BAB II LANDASAN TEORI
E. Dismenore
1. Pengertian Dismenore
Dismenore didefinisikan sebagai nyeri yang terjadi sebelum dan saat menstruasi (Patruno, 2006). Dismenore juga diartikan sebagai gangguan sekunder menstruasi yang terjadi sebelum, saat atau sesudah
menstruasi. Dismenore umumnya dimulai 2–3 tahun setelah menarche. Dismenore yang terjadi pada umumnya adalah dismenore
primer, dikarenakan dismenore ini berkaitan dengan siklus ovulasi yang ada pada saat menstruasi (Harel dan Hillard, 2008). Rasa nyeri pada saat menstruasi tentu sangat menyiksa bagi perempuan. Sakit menusuk, nyeri yang hebat di sekitar bagian bawah dan bahkan kadang mengalami kesulitan saat berjalan sering dialami ketika haid menyerang (Harahap, 2001 dalam Kurniawati dan Kusumawati, 2011).
2. Klasifikasi dan Manifestasi Klinis Dismenore
Dismenore dibagi menjadi dua tipe yaitu dismenore primer dan dismenore sekunder. Dismenore primer adalah nyeri pada saat menstruasi tanpa adanya kelainan patologis pelvis (Harel dan Hillard, 2008). Penyebab dismenore adalah turunnya kadar hormon ovarium pada saat menstruasi yang nantinya merangsang pembebasan suatu prostaglandin (E2 dan F2) yang menyebabkan vasokontriksi pembuluh-pembuluh endometrium, menghambat aliran darah ke endometrium. Penurunan penyaluran O2 yang terjadi kemudian menyebabkan kematian endometrium, termasuk rusaknya pembuluh darah. Produksi prostaglandin meningkat, dan mengakibatkan semakin
meningkatnya kontraksi miometrium yang nantinya akan
menimbulkan rasa nyeri dan kram (Lauralee, 2012).
Karakteristik dismenore primer ini yaitu nyeri yang berfluktuasi dan tidak teratur yang terjadi pada beberapa jam sebelum atau saat menstruasi dan biasanya terjadi selama 6 jam hingga 2 hari.
Dismenore primer ini terjadi pada remaja dengan prevalensi 95% dan pada perempuan dewasa sekitar 30%-50%. Nyeri ini berlokasi pada daerah abdomen bawah. Nyeri ini biasanya disertai oleh sakit kepala bagian belakang, mual, muntah dan diare (Seller dan Symons, 2012). Dismenore sekunder itu sendiri dideskripsikan sebagai nyeri menstruasi yang diakibatkan oleh adanya kelainan patologis seperti adanya endometriosis, lesi, dan tumor. Dismenore sekunder biasanya terjadi pada perempuan yang berusia > 25 tahun (Smith, 2008).
3. Gejala Penyerta Dismenore
Dismenore yang terjadi, bukan hanya menimbulkan rasa nyeri saja, namun biasanya terdapat gejala-gejala penyerta saat ia muncul. Gejala-gejala yang biasanya menyertai dismenore adalah mual, muntah, pusing kepala dan diare. Pusing kepala yang dialami disebabkan oleh adanya penurunan kadar hormon esterogen. Penurunan hormon ini mengakibatkan terjadinya peningkatan produksi prostaglandin yang dapat menyebabkan timbulnya pusing pada saat menstruasi (Women’s Health Program Monash University, 2010).
Penelitian yang lakukan oleh Bernstein dkk (2014) di Canada dengan total sampel 220 partisipan menunjukkan bahwa primary GI
symptoms (gejala primer saluran pencernaan) terjadi pada saat
sebelum dan saat menstruasi. Gejala-gejala tersebut diantaranya nyeri perut, diare, mual, konstipasi dan muntah. Prevalensi gejala tersebut yaitu nyeri perut (55), diare (28), mual (14), konstipasi (10), muntah
(3), any primary symptoms (69) dan multiple (≥2) primary symptoms (31).
Saat menstruasi terjadi peningkatan kadar prostaglandin yang merangsang uterus untuk terus berkontraksi dan menimbulkan nyeri. Pada usus halus, prostaglandin membuat otot polos yang ada pada usus halus berkontraksi. Peningkatan kontraksi usus halus ini akan mengurangi absorpsi yang nantinya akan menyebabkan terjadinya diare. Perubahan mood atau stress pada remaja juga terjadi akibat penurunan kadar hormon dalam darah selama menstruasi. Keadaan stress ini pun akan merangsang peningkatan pengeluaran asam lambung yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya mual dan muntah (Bernstein, dkk., 2014).
4. Faktor Penyebab
Purwaningsih & Fatmawati (2010) menjelaskan dalam bukunya bahwa banyak teori yang dikemukakan untuk menerangkan penyebab dismenore, tetapi patofisiologinya belum jelas dimengerti. Rupanya beberapa faktor memegang peranan penting sebagai penyebab dismenore primer antara lain :
- Faktor kejiwaan
Remaja yang memiliki emosi yang tidak stabil, utamanya pada saat menstruasi, maka pada remaja tersebut akan mudah timbul dismenore.
- Faktor obstruksi kanalis servikalis
Salah satu teori yang paling tua untuk menerangkan terjadinya dismenore primer adalah stenosis kanalis servikalis.
Namun, faktor ini sekarang tidak dianggap sebagai faktor yang penting sebab banyak perempuan yang menderita dismenore tanpa stenosis servikalis dan tanpa uterus dalam hipernatefleksi.
- Faktor endokrin
Faktor endokrin yaitu hormon esterogen dan progesteron berperan dalam proses kontraksi uterus. Hormon esterogen merangsang terjadinya kontraksi pada uterus, sedangkan hormon progesteron menghambat terjadinya kontraksi.
- Faktor alergi
Teori ini dikemukakan setelah memperhatikan adanya asosiasi antara hipermenore dengan urtikaria migaran atau asma bronkeal. Setelah memperhatikan keadaan tersebut, Smith menduga bahwa sebab alergi adalah toksin dari menstruasi. Penyelidikan pada tahun-tahun terakhir menunjukkan bahwa peningkatan kadar prostaglandin memegang peranan penting dalam etiologi dismenore primer.
5. Faktor Resiko
Beberapa faktor resiko yang menyebabkan terjadinya dismenore, utamanya dismenore primer adalah sebagai berikut :
a. Indeks massa tubuh (IMT) kurang atau lebih dari 20 kg/m2
Hubungan IMT dengan kejadian dismenore sampai saat ini masih dalam proses penelitian. Penelitian yang dilakukan Jang dkk (2013) menunjukkan bahwa dismenore terjadi lebih banyak pada remaja perempuan yang nilai indeks massa tubuhnya tergolong kurus. Madhubala & Jyoti (2012) melakukan penelitian dan hasil
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara IMT rendah dengan kejadian dismenore.
b. Menstruasi dini sebelum usia 12 tahun
Usia seorang anak perempuan mulai mendapat menstruasi sangat bervariasi. Terdapat kecenderungan bahwa saat ini anak mendapat menstruasi pertama kali pada usia yang lebih muda (<11 tahun). Menstruasi dini yang terjadi akan mengakibatkan terjadinya beberapa gangguan pada sistem reproduksi remaja, salah satu gangguan tersebut yaitu terbentuknya fibroid uterus (Edwards, dkk., 2013).
c. Hipermenore (menoragia)
Hipermenore (menoregia) adalah bentuk gangguan pada saat menstruasi, siklus tetap teratur, namun jumlah darah yang dikeluarkan cukup banyak dan terlihat dari jumlah pembalut yang dipakai dan gumpalan darahnya. Normalnya pengeluaran darah menstruasi berlangsung antara 3-7 hari, dengan jumlah darah yang hilang sekitar 50-60 cc tanpa bekuan darah. Penyebab terjadinya menoragia kemungkinan terdapat mioma uteri (pembesaran rahim), polip endometrium, atau hiperplasia endometrium (penebalan dinding rahim) (Manuaba, 2009).
Collins (2012) dalam bukunya Differential Diagnosis in
Primary Care menyebutkan bahwa penyebab hipermenore adalah
endometriosis, fibroid, karsinoma, inflamasi pelvis kronis, trauma, anemia dan gangguan pembekuan darah. Hendrik (2006) dalam bukunya Problema Haid : Tinjauan Syariat Islam dan Medis
menyatakan bahwa hipermenore adalah terjadinya perdarahan haidh yang terlalu banyak dari normalnya dan lebih lama dari normalnya. Perdarahan yang terjadi dan memanjangnya periode menstruasi, menyebabkan prostaglandin terus menerus diproduksi. Kontraksi uterus yang terlalu kuat akibat stimulasi prostaglandin yang berlebihan akan menyebabkan dismenore (Lauralee, 2012).
d. Merokok
Gagua dkk (2012) dalam penelitiannya di Georgia menyatakan bahwa merokok berhubungan dengan kejadian dismenore. Nikotin yang terkandung pada rokok dapat
menyebabkan terjadinya vasokontriksi pembuluh darah
endometrium. Vasokontriksi ini akan mengakibatkan iskemia pada endometrium yang nantinya akan menyebabkan kerusakan endometrium dan pada akhirnya prostaglandin pun diproduksi. e. Usia
Perempuan semakin tua, lebih sering mengalami menstruasi yang mengakibatkan perubahan anatomis leher rahim yang asalnya sempit menjadi bertambah lebar, sehingga sensasi nyeri haid akan berkurang (Lestari, 2013).
f. Riwayat keluarga
Seseorang perempuan yang memiliki ibu atau saudara dengan riwayat dismenore akan lebih beresiko mengalami dismenore saat menstruasi. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan Charu dkk (2012) di India yang menunjukkan
bahwa 40% dari total partisipan yang mengalami dismenore (n=560) mempunyai riwayat dismenore pada keluarganya.
6. Diagnosis Dismenore
Pengkajian dismenore dilakukan dengan menggunakan instrumen Verbal Multidimensional Scoring System, dan hasilnya adalah sebagai
berikut : Derajat Kemampuan untuk beraktivitas Gejala Dismenore Penggunaan obat-obatan Derajat 0 : tidak terjadi
nyeri pada saat
menstruasi dan menstruasi tidak mengganggu kegiatan sehari-hari Tidak mengganggu Tidak ada gejala Tidak memerlukan pengobatan
Derajat 1 : terjadi nyeri saat menstruasi, namun
nyeri jarang mengganggu aktivitas sehari-hari Kadang-kadang mengganggu Tidak ada gejala Kadang-kadang membutuhkan pengobatan Derajat 2 : Nyeri menstruasi mengganggu aktivitas sehari-hari Mengganggu aktivitas sehari-hari dengan intensitas sedang Terdapat beberapa gejala Membutuhkan pengobatan Derajat 3 : nyeri menstruasi mengganggu aktivitas sehari-hari Mengganggu aktivitas sehari-hari dengan intensitas berat Banyak gejala yang timbul Sangat membutuhkan pengobatan 7. Fisiologi Dismenore
Dismenore terjadi biasanya pada saat akhir fase luteal ovarium. Sewaktu korpus luteum berdegenerasi karena tidak terjadi
Tabel 2.2 Derajat Nyeri pada Saat Menstruasi berdasarkan Verbal Multidimensional Scoring System
fertilisasi dan implantasi ovum yang dibebaskan selama siklus sebelumnya, menyebabkan kadar progesteron dan esterogen darah turun tajam. Terhentinya efek kedua hormon ini menyebabkan lapisan dalam uterus yang kaya vaskular dan nutrien ini kehilangan hormon-hormon penunjangnya.
Turunnya kadar hormon ovarium juga merangsang
pembebasan suatu prostaglandin (E2 dan F2) yang menyebabkan vasokontriksi pembuluh-pembuluh endometrium, menghambat aliran darah ke endometrium. Penurunan penyaluran O2 yang terjadi kemudian menyebabkan kematian endometrium, termasuk rusaknya pembuluh darah. Perdarahan yang terjadi melalui kerusakan pembuluh darah ini membias jaringan endometrium yang mati ke dalam lumen uterus. Sebagian besar lapisan dalam uterus terlepas selama menstruasi kecuali sebuah lapisan dalam yang tipis berupa sel epitel dan kelenjar yang menjadi asal regenerasi endometrium. Prostaglandin uterus yang sama juga merangsang kontraksi ritmik ringan miometrium uterus. Kontraksi ini membantu mengeluarkan darah dan sisa endometrium dari rongga uterus keluar melalui vagina sebagai darah menstruasi. Kontraksi uterus yang terlalu kuat akibat meningkatnya produksi prostaglandin menyebabkan kram saat menstruasi atau yang kita kenal sebagai dismenore (Lauralee, 2012).
8. Dampak Dismenore
Dismenore dapat menimbulkan dampak bagi kegiatan atau aktivitas para perempuan khususnya remaja. Dismenore membuat perempuan tidak bisa beraktivitas secara normal dan memerlukan
resep obat (Prawirohardjo, 2005 dalam Ningsih, 2011). Penelitian terkait dismenore mempengaruhi aktivitas remaja juga dilakukan oleh Kurniawati dan Kusumawati di SMK Batik Surakarta tahun 2011 menyatakan bahwa siswi yang memiliki skor dismenore < 6 (ringan) mengalami penurunan aktivitas sebesar 79,4%. Siswi yang mempunyai
skor dismenore ≥ 6 (berat) mengalami penurunan aktivitas sebesar 96,2%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa dismenore berpengaruh terhadap aktivitas remaja. Dismenore tidak hanya menyebabkan gangguan aktivitas tetapi juga memberi dampak yang menyeluruh, mulai dari segi fisik, psikologis, sosial dan ekonomi terhadap perempuan di seluruh dunia (Iswari, 2014).
Dampak psikologis dari dismenore dapat berupa konflik emosional, ketegangan dan kegelisahan. Hal tersebut dapat menimbulkan perasaan yang tidak nyaman dan asing. Sedikit merasa tidak nyaman dapat dengan cepat berkembang menjadi suatu masalah besar dengan segala kekesalan yang menyertainya. Hal tersebut nantinya akan mempengaruhi kecakapan dan keterampilannya. Kecakapan dan keterampilan yang dimaksud berarti luas, baik kecakapan mengenali diri sendiri (self awareness) dan kecakapan
berfikir (thinking skill), kecakapan sosial (social skill) dan kecakapan
akademik (academic skill) (Trisianah, 2011 dalam Iswari , 2014).
9. Penatalaksanaan Dismenore
9.1 Terapi non-farmakologi
Penanganan dismenore utamanya dismenore primer pada beberapa tahun terakhir ini lebih mengarah ke terapi
non-farmakologi. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yuniarti, Rejo, dan Handayani (2012), menunjukkan hasil bahwa 67 orang (88,2%) dari 76 partisipan, telah melakukan penanganan dismenore dengan terapi alternatif. Perilaku penanganan tersebut berupa pemberian kompres hangat, olahraga teratur, dan istirahat, mengkonsumsi makanan bergizi dan yang paling terakhir dilakukan yaitu pengkonsumsian obat analgetik.
a. Kompres hangat
Kompres hangat adalah sebuah metode yang sudah lama diaplikasikan untuk mengurangi nyeri. Kompres hangat ini diberikan bertujuan untuk memenuhi rasa nyaman, mengurangi dan membebaskan nyeri, mengurangi dan mencegah terjadinya spasme otot, dan memberikan rasa hangat (Uliyah dan Hidayat, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Jeung Im (2013) pada mahasiswa sebuah universitas di Korea menunjukkan bahwa kompres hangat dengan menggunakan red ben pillow mampu untuk menurunkan rasa nyeri yang terjadi saat menstruasi.
b. Senam dismenore
Senam dismenore ini merupakan salah satu teknik relaksasi. Olahraga atau latihan fisik dapat menghasilkan hormon endorfin. Hormon ini dapat berfungsi sebagai obat penenang alami yang diproduksi oleh otak yang melahirkan rasa nyaman dan untuk mengurangi rasa nyeri pada saat kontraksi. Olahraga terbukti dapat meningkatkan kadar
B-endorphin empat sampai lima kali di dalam darah. Semakin
banyak melakukan senam atau olahraga maka akan semakin tinggi pula kadar B-endorphin.
Seseorang yang melakukan olahraga atau senam, maka B-endorphin akan keluar dan ditangkap oleh reseptor di dalam hipotalamus dan sistem limbik yang berfungsi untuk mengatur emosi (Harry, 2005 dalam Marlinda, dkk., 2013). Kadar endorphin beragam diantara individu, seperti halnya faktor-faktor seperti kecemasan yang mempengaruhi kadar endorphin. Individu dengan endorphin yang banyak akan lebih sedikit merasakan nyeri. (Smeltzer & Bare, 2001 dalam Marlinda, dkk, 2013).
c. Diet
Diet rendah lemak dan vitamin E, B1 dan B6 dapat menurunkan nyeri saat menstruasi (Roger P, 2015).
d. Akupresur
Akupresur merupakan salah satu metode terapi non-farmakologi yang merupakan teknik khusus dengan memanipulasi berbagai titik akupuntur. Tujuannya adalah
meningkatkan aliran energi tubuh. Akupresur juga
dideskripsikan sebagai akupuntur tanpa jarum, namun akupresur memiliki berbagai teknik dan menggunakan metode-metode yang jauh berbeda. Penekanan titik akupresur dapat berpengaruh terhadap produksi endorphin dalam tubuh. Terapi akupresur dapat melancarkan peredaran darah dan
tidak menumpuk pada uterus dan akhirnya diharapkan dapat menurunkan rasa nyeri pada saat menstruasi (Ody, 2008 dalam Hasanah, 2010).
9.2Terapi farmakologi
Sultan dkk (2012) dalam bukunya yang berjudul Pediatric
and Adolescent Gynecology menjelaskan bahwa terapi farmakologi
yang digunakan untuk mengatasi dismenore biasanya
menggunakan obat-obatan sejenis prostaglandin inhibitor yaitu
dengan Nonstreoidal Anti-Inflamatory Drugs (NSAIDs) dan
kontrasepsi oral.
- NSAIDs adalah obat penghambat sintesa prostaglandin,
dimana obat ini terbukti mampu menurunkan 75% gejala dismenore pada remaja. Ibuprofen, sodium naproxen dan ketoprofen juga terbukti mampu menurunkan nyeri dismenore. - Kontrasepsi oral : komposisi dari kontrasepsi oral ini adalah
esterogen dosis rendah yang dikombinasikan dengan progesteron generasi kedua atau ketiga, dimana obat ini mampu terbukti untuk digunakan sebagai terapi farmakologi dismenore.
10.Pencegahan Dismenore
Menurut Calis (2015) beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya dismenore, langkah tersebut adalah :
a. Modifikasi gaya hidup
Modifikasi gaya hidup, terdapat berbagai cara diantaranya dengan mengkonsumsi makanan yang bergizi dan mengontrol berat badan (Stoppler, 2014).
b. Berhenti merokok
Gagua dkk (2012) dalam penelitiannya di Georgia menyatakan bahwa merokok berhubungan dengan kejadian dismenore. Nikotin yang terkandung pada rokok dapat
menyebabkan terjadinya vasokontriksi pembuluh darah
endometrium. Vasokontriksi ini akan mengakibatkan iskemia pada endometrium yang nantinya akan menyebabkan kerusakan endometrium dan pada akhirnya prostaglandin pun diproduksi
c. Olahraga
Senam dismenore ini merupakan salah satu teknik relaksasi. Olahraga atau latihan fisik dapat menghasilkan hormon endorfin. Hormon ini dapat berfungsi sebagai obat penenang alami yang diproduksi oleh otak yang melahirkan rasa nyaman dan untuk mengurangi rasa nyeri pada saat kontraksi (Harry, 2005 dalam Marlinda, dkk., 2013)