat dilihat pola yang sama dari setiap informan. Semua informan mengungkapkan bahwa keinginan untuk melanjutkan pendidikan merupakan alasan utama bermigrasi ke Pontianak. Informan AP mengungkapkan bahwa ia sebagai anak pertama ingin sekali melanjutkan pendidikannya hingga ke jenjang sarjana, akan tetapi orang tua di kampung halaman hanya mampu menyekolahkan hingga tingka SLTA. Oleh karena itu, ia berusaha untuk bagaimana caranya dapat melanjutkan kuliah.

55

“…keluarga pada saat itu memang orang tua hanya mampu menyekolahkan anaknya sampai SLTA. Jadi kita mungkin ada prinsip setelah bisa bekerja kita bisa meningkatkan pendidikan

bisa memungkinkan….” (AP)

Keterbatasan ekonomi menjadi tujuan lain informan bermigrasi, kondisi di kampung halaman yang tidak mendukung dari segi perekonomian membuat informan lebih memilih untuk bermigrasi ke Pontianak. Informan PSin mengungkapkan bahwa alasan melakukan migrasi karena dipanggil oleh saudaranya untuk melanjutkan pendidikan di Pontianak. Keadaan saat itu kedua orang tua informan sudah meninggal, sedangkan saudaranya tidak mampu untuk membiayai pendidikannya.

“Sebenarnya opung sudah meninggal dua-duanya. Waktu itu masih

belasan tahun nggak ada yang bisa diharapkan disana. Ada sih abang disana tapi tidak bisa jadi jaminan. Jadi disini dibilang daripada disana langsung cepat kawin nanti, disuruh kesini”. (PSin)

Perekonomian keluarga yang kurang mampu dikampung halaman, terlebih untuk membiayai pendidikan, membuat para informan mencari cara untuk bisa melanjutkan pendidikannya. Pemilihan kota Pontianak sebagai tujuan migrasi didasarkan pada adanya keluarga yang terlebih dahulu berada di Pontianak.

Pada saat sebelum melakukan migrasi ke Pontianak, informan tidak mempunyai cukup informasi dan pengetahuan mengenai kondisi di Pontianak. Semua informan mengungkapkan bahwa sebelum migrasi

mereka tidak mempunyai banyak informasi dan pengetahuan tentang keadaan di Pontianak.

Tabel 5.

Pengetahuan awal mengenai Pontianak

Informan 1 (AP) Informan 2 (PSin) Informan 3 (PSih) ”Kalau kita hanya

dengar sepintas, orang-orang di Kalimantan pada umumnya orang-orang buas…”

“…waktu di Siantar

dulu ada orang Dayak yang kalau dia demonstrasi itu makan ayam mentah dan

sebagainya…”.

Informan mendapatkan informasi yang minim, informasi tersebut hanya sebatas perilaku

umum yang

direpresentasikan dari orang Dayak yang pernah ditemui.

“Belum tahu sama

sekali, sedangkan bahasa Indonesia belum tahu sama sekali,

masih bahasa

Batak…”.

Informan belum mengetahui sama sekali informasi serta gambaran mengenai keadaan di Pontianak.

“…pas mau berangkat orang bilang orang di Kalimantan suka makan orang….”.

Informan mendapatkan hanya dari orang lain. Informasi yang didapat hanya sebatas perilaku.

Minimnya informasi yang dimiliki tidak menjadi penghalang untuk tetap bermigrasi ke Pontianak. Walaupun informasi yang didapat

57

cenderung mengenai perilaku yang menimbulkan persepsi negatif (buas, suka makan orang) informan tetap bersikukuh untuk tetap bermigrasi. Tujuan yang kuat untuk meningkatkan pendidikan menjadi pemacu informan untuk tetap memilih bermigrasi ke Pontianak. Informan tidak memperdulikan apa yang akan terjadi nanti setelah tiba di Pontianak. Kepastian tentang adanya keluarga yang tinggal di Pontianak menjadi jaminan utama bagi para informan. Bahkan informan PSin yang sama sekali tidak mengetahui keadaan di Pontianak dan tidak mengetahui alamat tempat tinggal keluarganya di Pontianak dan bahkan informan yang tidak menguasai bahasa Indonesia dengan baik, tetap memilih untuk bermigrasi ke Pontianak.

“Sampai di Supadio (bandara) tidak tahu apa-apa. Tapi dulu kan

mau di jemput. Tahu-tahu terlambat Amangboru, ditunda keberangkatan. Jadi pas 17an, 17 agustus, tahun 78. Jadi Amangboru waktu itu nggak ada yang jemput lagi. Jadi saya di bandara duduk-duduk di situ tunggu jemputan...

…Saya pikir kan abang saya bukan tentara, loh kok jd saya

dibawa. Jadi saya dibawa ke mobil AURI, dibawa kerumah Sinaga yang di AURI. Saya lihat foto-foto, ini foto-foto angkatan udara semua. Mau dibawa kemana saya nih “.

Kepercayaan yang kuat kepada saudara dan tingkat kepedulian yang tinggi sebagai dampak dari kuatnya kekeluargaan antar sesama orang Batak, menjadi kepercayaan tersendiri yang membuat orang Batak berani bermigrasi ke tempat yang sama sekali tidak diketahui bagaimana keadaannya. Kepercayaan ini semakin kuat tatkala saudara yang dituju adalah yang masih dalam lingkup dalihan na tolu. Informan PSih juga

mengungkapkan bahwa keluargalah yang membuat dirinya dapat bermigrasi ke Pontianak.

“Motivasi sendiri sebenarnya, cuma ditopang dengan keluarga, lalu jadilah kenyataan. Kalau cuma motivasi tanpa dibarengi biaya kan gak mungkin. Datang kesini tak ada tempat tinggal, tak ada keluarga kan gak mungkin”.

b. Interaksi

Dalam proses akulturasi, interaksi merupakan hal dasar yang pasti terjadi dalam setiap proses akulturasi. Begitu pula dengan masyarakat Batak di Pontianak. Informan mengungkapkan bahwa interaksi paling banyak terjadi di lingkup pekerjaan. Para informan lebih banyak menghabiskan waktu dan kesempatan berinteraksi dalam pekerjaan. Sedangkan intesitas interaksi diluar pekerjaan sangat minim.

59

Tabel 6.

Interaksi dengan masyarakat Pontianak

Informan 1 (AP) Informan 2 (PSin) Informan 3 (PSih)

“Tahun 78 kan

Amangtua sudah di transportasi, di usaha angkutan. Nah itu tadi, anak buah itu campur baur semua. Ada yang Cina, Bugis, Jawa, Batak, Dayak, Melayu”

Informan berinteraksi dengan etnis lain dalam dunia pekerjaan karena informan mempunyai bawahan dari berbagai etnis.

“Kalau di kantor kan sudah campur, Melayu ada, Batak ada, Padang, Bugis…”

Informan sering berinteraksi dengan etnis lain didunia pekerjaan.

“Kalau saya kebetulan tugas saya di kepemudaan di Kalimantan Barat termasuk di Kota. Saya semua suku ras dan agama sering kita berinteraksi”

Informan sering berinteraksi dengan etnis lain karena pekerjaan informan mengharuskan

berinteraksi dengan etnis lain.

Lingkup pekerjaan mutlak mengharuskan para informan untuk melakukan interaksi dengan etnis lain dengan kebudayaan berbeda. Banyaknya waktu yang dihabiskan untuk bekerja dengan kata lain juga menunjukkan bahwa intesitas interaksi informan dengan etnis lain termasuk tinggi. Pada informan AP yang bekerja di bidang swasta, interaksi banyak terjadi secara tidak formal.

“Kita pada umumnya di warung kopi, restoran dan sebagainya. Ya itu lah. Pada umumnya seperti itu, kalau kita dirumah kan sudah terlalu formal ya. Jarang kita ketemu dirumah”.

Informan lebih sering berinteraksi dengan etnis lain di situasi non formal seperti warung kopi dan restoran. Sedangkan informan PSin dan PSih berinteraksi disituasi formal yaitu pemerintahan.

Budaya kekerabatan masyarakat Batak terus dibawa hingga ke tempat perantauan termasuk di Pontianak. Senangnya masyarakat Batak bercengkrama dengan orang lain diakomodir dengan persamaan-persamaan situasi kampung halaman dengan kondisi di kota Pontianak. Budaya bercengkrama di Pontianak termanifestasi dengan adanya banyak warung kopi yang tersebar di setiap penjuru kota Pontianak. Kondisi ini serupa dengan daerah asal masyarakat Batak yaitu daerah Sumatra Utara. Posisi warung kopi merupakan unsur penting dalam konteks interaksi masyarakat Batak. Banyak ditemukan masyarakat Batak yang

“nongkrong” di warung kopi. Semua kalangan, mulai dari masyarakat

tingkat ekonomi menengah ke bawah hingga atas, dari semua bidang pekerjaan dan tidak terbatas pada usia, dengan mudah dapat ditemui di warung kopi. Begitu pula dengan masyarakat Batak, penulis dapat menemukan banyak masyarakat Batak yang “nongkrong” di warung kopi. Klasikasifikasi warung kopi yang dipilih untuk berkumpul tergantung pada selera masing-masing kelompok “nongkrong” yang berkumpul. Terdapat berbagai macam bentuk warung kopi di kota Pontianak, mulai dari yang hanya berada di pinggir-pinggir jalan, hingga yang berbentuk seperti

61

layaknya cafe-cafe besar. Walaupun demikian, semua tempat tersebut tetaplah dianggap sebagai warung kopi.

Pada beberapa kesempatan, penulis menemukan masyarakat Batak yang bercengkrama di warung kopi. Dari hasil cacatan lapangan, kegiatan ini tidak hanya untuk bercengkrama, akan tetapi banyak hal hal yang terjadi selama kegiatan “nongkrong” ini (catatan lapangan, 1-30 April 2010). Hal yang paling banyak terjadi adalah transfer informasi antar sesama orang Batak yang hadir. Kegiatan ini biasanya terjadi pada kumpulan sesama orang Batak. Isu-isu terbaru dan informasi-informasi lain dipaparkan selama kegiatan “nongkrong” ini. Pada kesempatan lain, banyak pula ditemukan orang Batak yang berkumpul satu meja dengan masyarakat dari etnis lain. Hal yang terjadi selama kegiatan ini tidak jauh berbeda dengan kumpulan sesama orang Batak, akan tetapi isu-isu yang dibicarakan lebih bersifat netral tanpa menyinggung etnis tertentu, terkecuali etnis tersebut tidak ikut berkumpul saat itu. Kesepakatan-kesepakatan juga banyak terjadi pada kegiatan “nongkrong” ini. Apabila terdapat sebuah proyek yang akan dilaksanakan, kegiatan “lobi” juga banyak terjadi. Informan AP mengungkapkan bahwa banyak proyek yang ia tangani berawal dari pertemuan di warung kopi. Posisi warung kopi sebagai tempat interaksi masyarakat Batak dengan etnis lain, sama besarnya dengan interaksi pada tempat-tempat lain seperti pasar, lingkungan sosial serta pekerjaan.

Dalam berinteraksi, masyarakat Batak berpegang pada nilai-nilai yang dianutnya. Sikap selalu berhati-hati menjadi pedoman masyarakat Batak dalam berinteraksi dengan sesama etnis Batak maupun dengan etnis lain. Berhati-hati yang dimaksud tidaklah semata-mata menjaga jarak dan selalu waspada serta curiga, melainkan berhati-hati dalam berperilaku. Informan PSih mengungkapkan bahwa masyarakat etnis lain selalu dianggap sebagai dongan tubu. Anggapan tersebut mengisyaratkan bahwa masyarakat harus selalu manat mardongan tubu (berhati-hati). Prinsip ini mengarahkan masyarakat Batak untuk selalu menjaga hubungan yang baik dengan dongan tubu-nya. Hubungan baik tersebut dijaga dengan sikap berhati-hati dalam bersikap dan berperilaku.

c. Kendala Interaksi

Dalam dinamika interaksi dan latar belakang pekerjaan masing-masing, informan mengalami dinamika dan pengalaman interaksi yang berbeda-beda. Begitu pula dengan konflik ataupun kendala yang dihadapi dalam proses interaksi tersebut. Tabel 7 akan menunjukkan kendala-kendala yang dialami tiap-tiap informan.

63

Tabel 7. Kendala Interaksi

Informan 1 (AP) Informan 2 (PSin) Informan 3 (PSih)

”Walaupun sama-sama

Indonesia kan mereka menganggap orang diluar mereka, jadi muncullah istilah pribumi mereka...”

Pembedaan perlakuan dari etnis yang dominan di Pontianak.

“...kesulitan

sebenarnya tidak ada, cuma berbicara saja vakum…

… kan dikampung dulu, SD kan masih pakai bahasa Batak dipakai. Bahasa Indonesia cuma 25 % dipakai”.

Kendala lebih kearah kemampuan diri dalam berkomunikasi.

- ”…bukan hanya

karena orang Batak.

Kalau suku

pendatang masih dianggap disini kaum minoritas. Bukan putra daerah, walaupun sudah lahir dan besar disini”.

- “Kalau kita masuk

kelompok mereka,

kita akan

kesusahan”.

Suku pendatang masih dianggap suku minoritas dan bukan putra daerah.

Kendala interaksi dari tiap-tiap individu tentulah berbeda-beda secara detil dan kontekstual. Akan tetapi, dua dari tiga informan menyatakan bahwa permasalahan pembedaan perlakuan menjadi kendala utama yang dihadapi. Satu informan lebih menganggap sumber kendala berasal dari

diri sendiri yaitu keterbasakan kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia yang menjadi kendala yang dihadapi.

Dapat dipahami mengapa informan AP dan PSih mengungkapkan bahwa otonomi dan konsepsi putra daerah menjadi kendala yang mereka rasakan. AP mengungkapkan bahwa walaupun pekerjaannya di bidang swasta, ia tetap berhubungan dengan pemerintah, hal tersebut karena bidang pekerjaan AP membutuhkan hubungan dengan institusi pemerintah.

“…kita ada proyek nih, ya artinya kesibukan kita di ini ya, jadi

gimana supaya biar bisa “confirm” jadi kan kita kan harus ada dana untuk ini itu, OK kita kasi dana, tapi akhirnya proyek itu tidak kita dapat…”.

“… kita tidak dapat itu mungkin karena dia tidak mampu untuk arahkan ke kita, karena ada faktor-faktor X...”

Faktor-faktor X menurut informan lebih ke arah faktor latar belakang informan. Lebih jauh informan mengungkapkan pengalaman pembedaan perlakuan yang dirasakannya terkait dengan latar belakang identitasnya.

“…setalah ada pembicaraan, bagaimana supaya kita mengerjakan proyek ini. Akhirnya jadi tadi “itu orang ini kah? (Kristen), Ga usah ikut lah”. Jadi ada kesana arahnya. Tapi mungkin tidak terang-terangan ke kita”.

Pembedaan perlakuan ini menurut informan tidaklah secara gamblang ditunjukkan, akan tetapi informan merasakan hal tersebut. Pada beberapa kesempatan lain, informan juga merasakan hal yang sama. Pada informan PSih, pengaruh otonomi daerah sangat terasa karena ia bekerja di pemerintahan (PNS). Berbeda dengan PSih, informan PSin tidak

65

merasakan pengaruh dan permasalahan yang ditimbulkan dari otonomi daerah, walaupun informan bekerja di pemerintahan. Hal ini dapat dipahami karena instansi tempat informan bekerja tidak mempunyai keterkaitan masalah kepegawaian dengan pemerintah daerah. Instansi tempat informan bekerja langsung berhubungan dengan pusat.

“Nah otonomi daerah, saya tidak bisa berkomentar, karena saya masih dari pusat. Masih UPT dari pusat, belum terpengaruh otonomi daerah…, … Kita bertanggungjawab ke pusat. Jadi masalah itu tidak ada kaitannya dengan kita. Masalah kepegawaian tidak ada sangkut pautnya dengan daerah. SK juga dari pusat, nggak ada dari sini. Kita tidak memakai persetujuan daerah. Nggak ada kaitannya dengan otonomi daerah. Statusnya PNS dari pusat.”

Informan PSin lebih mencermati kendala yang dihadapi berasal dari kemampuannya berkomunikasi dengan etnis lain. Hal tersebut dikarenakan kemampuan berbahasa Indonesianya masih minim. Menurut observasi dan pengamatan penulis, informan juga termasuk orang yang pendiam dan tidak banyak berbicara.

d. Stratergi Akulturasi

Strategi integrasi dalam berakulturasi dipilih sebagai perwujudan prinsip masyarakat Batak dalam berinteraksi yaitu selalu mengutamakan kerukunan dari semua elemen masyarakat. Kerukunan ini dimulai dari elemen terkecil yaitu rukun bertetangga. Kendala-kendala maupun permasalahan-permasalahan yang muncul selalu ditanggapi dengan memperhitungkan kerukunan-kerukunan yang harus dijaga. Kesadaran

bahwa tinggal di kebudayaan yang berbeda dengan mereka membuat masyarakat Batak lebih bijak dalam menanggulangi permasalahan yang timbul. Semua informan mengungkapkan bahwa prinsip “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung” menjadi acuan mereka dalam berinteraksi. Penyesuaian dengan kultur setempat menjadi fokus perhatian utama masyarakat Batak dalam berinteraksi. Hal ini terkait pula dengan totalitas masyarakat Batak dalam merantau. Setiap tempat yang didatangi, mayarakat Batak selalu berniat untuk tetap tinggal di tempat tersebut. Semua hal yang dibutuhkan untuk dapat tinggal ditempat tersebut secara perlahan diusahakan untuk mewujudkannya. Pekerjaan, rumah, relasi bahkan gereja pun didirikan untuk meangkomodir kebutuhan religi. Menurut informan, sedikit masyarakat Batak yang kembali dari perantauan. Hal tersebut karena semua yang mereka butuhkan didaerah perantauan sudah terpenuhi, bahkan keluarga yang berada dikampung halaman diajak untuk ikut merantau. Hal tersebut terjadi pada informan AP dimana sebagian besar keluarganya sudah berada di Pontianak.

Dengan prinsip yang selalu dipegang dalam berinteraksi, penanggulangan kendala pun secara tidak langsung dipengaruhi oleh prinsip-prinsip tersebut. Strategi-strategi akulturasi yang dipilih juga identik dengan prinsip-prinsip yang dipegang oleh masyarakat Batak tersebut.

67

C.Pembahasan

Proses akulturasi beserta strategi akulturasi yang dipilih masyarakat Batak di Pontianak dapat digambarkan berdasarkan keseharian hidup mereka. Kisah-kisah pengalaman sehari-hari dalam berinteraksi dan pengambilan keputusan menjadi contoh sumber penggambaran proses aklturasi yang terjadi. Penggambaran ini dibagi dalam dua ranah yang saling berhubungan yaitu tahapan akulturasi dan strategi akulturasi. Strategi akulturasi menjadi sebuah kesimpulan dari tahapan-tahapan yang dilalui oleh masyarakat Batak di Pontianak.

Dokumen terkait