• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI, SARAN

5.2 Diskusi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa iklim sosial keluarga memiliki pengaruh yang signifikan secara positif terhadap orientasi masa depan remaja dalam bidang pekerjaan dan karir. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin harmonis iklim yang terjadi di dalam keluarga, maka akan semakin tinggi tingkat orientasi masa depan dalam bidang pekerjaan dan karir pada remaja. Selain itu, variabel iklim sosial keluarga adalah variabel yang memiliki kontribusi terbesar dalam mempengaruhi orientasi masa depan dalam bidang pekerjaan dan karir pada remaja. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nurmi (1987, dalam McCabe & Barnett, 2000) yang menunjukkan bahwa iklim dalam keluarga merupakan salah satu faktor dan prediktor yang penting dalam orientasi masa depan pada anak.

Selain itu Nurmi (1991) juga menjelaskan bahwa interaksi antara orang tua dan anak memegang peranan penting dalam orientasi masa depan anak. Interaksi ini memberikan pengaruh dengan cara: (1) Penetapan standar normatif, orang tua mempengaruhi perkembangan minat, nilai dan tujuan hidup anak, (2) orang tua berperan sebagai contoh bagi anak dalam menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dalam tugas perkembangan anak, (3) dukungan orang tua membantu anak mengembangkan sikap optimis terhadap masa depan anak.

Penetapan remaja sebagai sampel pada penelitian ini juga mempengaruhi hasil penelitian yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari iklim

sosial keluarga terhadap orientasi masa depan dalam bidang pekerjaan dan karir. Hal ini dikarenakan adanya hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa, hubungan antara remaja dengan orang tua memiliki pengaruh yang besar terhadap orientasi masa depan remaja, hal ini dikarenakan adanya pengaruh yang signifikan terhadap penyesuaian diri remaja (Phares & Compas, 1992 dalam McCabe & Barnet, 2000). Trommsdorff (1983, dalam McCabe & Barnet, 2000) melihat adanya keterlibatan orang tua dan menemukan bahwa remaja yang memandang adanya dukungan dan keterbukaan dari orang tua mereka akan mendapatkan orientasi masa depan yang lebih positif daripada remaja yang kurang mendapatkan dukungan dari orang tua.

Pendapat lain diungkapkan oleh Schneider dkk. (2002) yaitu, bila suatu iklim semakin positif dan kuat, individu akan semakin berharap untuk melakukan perilaku positif. Semakin negatif dan kuat suatu iklim, individu di dalamnya pun akan semakin melakukan perilaku negatif. Dengan demikian hasil penelitian ini juga dapat dikatakan mendukung pernyataan tersebut bahwa, semakin harmonis suatu iklim di dalam keluarga maka akan semakin tinggi pula tingkat orientasi masa depan remaja khususnya dalam bidang pekerjaan dan karir.

Selanjutnya, variabel lain yang secara signifikan mempengaruhi orientasi masa depan remaja dalam bidang pekerjaan dan karir adalah teman sebaya, dengan arah hubungan negatif. Berarti dalam hal ini remaja yang tidak dipengaruhi teman sebaya atau lebih cenderung dipengaruhi oleh orang yang lebih dewasa memiliki orientasi masa depan yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja yang dipengaruhi

oleh teman sebaya. Dengan kata lain, tidak terdapat kesesuaian antara hasil penelitian ini dengan teori dan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Malmberg (2001) mengenai Future Orientation in Educational and Interpersonal Context. Penelitian

tersebut menunjukkan bahwa teman sebaya memiliki pengaruh yang signifikan

terhadap orientasi masa depan pada bidang pendidikan. Selain itu, Nurmi (1991) dalam teorinya menyatakan bahwa teman sebaya dapat mempengaruhi orientasi masa depan dengan cara yang bervariasi.

Teman sebaya berarti teman sepermainan dengan jenjang usia yang sama dan berada pada tingkat perkembangan yang sama, dimana teman sebaya dapat saling bertukar informasi pada pemikiran mengenai tugas perkembangannya. Kelompok teman sebaya (peer group) juga memberikan individu kesempatan untuk membandingkan tingkah lakunya dengan temannya yang lain. Ketidaksesuaian hasil penelitian ini dengan penelitian sebelumnya dapat dikarenakan bidang orientasi masa depan yang diteliti pada penelitian sebelumnya adalah bidang pendidikan, sedangkan pada penelitian ini bidang yang diteliti adalah pekerjaan dan karir. Berarti bidang orientasi masa depan remaja yang dipengaruhi oleh teman sebaya adalah bidang pendidikan, sedangkan untuk bidang pekerjaan dan karir lebih dipengaruhi oleh orang yang lebih dewasa, misalnya orang tua, kakak atau orang lain yang dianggap lebih pengalaman.

Untuk variabel jenis kelamin atau gender, hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari jenis kelamin terhadap orientasi masa depan remaja dalam bidang pekerjaan dan karir. Dengan kata lain, perbedaan

jenis kelamin tidak secara signifikan mempengaruhi orientasi masa depan remaja dalam bidang pekerjaan dan karir.

Berdasarkan tinjauan literatur ditemukan adanya perbedaan gender yang signifikan antara domain-domain pada orientasi masa depan, tetapi pola perbedaan yang muncul akan berubah seiring berjalannya waktu Nurmi (1991, dalam McCabe & Barnett, 2000). Pada penelitian yang dilakukan oleh Nurmi (1991) ditemukan bahwa perempuan lebih berorientasi ke arah masa depan keluarga sedangkan laki-laki lebih berorientasi ke arah masa depan karir (McCabe & Barnet, 2000). Berarti tidak ada kesesuaian antara hasil penelitian ini dengan penelitian sebelumnya. Hal ini kemungkinan dapat dikarenakan oleh jumlah sampel dalam penelitian ini yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan, dimana perempuan memiliki proporsi yang lebih besar.

Menilik dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurmi (1991) yang salah satunya menunjukkan bahwa laki-laki lebih cenderung berorientasi ke arah masa depan karir, maka bila dilihat dari analisis skor orientasi masa depan berdasarkan jenis kelamin (bab 4 tabel 4.1) yang menunjukkan bahwa, remaja laki-laki memiliki nilai rata-rata orientasi masa depan dalam bidang pekerjaan dan karir yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja perempuan, dapat dikatakan sesuai, namun dalam penelitian ini perbedaannya tidak signifikan. Berikutnya adalah variabel usia, hasil penelitian menunjukkan bahwa usia tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap orientasi masa depan remaja dalam bidang pekerjaan dan karir. Sampel penelitian ini dibatasi oleh usia yaitu 15 – 18 tahun, maka dalam penelitian ini

kategori usia dibagi menjadi 4 kelompok yaitu, kelompok usia 15 tahun, 16 tahun, 17 tahun dan 18 tahun. Adapun hasil analisis skor orientasi masa depan berdasarkan usia (Bab 4 tabel 4.2) menunjukkan bahwa kelompok remaja usia 16 tahun memiliki nilai rata-rata orientasi masa depan dalam bidang pekerjaan dan karir paling tinggi, kemudian disusul oleh kelompok remaja dengan usia 15 tahun, selanjutnya kelompok remaja dengan usia 17 tahun dan terendah adalah kelompok remaja dengan usia 18 tahun. Dengan kata lain, remaja dengan usia yang lebih dewasa belum tentu secara signifikan memiliki orientasi masa depan yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja dengan usia yang lebih muda.

Penelitian yang dilakukan oleh Seginer (1991, dalam Amenike, 2008) pada remaja wanita yang duduk di bangku sekolah menengah pertama, menengah atas dan kuliah, menemukan bahwa terdapat perbedaan orientasi masa depan partisipan berdasarkan kelompok usia pada semua domain kehidupan prospektif (karir, keluarga dan pendidikan). Bila dibadingkan dengan hasil penelitian ini, dapat dikatakan tidak sejalan, karena sampel penelitian ini hanya remaja yang berada pada usia sekolah menengah tingkat atas dengan rentang usia yang tidak jauh, atau hanya berselang 1 tahun. Sedangkan pada penelitian yang telah dilakukan oleh Seginer (1991, dalam Amenike, 2008) sampel berasal dari jenjang atau tingkat pendidikan yang berbeda, dan memiliki rentang usia yang berbeda secara signifikan. Oleh karena itu didapat hasil yang berbeda.

Untuk variabel jenis sekolah dan status sekolah juga didapatkan hasil yang tidak signifikan dalam mempengaruhi orientasi masa depan remaja khususnya dalam

bidang pekerjaan dan karir. Hal ini berarti bahwa antara siswa SMA dengan siswa SMK tidak terdapat perbedaan tingkat orientasi masa depan, dan juga antara sekolah menengah negeri dengan sekolah menengah swasta tidak terdapat perbedaan yang tingkat orientasi masa depan yang signifikan. Trommsdorff, 1979; Hurrelmann, 1987; Klaezinsky & Reese, 1991 (dalam Malmberg & Trempala, 1997) mengatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi orientasi masa depan adalah jalur pendidikan. Pendidikan ini dapat diterima individu melalui pengalaman di sekolah. Penelitian terakhir mengenai hal tersebut dilakukan oleh Amenike (2008) bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara iklim sekolah dengan orientasi masa depan dalam bidang karir pada siswa boarding school.

Berdasarkan teori dan hasil penelitian tersebut di atas tergambar jelas bahwa pendidikan sangat penting dalam perkembangan orientasi masa depan remaja. Hal ini juga terlihat dari analisis sampel berdasarkan ketegorisasi orientasi masa depan pada Bab 4 tabel. 4.10 yang menunjukkan bahwa, tidak ada responden yang berada pada tingkat orientasi masa depan kategori rendah. Hal ini dapat dikarenakan bahwa sampel yang dipilih oleh peneliti adalah remaja yang bersekolah di sekolah menengah tingkat atas, atau dengan kata lain remaja yang sedang menempuh pendidikan.

Variabel lainnya adalah status sosioekonomi, hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari status sosioekonomi terhadap orientasi masa depan remaja dalam bidang pekerjaan dan karir. Artinya tidak terdapat perbedaan tingkat orientasi masa depan antara remaja dengan status sosioekonomi tinggi, sedang maupun rendah. Hasil tersebut tidak sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Nurmi (1987, dalam Nurmi, 1991) yang menunjukkan bahwa individu yang memiliki latar belakang status sosioekonomi yang tinggi cenderung untuk memiliki pemikiran mengenai masa depan karir yang lebih tinggi dibandingkan individu dengan latar belakang sosioekonomi rendah. Kemudian Poole dan Cooney; Trommsdorff, dkk (Nurmi, 1991) mengungkapkan bahwa remaja dengan status sosioekonomi menengah lebih tertarik pada pendidikan, karir dan aktivitas waktu luang. Hal tersebut juga didukung oleh pernyataan bahwa kemiskinan dan status sosioekonomi yang rendah berkaitan dengan perkembangan orientasi masa depan yang menyebabkannya menjadi terbatas (Friere, Gorman, & Wessman, 1980 ; Nurmi, 1991 dalam McCabe & Barnet, 2000) dan pesimistis (Voydenoff & Donnelly, 1990 dalam McCabe & Barnet, 2000).

Perbedaan hasil penelitian di atas dapat dikarenakan oleh proporsi sampel yang tidak seimbang antara remaja yang memiliki status sosioekonomi tinggi, sedang, cukup tinggi dan rendah. Tetapi bila dilihat dari analisis skor orientasi masa depan berdasarkan status sosioekonomi, remaja yang status sosioekonominya tinggi memiliki rata-rata skor orientasi masa depan paling tinggi. Sedangkan remaja yang status sosioekonominya rendah memiliki rata-rata skor orientasi masa depan paling rendah, namun perbedaan tersebut tidak signifikan.

Kemudian variabel keterlibatan dalam organisasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari variabel keterlibatan dalam organisasi dengan orientasi masa depan dalam bidang pekerjaan dan karir. Hasil penelitian ini tidak mendukung penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh Palupi (2007) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara variabel keterlibatan dalam organisasi kemahasiswaan dengan orientasi masa depan dalam bidang pekerjaan dan karir.

Hal ini dapat dikarenakan oleh sampel yang berbeda, dimana penelitian ini menggunakan sampel remaja yang sedang bersekolah di sekolah menengah tingkat atas, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Palupi (2007) sampelnya adalah mahasiswa. Bagi siswa, mengikuti organisasi, club atau ekstrakulikuler hanya dikarenakan hobi, sedangkan pada mahasiswa keterlibatannya dalam organisasi tidak hanya dikarenakan hobi, tetapi juga dikarenakan hal lain seperti pengembangan diri, aktualisasi diri dan juga menyesuaikan dengan arah dan tujuan hidupnya. Selain itu mahasiswa memiliki jenjang pendidikan lebih tinggi, sehingga kemampuan dalam menyerap dan memperoleh informasi lebih tinggi dari remaja usia SMA.

Untuk variabel tempat tinggal, hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari variabel tempat tinggal terhadap orientasi masa depan. Hal ini berarti bahwa tidak terdapat perbedaan orientasi masa depan antara remaja yang tinggal di kompleks perumahan dengan yang bukan perumahan.

Moeliono dkk. (2002) dalam hasil penelitiannya tentang gambaran mengenai orientasi masa depan pada remaja kota dan desa menyatakan bahwa ada perbedaan orientasi masa depan yang signifikan antara remaja kota dengan remaja desa. Memang tidak ada kesesuaian antara hasil penelitian ini dengan penelitian sebelumnya. Tetapi karena seluruh sampel penelitian ini berada di kota, jadi peneliti mencoba untuk mengklasifikasikannya berdasarkan tempat tinggalnya apakah di

komplek perumahan atau yang bukan perumahan, dengan anggapan bahwa remaja yang tinggal di perumahan sama dengan remaja yang tinggal di kota, hal ini dilihat dari struktur rumah yang beraturan dan lingkungan yang lebih tertata serta kondisi masyarakatnya yang cenderung individualistis. Sedangkan untuk remaja yang tidak tinggal di perumahan sama dengan remaja yang tinggal di desa, dengan anggapan bahwa adanya kesamaan berdasarkan struktur rumah yang tidak beraturan serta kondisi masyarakatnya yang elbih menekankan kebersamaan dan tidak individualis.

Terakhir adalah variabel bencana alam, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari variabel bencana alam terhadap orientasi masa depan remaja. Artinya adalah antara remaja yang pernah mengalami bencana alam dengan yang tidak pernah mengalami bencana alam tidak terdapat perbedaan orientasi masa depan yang signifikan. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Artar (2002, dalam Palupi, 2007) yang menemukan perbedaan antara remaja Turki yang mengalami musibah gempa bumi dengan remaja yang tidak mengalami musibah dalam orientasi masa depannya.

Perbedaan hasil penelitian ini dapat dikarenakan lokasi penelitian yang cenderung jauh berbeda. Selain itu seberapa besar bencana yang ditimbulkan juga menjadi alasan berbedanya hasil penelitian ini dengan penelitian sebelumnya. Pada penelitian ini tidak terdapat kualifikasi yang jelas tentang bencana alam yang dimaksud, apakah menyebabkan kerusakan yang besar sehingga menimbulkan trauma bagi masyarakatnya atau hanya bencana alam yang kecil dan tidak menimbulkan dampak traumatik. Sedangkan pada penelitian sebelumnya, lokasi penelitian yang

digunakan adalah lokasi terjadinya bencana gempa bumi besar yang menyebabkan perubahan yang signifikan dari segi struktur masyarakatnya dan menimbulkan dampak traumatik yang berkepanjangan.

Dokumen terkait