• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PANGGILAN MENJADI BRUDER FIC

D. Ditopang oleh Allah

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki Tubuh, Jiwa, Roh (KWI, 1996: 9-10). Dengan keberadaannya tersebut manusia memiliki keistimewaan di mata Tuhan. Melalui ketiga unsur di atas manusia dapat mengenal dirinya secara

lebih mendalam. Namun demikian manusia tidak dapat menentukan seluruh perjalanan hidupnya di dunia ini. Manusia selalu dihadapkan pada sesuatu yang misteri. Berhadapan dengan sesuatu yang misteri inilah manusia berjuang untuk mengungkap misteri tersebut. Namun ketika tidak dapat mengungkap misteri tersebut dia menyerahkan dirinya tanpa syarat kepada Allah. Penyerahan diri tanpa syarat inilah yang disebut dengan iman. “Iman tumbuh dan berkembang karena rahmat Allah. (Konst FIC, art. 54).

Sebagai religius, kita bersyukur karena boleh merasakan bahwa Allah yang hidup selalu menyertai hidup kita. Allah sendiri dengan penuh kasih mewahyukan diri-Nya, “Allah Adalah kasih” (1Yoh, 4:8). Kasih Allah nyata dalam diri Putra-Nya yang diutus ke dunia,

“ Pewahyuan kasih Allah yang paling utama yaitu Yesus Kristus. Dalam Dia, Allah yang tak terbatas telah datang di antara kita, dalam penjelmaan yang terbatas dan duniawi. Yesus Kristus itulah Allah beserta kita; Yesus itulah saudara kita, sama seperti kita dalam segala hal kecuali dalam hal dosa”. (Konst FIC, art. 56).

Melalui pewahyuan kasih Allah, kita boleh mengenal-Nya dalam iman. Iman kita kepada Allah menjadi semakin berkembang dan dewasa jika iman tersebut dijaga, dirawat, dan pupuk secara terus menerus. Usaha untuk mempertebal dan mendewasakan iman dapat dilakukan dengan berdoa, membuka diri terhadap Sabda-Nya dalam Kitab Suci, serta menerima sakramen-sakramen (Konst FIC, art. 58). Berdoa memiliki arti bahwa kita diajak untuk mengarahkan diri kepada kehendak dan rencana-Nya (Konst FIC, art. 60). Karena itu, kita berusaha mencari Allah yang adalah kasih. Usaha pencarian ini tidak dapat dipisahkan dengan pengalaman hidup sehari-hari. Melalui pengalaman ini dapat diandaikan bahwa doa yang dilaksanakan

dengan penuh kesungguhan dapat menyuburkan tugas pengutusan kita dan mampu mengobarkan semangat kerasulan kita (Konst FIC, art. 62). Apa yang tertulis dalam Konstitusi tersebut di atas tidak jauh dengan apa yang dirumuskan oleh para Bapa Konsili:

“ Maka dari itu para anggota setiap tarekat hendaklah mencari Allah satu-satunya dan di atas segalanya. Mereka wajib mengadakan kontemplasi, yang membuat mereka berpaut pada-Nya dengan budi dan hati, dengan cinta kasih kerasulan, yang menjiwai usaha mereka menggabungkan diri kapada karya Penebusan dan menyebarkan Kerajaan Allah” (PC, art. 5:251)

Sebagai religius kita hendaknya perlu menyediakan waktu yang cukup untuk menjalin relasi dengan Yesus Kristus. Tanpa adanya relasi yang baik dengan Yesus Kristus, kerasulan yang dilakukan mengalami kerugian yang besar. Sebab hanya melalui Kristus, kita mampu mempelajari arti terdalam tentang menjadi manusia bagi orang lain (Konst FIC, art. 62). Kita dapat berdoa dengan baik, kaya dan mendalam bila kita mampu menyertakan serangkaian karya hidup kita sehari-hari di dalam doa harian. Di dalam biara ada kegiatan berdoa bersama (Konst FIC, art. 64), juga ada kegiatan berdoa pribadi (Konst FIC, art. 65). Dengan berdoa bersama, kita diharapkan mampu masuk ke dalam keheningan hati dan masuk bersatu dengan Allah. Dan dengan berdoa pribadi kita semakin mampu menciptakan suasana batin yang semakin damai. Dari kegiatan berdoa tersebut kita mengalami pertumbuhan dan perkembangan dalam iman. Untuk itu kita harus meninggalkan diri kita sendiri agar mencapai persatuan dengan Allah dan dengan sesama kita (Konst FIC, art. 66).

Selain berdoa bersama dan pribadi seorang religius diberi kesempatan untuk mengadakan refleksi yang lebih lama atau retret. (Konst FIC, art. 67). Ketika berdoa

kita dapat menimba kekuatan dari Allah melalui Sabda Allah yang termuat dalam Kitab Suci (Konst FIC, art. 68). Kitab Hukum Kanonik juga mengajak kita untuk membaca Kitab Suci, “Hendaknya meyediakan waktu untuk bacaan Kitab Suci serta doa meditasi, merayakan ibadat harian dengan layak seturut ketentuan peraturan tarekatnya” (KHK, 663 § 3). Uraian dari Konstitusi dan Kitab Hukum Kanonik tersebut mau menegaskan bahwa Kitab Suci memiliki peran penting bagi setiap religius untuk semakin mengenal Allah baik itu melalui Kitab Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Allah yang dialami dan dirasakan secara dekat oleh bangsa Israel. Dialah Allah yang setia. Allah yang dapat dijadikan teladan hidup bagi religius agar hidup selaras dengan Allah sendiri. Kesetiaan Allah yang konkrit tampak nyata dalam diri Yesus. Dialah Mesias (penyelamat), dan Kristus (Yang Terurapi), Sabda yang menjadi daging. Manusia yang menjadi segala-galanya bagi semua orang dan pewarta Kabar Gembira. Kenyataan membuktikan bahwa Yesus adalah Sang Kabar Gembira.

Karena itu Kabar Gembira-Nya menjadi aturan hidup kita yang paling asasi. Dengan demikian kita dapat berkata seperti Paulus yang mengatakan, “…bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristuslah yang hidup di dalam aku.” (Gal, 2:20). Untuk sampai pada ungkapan seperti yang katakan Paulus tidaklah mudah, sebab orang dituntut untuk terus memperbaiki diri hingga mampu merasakan perjumpaan yang intim dengan Kristus. Paulus sendiri mengalami hal semacam itu sehingga mempengaruhi seluruh hidupnya. “Pengalaman perjumpaan dengan Kristus inilah yang memberi makna kepada pengalaman hidup Paulus yang lain dan menentukan perjalanan hidupnya” (Suharyo, 1999:77).

Kenyataan lain yang tidak dapat ditinggalkan oleh kita sebagai religius adalah mengikuti perjamuan Ekaristi. “Ekaristi merupakan perayaan tertinggi persatuan kita dengan Yesus, perayaan tertinggi cinta kasih. Ekaristi juga merupakan perayaan persatuan kita seorang terhadap yang lain dan dengan semua orang di dalam Dia.” (Konst FIC, art. 70).

Melalui perayaan Ekaristi ini kita diajak untuk memperingati persembahan diri-Nya dengan penuh syukur. Persembahan penuh syukur yang dilakukan oleh Yesus inilah yang perlu kita teladani. Yang mau dikatakan di sini adalah bahwa Ekaristi memiliki hubungan yang erat dengan kehidupan kita sehari-hari. Oleh karena itu kita perlu menyambut komuni suci dalam hidup harian kita. (Konst FIC, art. 71).

Hal senada juga diyakini oleh Ibu Teresa dari Kalkuta. Ia mengajak kepada kita semua untuk tidak meninggalkan Ekaristi, karena Ekaristi merupakan sumber daya rohani yang tiada tara, makanan rohani yang menguatkan, serta sebagai tempat untuk menimba hidup dan karyanya. Ekaristi juga memuat teladan dan tindakan kasih yang paling agung, mengenal kasih Allah yang mewujud dalam pemberian Putra-Nya sendiri supaya manusia yang miskin akan kasih memiliki kembali kasih itu sehingga semakin mampu membangun hidup dalam Allah.

Ibu Teresa juga mengalami dan merasakan bahwa Ekaristi adalah peristiwa Kristus yang sedang memecahkan roti, membagikan diri-Nya sendiri demi keselamatan umat manusia. (Cahyadi, 2003:151-154). Pemahaman Ibu Teresa yang begitu mendalam mengenai Ekaristi menjadikan dirinya mengagumi misteri hidup

Tuhan yang ia rasakan setelah menyambut komuni suci. Kekaguman tersebut tampak nyata dalam rumusan dibawah ini:

“Betapa Tuhan yang begitu agung dipegangnya dengan jari-jari tangannya yang kecil, bahkan doa membiarkan diri dipecah-pecahkan untuk dibagi-bagikan. Belum lagi Tuhan yang begitu kaya dan berkuasa membiarkan diri untuk disantapnya. Ini sungguh suatu misteri yang amat mengagumkan, misteri yang begitu indah, dan tak pernah habis untuk dimengerti dan digali. Misteri yang mampu mengalirkan daya kekuatan yang begitu besar bagi hidup dan pelayannya” (Cahyadi, 2003:155).

Disadari bersama bahwa kita sering berdoa. Kita juga sering menerima Sakramen Ekaristi setiap hari. Namun demikian kita sering jatuh dalam kesalahan dan dosa yang sama. Sebagai manusia kita memang lemah dan rapuh. Untuk itu kita membutuhkan pengampunan dari sesama dan Allah sendiri. Yesus Kristus sendiri mengajar kita berdoa demikian, “…ampunilah kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami.” (Mat, 6: 12). Ayat ini mengajak kita agar kita senantiasa memohon ampun kepada Allah dengan menerima sakramen tobat (KHK, Kan. 664:207).

Ketika kita jatuh dalam kesalahan dan dosa, suara hati kita mempersalahkan kita sendiri. Kita merasa tidak enak, hidup menjadi tidak tenang. Kita juga merasa tidak pantas mengikuti jalan Tuhan. Karena itu kita perlu meyakini bahwa Allah adalah kasih. Allah yang rela mengasihi kita tanpa batas. Walaupun hidup kita kurang memenuhi harapan-Nya, kita mencoba untuk selalu percaya bahwa Allah sungguh mencintai kita dengan segala kelemahan yang ada pada kita. Cinta Allah begitu besar dan nyata. Cinta-Nya menjadi nyata ketika mengutus Putra-Nya Yesus Kristus melalui Maria bunda-Nya.

Keberanian Maria untuk menjawab “ya” terhadap panggilan Tuhan membawa keselamatan bagi manusia. Karena itu Maria dapat dijadikan teladan dalam hidup kita. Dialah putri pilihan Allah. Dialah bunda yang selalu setia mendampingi putranya dari lahir hingga wafat-Nya di kayu salib. Fiatnya yang berbunyi, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataan-Mu itu,” (Luk, 1:38). Fiat yang telah diungkapkannya bukanlah kata-kata kosong dan tanpa makna. Kata yang tidak memiliki arti. Fiat yang diungkapkan Maria sungguh memiliki makna yang dalam bagi hidupnya dan bagi umat manusia. Maria berani menanggung segala duka derita demi panggilannya menjadi bunda penyelamat. Para bruder FIC sendiri sangat menghormati Bunda Maria. Karenanya Ibu Maria dijadikan pelindung Kongregasi dan dijadikan teladan bagi hidup para bruder. Wujud konkrit agar Bunda Maria dijadikan teladan ada dalam Konstitusi FIC yang berbunyi: “Kesetiaan, kerendahan hati Maria, dan kepekaan serta kepedulian terhadap kebutuhan-kebutuhan manusia, dapat kita jadikan teladan bagi kehidupan kita sebagai religius yang merasul”. (Konst FIC, art. 75).