• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN KONSEPTUAL A.Akulturasi

1. Nilai Budaya Batak

Suku Batak memiliki nilai budaya yang sangat beragam. Simanjuntak (2009) secara ringkas mengungkapkan tujuan dan pandangan hidup orang Batak sebagai berkut :

“Tujuan dan pandangan hidup mereka (orang Batak) secara turun temurun yakni kekayaan (hamoraon), banyak keturunan

(hagabeon) dan kehormatan (hasangapon)” (Simanjuntak, 2009 : 142).

Tujuan dan pandangan hidup hamoraon, hagabeon, hasangapon (selanjutnya akan disebut dengan 3H), merupakan nilai dasar yang menjadi terminal values (nilai-nilai yang ingin dicapai) bagi orang Batak (Irmawati, 2002). Nilai-nilai dalam 3 H merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan. Dalam usaha mewujudkan hasangapon, masyarakat Batak menggunakan hamoraon dan hagabeon.

Hamoraon atau kekayaan menjadi tujuan awal dalam proses menuju hasangapon (penghormatan). Kekayaan juga menjadi modal awal untuk mendapatkan hagabeon. Untuk mendapatkan keturunan masyarakat Batak haruslah menyelenggarakan ritual tradisi adat yang memakan biaya cukup besar. Bahkan tidak sedikit masyarakat Batak yang rela meminjam ke sanak keluarga untuk membiayai pernikahan.

Hagabeon atau keturunan menjadi tujuan selanjutnya bagi orang Batak, begitu pentingnya posisi keturunan diungkapkan dalam sebuah lagu daerah Batak “Anakkon ki do hamoraon di au” (anakku yang paling berharga bagiku).

19

Begitu berharganya seorang anak terutama anak laki-laki (sebagai penerus marga) membuat para orang tua-orang tua Batak memberikan segalanya bagi anaknya. Investasi utama yang diperjuangkan oleh masyarakat Batak bagi anaknya adalah pendidikan. Bagi masyarakat Batak, pendidikan merupakan investasi jangka panjang yang turut meningkatkan kehormatan (sangap) keluarga. Semakin tinggi pendidikan anaknya, semakin tinggi pula tingkat kehormatan keluarga.

Pendidikan sebagai sebuah sarana peningkatan kehormatan atau harga diri orang Batak menjadi salah satu alasan mengapa saat ini sulit ditemui orang Batak yang tidak bersekolah. Hasangapon dilihat sebagai tujuan yang hanya dapat dicapai dengan perjuangan yang keras. Oleh karena itu, bukanlah hal yang aneh apabila orang Batak muncul sebagai seorang pekerja keras, tidak mau kalah dan selalu mengejar prestasi tertinggi (Irmawati, 2002).

Berdasarkan analisis Harahap dan Siahaan (1987) terhadap 300 ungkapan tradisional masyarakat Batak, dalam hal ini sub suku Batak Toba, mereka menemukan 9 nilai budaya utama masyarakat Batak yaitu kekerabatan, religi, hagabeon (keturunan), hasangapon (kemuliaan, kewibawaan, kharisma), hamoraon (kekayaan), hamajuon (kemajuan), hukum, Pangayoman (Pengasuhan) dan konflik. Lebih lanjut diungkapkan, dari semua nilai budaya utama tersebut yang menjadi urutan pertama berdasarkan frekuensi pemakaian kata-kata kunci adalah kekerabatan yaitu dengan frekuensi 34.33 %, berbeda jauh dengan urutan kedua yaitu religi dengan frekuensi pemakaian kata-kata kunci sebanyak 17.25 % dan urutan-urutan selanjutnya. Dari analisis ini, dapat

dikatakan bahwa nilai kekerabatan menjadi hal yang menjadi nilai utama dalam budaya masyarakat Batak.

Kekerabatan masyarakat Batak diatur dalam sistem kekerabatan ciri khas kebudayaan Batak yang dikenal dengan istilah Dalihan Na Tolu (Harahap dan Siahaan, 1987). Dalihan Na Tolu yang yang biasa disingkat DNT, merupakan sebuah terminologi yang mulai terkenal sejak tahu 1960 sampai sekarang (Simanjuntak, 2006). Pada buku-buku lama, seperti karangan J.C. Vergouwen yang terbit pertama kali dalam bahasa Belanda tahun 1933, istilah DNT tidak disebutkan sama sekali. Istilah ini mempunyai beberapa pendapat mengenai artinya secara harafiah, Sormin (dalam Simanjuntak, 2006) mengungkapkan bahwa arti dari Dalihan Na Tolu adalah “tungku nan tiga”. Simanjuntak (2006) mengkritik pengertian tersebut. Ia berpendapat bahwa istilah yang diungkapkan oleh Siahaan tersebut tidak tepat. Menurutnya, kata Dalihan berarti tungku dan Na Tolu maksudnya adalah kaki tungku tersebut ada tiga. Sedangkan istilah “Tungku Nan Tiga” yang di ungkapkan berarti ada tiga buah tungku. Selain itu, ia juga mengungkapkan bahwa kesalahan tersebut berasal dari kesalahan yang dilakukan T.D Pardede yang member pengertian Dalihan Na Tolu dalam kutipan pidato pengukuhannya menjadi guru besar Universitas Nommensen di Medan :

“Dari sudut terminologi Dalihan Na Tolu berarti tiga buah tungku yang dipergunakan tempat meletakkan alat memasak…” (Pardede, 1973 dalam Simanjuntak, 2006:99).

Terlepas dari pengertian mana yang benar, pada prinsipnya terminologi ini berasal dari tiga golongan penting dalam masyarakat Batak yaitu Hula-hula,

21

Boru dan Dongan Sabutuha. dari pihak menantu laki-laki). Pola hubungan ketiga golongan tersebut dapat dilihat dalam gambar berikut :

Gambar 1

Pola Hubungan dalam Dalihan Na Tolu

a. Dongan Sabutuha atau Dongan Tubu

Dongan Sabutuha merupakan satu-satunya unsur hubungan kekeluargaan yang bukan disebabkan oleh pernikahan. Hubungan dengan Dongan Sabutuha tidak dapat terputus karena merupakan hubungan darah berdasarkan marga. Dongan Sabutuha merupakan hubungan kekeluargaan orang Batak yang sudah melekat semenjak lahir. Arti dari Dongan adalah teman, sedangkan Sabutuha artinya satu perut atau satu ibu.

Prinsip dasar dalam berhubungan dengan Dongan Sabutuha adalah

Manat mardongan tubu “. Prinsip ini berarti bahwa orang Batak harus berhati-hati dan cermat (manat) dalam berhubungan dengan Dongan Sabutuha-nya. Jangan sampai menyinggung atau membuat hubungan tidak baik dengan Dongan Sabutuha-nya. Nilai lain yang dimaksud dalam unsur

Penerima Istri Pemberi Istri

Boru

Dongan Tubu

ini adalah bahwa semua orang yang satu marga adalah saudara dan seorang individu Batak wajib saling menolong antar sesama Dongan Sabutuha-nya. Sebuah filsafat Batak berbunyi :

Suhar bulu ditait dongan, laos suhar do i taiton”

(walaupun teman semarga kita menarik bambu dengan cara yang salah, kita harus tetap membantu untuk menarik bambu dengan cara yang salah itu)

Filsafat ini berarti walaupun teman semarga kita berbuat salah, kita harus tetap solider (Sihombing, 1986). Oleh karena itu dapat kita lihat bahwa nilai solidaritas sangat ditanamkan kuat dalam kehidupan masyarakat Batak. Namun, pada perkembangannya solidaritas yang terlalu tinggi tanpa melihat kebenaran mulai berkurang saat ini. Masyarakat Batak terutama yang telah memperoleh pendidikan tinggi sudah tidak lagi secara habis-habisan mempertahankan solidaritas tanpa melihat kebenaran.

Apabila bertemu Dongan Sabutuha yang tidak dikenal sama sekali, seorang individu Batak akan menanyakan urutan generasi. Setelah mengetahui urutan generasi masing-masing, maka akan diketahui sebutan untuk memanggil Dongan Sabutuha-nya tersebut. Sebagai contoh, apabila seorang pria Batak “A” bermarga Panggabean yang mempunyai urutan generasi 14 bertemu seorang pria Batak “B” yang bermarga Panggabean urutan 16 dan tidak dikenal serta belum pernah bertemu sama sekali, maka B wajib menghormati A dan memanggil dengan sebutan opung (nenek/kakek).

23

b. Hula-hula

Hula-hula merupakan hubungan kekeluargaan yang dihasilkan dari sebuah pernikahan. Hula-hula merupakan keluarga dari pihak istri. Sebagai contoh apabila seorang Batak bermarga Panggabean menikahi seorang wanita Batak bermarga Simamora, maka bagi pria tersebut dan bagi marga Panggabean, Simamora merupakan Hula-hula mereka.

Prinsip dasar dalam berhubungan dengan Hula-hula adalah “Somba

marhula-hula“. Hal ini berarti bahwa setiap individu Batak haruslah hormat terhadap Hula-hula-nya. Penghormatan ini dimaksudkan agar mendapat Pasu-pasu atau berkat.

Berbeda dengan suku bangsa lain, yang tidak terlalu mempermasalahkan penghormatan terhadap keluarga istri, seorang Batak harus menghormati Hula-hula mereka dengan sungguh-sungguh. Posisi Hula-hula merupakan posisi terhormat dalam setiap acara adat. Hula-hula harus dijamu dengan baik dan ditempatkan pada posisi terhormat dalam sebuah acara adat. Filsafat Batak mengenai Hula-hula berbunyi :

“Hula-hula i do Debata na tarida”

(Hula-hula adalah dewata yang tampak)

Hula-hula dianggap sebagai pemberi Pasu-pasu (berkat) bagi pihak Boru. Hula-hula boleh meletakkan tangan di kepala Boru dan kelompoknya, akan tetapi apabila sebaliknya merupakan hal yang tabu dan pantang. (Sihombing, 1986).

Setiap individu Batak mempunyai Hula-hula, baik itu dari keluarga istrinya, keluarga ipar perempuannya, keluarga ibunya maupun keluarga nenek dari ayahnya juga disebut Hula-hula dan patut dihormati. Berkaitan dengan salah satu misi budaya Batak yaitu Hagabeon yang salah satunya adalah keturunan, Hula-hula dianggap sebagai pemberi berkat untuk memberikan keturunan karena merekalah yang memberikan seorang wanita untuk dijadikan istri dan melahirkan anak.

Hula-hula tidak hanya menerima hormat dan pelayanan dari Boru-nya saja. Akan tetapi, segala hormat serta pelayanan yang diberikan pihak Boru haruslah dibalas dengan memberikan “berkat” kepada Boru-nya. Dalam acara adat, “berkat” tersebut berupa barang atau uang yang diberikan oleh Hula-hula kepada Boru-nya.

c. Boru

Boru merupakan unsur lain dari DNT. Boru merupakan pihak penerima istri. Unsur ini bukanlah unsur yang terendah dalam DNT. Hal ini dikarenakan DNT bukanlah sebuah hierarki dimana menempatkan tiap-tiap unsur dalam tingkatan yang berdeda. Outsider (orang diluar suku Batak) menganggap bahwa Boru merupakan unsur terendah dalam DNT karena Boru haruslah hormat kepada Hula-hula dan melayaninya dengan baik. Bahkan pada praktek keseharian outsider mungkin merasa heran mengapa orang Batak begitu menghormati Hula-hula-nya bahkan hingga tingkatan yang menurut outsider terlalu berlebihan, seperti berhutang

25

untuk memberikan sumbangan yang terhormat bagi Hula-hula-nya. Untuk menjelaskan hal ini, Sihombing (1986) menjelaskan dengan filsafat Batak yang berbunyi :

“Obuk do jambulan na nidandan bahen samara, Pasupasu ni hula

-hula mambaen pitu sundut soada mara”

(doa restu Hula-hula dapat menjauhkan marabahaya selama tujuh generasi)

“Nidurung situma, terihut porapora”

(doa restu Hula-hula dapat membuat yang miskin menjadi kaya)

Boru haruslah mendapatkan doa restu Hula-hula apabila ingin sukses dalam kehidupannya terutama untuk mewujudkan Hagabeon (keturunan).

Prinsip dasar dalam berhubungan dengan Boru adalah “Elek marboru”. Prinsip ini berarti bahwa individu Batak dalam berhubungan dengan Boru-nya adalah bersifat membujuk atau “mengambil hati”. Dengan kata lain, Hula-hula yang sangat dihormati oleh Boru-nya dalam memberi arahan, nasehat atau perintah tidaklah bertingkah-laku seenaknya, melainkan harus membujuk agar Boru-nya mau melakukan nasehat dan arahannya.

Sinaga (2008, 84) mengungkapkan bahwa diluar tiga kelompok atau golongan tersebut dapat ditambahkan golongan lain lagi yaitu Ale-ale (teman sejawat atau teman akrab) dan atau Dongan sahuta (teman sekampung atau tetangga). Dalam berhubungan dengan Ale-ale dan Dongan sahuta adalah “Ringkot jala denggan marale-ale” dan “Dame mardongan sahuta”. Prinsip ini berarti bahwa seorang individu Batak haruslah berusaha memelihara hubungan baik dengan teman sejawat atau teman karib dan selalu rukun bertetangga.

Dokumen terkait